Thursday 18 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 12 and Day 13 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata - PENUTUP: HIPOTESIS, THESIS DAN SINTHESIS PERTANIAN Postmodern

 


Berikut ini adalah hasil bacaan dan insight Day 12 dan Day 13 yang menjelaskan mengenai PRASYARAT MEWUJUDKAN PERTANIAN POSTMODERN: BELAJAR DARI PERADABAN ISLAM DAN RENAISANCE EROPA, yang terdiri dari Menterjemahkan Karya Peradaban-Peradaban Mapan,  Menciptakan Karya Baru (Inovasi), dan Menciptakan Ekosistem Yang Kondusif juga bagian penutup dari Buku Pertanian Postmodern karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata, sehingga saya telah menyelesaikan seluruh bagian Buku Pertanian Postmodern ini. Bagian penutup buku ini menjelaskan mengenai Hipotesis Pertanian Postmodern serta Thesis dan Sinthesis Pertanian Postmodern. Selamat Menyimak, Semoga Bermanfaat!


 
Day 12 #22HBB Vol.3 (17 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

πŸ“š Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 295-325/362


Insight/rangkuman/catatan:

PRASYARAT MEWUJUDKAN PERTANIAN POSTMODERN: BELAJAR DARI PERADABAN ISLAM DAN RENAISANCE EROPA

"Al Mansur, Al Rasyid dan Al Makmun membawa peradaban Islam mencapai masa keemasan (The Golden Age of Islam) dengan menanamkan daya juang (n-ach atau karsa) pada calon generasi emasnya (gold generation) dan diawali dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, termasuk menterjemahkan buku-buku dari masa kejayaan peradaban Mesir, Yunani, Persia, Romawi, Cina dan India; Pada konteks yang berbeda, Averoisme mengawali gerakan kebangkitan (Renaisance) peradaban Eropa dengan mengadopsi daya juang generasi emas, serta mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari peradaban Islam (terutama pemikiran Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al Khawarizmi), termasuk menterjemahkan buku-buku dari masa kejayaan peradaban Islam di Bagdad dan Andalusia; Menterjemahkan dan mengembangkan. buku-buku peninggalan peradaban Islam sudah mencakup pemikiran Mesir, Yunani, Persia, China dan India"

Menterjemahkan Karya Peradaban-Peradaban Mapan

Secara historis, pola kebangkitan peradaban-peradaban manusia di bumi ini sama. Ibnu Khaldun membuat pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban bangsa-bangsa di dunia seperti siklus hidup manusia normal. Lahir, merangkak, berdiri, berjalan, tumbuh remaja, muda, dewasa, tua dan akhirnya runtuh. Siapa yang melahirkan (menginisiasi) dan membangkitkan peradaban? Ibnu Khaldun, Fritjop Capra, Senor dan Singer menegaskan bahwa peradaban diinisiasi dan dibangkitkan oleh minoritas kreatif. Siapakah minoritas kreatif tersebut? Adalah para intelektual muda yang lebih awal mempelajari, memahami, menginovasi dan terlebih dahulu menterjemahkan pemikiran-pemikiran dan karya-karya ilmuwan- ilmuwan peradaban mapan sebelumnya. Kebangkitan peradaban Islam di Timur pada masa awal dinasti Abbasiyah dimulai dengan menterjemahkan dan mempelajari karya-karya peradaban mapan sebelumnya (Mesir, Yunani, Cina, Romawi, Persia dan India), begitu juga kebangkitan peradaban Eropa (Renaisance) diawali dengan menterjemahkan karya-karya peradaban Islam yang didalam karyanya sudah termaktub karya-karya dan pemikiran-pemikiran enam peradaban mapan sebelumnya. Pertanyaan berikutnya, mengapa minoritas kreatif (perintis dan pelopor) yang membangkitkan peradaban itu intelektual muda?

