Sebuah tulisan bersama Rumpun Kajian Pangan ITB. Semoga bermanfaat :)
Indonesia Masih Impor Beras, Apa yang Salah?
Ketika kita berbicara tentang pangan tentu tidak hanya tentang beras,
tetapi satu kesatuan kompleks mengenai kebutuhan konsumsi pangan dari suatu
negara. Tapi sebelum beranjak membahas ketahanan pangan, kemandirian pangan,
maupun kedaulatan pangan nasional, mari kita simak apa yang terjadi dengan
perberasan nasional. Ya, beras, sebuah komoditas eksklusif yang selalu menjadi sorotan
media, khalayak umum, maupun pemerintah. Ketahanan pangan sangatlah luas cakupannya
dan menyentuh berbagai sektor dan komoditas yang akan dibahas kemudian, tapi
melalui beras, yang selalu menjadi “komoditas eksklusif”, kita bisa melihat
sedikit gambaran problematika pangan di negeri ini. Negeri kepulauan tropis besar
dengan sinar matahari dan curah hujan sepanjang tahun yang seharusnya menjadi
lumbung pangan dan tak kekurangan sumber daya bahkan berpotensi menjual hasil
sumber dayanya ke negara lain, tapi ternyata masih kesulitan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Mari kita simak!
Berdasarkan Data Statistik Pangan 2014 dari Badan
Ketahanan Pangan Nasional, pada tahun 2013 Indonesia memproduksi beras sebanyak
40.075.800 ton dengan kebutuhan 33.087.800 ton, mengekspor beras sebanyak 2.600 ton dan mengimpor beras sebanyak 472.700
ton sehingga menghasilkan stok akhir beras 9.718.000 ton. Pada tahun 2014,
impor beras dilipatgandakan menjadi 844.163 ton. Setelah pada awal 2015
pemerintah sempat sesumbar menyatakan tidak akan mengimpor beras, akhirnya pada
akhir tahun 2015 pemerintah harus kembali mengimpor 1,5 juta ton beras dari
Thailand, Vietnam, dan Myanmar, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Sebuah
fakta yang menohok. Meskipun produksi beras nasional dianggap mencukupi
kebutuhan tapi pemerintah harus tetap mengimpor beras karena adanya
keterlambatan panen, dibutuhkannya stok cadangan, memenuhi permintaan daerah yang
masih kekurangan stok beras, dan melakukan stabilisasi harga. Sebuah keputusan
krusial yang dipertanyakan oleh banyak pihak di tengah upaya peningkatan
produksi nasional dan konsistensi negara lain yang bisa mempertahankan bahkan
meningkatkan produksinya.
Dari data BPS mengenai Impor Beras
Menurut Negara Asal Utama dari tahun 2000-2014 pada tabel diatas tercatat lebih
dari 10 negara merupakan negara pengekspor beras ke Indonesia pada kurun waktu
15 tahun terakhir, diantaranya Myanmar, Singapura, Taiwan, Amerika Serikat,
Pakistan, India, Tiongkok, dan yang terbesar Thailand dan Vietnam dengan
kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Mengapa hal tersebut
terjadi? Para analis dan ekonom pertanian telah memperkirakannya jauh-jauh
hari, terutama setelah kualitas data produksi semakin sulit diverifikasi.
Dampak dari buruknya akurasi data tentu tidak hanya pada kredibilitas
kebijakan, tetapi jauh sampai pada kesejahteraan petani dan masyarakat umum. Tafsir
kebijakan rencana impor beras, setidaknya meliputi akurasi data estimasi
produksi, asimetri informasi harga dan struktur pasar beras dalam negeri, serta
inkonsistensi kebijakan perberasan secara umum menjadi permasalahan yang
menyebabkan impor beras menjadi pilihan yang selalu diambil pemerintah setiap
tahun. Tentu hal ini tidak akan terjadi apabila memang produksi beras nasional
melalui produksi padi, gabah kering panen, gabah kering giling, dan distribusi rantai
pasok beras dapat menjamin ketahanan pangan nasional sampai pada stok cadangan
yang dibutuhkan.
******
Apa yang Terjadi?
Apa yang terjadi sehingga produksi beras selalu tidak sebanding dengan
permintaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan data bahwa Indonesia
merupakan negara pengkonsumsi beras per kapita terbesar di dunia? Apakah tidak
ada tindakan peningkatan produksi dengan kenyataan kebutuhan tersebut? Apakah
hal tersebut diabaikan dengan fakta sebaliknya justru terjadi kecenderungan menurunnya
luas area produksi padi di Indonesia yang mengindikasikan semakin
ditinggalkannya penggarapan sawah? Apa yang salah? Impor merupakan hal yang
lumrah dilakukan suatu negara untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk Indonesia.
Tapi rencana impor beras perlu dilihat sebagai alternatif terakhir dan bukan
sebagai rutinitas kebijakan, apalagi sampai terjadi adiksi. Kesejahteraan petani
Indonesia dan masyarakat umum tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada pasar
pangan global, apalagi pasar yang terdistorsi. Benarkah terjadi adiksi
kebijakan impor beras?
Alih fungsi
lahan yang masif dan tak terkendali, petani gurem yang tak kunjung
terselesaikan masalahnya, produksi yang tidak optimal, pelaksanaan praktis lapangan yang tidak sesuai
dengan konsep seharusnya, tidak adanya best
practice sebagai contoh produksi, tidak adanya penanganan dan antisipasi
terhadap perubahan iklim, kurang dikembangkannya riset dan teknologi serta
sulitnya pelaksanaan dan penerapannya di lapangan, rantai pasok yang tak
terkontrol, adanya mafia pangan yang mencengkram, dan inkonsistensi kebijakan
serta regulasi pemerintah merupakan hal yang saling terkait yang membuat
masalah beras tak kunjung terselesaikan dari tahun ke tahun dan mengharuskan
impor kembali menjadi “penyelamat”.
Apakah hal ini hanya terjadi pada beras yang menjadi “komoditas eksklusif”? Sepertinya tidak, data yang ada menunjukkan bahwa komoditas lain mengalami hal serupa.
Laporan Kinerja Satu Tahun Oktober 2014-Oktober 2015
yang dirilis oleh Kementerian Pertanian
menyatakan hasil yang positif tapi kenyataannya tidak sepenuhnya terlaksana.
