Wednesday 19 August 2020

Anak Kota (Berani) Bertani?

 

Halo, aku Dzikra Yuhasyra, alumni Rekayasa Pertanian SITH ITB angkatan 2013, aku tinggal di kampung kota di wilayah timur Kota Bandung yang sepertinya masuk kawasan peri urban, karena termasuk berada di wilayah antara desa dan kota. Di wilayah tempat tinggal ku, di kawasan kampung kota ini, jamak ditemui lahan pertanian lebih banyak pemukiman padat penduduk, harus sedikit berkendara ke atas ke arah kaki Gunung Manglayang baru lahan pertanian ditemui, itu pun bukan sentra produksi sayuran atau padi yang masif seperti Lembang ataupun kawasan pantura Jawa. Karena lebih dekat dengan pasar tradisional, lebih banyak masyarakat di kampung ku berprofesi menjadi pedagang atau menjadi pekerja kantoran yang nglaju ke pusat kota, sangat jarang yang berprofesi sebagai petani. Sehingga dari kecil masalah-masalah yang sering aku temui adalah masalah-masalah urban dan peri urban di kota besar, seperti kemacetan, polusi udara, masalah sanitasi dan pencemaran, kepadatan penduduk, ataupun kesemrawutan pasar tradisional khas perkotaan. Sangat jarang aku menemukan masalah-masalah agrikultur, agribisnis, atau kesejahteraan petani yang mayoritas ada di pedesaan. Seperti yang aku tulis pada tulisan sebelumnya, aku masuk Rekayasa Pertanian SITH ITB karena aku menyukai pelajaran biologi dan keresahan ku melihat berita media tentang bidang pertanian yang terkesan dipinggirkan dan selalu pesimistis untuk sukses karena yang diberitakan baik di koran atau TV hanya berita gagal panen dan paceklik, jarang sekali berita inspirasi sukses petani di desa. Menjadi anak kampung kota yang berada di posisi itu menjadi keuntungan sekaligus kerugian untukku untuk terjun ke bidang pertanian. Keuntungan karena tidak ada hambatan dari keluarga dan lingkungan terdekat untuk terjun kuliah dan menekuni bidang pertanian tapi sekaligus kerugian karena tidak pernah ada pengalaman real langsung bagaimana hidup di desa dengan permasalahan agrikultur dan agribisnis sebagai petani, sehingga sosok petani hanya aku ketahui dengan sumber dari “katanya”, baik kata dosen, kata buku, kata jurnal, atau kata media tapi tidak pernah mengalami langsung. Sehingga aku sendiri tidak pernah mengalami kesulitan dan penderitaan langsung petani yang tinggal di desa dan melihat realita di lapangan. Waktu kuliah lapangan Agroekologi, salah satu mata kuliah di Rekayasa Pertanian SITH ITB, aku pernah mewawancarai peternak sapi perah yang tidak ingin anaknya menjadi peternak juga karena beban kerja yang sangat berat dan lebih ingin anaknya kerja kantoran di kota. Sedangkan anak kampung kota yang tidak pernah merasakan beban itu malah tertantang ingin mencoba untuk menjadi petani dan peternak lalu hidup di desa. Tidak ada yang salah dengan hal itu, tapi seperti yang dikatakan Pak Tomy Perdana dosen Agribisnis Unpad pada salah satu seminar yang saya ikuti, dikhawatirkan tekad anak kota yang ingin berkecimpung di dunia pertanian hanya sebatas keinginan sesaat dan tidak ditekuni serius serta mendalam. Pak Tomy menyebutkan hal tersebut bisa terlihat dari banyak nya startup pertanian bermunculan tapi tidak bisa bertahan lama dan tidak bisa konsisten berdiri. Itu juga yang dirasakan saya sebagai anak kampung kota yang masih kurang nyali untuk menggarap lahan pertanian dan memang kenyataannya tidak punya lahan kosong untuk digarap. Tapi dewasa ini, ada gerakan lain yang muncul yaitu urban farming melalui maraknya dan menjamurnya hidroponik. Tentu ini menjadi angin segar bagi anak kota yang ingin bertani, tapi apabila ditinjau lebih dalam hal ini belum menyelesaikan permasalahan agrikultur yang ada di desa. Muncul juga gerakan permakultur dan pertanian alami untuk digalakan di kota yang tentu menjadi angin segar juga bagi anak kampung kota seperti ku. Tapi realisasi permakultur di wilayah perkotaan mengalami banyak hambatan dan kendala terutama karena terbatasnya lahan. Dan sekali lagi hal ini belum menjadi solusi bagi masalah agrikultur di desa. Jadi anak kota berani bertani? Masih menjadi pertanyaan yang harus di jawab penulis yang sekarang ternyata masih terjebak mencari pekerjaan kantoran di kota untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.