Perlu diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan stagnan dan runtuhnya peradaban adalah tuanya (aging) struktur umur penduduk suatu bangsa. Oleh sebagian ahli, tuanya penduduk merupakan penyakit peradaban yang perlahan namun pasti akan mengantarkannya pada kematian. Ini sudah menjadi hukum alam (sunatullah), bahkan Alloh SWT berfirman "...setiap umat mempunyai batas waktu. Apabila telah datang ajal, mereka tak dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan (nya)." (QS Yunus [10]: 49). Sedangkan bangsa yang memasuki kebangkitan pada umumnya memiliki struktur penduduk yang didominasi kelompok usia muda (gold generation).

Dalam satu siklus peradaban, struktur penduduk tua (era bencana demografi) dan struktur penduduk muda (era bonus demografi) hanya terjadi satu kali. Oleh karena itu, ketika penduduk bangsa-bangsa dalam peradaban Timur (Islam) memasuki usia tua (aging), sehingga dihadapkan pada keserakahan dan perpecahan, sehingga dapat dengan mudah dihancurkan kekuatan luar (terutama oleh tentara muda Mongolia), bangsa-bangsa Eropa justru sedang bergegas memasuki era baru, era bonus demografi atau era keemasan (gold generation). Semua itu menegaskan bahwa peradaban itu ada batasnya, salah satu cirinya adalah tuanya struktur umur penduduk (aging).

Jika kita kaitkan dengan kenyataan sekarang, maka terlihat jelas bahwa tuanya struktur penduduk sedang menjangkiti peradaban Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Paradoks dengan itu, struktur umur penduduk Cina, Korea Selatan dan Taiwan justru sedang didominasi usia muda, sehingga sangat wajar apabila sekarang sedang berada dalam masa kebangkitan dan keemasan (gold generation). Namun, tidak lama lagi, Cina, Korea Selatan dan Taiwan akan memasuki struktur usia tua. Pada saat itu, bangsa dan peradaban pengganti sudah siap menanti. Siapa penggantinya? Thomas Friedman dan Khisore Mahbubani menyebut Indonesia bersama negara-negara Timur (Turki, Pakistan, Afganistan, Uzbekistan, Kazakstan, Iran, Tunisia, Maroko, Mesir, Sudan, Libya, Irak dan negara Timur Tengah) sedang bergegas memasuki era baru, era kebangkitan peradaban. Indikasinya teridentifikasi dari struktur umur penduduk negara-negara tersebut yang muda, yang mendekati era bonus demografi atau era keemasan (gold generation). Benarkah Indonesia (peradaban Nusantara) akan bangkit? Sangat yakin, karena sesaat lagi Indonesia akan memasuki era bonus demografi  dan era generasi emas (diperkirakan akan terwujud mulai tahun 2020). Generasi era bonus demografi adalah mereka yang terkategori generasi y, generasi z dan generasi selanjutnya.

Menjadi kewajiban generasi minoritas kreatif, yakni generasi kini, generasi perintis dan pelopor kebangkitan peradaban untuk menterjemahkan buku-buku, karya-karya, jurnal-jurnal, pemikiran- pemikiran dan inovasi-inovasi tentang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan, baik terkait dengan agroinovasi, agroindustri, agrobiosains, agribisnis, agroekologi, agrokimia, agroteknologi, agronanoteknologi, agroinput, agromarket, agroinfotech, agrobiotechnology, agrohydrilogy, agrotechtoloy, agroastronomy, agrobiology, agrobiomolekuer, serta ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian masa depan (frotier technology) lainnya.

Mengapa semua buku dan karya berbagai peradaban mapan dulu dan sekarang harus diterjemahkan? Karena siklus peradaban-peradaban mapan selalu diawali dari penterjemaahan itu. Secara fisik, buku-buku, jumal-jurnal dan karya-karya berbahasa inggris, jepang, cina, rusia, prancis, arab dan sebagainya, sudah dapat diakses oleh bangsa Indonesia, baik di perpustakaan maupun di internet, tetapi berapa persen manusia Indonesia yang memanfaatkannya? Keterbatasan bahasa harus diantisipasi lebih awal, yaitu dengan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, agar semua orang dapat mengakses dan mempelajarinya. Sekali lagi, menterjemahkan semua karya peradaban merupakan pintu gerbang menuju kebangkitan peradaban.