Kabinet Kerja dalam satu tahun telah menghasilkan
capaian kinerja di sektor pertanian meliputi: (1) tingginya peningkatan
produksi pangan strategis, (2) tidak ada impor beras dan penghematan devisa 52
triliun rupiah melalui kebijakan pengendalian rekomendasi impor dan mendorong ekspor,
(3) mulai modernisasi pertanian, dan (4) mulai bangkitnya investasi di sektor
pertanian. Sesuai dengan target Nawacita 2015-2019, telah direalisasikan
pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,56 juta ha atau 52% dari
target 3,0 juta ha, pembangunan 1.000
Desa Mandiri Benih sudah 100% dan pada tahun 2016 dimantapkan, penyiapan 1.000 Desa Organik, serta
cetak sawah 23.000 ha. Data yang disampaikan relevan sampai Agustus 2015. Dan
tak bisa dipungkiri ternyata pada November akhir 2015 akhirnya pemerintah
kembali mengimpor 1,5 juta ton beras dari Thailand, Vietnam, dan Myanmar, dengan
dalih hanya sebagai cadangan dan adanya keterlambatan serta ketidakpastiaan
panen akibat terpaan El Nino. Pada
2016 pun diprediksi impor beras akan terus meningkat menembus 2 juta ton
berdasarkan laporan bertajuk Rice Market Outlook yang dipublikasikan US Department of Agriculture yang mengungkapkan
bahwa Indonesia diprediksi masih akan mengimpor beras hingga total 2 juta ton
selama 2016. Lembaga tersebut menggarisbawahi bahwa sejumlah negara telah memiliki kesepakatan resmi untuk
mengekspor beras ke Indonesia seperti Thailand dan Vietnam. Adapula Pakistan
yang dalam waktu dekat akan mengekspor berasnya ke Indonesia. Meskipun Perum
Bulog belum melaksanakan secara penuh, tapi hal ini merupakan sebuah keputusan
krusial yang harus dikritisi apabila memang dilaksanakan oleh pemerintah. Salahkah
apabila anggapan adiksi kebijakan impor beras ternyata memang sedang benar terjadi?
Lantas bagaimana kondisi alih fungsi lahan, produksi padi, penggunaan
teknologi, dan rantai pasoknya di lapangan sehingga menyebabkan impor beras
masih terus dilakukan pemerintah sebagai “penyelamat”? Bagaimana kondisi nyata
yang ada pada petani di lapangan? Uraian selanjutnya akan menjelaskan problematika
yang ada dan usaha yang dilakukan untuk menyelesaikannya.
******
Teknologi,
Modernisasi, dan Mekanisasi Pertanian.
Teknologi, Modernisasi, dan Mekanisasi Pertanian.
Pemerintah, sesuai dengan laporan yang diberikan, mengupayakan
berbagai penerapan teknologi di lapangan dengan berbagai bantuan yang
diberikan. Menurut Laporan Kinerja Kementerian Pertanian Oktober 2014-Oktober
2015 diungkapkan bahwa modernisasi pertanian melalui mekanisasi merupakan
solusi yang efisien untuk menggantikan pola usaha tani manual dan mengatasi
keterbatasan jumlah tenaga kerja. Minat generasi muda pada pertanian meningkat
seiring pemanfaatan alat dan mesin pertanian (alsintan). Mekanisasi ini sudah
lama dilakukan, namun masih dalam jumlah yang terbatas. Pada tahun 2014 hanya
mampu disediakan alsintan kurang dari 10 ribu unit, lalu mulai tahun 2015
dilakukan mekanisasi besar-besaran dengan alsintan 62.221 unit, dan tahun 2016
akan disediakan lebih banyak lagi. Alsintan meliputi: Rice Transplanter,
Combine Harvester, Dryer, Power Thresher, Corn Sheller, Rice Milling Unit (RMU),
traktor, dan pompa air. Mekanisasi ini menghemat biaya produksi ±30% dan menurunkan
susut panen 10%. Mekanisasi mampu menghemat biaya olah tanah, biaya tanam, dan
biaya panen sebesar Rp2,2 juta/ha dari pola manual Rp7,3 juta/ha.
Laporan tersebut menyatakan bahwa mekanisasi tidak
hanya difokuskan untuk mengolah tanah dengan traktor dan pompa air, namun juga
untuk berbagai tahap dalam proses produksi padi. Untuk mekanisasi menanam padi
digunakan rice transplanter. Alat ini mampu menghemat tenaga dari pola
manual 19 orang/ha menjadi 7 orang/ha dan biaya tanam menurun dari Rp1,72
juta/ha menjadi Rp1,1 juta/ha. Pada APBN tahun 2015 didistribusikan 5.563 unit rice
transplanter kepada kelompok tani. Lalu power
weeder digunakan untuk mekanisasi untuk menyiang rumput yang mampu menghemat tenaga kerja
dari pola manual 15 orang/ha menjadi 2 orang/ha dan biaya menyiang turun dari Rp1,2
juta/ha menjadi Rp510 ribu/ha. Combine
harvester digunakan sebagai alat mekanisasi pemanenan padi yang mampu menghemat tenaga
kerja dari pola manual 40 orang/ha menjadi 7,5 orang/ha dan dapat menekan biaya
panen dari Rp2,8 juta/ha menjadi Rp2,2 juta/ha. Alat ini mampu menekan
kehilangan hasil (lossis) dari 10,2% menjadi 2%. Apabila dihitung secara
nasional dengan produksi 2014 sebesar 70,8 juta ton, berarti potensi kehilangan
hasil 7 juta ton atau setara Rp 24,5 triliun. Dengan menggunakan combine
harvester, maka dapat menyelamatkan potensi kehilangan hasil 17 triliun
rupiah. Pada tahun 2015, didistribusikan 2.790 unit combine harvester kepada
kelompok tani. Pemerintah menargetkan bahwa modernisasi akan
membuat usaha pertanian lebih efisien, produktif, berdaya saing, pendapatan
tinggi, dan meningkatkan nilai tambah.
Sebuah pencapaian dan usaha positif yang harus
diapresiasi dan kita dukung. Tetapi apabila kita lihat lebih jauh, banyak hal cukup
mengkhawatirkan dan menyakitkan terjadi di lapangan, dimana alat produksi yang
ada hanya sampai pada penyuluh pertanian pada daerah tersebut karena terbengkalai
dan tidak digunakan. Petani dan penyuluh pertanian yang ada tidak bisa
menggunakan dan masih memiliki ketidaktahuan yang cukup tinggi dalam
mengoperasikan alat secara optimal sehingga akhirnya kembali beralih kepada
cara manual dan tradisional. Keengganan petani dalam menerapkan modernisasi
pertanian secara penuh masih sangat tinggi di lapangan. Penyebaran alsintan pun
masih belum merata dan belum menyentuh keseluruhan petani dan kelompok tani
yang ada. Dari kondisi yang ada dapat dilihat bahwa upaya modernisasi masih
belum signifikan untuk bisa meningkatkan produksi yang ada dan menunjukan
resistensi yang cukup tinggi. Problem nyata yang harus dirumuskan solusinya.
Pelaksanaan berbagai hasil riset dalam usaha
peningkatan produksi beras seperti metode SRI
(System of Rice Intensification), Sistem Produksi Padi Salibu, penerapan
standar Good Agricultural Practice (GAP)
di lapangan, dan berbagai riset lainnya tampaknya masih berhenti di balai-balai
penelitian dan instansi riset, tapi diabaikan dan tidak menjadi concern pemerintah dalam pelaksanaan di
lapangan. Atapun jika sudah diterapkan di lapangan, petani masih belum mampu
melaksanakan metode ini secara berkelanjutan sehingga hasilnya pun belum
maksimal dan belum terlihat. Pada akhirnya kebijakan pragmatis masih menjadi
langkah yang diambil pemerintah.
******
Rantai
Pasok dan Distribusi Beras
Rantai Pasok dan Distribusi.
Secara
umum, rantai pasok (supply chain)
merupakan serangkaian individu, aktivitas, dan sumber daya yang terlibat dalam
pergerakan dan distribusi barang atau jasa dari produsen ke konsumen. Rantai pasok merupakan salah satu hal yang menjadi permasalahan
di berbagai negara, termasuk dengan
beras di Indonesia. Meskipun Vietnam merupakan negara eksportir beras, tapi
kenyataannya harga beras di pasaran wilayah Vietnam lebih mahal dari beras yang
mereka ekspor sendiri. Hal yang lebih parah disinyalir terjadi di Indonesia. Apa yang salah dengan rantai pasok beras di
Indonesia?
