Monday 15 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 9 and Day 10 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata

 


Berikut ini rekap insight dan rangkuman dari Day 9 dan Day 10 #22HBB Vol. 3 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata. Selamat Menyimak!


Day 9 #22HBB Vol.3 (14 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 143-164/362

Insight/rangkuman/catatan:

PRESISI PERTANIAN POSTMODERN (STUDI KOMPARASI PERTANIAN JALAN TENGAH)

Multifunctionality Agriculture: Menggeser Model Pertanian Productivist ke Post-Productivist

Pemikiran tentang pertanian multifunctionality atau post-productivim merupakan gagasan Wilson yang mengkritisi dan memikirkan krisis- krisis yang ditimbulkan oleh model pertanian productivism (post- traditional atau modernisme). Oleh Evy et al (2011) dan Leakey (2017) disebut pertanian multidisiplin, pertanian ekologis, pertanian integratif, pertanian berelasi (joint and partnership), pertanian kolaboratif dan pertanian diversifikatif yang berparadigma konstruktivis. Oleh Wilson disebut pertanian berparadigma post-productivist, post-fordism and postmodem. Pertanian multifunctionality dan post-productivim, ditawarkan oleh Wilson, OECD (2001), Akca et al (2005), Guido et al (2007), Wanki Moon (2006; 2007; 2012) dan Leakey (2017) sebagai jalan alternatif (transisi) menuju transformasi. Pertanian modern (produktivism) merupakan obyek kritik Wilson dan Akca et al, karena signifikan dan besarnya implikasi yang ditimbulkan oleh mode pertanian tersebut. Produktivism merupakan terminologi lain dari pertanian modern atau pertanian industri (green revolution) yang dilabelkan komunitas postpositivistik dan pertanian postmodem. Pertanian produktifis merupakan pertanian modern yang berbasis input produk industri (yang didominasi impor), yang menurut Reijntjes et al., berorientasi pada maksimalisasi produksi atau keuntungan, dengan mengandalkan input luar tinggi (HEIA).

Ciri-ciri lain dari pertanian produktivis (Reijntjes et al, Wilsonm Moon) adalah massal, homogen, skala luas, input luar tinggi, akumulasi kapital, mekanisasi dan tenaga kerja yang efisien. Menyerap sedikit tenaga kerja, tetapi sangat robotik (mengandalkan alat mesin modern). Pendekatan produktivis dikendalikan korporasi, digerakan kelompok yang dibentuk secara linear (top-down) dan bermodel pembangunan (developmentalism). Pertanian produktivis juga dikuasai korporasi dari mulai industri dan input, pengolahan sampai pasar yang terstruktur (retail modern). Tegasnya, idiologi, logika, paradigma, rasionalitas dan moralitas pertanian produktivis telah menimbulkan kerusakan, keresahan dan korbanan sosial budaya, lingkungan, ekonomi dan kelembagaan (Whitby dan Lowe, 1994; Soewardi, 2004). Polusi, pencemaran, kejenuhan, erosi genetik dan erosi modal sosial sangat lekat dengan produktivis. Dalam jangka pendek, productivism dapat menjawab kekhawatiran Thomas Malthus, tetapi tidak ada jaminan keberlanjutan untuk jangka panjang (Delgado et al., 2003; Lang dan Heasman, 2004). Oleh karena demikian, maka dipandang telah mengalami krisis (meminjam istilah Thomas Kuhn), sehingga perlu dikoreksi dengan pendekatan pertanian post-Fordism (post-produktivist) yang lebih ramah, yang inklusif, steril dari mode dan berkelanjutan (Marsden, 2003). Pertanian multifunctionality juga merupakan alternatif (mainstream transition theory) terhadap jalur kiri (socialism). Oleh karena itu Wilson melabel pertanian multifunctionality sebagai pertanian post-socialism. Namun, Wilson tidak mempertegas, apakah post-socialism itu merujuk pada mode ekonomi modern Eropa Barat dan Amerika Utara atau postmodern? Selain itu, meskipun blok socialisme (Uni Soviet) sudah runtuh tahun 1991, namun negara-negara pecahannya masih tetap berhaluan kiri, termasuk Rusia, Ukraina, Georgia, Estonia, Cina dan beberapa negara di Amerika Selatan. Namun demikian, beberapa pecahan Uni Soviet ada juga yang beralih ke sistem demokrasi atau mencari model alternatif (post-socialism) sebagaimana dilakukan Kuba. Transisi ke post-sosialisme terjadi melalui beberapa proses berantai yang diwarnai pergolakan sosio-ekonomi (Bradshaw dan Stenning, 2001), seperti: kemungkinan terjadi perombakan total atas ideologi sosialis (dekolonisasi), beralih ke sistem demokratisasi (dari totaliter ke post- totalitarian), liberalisasi ekonomi (dari Marx ke pasar, dari dominasi dan monopoli negara ke liberalisasi dan privatisasi), terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis global dengan modernisasi (Przeworski, 1995). Pertanyaannya, jika model ekonomi global (pasar terbuka) gagal, apakah negara-negara pecahan Uni Soviet akan kembali ke idiologi sosialis atau membangun varian kreasinya (socialism creative). Ada kecenderungan, negara-negara sosialis didorong untuk terintegrasi ke dalam sistem kapitalis global seperti perdagangan bebas, pelebaran investasi nasional dan internasional, dan boleh jadi, muncul kebijakan liberal yang lebih baru dalam masyarakat post-socialism yang baru terbentuk (Stiglitz, 2002). Diperlukan kecermatan atas mode transisi, karena menurut Van Hoven et al. (2004) "transisi adalah alat hebat yang diciptakan sebagai ide kolosal ekonom neo-liberal di Amerika Utara dan Eropa".

Pertanian multifunctionailty sejatinya merupakan model pertanian yang meninggalkan identitas Fordism, Socialism, Colonialism dan Modernism. Pertanian yang menjauh dari linearitas, dominasi (entitas kapital, negara dan korporasi), homogenisasi, reduksionis, universality, causality dan hegemoni. Pertanian multifunctionality adalah model pertanian yang beridentitas post-Fordism (post-Productivism), post- Socialism, post-Colonialism dan postmodern. Identitas utamanya adalah berumpan balik (cyclc), seimbang, partisipasi, heterogenity, diversity, complexsity, agency inconsitency dan counter hegemony (Gambar E.1). Secara komparatif, pertanian multifunctional berpatok duga pada identitas alternatif atau identitas transisi, yakni post-fordism, post-socialism dan postmodern. Selanjutnya, identitas alternatif dan transisi akan dilabel dengan pertanian post-productivism. Potter dan Tilzey (2005) mendefinisikan pertanian post-produktivis sebagai mode produksi yang beralih dari model konvensional dengan input luar tinggi (HEIA), model agri-sentris, model ekonomi pedesaan dominan, model ekspansi, model yang dikendalikan rejim, model yang berpijak pada subsidi dan model pertanian industri yang mengandalkan akumulasi kapital (model fordism atau modernism) ke model pertanian alternatif bergaransi profitabilitas (mode post-fordism atau postmodern). Pertanyaannya, apakah nilai pertanian produktivist telah diganti dengan post-produktivis? Secara empiris, belum terjadi penggantian secara signifikan, meskipun arus utamanya sudah terlihat di Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Ilbery dan Bowler (1998) menegaskan bahwa "pertanian di kebanyakan negara dengan ekonomi pasar yang paling maju telah memasuki era post-produkivist". Menurut Evans et al. (2002) "deskriptor post-productivist semakin sesuai dengan kenyataan empiris" (Ward, 1993; Marsden, 1998) mengacu pada "perkembangan post-produkivis sekarang".