Tugas generasi perintis (pelopor) berikutnya adalah mendistribusikan hasil-hasil penterjemahan tersebut ke seluruh penjuru negeri. Pusat-pusat ilmu dan inovasi, baik taman ilmu, taman riset, perpustakaan, ruang (lahan, kandang, kolam, hutan, kebun) percobaan, ruang diskusi, ruang inovasi dan komunitas-komunitas harus dikembangkan sampai tingkat desa. Ruang dan jaringan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang bukan hanya fisik, tetapi juga dunia maya. Generasi y, generasi z, generasi a, generasi ẞ dan generasi berikutnya harus dilekatkan dengan budaya baca, budaya kerja dan budaya amal. Budaya dan budidaya tanaman, ternak, perikanan, perkebunan dan kehutanan harus ditanamkan dan diyakinkan pada generasi bahwa itu merupakan prasyarat mewujudkan peradaban mapan. Tanpa pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan yang diinovasi, mustahil peradaban akan terwujudkan. Oleh karena itu, budaya ketergantungan pada berbagai produk impor harus dihilangkan, harus bangga terhadap karya inovatif bangsa dan keragaman keunggulan sumberdaya yang dianugerahkan kepada bangasa dan negara. Terpenting, bagaimana generasi era bonus demografi berbudaya baca, mencipta, kuat karsa dan memihak kepada karya budaya (produk, komoditas) bangsanya sendiri.

Menciptakan Karya Baru (Inovasi)

Mengapa para pendiri dinasti Abbasiyah dan para pelopor kebangkitan (renaisance) peradaban Eropa menterjemahkan buku-buku dan pemikiran-pemikiran peradaban mapan sebelumnya? Karena mereka ingin mempelajari, memperdalam, mengembangkan dan menciptakan karya baru (inovasi) yang lebih baik dan atau berbeda dengan sebelumnya. Semua peradaban yang bangkit mempelajari karya peradaban sebelumnya untuk menciptakan kebaruan yang menjadi penciri peradabannya. Karya inovatif dapat berupa hasil modifikasi (seperti Jepang), hasil imitasi dan modifikasi (seperti Cina sekarang), hasil adaptasi (seperti Israel), hasil pengembangan, pengintegrasian, transformasi dan sebagainya. Bahkan, tidak sedikit bangsa yang melakukan flagiasi, klaim, pencurian, pencaplokan dan penjarahan inovasi bangsa lain. Pastinya, mempelajari bukan berarti mengadopsi dan menelan mentah-mentah karya-karya luar, tetapi memikirkan untuk menemukan dan membangun karya baru yang mencerminkan identitas kemajuan peradabannya. Mana yang positif dan produktif bagi kemajuan peradaban, serta mana yang negatif dan tidak produktif bagi peradaban, harus dipilah dan dipilih secara jelas. Bahkan, sekiranya akan melemahkan, memalaskan dan mengeksploitasi, sebaiknya direduksi, dijauhkan dan jangan diadopsi. Setiap bangsa memiliki karakteristik dan keunggulan yang berbeda dengan bangsa lainnya, maka kembangkanlah keunggulan itu untuk menanggulangi kelemahan.