Menurut uraian Bustanul Arifin, seorang ekonom
pertanian, pasar beras di dalam negeri masih diliputi asimetri informasi harga
dan struktur pasar yang jauh dari prinsip-prinsip persaingan sempurna. Data
dari Kementerian Perdagangan pada September 2015 menunjukkan bahwa harga eceran
beras premium di pasar dalam negeri masih cukup mahal, Rp 10.280 per kg. Harga
itu hampir dua kali lipat dari harga beras internasional untuk kualitas sejenis
(Thailand 25 persen broken) yang
tercatat 362 dollarAS/ton
atau Rp 5.430 per kg atau bahkan kualitas lebih baik (Vietnam 5 persen broken)
yang tercatat 340.1 dollar AS
per ton atau Rp 5.100 per kg. Sementara itu, harga jual gabah petani masih
cukup "murah", Rp 4.100 per
kg, walau lebih mahal dibandingkan harga referensi pembelian pemerintah Rp 3.700
per kg gabah kering panen dengan kadar air 25 persen dan kadar hampa/kotoran 25
persen maksimum. Perbedaan harga yang begitu besar antara harga internasional
dan harga dalam negeri serta antara harga tingkat konsumen dan harga tingkat
produsen adalah persoalan asimetri informasi yang perlu mendapat perhatian
memadai. Jumlah stok beras yang dikuasai Bulog adalah 1,5 juta ton-1,7 juta ton
pada akhir 2015 merupakan jumlah yang tidak terlalu aman jika untuk
mengantisipasi lonjakan harga eceran beras pada November, Desember, dan Januari
2016 karena dampak kekeringan El Nino.
Indeks El Nino tercatat telah
mencapai 1,8 derajat celsius (kategori moderat) masih mungkin naik pada periode
selanjutnya jika belum turun hujan secara normal. Sebuah data yang bisa menunjukan
kondisi pasar beras di dalam negeri.
Rantai pasok merupakan kumpulan aktivitas dan keputusan yang saling berkaitan untuk mengintegrasikan pemasok, manufaktur, gudang, jasa transportasi, pengecer, dan konsumen secara efisien yang bertujuan agar barang dan jasa dapat didistribusikan dalam kuantitas, waktu, dan lokasi yang tepat. Definisi di atas menunjukkan adanya dua unsur penting dalam rantai pasok suatu komoditas, yaitu komoditas barang dan jasa, serta pihak yang terlibat dalam pergerakan komoditas. Terdapat empat pihak utama yang terlibat dalam kegiatan distribusi beras di Indonesia, yaitu pemerintah, petani, pedagang antara, dan konsumen/masyarakat.
(1)
Pemerintah dalam usaha penyediaan
beras berperan sebagai regulator
tertinggi dalam sistem penyediaan
pangan nasional secara umum. Permasalahan umum yang selalu menjangkiti
pemerintah yaitu tidak
terintegrasinya strategi ketahanan pangan nasional pada tingkat makro dan
adanya adiksi kebijakan impor
beras yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. (2) Petani dalam usaha komoditas beras menjadi
hulu produksi (Upstream) yang saat
ini menerima margin terkecil dari sistem rantai pasok beras, memiliki budaya
menanam untuk kebutuhan sendiri, dan memiliki ikatan
emosional kuat dengan pedagang antara, serta menanggung biaya produksi lebih
besar dibanding pendapatan hasil panen. (3) Pedagang antara merupakan medium antara petani
dengan konsumen. Pedagang antara memiliki kendali atas pasar nasional, memiliki
informasi harga dan stok beras, mendapatkan margin terbesar dari sistem rantai
pasok beras, serta secara tidak langsung ikut berperan dalam aktivitas impor
beras. Pedagang antara bisa sangat berlapis-lapis dimulai dari rantai
petani sampai konsumen. Tercatat terdapat sembilan lapis pedagang antara antara
petani sampai dengan konsumen diantaranya penggilingan, distributor besar, pedagang pengumpul, sub-distributor, agen,
sub-agen, pedagang grosir, pasar swalayan atau pedagang eceran, dan akhirnya
rumah tangga sebagai
konsumen. Pedagang antara merupakan komponen penerima margin tertinggi dan
pengatur pasar yang bisa memnfaatkan kondisi dan melakukan spekulasi harga
pasar. (4) Pihak terakhir yaitu
konsumen/masyarakat merupakan hilir proses distribusi beras (Downstream). Konsumen terbagi menjadi
menengah ke atas dan menengah ke bawah akibat perbedaan harga dan kualitas
beras yang diakibatkan oleh sistem rantai pasok beras saat ini. Tren yang
terjadi pada konsumen menegah ke bawah yaitu pemenuhan kebutuhan pangan menjadi
prioritas, pengeluaran terbesar dikeluarkan untuk pembelian beras sehingga
pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan diabaikan. Akibat tren ini, kenaikan harga
beras cukup sensitif terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama pada konsumen
menengah ke bawah.
Impor
beras dalam rantai pasar beras dalam negeri di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat
dihindari dan secara tidak langsung mengatasi masalah kekurangan cadangan beras
nasional yang masih tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri sampai saat
ini. Sebuah kenyataan yang harus kita hadapi. Impor beras
merupakan mekanisme yang pada akhirnya harus diambil hampir setiap tahun untuk mempertahankan cadangan (carry over) beras sebesar 16,5% dari
total kebutuhan nasional. Stok
beras cadangan berfungsi sebagai cadangan yang dapat didistribusikan saat
terjadi hal yang dapat mengganggu produksi beras, seperti bencana alam dan
kekeringan. Selain untuk mempertahankan cadangan, impor beras juga masih
dilakukan karena adanya kontrak
impor sisa pada tahun sebelumnya, sehingga beras dari luar negeri harus masuk
walaupun produksi nasional mengalami surplus. Sebuah inkonsistensi
kebijakan pemerintah yang terus dilakuakn ditengah upaya berbagai pihak dalam peningkatan
produksi beras nasional. Impor beras seharusnya bisa dihindari apabila tercapai
penggenjotan produksi sampai pada pemenuhan stok cadangan nasional dan masalah
rantai pasok di lapangan bisa terselesaikan.
Permasalahan
rantai pasok beras yang terjadi di Indonesia yaitu petani sebagai upstream produksi, tidak mendapatkan untung
yang besar dari kegiatan produksi beras, sedangkan konsumen membayar lebih
mahal untuk mendapatkan beras. Keuntungan tertinggi didapat oleh pedagang
antara (pengumpul/penebas) yang bisa berlapis-lapis berada di tengah arus distribusi beras antara produsen
dengan konsumen dan mengontrol pasar. Adanya ikatan emosional antara petani gurem dan pengumpul menyebabkan
petani cenderung pasrah menentukan harga gabah yang dihasilkan, harga gabah
saat panen ditentukan oleh pengumpul semata-mata hanya agar petani dapat
menanam kembali padi untuk musim selanjutnya. Selain itu, pengumpul menyediakan
usaha lain kepada petani seperti mesin pertanian dan penggiling beras
menyebabkan petani semakin terikat dengan keberadaan pengumpul. Ketidakmampuan
petani menggiling beras menyebabkan petani tidak dapat meningkatkan nilai jual
padi, sehingga keuntungan tambahan didapat oleh pengumpul. Ikatan petani dengan
pengumpul yang kuat juga menyebabkan Bulog sulit menyerap beras dari petani,
yang menyebabkan kesulitan pengaturan cadangan beras dan pengaturan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP).