Secara riil, meskipun istilahnya belum dilembagakan dan dilabelkan secara eksplisit, pertanian post-productivis sudah berkembang di banyak negara. Pertanian terintegrasi (integrated farming) yang memadukan usahatani dengan peternakan, pertanian dengan kehutanan (agroforestry) atau peternakan dengan perikanan (kandang ayam di atas kolam/longyam), merupakan beberapa model pertanian yang memiliki karakteristik yang sama dengan pertanian post-productivis. Model pertanian yang mengintegrasikan beberapa jenis tanaman pangan (tumpangsari, diversifikasi) dalam satu lahan juga dapat dikategorikan pertanian post-productivis. Pada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan, di wilayah-wilayah daerah resapan air dan di zona- zona konservasi, model usahatani didesain secara adaptif, ditata secara seimbang dan diusahakan memiliki banyak fungsi. Berbagai tanaman dikembangkan, baik sebagai sumber pangan, sumber pakan, sumber kayu bakar, sumber papan, sumber perlindungan dari banjir dan longsor (pengikat tanah dan air), sumber air dan sebagainya. Tanaman yang diusahakan di zona konservasi lebih diutamakan yang berbuah (yang dipetik hasilnya), daripada yang ditebang dan dicabut umbinya. Tanaman yang diutamakan adalah yang memiliki perakaran kuat dan mengikat, namun daunnya dapat dijadikan pakan dan buahnya dapat dimakan (atau diolah).

Wilson berpendapat bahwa gagasan post-produkivis masih sangat dipertanyakan (transition) karena linearitas temporal dan asumsi biner yang terkandung didalamnya. Ada juga yang menolak dan menganggap post-produktivis sebagai gagasan mitos, karena minimnya bukti di dunia. Pada umumnya, yang menolak datang dari para praktisi dan peneliti di negara-negara subtropis. Namun, beberapa fakta di dunia, seperti pertanian terpadu (integrated farming), seperti agroforestry, pertanian berpola diversifikasi (tumpang sari, ikan-ayam, ternak-tanaman), pertanian model konservasi, pertanian ramah lingkungan (organik) dan sejenisnya, memiliki identitas yang mendekati post-produktivis. Bagi praktisi dan peneliti pertanian yang datang dari daerah tropis, pertanian post-produktivis bukan hal yang baru, sudah ada, melembaga dan membudaya. Belum adanya definisi yang disepakati dan adanya pertanyaan (kritik) terhadap post-produktivis), maka oleh sebagian ahli ditempatkan sebagai "miror image". Artinya, pertanian post-produktivism membutuhkan cukup waktu untuk disosialisasikan dan diakui (terutama oleh mereka yang berada di daerah sub tropis), karena tingginya ketergantungan generasi petani terhadap mode pertanian productivis yang telah berjalan hampir 50 tahun.

Secara praktis, produktivisme yang diarusutamakan sejak kolonisasi dan memuncak dalam modernisasi (green revolution), berpijak pada keseragaman (homogenisasi) komoditi yang didatangkan dari luar dan mengandalkan input-input luar (pupuk kimia, pestisida kimia, benih industri, utang, subsidi dan institusi pengendali). Selama 50 tahun, produktivisme telah terbukti menimbulkan kekacauan dan kerusakan, sehingga berakhir dengan krisis-krisis. Selain itu, produktivisme yang banyak diharapkan negara dunia ketiga mampu menyelesaikan persoalan kerawanan pangan dan aneka kebutuhan, telah terbukti berakhir dengan kegagalan. Keseragaman telah menciptakan pengendalian dari hulu sampai hilir. Pada akhirnya, keseragaman telah mereduksi keberagaman yang eksis di negara tropis. Ketahanan pangan yang diwujudkan melalui impor pangan, ternyata tidak menjauhkan negara miskin dari kemiskinan dan kelaparan. Lebih dari itu, produktivisme telah mengakibatkan kerusakan lingkungan akibat aplikasi input kimia yang tidak terkendali, sehingga mengakibatkan beragam bencana yang berkelanjutan di seluruh dunia. Maksimalisasi keuntungan yang merupakan makna sejati dari metafor produktivisme, terbukti hanya menguntungkan negara maju yang menguasai teknologi. 

Definisi pertanian multifungsi yang paling banyak digunakan berasal dari OECD (2001) dan Wanki Moon (2012) yang mengemukakan perspektif (neo-klasik) yang relatif sempit bahwa istilah tersebut harus ditafsirkan sebagai karakteristik kegiatan ekonomi yang didasarkan pada proses produksi pertanian dan hasilnya, yang menghasilkan banyak dan saling terkait antara hasil dan efek. Menurut OECD (2001), "multifungsi mengacu pada fakta bahwa aktivitas ekonomi dapat menghasilkan banyak hasil dan, berdasarkan hal ini, dapat berkontribusi pada beberapa tujuan masyarakat sekaligus. Multifungsi adalah suatu konsep aktivitas yang berorientasi pada sifat spesifik dari proses produksi dan beberapa keluarannya ". Menurut OECD, dengan demikian, maka peran utama pertanian bukan hanya menghasilkan makanan dan serat, tetapi banyak fungsi penting lainnya, seperti konservasi tanah, pemeliharaan struktur landscape, pengelolaan sumber daya alam lestari, pelestarian keanekaragaman hayati, dan kontribusi terhadap kelangsungan hidup sosial ekonomi dan semangat ekonomi dari daerah pedesaan. Bahkan, fungsi integrasinya (antara tanaman, hewan, manusia dan lingkungan) dapat memperkaya definisi dan makna dari pertanian multifungsi itu sendiri.

Secara khusus, OECD menghubungkan gagasan multifungsi dengan isu distorsi perdagangan dan perdagangan yang terkait dengan penguasa subsidi pertanian yang ada di banyak negara. Definisi yang sama diusulkan oleh Blandford dan Boisvert (2002) yang mengemukakan dari sudut pandang ekonomi pertanian bahwa "konsep 'multifungsi' mengacu pada pertanian sebagai kegiatan multi-output yang tidak hanya melibatkan komoditas, tetapi juga output non-komoditas, seperti manfaat lingkungan, fasilitas landscape dan warisan budaya, yang tidak diperdagangkan di pasar terorganisir ".