Menciptakan Ekosistem Yang Kondusif

Kondusifitas sosiosistem dan ekosistem merupakan jaminan bagi tumbuh kembangnya suatu peradaban. Para pelaku kreatif dan inovator mengakui bahwa kreasi, inovasi dan sistem inovasi tumbuh kembang dalam iklim dan ekosistem yang kondusif. Bahkan, dalam ekonomi kreatif, ekosistem kreatif merupakan prasyarat bagi tumbuh kembangnya insan dan komunitas kreatif. Seringkali kita tida menyadari, mengapa kekacauan dijadikan sebagai senjata untuk meruntuhkan suatu tatanan? Karena dengan kekacauan, kesempatan insan dan komunitas untuk berkreasi, berinovasi dan berkarya menjadi hilang. Bahkan, dengan kekacauan tidak akan tercipta kreasi, inovasi dan karya- karya. Dengan kekacauan tidak akan terbangun kenyamanan untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban, Lebih jauh, dengan kekacauan, sumberdaya manusia yang berkualitas tidak akan nyaman berkreasi dan berinovasi, sehingga mereka akan lari ke luar untuk mencari ekosistem yang lebih nyaman, lebih aman dan lebih kondusif.



Day 13 #22HBB Vol.3 (18 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

πŸ“š Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 326-362/362 - Selesai


Insight/rangkuman/catatan:


PENUTUP: HIPOTESIS, THESIS DAN SINTHESIS PERTANIAN Postmodern

"pertanian postmodern hendak membongkar secara radikal isme- isme, komuflase-komuflase dan metafor-metafor yang sembunyi dibalik pertanian modern; tentu bukan sekedar menyerang, tetapi menawarkan kebenaran ideal yang berjustifikasi, yang secara filsafatis maupun paradigmatis hanya "Al-Qur'an yang terjamin keidealannya"

Kritik terhadap kemodernan dan pendekatan pertanian modern sejatinya telah lama dikemukan sejak akhir abad ke 20 oleh Richard Tarnas, Erich Fromm, Stephen Healey, Anthony Giddens, Karl Popper, Bateson, Fritjof Capra, Thomas Friedman, Colin Hines, Lester Brown, Reijntjes et al., Albert Howard, Herman Soewardi, Sayogyo, Tjondronegoro, Lukman Soetrisno, Mansour Fakih dan lainnya. Kritik yang dikemukakan terutama terkait dengan semakin nyata, meningkat dan meluasnya dampak negatif sosial budaya, ekonomi politik, ekologi dan teknologi yang ditimbulkan oleh penggunaan input luar yang tidak terkendali, baik pupuk kimia, pestisida kimia, alat mesin pertanian, benih (bibit) impor, utang (kreadit, subsidi, teknologi) dan rekayasa kelembagaan (institutionalisation). Dampak negatif pertanian modern tidak hanya menjenuhkan lahan, tanaman, lingkungan dan sumberdaya manusia, tetapi juga mereduksi perilaku, budaya dan identitas lokalitas. Bahkan, semakin disadari bahwa desain pertanian modern adalah menghancurkan keberagaman pertanian yang difitrahkan, baik menyangkut aspek budaya, komoditas, pengetahuan dan teknologi lokal, komunitas dan lokalitas lainnya dalam jangka panjang. Homogenisasi pada input luar (pupuk kimia, pestisida kimia, benih hibrida), komoditas (pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan) dan pangan (terigu, padi) sejatinya desain kolonial dan korporasi global dalam jangka panjang. Desain yang bukan hanya mereduksi keberagaman hayati dan sumberdaya lokal, tetapi menghancurkan budaya, ketahanan dan kedaulatan pertanian bangsa.