Stabilisasi harga beras sangat
erat kaitannya dengan impor beras. Kenaikan harga beras merupakan fenomena yang menyebabkan pada
akhirnya impor beras harus dilakukan pemerintah sebagai langkah pragmatis untuk
mengatasi gejolak yang terjadi di pasar. Harga beras mahal yang ditanggung oleh konsumen tetapi murah di
produsen terjadi akibat banyak
faktor. Salah satu masalah yang terjadi adalah dengan dikuasainya Informasi mengenai harga, stok, waktu penjualan, dan lokasi penjualan
oleh pedagang antara, digunakan oleh pedagang antara yang
berlapis-lapis untuk melakukan
spekulasi harga yaitu dengan mengumpulkan dan menyimpan beras
hasil penjualan petani dan dijual saat harga sedang tinggi untuk meningkatkan
keuntungan. Aktivitas penimbunan beras ini mengganggu stok beras nasional
dimana Bulog harus mengeluarkan stok cadangan beras untuk menstabilkan harga
beras yang berujung pada impor beras. Selain kegiatan penimbunan beras, harga
mahal beras juga disebabkan oleh sistem rantai pasok yang bermasalah. Rata-rata
untuk setiap lokasi di Indonesia, distribusi beras dari petani menuju konsumen
melibatkan dua hingga sembilan pihak perantara dengan Margin Perdagangan dan Pengangkutan
(MPP) sebesar 10,42%, artinya pedagang beras menerima keuntungan sebesar 10,42%
dari harga pembeliannya, konsumen juga harus membayar lebih mahal dari porsi MPP
tersebut karena beras didistribusikan melalui sembilan perantara lain. Perantara
yang dilalui beras hingga tangan konsumen yaitu penggilingan, distributor
besar, pedagang pengumpul, sub-distributor, agen, sub-agen, pedagang grosir,
pasar swalayan, pedagang eceran, dan rumah tangga sebagai konsumen akhir.
Banyaknya pihak yang ikut terlibat
dalam distribusi beras meningkatkan harga jual beras ke konsumen, banyaknya
pihak yang terlibat menambah biaya transportasi dan distribusi yang dibebankan
kepada konsumen akhir. Apabila rantai pasok yang ada dapat dipotong dan
harga dapat stabil tentu langkah impor beras tak perlu dilakukan.
Perlu
solusi yang strategis untuk menyelesaikan ketidakseimbangan harga antara petani
dengan konsumen. Solusi diperlukan agar petani dapat menerima keuntungan yang
lebih tinggi dari hasil produksi dan menurunkan harga beras pada tingkat
konsumen supaya lebih terjangkau dan tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat
khususnya konsumen menengah ke bawah yang pada akhirnya akan tercapai stabilasasi
harga dan impor beras dapat dihindari. Untuk memotong pola distribusi yang
panjang dan menurunkan harga beras, konsumen dapat membeli langsung beras pada
tingkat petani produksi, distributor, maupun pedagang pengumpul. Semakin dekat
dengan upstream produksi, semakin
sedikit sumber daya yang digunakan untuk mendistribusikan beras hingga tangan
konsumen, sehingga harganya semakin menurun. Pembelian langsung pada petani
produksi juga berpotensi meningkatkan keuntungan petani karena petani produksi dapat
langsung memberikan harga yang pas untuk kelangsungan produksi selanjutnya.
Untuk meningkatkan keuntungan petani produksi, petani dapat melakukan
diversifikasi usaha tani dengan melakukan usaha tambahan seperti penggilingan
dan pengeringan beras Melakukan pergeseran kultur petani dari tanam-panen-jual
menjadi tanam-panen-giling-jual. Diversifikasi usaha tani bertujuan untuk
meningkatkan harga jual beras yang akan didistribusikan ke konsumen, sehingga
petani mendapatkan keuntungan lebih dari beras yang dijualnya dengan kapasitas
produksi yang sama.
Pemerintah
berupaya berbagai hal untuk mengatasi hal ini. Salah satu langkah yang
diambil adalah dengan memotong titik rantai pasok dari sembilan titik menjadi
tiga titik. Pemerintah berupaya menjadikan
Bulog sebagai pemotong rantai
pasok antara produsen dan konsumen. Bulog diharapkan bisa menjemput bola menyerap
gabah dan beras dari petani dan industri sehingga dapat mencegah terjadinya kenaikan harga berlebih
akibat penimbunan beras yang dilakukan pengumpul dan memotong mata rantai yang panjang dengan efektif
dari petani dan industri langsung kepada pasar.Terobosan lain yang
dilakukan pemerintah adalah dengan membangun Toko Tani Indonesia (TTI). TTI
dibangun diberbagai pasar induk maupun pasar tradisonal dengan menjual berbagai
jenis komoditas pokok seperti beras, daging sapi, ayam, minyak goreng, cabai
merah, bawang merah dan bawang putih serta gula pasir. Berbagai komoditas pokok
yang ditawarkan TTI dijual dengan harga yang lebih murah lantaran penjualan
dilakukan langsung oleh produsen bersama TTI dan berbagai produsen swasta di
Indonesia. Beberapa pihak yang terlibat dalam TTI antara lain Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, serta
Kementerian BUMN menggandeng Inkopol, Artha Ghaha Peduli, Charoon Pokphand,
Japfa Comfeed, Sieradproduce, Fajar Mulia Transindo, serta Asosiasi Minyak
Goreng Indonesia. Sehingga dengan adanya harga yang stabil dengan persaingan
sempurna seharusnya adiksi impor beras bisa ditekan dan dihindari.
******
Alih Fungsi
Lahan
Alih Fungsi Lahan.
Masalah lahan dalam sistem produksi pertanian dapat
dilihat dari dua sudut pandang berbeda yaitu luas lahan dan kualitas tanah. Hasil
produksi yang baik dapat tercapai jika lahan yang dimiliki memiliki luas yang
cukup dengan kualitas tanah baik sehingga mendukung produksi komoditas
pertanian tersebut. Lalu mengapa Indonesia belum mencapai lahan pertanian yang
memadai khususnya dalam produksi padi? Jawabannya tepat ada pada kalimat
pembuka diatas. Indonesia belum memiliki lahan yang cukup dengan tanah yang
baik. Pada kondisinya di lapangan, tentu dua masalah ini memiliki anak cucu
masalah yang dapat diturunkan.