Berkaca Pada Pertanian Turki: Berharap Indonesia Bebas dari Jerat Riba dan Utang Luar Negeri yang Berkelanjutan

Pelajaran utama yang dapat dipetik dari Turki dan khususnya dari pertanian Turki adalah perubahan radikal untuk mensterilkan bangsa dan negara Turki dari utang atau bantuan luar negeri yang bersifat mengikat dan bunga (riba) berlipat. Secara teknis, input produksi pertanian di Turki juga mulai steril dari pupuk kimia, pestisida kimia dan benih hibrida. Pertanian organik di Turki telah dikembangkan sejah tahun 1980an dan diadopsi secara formal oleh Kementerian Pertanian dan Pedesaan tahun 1994. Produk organik Turki tidak hanya dipasarkan di dalam negeri tetapi juga sudah menjadi komoditas ekspor, terutam ke Eropa. Luas lahan pertanian organik tumbuh tinggi di Turki, dari hanya 1037 ha pada tahun 1990 menjadi 192.789 ha tahun 2006. Jumlah pelaku pertanian organik juga meningkat signifikan dari 313 petani menjadi 14.256 petani tahun 2006. Jumlah komoditas yang dikembangkan secara organik juga semakin banyak, dari semula 8 komoditas pada tahun 1990 menjadi 210 komoditas tahun 2006 (Kementerian Pertanian dan Peternakan Turki, 2014). Meskipun total luas lahan pertanian organik di Turki baru mencapai lima persen (5%) dari keseluruhan luas lahan pertanian yang ada pada tahun 2016, namun grafik produksi dan ekspornya terus meningkat, terutama ke pasar organik di Eropa. Pertumbuhan pertanian organik di Turki didukung oleh keberadaan pasar dalam negeri dan permintaan yang tinggi dari pasar Eropa dan Afrika Utara. Pertanian Turki layak dijadikan presisi pertanian postmodern, karena input organik Turki dihasilkan secara spesifik oleh komunitas (local specific) dan diproduksi secara masal oleh industri milik negeri (BUMN). Pendanaan pertanian organik di Turki bersumber dari tiga institusi. Pertama, dari petani organik sendiri; Kedua, dari komunitas (termasuk distributor, supplier, packing house dan lainnya) dan Ketiga, dari Bank Pertanian Turki. Hingga tahun 2006, terdapat 545 (6,2%) pelaku usahatani organik yang menjadi pengguna kreadit pertanian organik.

USDA (2006) melaporkan, pertanian organik tidak hanya diakui dan diadopsi sebagai kebijakan yang mendapat pemihakan penuh dari pemerintah, tetapi juga didukung dengan asosiasi, komunitas, sistem informasi dan program khusus. Faktanya, setiap pelaku teregistrasi dalam Organic Agricultural Information System (OAIS) dan mendapat dukungan kebijakan bantuan usaha organik melalui program Implementation Project of the Agricultural Reform (PAR). Terdapat tiga kategori pendanaan pertanian organik melalui IPAR di Turki. Kategori pertama untuk pencegahan erosi, meningkatkan kualitas lahan dan perbaikan drainase (besar bantuan 40 US $). Kategori kedua untuk aplikasi input dan teknologi budidaya, terutama teknik penyiraman yang tepat, penggunaan pupuk, hormon dan pestisida ramah terkendali, penggunaan pupuk organik, implementasi praktek pertanian organik. dan implementasi praktek pertanian yang baik (besar bantuan 90 US $). Kategori ketiga, penataan padang penggembalaan, pengembangan tanaman pakan ternak, perluasan padang rumput dan pengembangan padang rumput baru. Legalitas pertanian organik di Turki dilindungi oleh Committee of Organic Agriculture (OOA) dan The National Orientation Committee of Organic Agriculture (NOCOA). Meskipun lembaga sertifikasi organik tidak terlepas dari peran negara maju (Eropa), namun sebagian besar lembaga sertifikasi organik di Turki dikuasai lembaga sertifikasi nasional, seperti ETKO, EKOTAR, OR-SER, ANADOLU dan TURKGAP. Sedangkan lembaga sertifikasi dari Eropa hanya IMO GmbH (Swizerland), ECOCERT (France), CONTROL UNION (Holland), BCS (Germany), ICEA (Italy) dan CERES GmbH (Germany).

Ada beberapa prinsip yang dijadikan landansan oleh pemerintah Turki, mengapa pertanian organik menjadi pilihan utama? terutama untuk melindungi generasi Turki masa depan, mencegah dampak negatif input kimia (terhadap masyarakat, lingkungan, hewan), memastikan keberlanjutan produktivitas tanah dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan, mencegah erosi tanah dan erosi sumber daya genetik, melindungi jumlah dan kualitas air, melepas ketergantungan atas energi fosil dengan menggunakan sumber daya energi terbarukan dan melalui program penghematan energi, melindungi kesehatan orang-orang yang bekerja dalam produksi (on farm) dan usaha-usaha pertanian terkait, meningkatkan keamanan petani kecil melalui optimalisasi siklus produksi atau pendapatan, mendukung perekonomian dan menghasilkan makanan yang baik (sehat, bergizi) bagi masyarakat. Perspektif Turki memandang pertanian organik sebagai kebutuhan akan pengembangan teknik pertanian yang tidak mencemari udara, air dan tanah, mengurangi efek negatif dari erosi, salinitas tanah, dan hama penyakit. Pertanian organik adalah metode produksi yang ramah lingkungan, yang bertujuan untuk merespon kebutuhan ini. Pertanian organik dipahami sebagai cara yang terkontrol dan bersertifikat, yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan dan yang tidak termasuk penggunaan bahan kimia. Pertanian organik bertujuan untuk melindungi sumber- mempertahankan hidup dan kehidupan alam dengan menjaga keseimbangan alam. Dalam pertanian organik, kimia dan pestisida tidak digunakan di setiap tahap termasuk budidaya, pemanenan, klasifikasi, pengepakan, pelabelan, penyimpanan dan pengangkutan. Dengan demikian, kesehatan petani dan keluarga mereka dan akhirnya masyarakat dilindungi dan ditingkatkan.

Presisi pertanian postmodern lainnya dari Turki adalah keberhasilannya dalam mewujudkan kemandirian pertanian. Bermula dari sterilisasi ketergantungan pada utang (riba) dan dilanjutkan dengan menguatkan posisi tawar nilai tukar mata uang, Turki tumbuh menjadi negara yang masyarakatnya menjadi sangat tekun. Turki menempati urutan pertama negara produsen pertanian di Eropa, dan urutan ketujuh dunia dalam produksi pertanian. Hal itu terjadi karena adanya program bantuan yang diberikan lembaga pembangunan daerah terpencil di 81 wilayah di Turki. Erdogan adalah pemimpin Turki yang berani melakukan perubahan dan melepas ketergantungan terhadap utang. Bagi Erdogan, masalah produksi pertanian menjadi program nasional yang sama pentingnya dengan produksi senjata (seperti tank dan peralatan perang). Turki telah berhasil membangun kemandirian pertanian, namun itu saja belum cukup, karena orientasinya bukan hanya memenuhi sendiri, tapi bagaimana menjadi negara eksportir terbesar di dunia. Kemandirian pertanian diwujudkan Turki melalui kemandirian dari hulu sampai hilir. Modal ekonomi dan input produksi diproduksi secara mandiri dengan industri yang juga mandiri, bukan yang dikendalikan investor asing dan korporasi transnasional. Proses produksi dilakukan sesuai dengan karakteristik spesifik lokasi, sehingga menghasilkan ragam komoditi yang telah ada sejak ribuah tahun (komoditas lokal). Produksi dan pemasaran dilakukan oleh pelaku-pelaku bisnis lokal dan nasional. Presisi postmodern yang dapat dijadikan pelajaran adalah petani Turki bertahan dengan komoditas-komoditas lokal ditengah arus utama produk-produk luar yang dihasilkan dari rekayasa genetika yang mengalir deras. Ada perubahan radikal pada generasi muda Turki, baik terkait konsumsi pangan maupun teknologi, dari yang berkiblat ke Barat kembali bergeser ke Timur (Sule Akkoyunlu, 20135; Erol H Cakmak, 2004)




Day 10 #22HBB Vol.3 (15 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm.165-199/362


Insight/rangkuman/catatan:

PETANI DAN PELAKU PERTANIAN POSTMODERN: REKONSTRUKSI MENTAL, BUDAYA, DAN ORIENTASI PETANI DAN PELAKU PERTANIAN


Presisi Petani Postmodern

Petani postmodern yang diidamkan adalah petani muda yang terdidik, berkeahlian, berpengalaman dalam praktek pertanian (termasuk perikanan, petemakan, kehutanan dan perkebunan) yang kemudian dilengkapi dengan pendidikan tambahan, seperti pelatihan, sekolah lapang, magang (di dalam maupun luar negeri) dan kursus tani, yang kemudian tumbuh menjadi inovator, peneliti, pelaku pemasaran (supplier), pengolah hasil pertanian, pemasok saprodi, penyedia informasi, pengurus organisasi tani dan bahkan politisi (Hasansulama, 2005). Tumbuh menjadi petani yang mandiri, yang mampu menyediakan input sendiri, berproduksi secara mandiri, meningkatkan nilai tamabah sendiri dan memasarkan secara bersama dalam komunitas yang mandiri. Tumbuh menjadi petani yang tidak individualis, tetapi terekatkan dalam suatu komunitas dan tertautkan dengan jaringan komunitas yang lebih luas. Tumbuh menjadi petani yang mengembangkan komoditas yang spesifik lokasi dan genetiknya asli milik negeri. Tumbuh menjadi petani yang lepas dari kendali korporasi dan industri. Tumbuh menjadi petani yang terintegrasi dalam pengelolaan usaha, sehingga mentautkan skala-skala usaha kecil menjadi skala usaha raksasa dalam bentuk pertanian kolektif (collective farming), pertanian kooperatif (cooperative farming), komplek pertanian (estate and corporate farming). Penguasaan dan pemilikan lahan yang sempit adalah fakta sosial, tetapi pengusahaan pertanian tidak lagi dilakukan secara parsial dan individual, tetapi terintegrasi, terpadu dan menyatu dalam satu hamparan, satu manajemen usaha (one overlay, one management) yang dikembangkan diatas kekuatan kolektifitas dan harmoni komunitas. Jika meminjam istilah Kupets (2011), Adebayo (2010), Johnson (2009), Ha et al. (2009), Warker (2009) dan Faiz (2007), maka pelaku pertanian posmodern sejatinya adalah petani yang berani keluar dari arus utama pertanian modern, berani keluar dari kendali korporasi, berani menciptakan pasar sendiri, berani meninggalkan input luar dengan mengkreasi input produksi sendiri, berani meningkatkan nilai tambah, berani meninggalkan individualis, berani terintegrasi dalam komunitas, berani mengadopsi manajemen profesional dan sebagainya. Kupets (2011), Adebayo (2010), Ha et al. (2009) dan Warker (2009)  menegaskan bahwa karakteristik petani postmodern yang paling terlihat adalah usianya yang rata-rata muda, pendidikan formalnya tinggi, berpendidikan non-formal beragam (keahlian/ keterampilan dalam bidang tertentu), berpengalaman kerja di sektor tertentu di perkotaan, berjaringan lebih luas (teutama jejaring sosial) dan aktif dalam komunitas-komunitas. Karakteristik petani postmodern lainnya adalah terbuka terhadap dunia luar dan memiliki pengalaman sebagai diaspora di perkotaan maupun di luar negeri. Interaksi sosial para petani postmodern juga lebih luas, bahkan akses terhadap dunia maya (internet) dan jejaring bisnis nasional. Artinya, mereka akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi, serta mengikuti perkembangan teknologi (mean) dan mengadaptasinya untuk menguatkan aspek-aspek pertaniannya. Habermas (1981) menegaskan, bagi sebagian anggota sistem sosial berteknologi konvergensi, interaksi akan dioperasikan dari genggaman.

Petani postmodern pada umumnya mengadopsi dan menginternalisasi budaya perkotaan dengan budaya pedesaan yang lekat dengan pertanian. Secara psikologis, karakter petani postmodern adalah radikal, rasional, fleksibel, apa yang dikerjakan atau diusahakannya berorientasi, mudah beradaptasi dan mudah menerima inovasi. Karena sebagian besar petani postmodern adalah pemuda, maka sifat-sifat pemuda juga melekat di dalam dirinya, seperti kreatif, inovatif, berani mengambil risiko, rebellion, connected, communicative, collaborative, creative, convergence, berjaringan (networking), millitan (tidak cepat mengalah), memiliki motivasi tinggi (n-achievement), kritis dalam berpikir, memandang ke masa depan (futuristik), berjiwa kewirausahaan, cepat dan gesit (memiliki brain memory dan muscle memory yang kuat), cerdas dalam menghadapi rintangan (adversity) dan penuh dengan mimpi-mimpi. Menurut Ha et al (2009), Faiz (2007), dan Schiff (2005), petani postmodern adalah mereka yang berusia muda, berpendidikan relatif lebih tinggi, tanggungan keluarga belum ada (sedikit), terbuka (kosmopolit), memiliki motivasi untuk berprestasi lebih tinggi, orientasi diri positif, memiliki daya adaptasi lebih tinggi, keberanian mengambil risiko yang lebih tinggi, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologinya lebih tinggi, akses terhadap perkembangan teknologi dan sebagainya.

Secara personal, petani postmodern memiliki kecerdasan dan daya juang lebih tinggi. Secara sosial, sebagian besar berasal dari rumah tangga ekonomi yang bervariasi, rendah, sedang dan mapan. Sebagai seorang pemuda, ia berperan sebagai praktisi, agen perubahan (change agent), komunikator, innovator, inisiator, fasilitator, organisator, pemrakarsa untuk kerjasama dan jejaring (networking), dinamisator organisasi atau komunitas (lingkungan sosial), kreator, mediator, advokator dan aktor pergerakan (motivator kunci). Petani postmodern tumbuh dalam iklim teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih, bahkan terlahir sebagai generasi C (connected, convergence, collaborative, creative, contextual). Tapscott (2009) menyebutnya generasi digital. Sebuah generasi yang kreatif, adaptif dan responsif terhadap hal-hal baru, serta tumbuh sebagai produsen inovasi-inovasi yang semakin berkembang cepat dan terus menerus (continuing improvement). Petani postmodern adalah generasi petani yang melek internet, yang secara natural peka dan begitu adaptif merespon aktivitas yang bersifat kolaboratif, yang menyadari urgensi relasi. Generasi yang mengasosiasikan diri dan bergabung dalam komunitas, merekomendasikan hal baru kepada sesama, mendiskusikan dan mengemukakan pendapatnya dengan percaya diri dan lugas. Generasi internet lebih cerdas, gesit dan toleran terhadap keberagaman. Mereka berkultur pemberdayaan, sangat peduli keadilan dan masalah sosial, serta melibatkan diri dalam kegiatan komunitas.