Sampai sekarang, lahan tidak pernah cukup karena
adanya konversi lahan yang terjadi secara kontinu di berbagai daerah. Konversi
dapat terjadi dengan adanya perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi
lahan perkebunan, industri, maupun perumahan. Konversi lahan tidak dapat
dihindarkan mengingat jumlah penduduk yang terus bertambah. Konversi lahan
dapat disebabkan oleh faktor intrinsik petani maupun faktor ekstrinsik
lingkungan hidup dan sosial sekitar. Petani dapat saja mengkonversi lahan
pertanian yang dimilikinya menjadi lahan perkebunan. Salah satu contoh yang
bisa dilihat dan sudah terjadi adalah di area irigasi Namusira-Sira Sumatera
Utara yang petaninya melakukan konversi untuk dijadikan perkebunan sawit dan
coklat. Petani harus dihadapkan dengan harga sawit dan coklat yang lebih
kompetitif daripada padi. Perubahan fungsi lahan seperti ini menyebabkan
kerugian multipihak. Irigasi yang sudah dibangun pemerintah menjadi tidak
digunakan, produksi lokal pun menjadi menurun.
Menurut data yang dirilis Direktur Jenderal Penataan
Agraria Kementarian Agraria dan Tata Ruang Doddy Imran Cholid, meski Indonesia
mendengungkan ketahanan pangan, alih fungsi lahan justru paling sering terjadi
pada area sawah. Pihaknya mencatat adanya 10.000 izin lokasi per tahun yang
dikeluarkan, khususnya oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, dan zin yang
ada selalu diberikan terhadap tanah sawah. Alhasil, dalam setahun ada rata-rata 100.000 hektare
lahan sawah yang berubah fungsinya menjadi lahan perumahan atau industri. Indonesia
masih memerlukan 8,2 juta hektare sawah dari total kebutuhan 11,6 juta hektare.
Rata-rata kemampuan mencetak sawah baru per tahunnya baru menyentuh angka
91.000 hektare. Pada 2016, Kementerian Pertanian mematok target pencetakan
sawah hingga 200.000 hektare. Dari jumlah itu, sudah tercatat 114.000 hektare
calon lokasi sawah baru. Meskipun sudah diterbitkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, tapi kenyataan di lapangan menunjukan keberpihakan pemerintah
untuk mendukung peningkatan dan pengembangan lahan pertanian masih lemah, tidak
konsisten, dan patut dipertanyakan.
Kompleksnya persoalan seperti terurai diatas
menunjukan sulitnya persoalan lahan ini diselesaikan dari segi penambahan kuantitas
lahan. Pembenahan sistem rantai pasok dan tata niaga yang bisa menstabilkan
harga komoditas serta menjaga harga beras maupun gabah agar tetap stabil dan
memiliki tingkat ekonomis yang baik di petani sebagai produsen merupakan
langkah konkret untuk mengurangi laju konversi lahan yang ada selain
keberpihakan pemerintah dalam mencetak dan membangun sawah yang baru. Jika
diperhatikan, lahan pertanian merupakan lahan yang terletak strategis di dekat
pemukiman atau akses yang cenderung mudah. Hal ini dapat ditarik ke beberapa
dekade kebelakang ketika pemerintah menggencarkan pertumbuhan dan pembangunan bidang
pertanian dan agraria sehingga sawah-sawah banyak dibangun didekat akses jalan
yang baru dibuat. Hal yang terlihat saat ini adalah skala prioritas lahan
fungsi pertanian dapat menjadi kalah jika disandingkan dengan fungsi pemukiman,
lagi- lagi karena persoalan pertambahan jumlah penduduk dan turunannya serta sistem
ekonomi, sosial, dan politik tidak berpihak ke arah pengembangan pembangunan
sawah dan juga pertanian secara umum. Sehingga sistem ekonomi, sosial, dan
politik yang ada harus menampung permasalahan pertambahan penduduk untuk
diintegrasikan ke dalam strategi produksi pertanian di Indonesia.
Jika dilihat dari sudut pandang kedua, produktivitas
hasil pertanian dapat didukung oleh tanah yang berkualitas. Pengolahan tanah
dengan penggunaan pupuk kimia menyebabkan lingkungan sawah menjadi tidak sehat.
Adanya material kimia baru dan berbagai residu yang berlebihan akan menyebabkan
penumpukan bahan kimia terjadi di kawasan pertanian. Dengan tidak berimbangnya
materi di lingkungan, kemungkinan terjadinya sistem yang tidak berkelanjutan
menjadi besar sehingga menurunkan produksi secara umum. Contohnya, kelebihan
fosfor pada suatu lingkungan dapat menyebabkan daun tanaman menjadi layu,
pucat, dan kering. Jalan yang paling baik adalah dengan memakai sistem
pertanian berkelanjutan yang menggunakan pupuk organik, seperti pupuk kandang ataupun
suplemen organik lainnya untuk pengolahan tanah. Pupuk kandang ataupun suplemen
organik lain yang dapat dikumpulkan dari sekitar kawasan pertanian akan mudah
terurai sehingga tidak ada materi berlebih dari luar sistem lingkungan.
Tambahan material kimia hanya bersifat suplemen dan digunakan secara ketat
sesuai ketentuan dan tidak berlebihan.
Berbagai terobosan seperti teknologi pertanian
berbasis non-lahan bagi padi merupakan solusi jangka panjang yang harus
dikembangkan di tengah perluasan lahan yang akan semakin sulit baik dari
segi kualitas maupun kuantitas.
******
Tantangan Teknis
Petani Di Lapangan
Tantangan Teknis Petani Di Lapangan.
Pertanian di Indonesia, khususnya padi, memiliki
standar praktis operasional yang sangat beragam di lapangan. Untuk petani
besar, Good Agricultural Practice
dapat dijangkau dengan adanya kesadaran dan kemauan (will) dari petani besar tersebut. Tetapi untuk petani kecil bahkan
petani gurem akan sangat kesulitan untuk menerapkan hal ini karena berbagai
kendala produksi di lapangan dan resistensi serta ketidakpercayaan dengan
induksi teknologi yang diberikan. Petani di lapangan masih terpaku pada budaya
pertanian tradisional dan sulit beralih untuk lebih mengenal teknologi atau
sesuatu yang baru di bidang pertanian tanpa adanya bukti langsung di tempat
mereka. Dalam teknologi tentu ada
protokoler yang harus diikuti agar mendapatkan hasil maksimal dan sesuai yang
diharapkan. Hal yang menjadi masalah adalah seringkali protokoler tersebut
diabaikan oleh para petani atas dasar kurang telaten dan ketidaktahuan ataupun
penipuan serta pengelabuan dari pihak yang ingin memberikan teknologi tapi
salah dan tidak sesuai yang pada akhirnya membuat petani tidak percaya. Petani
memerlukan best practice dan contoh
produksi di wilayahnya untuk bisa percaya dan tepat dalam pelaksanaan. Sebuah
keniscayaan yang akan sering ditemui di lapangan. Uraian dibawah ini merupakan
studi kasus yang dilakukan salah satu anggota rumpun kajian pangan yang akan
sedikit menjelaskan kesulitan yang terjadi di lapangan.
Salah satu contoh kasus yang diamati di lapangan
adalah petani di wilayah Gandusari, Blitar. Petani di wilayah ini sangat sulit
untuk menerima hal yang baru. Saat penyusun berkunjung ke rumah salah satu petani
untuk memberikan bibit yang dibawa yang merupakan bibit unggulan baru yang
memiliki kualitas baik hasil pengembangan salah satu peneliti agar ditanam oleh
petani di sekitar Gandusari, penyusun mendapat keterangan bahwa petani di
wilayah Gandusari sudah sering diberi bibit oleh perusahaan yang katanya bibit
unggulan, tapi setelah mereka menyetujui kontrak dan menanam bibitnya ternyata
hasilnya jelek dan mereka rugi. Karena hal inilah para petani di wilayah
tersebut menjadi takut dan tidak berani menerima hal yang baru dan jika ingin
diterima harus sudah terdapat bukti nyata di wilayah tersebut. Bukti melalui video dan foto sudah
tidak dapat dipercaya. Karena penyusun tidak dapat memaksakan kehendak kepada
petani ini, akhirnya bibit yang didapat diberikan kepada petani lain yang
bersedia. Dan pada akhirnya ditanam pada petak oleh salah satu petani kecil
yang tidak begitu luas, hanya 2 petak berukuran kurang lebih 30 x 20 m. Penyusun
memberikan protokoler penanaman padi yang dibawa yaitu, dengan menggunakan bahasa
produksi di lapangan, satu dapur untuk satu bibit. Setelah dua bulan ditanam
dan dicek ternyata petani ini tidak menjalankan
protokoler yang diberikan. Dalam satu dapur bisa terdapat 3 sampai 4 bahkan 5
bibit padi, hal ini menunjukkan mind set
petani yang ada di wilayah tersebut menginginkan sesuatu yang praktis. Ketika
penyusun menemui orang yang menggarap sawah, beliau memberikan keterangan bahwa
terlalu repot jika harus meletakkan satu bibit dalam satu dapur. Sebuah fakta
dan kesulitan yang akan sering ditemui di lapangan.
Kebetulan sawah di sebelah sawah dari bibit unggul
percontohan tersebut di ditanami padi jenis lain yang merupakan padi yang biasa
ditanam oleh petani di wilayah Gandusari. Untungnya saat penyusun membandingkan
perindividunya, padi yang dibawa penyusun memiliki hasil malai yang lebih
bagus. Melihat kejadian ini petani di sekitar petak percontohan tersebut
meminta bibit yang dibawa untuk di tanam di sawahnya dan menghasilkan hasil
yang bagus juga. Pada akhirnya melalui berita dari mulut ke mulut bibit padi yang
dibawa ini di tanam oleh salah satu petani di desa tetangga dari wilayah
Gandusari. Tetapi bibit yang dibawa penyusun masih belum populer di wilayah desa
Gandusari itu sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa para petani butuh bukti real dan best
practice yang bisa mereka contoh dan buktikan langsung dari awal penanaman
hingga dipanen sehingga petani yang ada dapat percaya dan melaksanakan secara
penuh. Meskipun pada pelaksanaannya ketidaktelatenan memenuhi protokoler
menjadi masalah yang cukup serius dan membutuhkan waktu serta bimbingan dalam
penerapannya. Adapun solusi lain yang bisa diambil adalah dilakukannya produksi
massal baru dari hasil riset dan penelitian yang ada dengan wilayah baru
menggunakan lahan dan modal baru oleh pelaksana riset tersebut, industri,
ataupun pemerintah dan dilaksanakan penuh sesuai protokol sehingga tidak bergantung kepada petani yang
sebelumnya memang telah melakukan produksi.
Tingkat pendidikan petani pun harus ditingkatkan dan
keberlanjutan generasi muda dalam penggarapan pertanian harus dihasilkan dari
proses edukasi dan pendidikan yang tepat dan sesuai. Hal yang seharusnya
menjadi fokus untuk ditinjau dan diperhatikan oleh semua pihak. Sebuah
keniscayaan yang harus dihadapi dan diselesaikan bersama.
******
Diversifikasi
Pangan
Bagaimana
dengan diversifikasi pangan? Diversifikasi pangan merupakan salah satu
alternatif solusi yang bisa diambil untuk mengurangi konsumsi beras. Sudahkah
diterapkan?
Diversifikasi pangan dirasa belum menunjukkan hasil
signifikan sampai saat ini. Diversifikasi pangan di Indonesia masih rendah
karena terpaku pada konsumsi karbohidrat. Salah satu solusi mengembangkan
diversifikasi pangan adalah melalui promosi pangan lokal, pengembangan
teknologi pengolahan, pengembangan investasi agroindustri berbasis pangan
lokal, dan penelitian bahan pangan lokal untuk menggenjot diversifikasi pangan.
Kementerian Pertanian sendiri telah memberikan bantuan pangan lokal non-beras,
menerapkan pengurangan konsumsi beras 1,5% per tahun, dan mendorong fasilitasi
perusahaan swasta untuk diversifikasi pangan. Bila ditilik dari tahun ke tahun,
kebijakan pemerintah mengenai diversifikasi pangan dimulai pada tahun 1950
melalui penerapan pola makan sehat 5
sempurna, dilanjutkan dengan konsumsi beras-jagung, DPG, PUGS, P2KP,
sosialisasi, one day no rice, dan gerakan nasional sadar gizi pada tahun 2011.
Sejauh ini, diversifikasi pangan masih terhambat pola pikir masyarakat, yaitu
beras sebagai pangan pokok tunggal.
Subsidi sektor pertanian sebesar 2-3% dari APBN.
Padahal, untuk mengembangkan pertanian di Indonesia setidaknya butuh 10% dari
APBN. Subsidi difokuskan pada subsidi barang atau bahan input agar biaya
produksi lebih murah. Contohnya adalah
subsidi pupuk, bantuan benih unggul, pestisida, dan permodalan pertaninan. Akan
tetapi, birokrasi pemerintah pada sektor pertanian masih memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut diantaranya penyelewengan, penyimpangan, kendala perbankan,
harga jual di petani kurang diperhatikan terlebih saat harga komoditas jatuh,
dan kendala penggunaan subsidi input barang. Oleh karena itu, perlu diterapkan
strategi berupa penetapan kebijakan harga minimal komoditas pangan (floor price) terlebih untuk petani, insurance subsidy, subsidi input yang
dikhususkan pada barang yang tidak dapat diproduksi dengan baik, serta
pengalihan subsidi untuk infrastruktur. Tahapan yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan sektor pertanian diantaranya pertama dengan membenahi birokrasi,
memprioritaskan subsidi pada sektor pertanian, penjaminan floor price pada hasil
pertanian, dan pengarahan lapangan kerja untuk sarjana pertanian ke arah
pengembangan produksi dan kualitas hasil pertanian.
******
Sehingga
secara umum pertanyaan mengapa Indonesia Masih Impor Beras?
hanya dapat diselesaikan bersamaan
dengan diselesaikannya masalah Teknologi,
Modernisasi, dan Mekanisasi Pertanian, Rantai Pasok dan Distribusi Beras, Alih
Fungsi Lahan, Tantangan Teknis Petani Di Lapangan, dan Diversifikasi Pangan secara
bersamaan. Sebuah tantangan bagi kita bersama seluruh komponen bangsa untuk menyelesaikannya
sekarang lalu menyongsong rumusan masalah dan solusi untuk tantangan lebih
besar di masa yang akan datang : Menuju
Kedaulatan Pangan Nasional Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Gizi Di Tingkat Perseorangan.