Hasil penelitian Setiawan (2015), mengungkap bahwa petani postmodern pada umumnya adalah pelaku brain gain, yakni petani- petani muda yang terdidik dan berkeahlian yang kembali dari perantauan (perkotaan dan luar negeri) ke daerah asal atau kampung halamannya untuk beragribisnis. Mengapa beragribisnis? Karena tidak hanya bertani, tetapi juga menyediakan input, memasarkan hasil, mengolah hasil dan menyediakan jasa layanan. Pada kenyataannya, petani postmodem dapat berperan sebagai penyuluh atau pemberdaya di komunitasnya. Mereka adalah para wirausahawan yang seringkali gagasan dan produk-produknya menjadi motor perubahan. Peran- peran tersebut berbeda-beda dalam setiap diri, komunitas dan daerah, tergantung kepada kualitas pemuda, jiwa kemandirian, jiwa kewirausahaan, penguasaan modal sosial, akses atas sumber-sumber produktif, spesifikasi lokasi dan struktur kesempatan dari sistem yang semakin terbuka. Belajar dari kasus di Turki, petani postmodern adalah generasi petani yang tekun berkarya, tekun menginternalisasikan ilmu pengetahuan unggul dari negara-negara yang unggul, untuk menghasilkan produk lokal yang lebih unggul. Petani postmodem tidak ketergantungan terhadap produk-produk dan input-input dari luar, bahkan terhindar dari karakter negatif generasi muda (seperti hedon, manja, apatis, konsumtif, instan, lemah karsa dan cepat menyerah). Petani potmodem menghargai keunggulan bangsanya dan juga keunggulan bangsa lain. Petani postmodern steril dari penyakit-penyakit peradaban, seperti reproduktif (mengulang, meniru, homogen), etos kerja rendah, kurang disiplin, minimnya growth philosipy, disorientasi, inertia, permisif, parsial, tidak melembaga dan abai terhadap persoalan- persoalan sosial dan lingkungan (UNESCO, 2006).

Meskipun eksistensi pelaku brain gain di Indonesia masih minim, namun yang berperilaku sebagai petani postmodern sudah teridentifikasi di lapangan. Hasil penelitian (Setiawan, 2015) mengidentifikasi tiga tipe petani postmodern. Pertama, tipe primer, yakni petani postmodern yang fokus pada produksi usahatani (on-farm). Tipe ini diperlukan dalam upaya meregenerasi pelaku on-farm yang sebagian besar berusia tua. Namun, prosesnya harus dikendalikan agar tidak semakin mempertajam involusi pertanian, terutama akibat berbagi lahan (melalui penyakapan dan pewarisan) yang semakin memperkecil skala usaha maupun meningkatkan okupasi terhadap lahan negara (perkebunan) dan lahan konservasi (hutan). Kedua, tipe sekunder, yakni tipe petani postmodern yang fokus pada off-farm. Tipe. kedua diperlukan dalam upaya meregenerasi pelaku off-farm (seperti pengolah, pemasar, distributor, pelayanan input, pengemas, penyuluh dan lainnya) yang juga sebagian besar berusia tua. Selain untuk meregenerasi, juga untuk meningkatkan posisi tawar tipe primer. Namun prosesnya harus tetap dikendalikan agar tidak menciptakan involusi baru pada aspek kelembagaan dan pengolahan. Ketiga, tipe tersier, yakni tipe petani postmodern yang konstruktif (petani model), karena potensial menjadi pengendali involusi. Bahkan, ketika keberadaannya ditingkatkan, tidak akan mempertajam involusi. Selain mengkreasi lapangan kerja dan usaha di pedesaan, juga usahanya adaptif dengan lingkungan dan positif terhadap upaya pelestarian lingkungan (ekologis).

Secara eksplisit, pelaku brain gain yang benar-benar menampilkan karakter petani postmodern adalah petani tipe 3. Tipe 3 merupakan representasi petani muda yang berkompetensi, yakni berpendidikan tinggi, berkeahlian, terampil, kratif dan inovatif dalam bertani, peduli terhadap sesama, adaptif terhadap keragaman budaya, mengedepankan keseimbangan ekologis (kualitas) dan menghasilkan produk, proses maupun layanan yang berdaya saing. Secara riil, persentase petani postmodern yang kompeten (tipe 3) tidak lebih dari 10 persen (tahun 2015). Sejatinya, tipe 1 dan 2 juga memiliki karakter maju, namun karena sifat usaha pertaniannya homogen dan mengulang-ulang usaha yang dikembangkan sebelumnya (reproductive), maka kurang menciptakan nilai (value), kurang menciptakan lapangan kerja dan usaha, kurang mendorong terjadinya diversifikasi usaha dan tidak lepas dari kendali modernitas. Tipe 1 dan 2 lambat beradaptasi, karena tidak steril penuh dari kendali input luar produk industri dan korporasi. Oleh karena itu, maka petani postmodern yang inovatif (tipe 3) perlu ditingkatkan dan yang reproduktif (tipe 1 dan 2) perlu dikendalikan, agar tercipta keseimbangan. Keseimbangan bukan hanya mengantisipasi involusi, tetapi juga positif terhadap posisi tawar dan antisipatif terhadap fluktuasi pasar. Petani Tipe 3 positif terhadap kedinamisan komunitas, karena melahirkan petani muda teladan yang dipercaya petani pada umumnya. Jika keteladanannya dilengkapi dengan kapasitas kepemimpinannya, maka regenerasi pengelola komunitas akan terjamin. Pada kenyaataannya, petani postmodern yang di perantauannya aktif dalam berbagai organisasi, lebih adaptif, kreatif dan inovatif dalam beragribisnis di pedesaan. Selain itu, jejaringnya lebih luas dan aktif sebagai pengelola dan pemimpin kelembagaan pertanian pedesaan. Persoalannya, karena brain gain yang dilakukan petani postmodern masih bersifat swadaya, maka eksistensinya masih sangat minim.

Belajar dari kasus di atas, maka dapat ditegaskan bahwa pelaku brain gain yang positif terhadap pembangunan daerah adalah yang memiliki kesiapan dan kompetensi (Tipe 3). Sebagai bahan pertimbangan, para pelaku brain gain di China, India, Korea Selatan dan Taiwan, pada umumnya adalah ahli-ahli dibidang ilmu dasar (science), seperti kimia, matematika, fisika, biologi, oceanology, biotechnology, nanotechnology, agrobiosains, agroindustry, teknologi informasi, dan sain terapan lainnya (Ha et al. 2009). Semua itu tidak terjadi secara alami atau kebetulan, tetapi didesain secara formal melalui kebijakan brain gain. Ada dua skenario yang diterapkan dalam kebijakan brain gain, yakni: (1) membalik kepedulian perantau intelek yang sudah lama dan sukses bekerja/berusaha dirantau, dan (2) mengirim dan membalik kembali pelajar. Bagi para pelajar China dan Taiwan, pergi (merantau) sekolah ke Amerika Serikat, Canada, Eropa Barat dan Jepang, tidak asal pergi, tetapi dipandu dengan desain negara (pemerintah pusat/provinsi, pengusaha, perguruan tinggi dan komuntias) yang bersifat jangka panjang. Bidang apa yang akan dipelajari, negara mana yang akan dituju, usaha apa yang akan dikembangkan nanti, semua sudah tertera dalam skema kebijakan brain gain yang jelas. Bahkan, insentif (beasiswa, gaji besar), fasilitas, infrastruktur dan dispensasi-dispensasi telah disiapkan oleh negara. Apa yang dilakukan China, Taiwan, India dan Korea Selatan menegaskan bahwa untuk menghasilkan pelaku brain gain yang produktif harus diawali dari desain brain gain yang terencana.