Menuju
Kedaulatan Pangan Nasional Mewujudkan
Ketahanan
Pangan dan Gizi Di Tingkat Perseorangan
Apakah hanya dengan menyelesaikan masalah
beras berarti kita menyelesaikan masalah pangan di negeri ini? Tentu tidak. Dalam
Policy Brief Peningkatan Kinerja Pertanian Indonesia Menuju Kedaulatan Pangan
yang dipublikasikan oleh BPS disebutkan bahwa
tujuan yang harus kita tuju bersama adalah mencapai Kedaulatan Pangan Nasional
untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan dan Gizi Di Tingkat Perseorangan. Apa yang
dimaksud? Bagaimana uraiannya? Mari kita simak!
Sistem
ketahanan pangan nasional merupakan kesatuan hierarkis pada cakupan negara,
daerah (provinsi dan kabupaten), komunitas dan rumah tangga. Ketahanan pangan
nasional merupakan syarat keharusan, tetapi tidak cukup untuk menjamin
ketahanan pangan daerah, yang selanjutnya menjadi syarat keharusan namun tidak
cukup untuk menjamin ketahanan pangan keluarga, yang selanjutnya menjadi syarat
keharusan namun tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan perseorangan. Bila
negara rawan pangan maka pastilah ada daerah, rumah tangga dan individu yang
rawan pangan. Karena itu, ketahanan pangan perlu dikelola di tingkat nasional,
daerah, komunitas dan keluarga. Ketahanan pangan di setiap tingkatan mencakup
empat dimensi hierarkis: ketersediaan, akses, utilisasi, dan stabilisasi.
Terjaminnya ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan namun tidak cukup
untuk menjamin akses pangan yang selanjutnya menjadi syarat keharusan namun
tidak cukup untuk menjamin utilisasi. Stabilisasi merupakan syarat untuk
menjamin kepastian ketersediaan akses dan utilisasi pangan sepanjang waktu.
Paradigma ketahanan pangan bermanfaat sebagai dasar mendiagnosa
dan merumuskan kerangka kerja kebijakan pangan. Konsep ketahanan pangan juga
dapat menjelaskan sejumlah fenomena empiris. Sebagai contoh, fenomena kelaparan
dalam kelimpahan pangan (hunger in plenty). India surplus pangan,
yang merupakan salah satu eksportir utama beras dunia, namun prevalensi kurang
pangan sangat tinggi. Indonesia, paling sedikit dalam 30 tahun terakhir selalu
tidak kekurangan ketersediaan secara nasional. Namun, beberapa daerah seperti
di Nusa Tenggara Timur kerap mengalami rawan pangan temporer. Konsep ketahanan
pangan juga dapat menjelaskan kenapa swasembada pangan bukanlah jaminan untuk mewujudkan
akses pangan bagi seluruh daerah, apalagi bagi rumah tangga dan perseorangan.
Konsep ketahanan pangan mengandung kelemahan mendasar yakni, fokus pada
pemenuhan (bahan) pangan, tidak secara ekplisit menyatakan urgensi ketahanan
gizi. Padahal, faktor penentu agar seseorang hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan ialah asupan gizi yang cukup dan berimbang, bukan
perolehan (bahan) pangan. Dalam praktik, paradigma ketahanan pangan
berorientasi pada bahan pangan pokok sumber zat gizi makro (karbohidrat dan
protein), seperti beras, jagung, terigu, gula, daging sapi, sehingga
mengabaikan sumber zat gizi mikro (vitamin dan mineral) seperti aneka sayur dan
buah. Oleh karena itulah, dalam lima tahun terakhir konsep katahanan pangan
telah diganti dengan konsep ketahanan pangan dan gizi.
Undang-undang Nomor 18/2012 tentang Pangan menyatakan
bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan berdasarkan Kedaulatan Pangan,
Kemandirian Pangan dan Ketahanan Pangan. Undang- undang menyatakan bahwa
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
UU 18/2012 tidak menyebut istilah ketahanan pangan dan gizi. Namun peraturan
hukum turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 17/2015 tentang Ketahanan Pangan
dan Gizi sudah menggunakan konsep ketahanan pangan dan gizi, bahkan
menggunakannya sebagai judul. PP 17/2015 menyatakan bahwa ketahanan pangan
dan gizi adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi
negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, memenuhi
kecukupan gizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk mewujudkan status gizi
yang baik agar dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Dari definisi ini terlihat bahwa konsep ketahanan pangan memiliki
sasaran akhir yang sama dengan konsep ketahanan pangan dan gizi.
Perbedaan konsep ketahanan pangan dan ketahanan
pangan dan gizi terletak pada sasaran antara. Konsep ketahanan pangan menggunakan
indikator terpenuhinya pangan sebagai sasaran antara, sedangkan konsep ketahanan
pangan dan gizi menggunakan indikator terpenuhinya kebutuhan pangan
dan gizi. Sejalan dengan itu, indikator kualifikasi sasaran antara juga hanya
berbeda dalam hal gizi. Pada konsep ketahanan pangan indikator terkait
adalah “bergizi”, sedangkan pada konsep ketahanan pangan dan gizi
indikator terkait adalah “memenuhi kecukupan gizi.” Paradigma ketahanan pangan
dan gizi berpandangan bahwa ketahanan pangan merupakan prasyarat namun tidak
cukup untuk menjamin kesehatan gizi bagi setiap orang. Selain terjaminnya
perolehan pangan, kesehatan gizi perorangan juga ditentukan oleh kesesuaian
pengasuhan dan kesehatan rumah (termasuk perolehan air minum, penyiapan dan
pembagian makanan antar anggota rumah tangga, kesehatan lingkungan rumah),
kesehatan primer, budaya pangan, dan gaya hidup.
UU 18/2012 menyatakan bahwa kemandirian pangan
adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beranekaragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup
sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Dalam
khasanah literatur, kemandirian pangan kerap dimaknai sebagai padanan food
self-reliant. Pandangan ini tidak membedakan asal pangan. Kata
kuncinya ialah kemampuan dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan,
termasuk kemampuan untuk mengimpor pangan. Dalam hal ini food
self-reliant lebih tepat dimaknai sebagai padanan swadaya pangan,
bukan kemandirian pangan sebagaimana dimaksudkan oleh UU 18/2012.
Undang-undang mengamanatkan bahwa pengadaan pangan mengutamakan produksi
dalam negeri, impor pangan dapat dilakukan bila produksi dalam negeri
belum mencukup atau untuk menutup kekurangan produksi dalam negeri.
Artinya, kemandirian pangan merupakan arahan kebijakan untuk mewujudkan
swasembada pangan sebagai sasaran ideal jangka panjang. Swadaya pangan merupakan
arahan kebijakan jangka pendek dalam kondisi terpaksa bila swasembada
pangan belum terwujud.
UU 18/2012 menyatakan bahwa Kedaulatan Pangan adalah
hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai
dengan potensi sumber daya lokal. Sistem pangan mencakup proses dan infrastruktur
pendukung dalam menghasilkan, mengolah dan mendistribusikan pangan
kepada konsumen, mengonsumsi serta daur ulang sisa bahan pangan.
Kedaulatan
politik pangan hanya terwujud dan semakin kuat bila ditopang oleh kemandirian
pangan dan budaya pangan, dan demikian sebaliknya, kemandirian pangan dan
budaya pangan merupakan prasyarat agar negara memiliki kedaulatan politik
pangan. Ketiga pilar saling membutuhkan dan menguatkan. Kedaulatan politik
pangan diperlukan agar negara mampu memberikan fasilitasi, perlindungan, dan
pemberdayaan bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan dan
budaya pangan berkepribadian Indonesia.
Kedaulatan pangan tidak dapat terwujud bila negara tidak mandiri dalam
perolehan pangan dan tergantung pada budaya pangan asing. Kemandirian pangan
hanya dapat diwujudkan bila ditopang oleh kebijakan yang hanya dapat diwujudkan
bila negara dan bangsa memiliki kedaulatan politik pangan, serta didukung oleh
budaya konsumsi pangan berbasis produksi dalam negeri yang hanya dapat diwujudkan
melalui budaya pangan berkepribadian Indonesia, bukan berdasar jenis pangan
dari negara dan kultur lain. Budaya
pangan berkepribadian Indonesia hanya dapat diwujudkan bila ada perlindungan
dan pemberdayaan negara yang hanya dapat diwujudkan bila negara dan bangsa
memiliki kedaulatan politik pangan, serta bila didukung oleh produksi pangan
berbasis produksi dalam negeri. Satu komponen dengan komponen lain saling
terkait dan menguatkan fungsinya masing-masing.
Sehingga
tujuan Pembangunan Pangan memiliki sasaran akhir mewujudkan Ketahanan Pangan
dan Gizi di tingkat perseorangan melalui kedaulatan pangan meliputi Kedaulatan
Politik Pangan, Kemandirian Pangan, dan Nasionalitas Budaya Pangan. Satu
komponen dengan komponen lain saling terkait dan menguatkan fungsinya masing-masing.
Gambar dibawah ini
mendeskripsikan bagaimana alur dari pencapaian yang harus dilaksanakan. Status
gizi menjadi acuan utama tidak hanya ketersediaan bahan pangan pokok saja.
Meskipun kemandirian Beras Indonesia meningkat dari
93.12 persen 2001-2003 menjadi 95.24 persen pada 2011-2013, dalam realitas yang
ada terdapat kesan kuat bahwa pemerintah lebih mengutamakan terwujudnya swasembada
pangan pokok daripada terwujudnya ketahanan pangan dan gizi setiap warga
negara. Bahkan dapat dikatakan bahwa prioritas utama pemerintah ialah
mewujudkan swasembada beras walau dengan ongkos sangat mahal. Pemerintah menyediakan
fasilitasi dan bantuan besar-besaran untuk memacu peningkatan produksi bahan
pangan pokok, utamanya beras, namun kurang memperhatikan konsekuensinya
terhadap ketahanan pangan dan gizi yang lain.
Integrasi pertanian pangan, hortikultura, peternakan,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan harus berjalan dengan baik dan saling
melengkapi untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kecukupan gizi masyarakat di regional
kawasan tersebut. Setiap kawasan pertanian berbasis komoditas tertentu mestilah
disertai dengan dukungan sentra produksi pangan pokok yang memadai. Seperti pengembangan
kawasan perkebunan yang tidak disertai dengan dukungan komponen produksi pangan
pokok, akan menyebabkan kawasan rawan pangan dan gizi. Atapun kawasan perikanan
yang tidak didukung oleh sentra produksi pangan pokok beresiko rawan pangan dan
gizi pula. Selain itu, akses terhadap bahan pangan pokok penghasil karbohidrat tidaklah
cukup untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Akses terhadap bahan pangan
sumber protein hewani (utamanya ikan atau ayam), sumber vitamin, serat dan
mineral (sayuran dan buah-buahan), dan air bersih, serta penyiapan pangan dan
pembagian makanan antar kawasan juga mutlak perlu untuk mewujudkan ketahanan
pangan dan gizi.
Sehingga langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk
mencapai ketahanan pangan dan gizi oleh semua komponen bangsa yang terkait adalah
(1) Mengembangkan sentra produksi pangan lokal di kawasan perikanan, perkebunan
maupun kehutanan. Pengembangan sentra produksi non pangan perlu dilengkapi
dengan pengembangan sistem ketahanan pangannya. (2) Membangun konektivitas
sentra produksi pangan dengan wilayah-wilayah defisit pangan, utamanya
infrastruktur transportasi dan sistem logistik pangan secara umum. (3) Pengembangan
buah dan sayur lokal mendukung ketahanan pangan dan gizi. (4) Pengembangan
hortikultura bernilai tinggi dalam rangka peningkatan pendapatan petani
(termasuk tanaman hias dan biofarmaka) dan pengendalian inflasi (bawang dan
cabai). (5) Mengatur pola produksi
menurut wilayah dan waktu melalui program pewilayahan komoditas untuk mengurangi
ongkos transaksi dan memudahkan pemberian fasilitasi layanan bagi petani. (6) Menumbuhkan
kembangkan sistem budidaya terlindungi (protected
farming) dan terukur (precision
farming), utamanya budidaya dalam
green house berbasis bahan lokal dan murah (bambu, kayu, rotan, plastik, dsb), dengan sistem fertigasi (sistem irigasi
terpadu pemupukan) yang sudah banyak
diterapkan di negara lain. (7) Membangun
sistem perbenihan berbasis varietas unggul.
(8) Menerapkan praktek budidaya dan penangan hasil yang baik dalam rangka meningkatkan dan menjamin mutu
produk. (9) Membangun sistem logistik dan pemasaran khusus berbasis rantai nilai terpadu. (10) Meningkatkan akses
permodalan bagi pelaku usaha pertanian.
Sebuah langkah besar yang harus dilakukan bangsa ini
untuk bisa menjadi negara besar yang berdaulat, negara besar yang bisa memenuhi
kebutuhan rakyatnya, negara besar yang bisa menyejahterakan rakyatnya.
Bagaimana petani gurem dan
buruh tani? Bukankah ketahanan pangan tidak berarti apabila masih ada petani
gurem dan buruh tani berpenghasilan rendah yang menderita? Gambar diatas
menggambarkan beberapa jalur untuk bisa memberdayakan petani dan menghilangkan
serta menekan petani gurem dan buruh tani berpenghasilan rendah di Indonesia
sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat dan tidak menghambat produksi
pertanian yang dibutuhkan.
(1) Jalur 1 : Menarik buruh
tani dan petani gurem bekerja di sektor formal di pedesaan. Jalur ini dapat dikembangkan dengan memacu
pembangunan industri pedesaan, khususnya agroindustri dan penghasil kebutuhan rumah tangga
pedesaan
(2) Jalur 2 : Meningkatkan
skala usaha dan efisiensi usahatani (up
grading). Jalur ini dapat dikembangkan dengan program perluasan
lahan dan perairan budidaya, peningkatan jumlah hewan piaraan, dan
atau alih komoditas ke yang bernilai tinggi.
(3) Jalur 3 :
Menarik buruh tani dan petani gurem bekerja di sektor formal di
perkotaan (urbanisasi). Jalur ini dapat dikembangkan dengan memacu
pertumbuh-kembangan industri manufaktur padat karya
dan pembangunan konektivitas desa-kota
Semoga negeri ini bisa berjaya, berdaulat, melaksanakan
janji-janji kemerdekaan yang tercantum dalam konstitusi untuk membangun dan menyejahterakan
setiap badan dan jiwa yang hidup di negeri ini!
Semoga!
“Bila
kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap
dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita
yang sederhana, maka lebih
baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."
- Tan Malaka
No comments:
Post a Comment