Friedman (2009) dan Mahbubani (2011) menegaskan bahwa 80 persen mahasiswa China, India, Taiwan dan Korea Selatan yang kuliah di perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat dan Eropa Barat mendalami bidang ilmu-ilmu dasar dan rekayasa, seperti fisika, kimia, matematika, biologi, biotech, nanotech, neurotech, infotech, dan sebagainya. Tidak hanya sampai bidang ilmu, untuk memproduktifkan sekitar 300 doktor per tahun yang kembali dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, China telah mempersiapkan wadah-wadah khusus sesuai bidang ilmu, dari mulai hub (kota-kota pusat pengembangan IT) sampai rural innovation center (RIC). Bahkan, untuk menciptakan keseimbangan pembangunan dan mendorong kluster-kluster pertumbuhan di seluruh wilayah, China juga membangun sistem pendidikan bermutu sampai ke tingkat desa, membangun infrastruktur yang mentautkan seluruh wilayah, memperbaiki pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, transportasi, logistik, asuransi, jasa keuangan, permodalan) dan sebagainya. India juga melakukan hal yang sama, untuk menarik SDM berkualitasnya (ahli-ahli software) dari Amerika Serikat dan Eropa Barat, Bangalore yang dulu kumuh disulap menjadi pusat bisnis IT dunia. Tidak hanya itu, untuk mengoptimalkan brain gain internal, India juga mengembangkan inovasi hemat (frugal innovation) untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama di pedesaan. Frugal innovation bukan hanya komputer murah, transportasi murah dan pelayanan murah, tetapi juga teknologi pertanian murah, sumber energi murah, alat komunikasi murah, pangan murah dan sebagainya. Bahkan, Malaysia yang setiap tahunnya mengirimkan ratusan mahasiswa untuk belajar Ilmu Kedokteran dan Farmasi ke Indonesia, telah mempersiapkan kontrak, insentif dan infrastruktur kesehatan (rumah sakit) di seluruh perbatasan negara sebagai fasilitas atau ruang untuk memproduktifkan mereka.

Oleh karena itu, belajar kepada Jepang, China, India, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Iran, Afrika Utara dan negara lainnya yang telah lebih dahulu menerapkan politik brain gain, maka sudah saatnya Indonesia memiliki kebijakan brain gain. Kebijakan yang tidak instan, tetapi didesain secara sistematis berdasarkan peta jalan (road map) yang disusun secara berkelanjutan. Kebijakan yang terintegrasi dan terkoordinasi, yang core implementasinya berbasis riset-teknologi dan pendidikan, ketenaga-kerjaan, kepemudaan, pertanian dan KPDT yang ditangani secara profesional dan konsisten. Kebijakan yang didesain secara bersama dari aras paling inti (desa-desa di daerah), sehingga menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan daerah dalam jangka panjang. Setiawan (2015) mengungkap banyak harapan dari pelaku brain gain swakarsa dan tokoh masyarakat bahwa kehadiran pemuda terdidik, terampil dan berkeahlian di pedesaan sangat diperlukan, karena terbukti mampu membawa banyak perubahan positif, baik terhadap kedinamisan sektor pertanian maupun kedinamisan kelembagaan pedesaan. Harapannya, melalui kebijakan brain gain yang terencana, kelahiran dan kehadiran petani postmodern yang menguasai ilmu unggul yang didapat dari negara-negara yang sedang berbudaya unggul dan menjadi pusat keunggulan, dapat diintegrasikan dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai keunggulan lokal. Dengan itu akan dihasilkan kreasi dan inovasi komoditas, pengetahuan dan teknologi pertanian yang berlabel lokal namun unggul secara global.


Petani Postmodern


Berpatokan pada "gagasan besar" paradigma postmodern yang intinya membongkar secara radikal nilai-nilai yang sembunyi dibalik kebenaran relatif. Ada pemikiran yang lebih dari sekedar kritis terhadap kebenaran relatif, tetapi membongkar secara radikal isme-isme yang tersembunyi dibalik modemisme, pembangunanisme dan metafor- metafor positivistik dan postpositivistik. Sosok petani postmodem pun tidak akan terlepas dari karakter dasar paradigmanya, yakni membongkar secara radikal dan menawarkan kebenaran ideal. Positivistik dan postpositivistik dipelajari, tetapi bukan untuk diadopsi, melainkan untuk dibongkar secara radikal nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Ada banyak perspektif kebenaran ideal yang dilembagakan, tetapi yang diadopsi dalam pemikiran ini adalah yang berlandaskan referensi ideal, yakni kebenaran mutlak yang datang dari Tuhan. Kebenaran yang terkandung di dalam Al-Qur'an. Alloh SWT berfirman "dan Kami turunkan Al-Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al-Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran" (QS. Al-Israa': 105). Al-Qur'an adalah hikmah (ilmu), sumber dari segala sumber kebenaran yang terjamin orisinalitasnya. Sejatinya, tentang ilmu apapun (fisika, kimia, matematika, biologi, sosiologi, ekonomi, pemerintahan, astronomi, atomisasi, metalurgi, pertanian, peternakan, maritim dan lainnya) dasarnya ada di dalam Al-Qur'an. Lantas "nikmat Tuhan manakah yang akan kamu dustakan (QS Ar Rahmaan: 13)". Oleh karena itu, hal utama yang ditanamkan dan melekat pada diri seorang petani postmodern adalah pemikiran dan tindakan bertani (atau beragribisnis) yang berlandaskan kebenaran mutlak (Al-Qur'an). Kebenaran yang tidak hanya menjamin kesejahteraan dan kebahagian hidup di dunia, tetapi juga di akhirat. Petani postmodern adalah petani yang pada aspek-aspek praktisnya menggunakan penjelasan (tafsir) dari sunnah atau hadist Rasulullah Muhammad Saw. Petani postmodern dijamin akan tertata dan beretika dalam bertani dan beragribisnisnya. Jika acuan kebenarannya sudah ideal, maka praksisnya dijamin unggul dalam seluruh sistem. Selanjutnya petani postmodern dapat didefinisikan lebih praksis, seperti generasi petani yang beradab, yang berorientasi maslahat, yang beridentitas, yang percaya diri, yang berharga diri, yang memiliki rasa bangga dan pemihakan atas komoditas dan kreasi pertanian bangsanya sendiri. Generasi petani yang berbudaya, berkarsa dan berjiwa dalam bertani. Generasi petani yang bukan saja berperan sebagai pelaku (produsen), tetapi juga pencipta input, peneliti dan penghasil teknologi, pendidik, konsultan, komunikator, inovator dan manajer pertanian. Generasi petani yang berprinsip mengkreasi dan menginovasi, bukan menghabisi dan mengeksploitasi sumberdaya. Generasi petani yang menghasilkan dan menerapkan input internal, baik dalam berproduksi maupun dalam pengolahan hasil. Generasi petani yang mengandalkan ketekunan, ilmu pengetahuan dan teknologi hasil karya (dan internalisasi) sendiri. Generasi petani yang dominan berusia muda, yang sebagian besar terlahir dari generasi era bonus demografi. Generasi petani yang terdidik dan berkeahlian, yang menginternalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya. Generasi petani yang terbuka terhadap dunia luar (berwawasan global) namun memihak ke dalam. Generasi petani yang mengembangkan dan mengunggulkan komoditas spesifik lokal secara terintegrasi. Generasi petani yang meningkatkan nilai tambah dan rantai nilai komoditas. Generasi petani yang kreatif dan inovatif dalam produksi, penyediaan input, pengolahan dan pelayanan. Generasi petani yang memiliki kemampuan praktik agribisnis, mendesain dan merencanakan bisnis, mengelola bisnis, menguasai jaringan dan kerja sama bisnis, dan berogranisasi dalam berbisnis.

Petani postmodern adalah generasi petani yang lebih dari sekedar kritis, tetapi radikal membongkar isme-isme, episteme-episteme, metode-metode dan metafor-metafor dibalik modernisasi. Generasi petani yang steril dari kendali kebenaran relatif yang miring ke kiri (kapitalis-komunis) maupun ke kanan (liberalis-kapitalism). Generasi petani yang steril dan lepas dari kendali isme-isme dan metafor-metafor pembangunan. Generasi yang steril dari ketergantungan terhadap input luar dalam berusahatani, modal luar (utang dan riba) dalam berbisnis dan berorientasi lebih dari postproductivist. Generasi petani yang mandiri dalam memproduksi input (sarana) produksi, dalam berusahatani, dalam menyelesaikan masalah, dalam memasarkan dan dalam meningkatkan nilai tambah hasil produksi usahatani. Generasi petani yang belajar dan menginternalisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi unggul dari negeri-negeri berperadaban unggul. Generasi petani yang mengkreasi dan menginovasi keunggulan lokal dengan mengadaptasi keunggulan global. Generasi petani yang menguasai, mengadaptasi dan menginternalisasi teknologi komunikasi dan jejaring informasi. Generasi petani yang lebih dari sekedar ramah terhadap lingkungan, tetapi juga melestarikan, mengajarkan dan meregenerasikan nilai-nilai relasi dengan alam. Generasi petani yang memperhatikan ketertataan sistem dan keseimbangan ecosystem, sociosystem dan geosystem.

Petani postmodern adalah petani yang terintegrasi dan berpartisipasi dalam institusi (komunitas), yang satu dengan lainnya saling menguatkan dan juga tertautkan dengan ruang komunitas yang lebih luas. Petani postmodern adalah generasi petani yang mengelola usaha yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Generasi petani yang tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga wirausaha berbasis pertanian di pedesaan. Generasi petani yang menciptakan daya tarik dan nilai tambah komoditas, sehingga usaha bukan lagi dikendalikan oleh pasar, tetapi memikat dan menciptakan pasar. Generasi petani yang mengintegrasikan, mengadaptasi, menginternalisasi dan mengelola ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri dalam usahanya, sehingga tercipta produk yang selalu kreatif dan inovatif, yang nilai tambahnya berumpan balik secara adil kepada semua pihak yang terlibat (value cyclic). Generasi petani yang kreatif dan inovatif berkelanjutan, sehingga bukan menciptakan daya saing tetapi membangun daya sanding Generasi petani yang mandiri dalam bertani, yang tidak dikendalikan korporasi, yang tidak dipermainkan pasar, yang mengutamakan keunikan lokal, yang mengkreasi inovasi lokal, yang tidak terjebak inovasi global. Generasi petani yang menciptakan pasar secara berkelanjutan. Generasi petani yang melangkah paling jauh, yang memiliki keinginan dan keberanian. Generasi petani yang menurut Dale Carnegie memiliki keinginan untuk meninggalkan garis pantai dan berani mengarungi samudera yang penuh dengan tantangan.

Konsep petani postmodern akan meminjam salah satu definisi petani dari A.T Mosher, yakni petani sebagai manajer. Meskipun terkesan memutar arah jarum jam (setback), namun petani dalam definisi tersebut sangat berharga dan dihargai. Petani sebagai manager dalam usahanya sama dengan petani sebagai pemimpin dalam perusahaannya. Sebagai manusia yang diberi amanah (dipercaya oleh Pencipta) mengelola lahan dan tanaman, yang dituntut jujur karena "apapun input, proses dan outputnya" bersumber dari kemandirian dan agar menghasilkan produk yang mencukupi kebutuhan dituntut cerdas mengelola. Dalam konteks ini, yang namanya petani sangat manusiawi. Dalam kerangka berpikir kebenaran ideal, petani adalah pemimpin yang harus bertanggungjawab kepada apa yang diamanatkannya. Sebuah kondisi yang sangat paradoks dengan petani zaman sekarang yang segalanya serba ditentukan oleh orang lain (industri input) dan hasilnya ditujukan untuk orang lain (pasar). Petani hanya berperan sebagai robot-robot atau zombi- zombi, ada tetapi tidak berjiwa, tidak menjadi manajer, tidak amanah (karena sangat eksploitatif), tidak mandiri (karena dikendalikan input dan pasar). Jika petani pemilik penggarap saja nasibnya sudah seperti itu, apalagi yang namanya petani penggarap dan petani penyewa. Pertanian modern benar-benar menempatkan petani secara tidak manusiawi, padahal profesinya menjadi fondasi bagi bangkit, mapan dan bertahannya suatu peradaban. Oleh karena itu, melalui pertanian postmodern petani dihargai secara manusiawi.

Meminjam konsepsi pemimpin yang berjiwa kepemimpinan, yang humanis, yang dicontohkan secara Islami oleh Rasulullah Muhammad Saw. Maka dapat ditegaskan bahwa petani postmodern adalah petani yang dapat dipercaya dan terpercaya (amanah), petani yang benar dan jujur (siddiq), petani yang cerdas, kreatif dan inovatif (fathonah) dan petani yang menyampaikan atau berbagi (tablig). Jika keempat sifat tersebut melekat pada petani postmodern, maka pertanian postmodem akan terwujudkan.

Proposisinya Pertama, petani postmodern yang terpercaya (amanah) akan selalu menjaga alam, keragaman biodiversity, lahan, tanaman, ternak, ikan, air dan sumber air, udara dan lingkungan yang diamanahkan Pencipta kepadanya. Akan selalu menjaga kepercayaan orang tua yang mewariskan lahan dan usaha kepadanya. Akan selalu menjaga dan menjamin kepercayaan orang lain yang membutuhkan. Akan selalu menjaga keteraturan dan keseimbangan.

Kedua, petani postmodern yang benar dan jujur (siddiq) akan selalu berusaha untuk bertani, betemak, membudidayakan ikan, merkebun, mengelola hutan, mengolah hasil usaha, menimbang, mengemas dan menggunakan sumberdaya pendukungnya secara benar dan jujur. Akan baik, benar dan jujur dalam menggunakan input-input, dalam merealisasikan proses-proses, mengelola output-output yang dihasilkan, mengantisipasi dampak-dampak yang ditimbulkan dan mensyukuri outcome- outcome yang didapatkan. Petani postmodern akan steril dari perilaku menyimpang dan membahayakan diri, orang lian dan lingkungannya, baik dalam menggunakan input, dalam produksi, dalam pemeliharaan, dalam mengolah hasil dan dalam memasarkan. Petani postmodern tidak akan mempermainkan angka-angka dan timbangan, tidak akan mengakhirkan kewajiban (zakat, infaq dan sedekah). 

Ketiga, petani postmodern yang cerdas, kreatif, inovatif, adaptif dan antisipatif (fathonah) akan selalu memperhatikan keteraturan dan keseimbangan sistem dalam bertani. Akan selalu kreatif, inovatif, adaptif dan antisipatif dalam bertani. Akan selalu mengedepankan dan memperhatikan keberlanjutan (jangka panjang) dalam kesungguhan dan keseriusan menjalani ikhtiar sekarang (jangka pendek dan jangka menengah). Akan selalu bertumpu pada keunggulan dan keunikan lokal yang menjadi identitas daya saing berkelanjutan. Akan selalu mengintemalisasi keunggulan-keunggulan dan nilai-nilai internal dengan keunggulan global. Jurgen Habermas dan Anthony Giddens sudah sejak awal menegaskan "sekalipun dalam ruang publik, lokal spesifik yang unik akan selalu menang ketika berhadapan dengan globalitas". Bagi petani postmodern yang cerdas, bertani bukan sekedar pemenuhan perut, tetapi amal ibadah (perwujudan ilmu). Petani yang cerdas tidak akan mudah tertipu dan ditipu oleh iming-iming, kreasi dan komuflase industri. Ketika menggunakan teknologi, maka kemaslahatan, keteraturan dan keseimbangan lingkungan (ecology), sosial budaya (socially), ekonomi (economy) dan agrogelogi (geology) akan selalu menjadi pertimbangan. Petani yang cerdas akan menganalisis dan memperhitungkan baik-buruk dan positif-negatif dampak dari teknologi yang diadopsi. Petani postmodern yang cerdas akan mendahulukan membaca makna dibalik purwarupa yang dijejalkan dari luar atau dari lingkungan global. Petani postmodern yang cerdas akan selalu mengedepankan kemaslahatan dan keberkahan pada ujung ikhtiar pertanian postmodern yang dijalankan. Petani postmodern yang cerdas akan menciptakan pasar sendiri, sehingga bukan bersaing tetapi bekerja sama dan bersanding dengan yang lain.

Keempat, petani postmodern yang menyampaikan dan membagikan (tabligh) akan selalu berbagi inovasi, informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, hasil dan pengalaman yang baik dan benar secara baik dan benar juga. Akan menyampaikan secara amanah dan cerdas. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dari pengalaman berusaha dan belajarnya akan ditempatkan sebagai amanah yang wajib diamalkan, dibagikan dan didiseminasikan kepada yang siapa pun yang membutuhkannya. Tentu bukan hanya itu, yang disampaikan dan yang dibagikan (diamalkan) juga adalah hasil-hasil kreasi dan inovasinya, baik berupa input internal (ramah, organik, lestari), proses produksi, hasil produksi, hasil pengolahan, dampak proses dan outcome dari keseluruhan proses produksi. Menyampaikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dari pengalaman usaha dan pengalaman belajar kepada petani lainnya merupakan bentuk penyuluhan, komunikasi dan pemberdayaan. Menjadi kewajiban bagi yang berdaya untuk memberdayakan yang lemah kurang berdaya. Menyampaikan dan berbagi tidak meski yang bersifat intangible, tetapi juga yang riil. Menjadi kewajiban bagi seorang petani muslim untuk berbagi hasil kepada yang hak menerimanya, baik dalam bentuk zakat, infaq maupun sedekah. Melalui konsep tabligh juga hasil usahatani dan hasil olahan disampaikan kepada mereka yang membutuhkan, melalui proses tukar menukar dan transaksi di pasar. Adalah fakta, bahwa banyak masyarakat yang tidak mampu memproduksi kebutuhan konsumsi (pangan) sendiri. Oleh karena itu, sebagian kelebihan produksi dan atau kreasi-inovasi produk-produk turunannya dapat disampaikan kepada mereka-mereka yang membutuhkan. Konsep menyampaikan harus dimaknai secara luas, termasuk menyampaikan amanah, kecerdasan, kebenaran dan kejujuran kepada generasi-generasi yang melanjutkan. Menyampaikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperolehnya dari pengalaman usaha dan belajar kepada masyarakat (petani lainnya, pelajar, mahasiswa, peneliti dan peminat) yang membutuhkan Inilah hakekat maslahat dan berkelanjutan dalam konteks pertanian postmodern.

Kelima, petani postmodern yang selalu melangkah secara terus menerus dari tahapan tahu, mau, mampu, bisa, terampil sampai menjadi ahli (teladan yang abdan syakuro). Petani yang tidak sekedar tahu, tetapi dilanjutkan dengan amal (praktik, kerja, usaha dan mengembangkan) secara berulang-ulang (cyclic, dialectic, long life), sehingga menjadi terampil dan terus menerus meningkatkan keterampilannya, sehingga menjadi ahli yang berperan sebagai teladan, profesional, entrepreneur, role model, dan pemberdaya. Petani yang berani berbeda dalam paradigma, yang berani mengambil peluang, selalu menjadi yang pertama dalam berusaha (creator, innovator and innisiator) dan berpikir secara berbeda (divergent) dalam mengembangkan usaha. Petani yang seni usaha dan bisnisnya tidak didasari keserakahan atau maksimalisasi (hyper provit), tetapi dibatasi oleh seni cukup, sehingga memberi kesempatan kepada pelaku usaha yang lain untuk tumbuh dan berkembang. Memulai bisnis dari praktik, bukan dari teori dan rencana di atas meja yang sering kali membelenggu akal dan amal. Memulai dari bisa dan terampil, baru mendalami teori. Kegagalan dan kerugian yang pernah dialami benar-benar dijadikan sebagai tujuan dan sekaligus titik pijak keberhasilan. Petani yang memiliki produk sendiri, memproduksi sendiri, mengolah sendiri dan mengembangkan pasar sendiri. Petani yang bukan hanya berani mengambil peluang dan bebas bepikir, tetapi berani mewujudkan, berani bekerja keras, berani bersaing, berani menghargai lingkungan dan pandai bersyukur. Petani yang bertanggung jawab (responsible), bertanggung gugat (acountable), ramah terhadap lingkungan, menjaga relasi sosial (komunikatif), berkualitas dalam pelayanan, memiliki fleksibilitas tinggi, serta memulai belajar dan merencanakan bisnisnya dari lapangan, dari praktik dan dari kenyataan yang dirasakan atau dialami. Petani yang pandai memetakan dan cepat menangkap peluang pasar. Petani yang berani mengambil risiko, yang pantang menyerah, yang memiliki kemauan (tekad) yang kuat, yang memiliki komitment tinggi, yang melindungi yang dipimpinnya dan setelah selesai bekerja dan berusaha, menyerahkan hasil kerjanya kepada Alloh SWT.