Memasuki abad 21, dampak negatif pertanian modern yang "setali tiga uang" dengan suksesi generalisasi pangan impor (terutama terigu) dan kebijakan homogenisasi pada "secuil" komoditi (terutama padi, sawit) sangat signifikan implikasinya terhadap melemahnya daya sanding dan daya saing berkelanjutan (sustainable competitiveness) pertanian Indonesia, sehingga menjadi tidak adaptif dengan tren ramah lingkungan (green, blue) dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Keragaman (diversity), keunikan, lokalitas, kearifan dan kemandirian tereduksi dari sistem sosial, ekosistem dan geosistem. "Alih-alih" diminati, pertanian modern malah dinilai rendah (under value) oleh masyarakat, sehingga ditinggal migrasi oleh generasi (brain drain). Implikasinya, pertanian modern hanya digeluti oleh sumberdaya manusia yang sebagian besar tua (aging), hanya dinikmatik dan dikendalikan industri (korporasi), hanya dirasakan petani elit dan pelaku-pelaku pasar. Pertanian modern hanya memanjakan industri dan memalaskan petani dengan subsidi-subsidi dan program- program bantuan instan. Program-program yang didesain agar petani- petani nyaman berproduksi, sehingga tidak menggerogoti investasi korporasi agribisnis pada komoditas komersial. Pertanian modern hanya melanjutkan dualisme ekonomi J.H Boeke, yakni dua kekuatan ekonomi (petani dan korporasi) yang "seolah-olah" sama kuat, padahal sengaja diciptakan oleh penjajah kolonial dan (sekarang) neokolonial agar pengusaha aman mengeksploitasi komoditas dan sumberdaya alam komersial, sementara para petani gurem nyaman memproduksi kebutuhan perut (pangan).

Penilaian rendah dari generasi (under value), migrasi tenaga muda berkualitas (brain drain) dan tuanya umur sebagian besar pelaku pertanian modern (aging agriculture), telah mengakibatkan tidak berjalannya regenerasi (succession) pelaku pertanian, timpang dan parsialnya pembangunan, jenuh dan tidak terciptanya lapangan kerja dan wirausaha pedesaan, tidak berjalan dan berlanjutnya peningkatan dan penciptaan nilai tambah (pohon industri) sistem pertanian, jenuhnya kelembagaan pertanian dan pedesaan, tidak suksesnya regenerasi kepemimpinan (leaders and leadership) pertanian-pedesaan, tidak berlanjutnya suksesi inovasi metode dan teknik pertanian, tidak antisipatif terhadap perubahan, serta tidak efektif dan efisiensnnya aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasokan berbagai input pertanian dari luar, termasuk teknologi budidaya, metode, institusi, petugas pertanian, informasi dan lainnya, telah mengakibatkan matinya kreasi dan inovasi petani dalam berbagai hal. Petani tidak lagi memiliki budaya tani, bahkan relasinya dengan lahan, tidak ubahnya relasi industrial yang eksploitatif. Hilang rasa sayang terhadap tanah, air, udara, tanaman dan hewan. Keberadaan petani tak ubahnya zombie-zombie dan mumi-mumi, yang bergerak dan awet karena dikendalikan korporasi. Ironi, regenerasi sengaja dikebiri agar penyeragaman tertanamkan secara mapan, dan keberagaman tidak dibangkitkan oleh generasi yang menyadari.

Secara filsafatis, mencermati berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dalam jangka panjang, maka pertanian modern patut dipertanyakan keberlanjutan, kemaslahatan dan kelayakanya. Dikatakan demikian karena pertanian modern dipandang tidak beradab, yang jika melihat implikasi-implikasinya, telah mengalami krisis secara paradigmatis (Thomas Kuhn). Dalam siklusnya, setiap terjadi krisis terhadap satu paradigma, paradigma baru telah menunggu. Paradigma yang beradab, paradigma yang menawarkan kemaslahatan. Meminjam terminologi dari Al Ghazali, kemasalahatan adalah "segala upaya untuk melindungi (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan), berbuat kebajikan (berguna bagi manusia lainnya) dan melindungi alam semesta". Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa maslahat bersifat aktif dan steril dari egois-individualis" (Raghib As-Sirjani, 2015). Berdasarkan definisi dan penegasannya, maka tampak jelas bahwa pertanian modern layak untuk disebut tidak maslahat. Proposisinya, pertama pertanian modern yang memaksakan keseragaman (homogenisasi) pada komoditas yang didesakan dari luar (impor) merupakan bentuk keserakahan korporasi dan imperium global yang ingin memaksimalkan keuntungan mereka sendiri; dan Kedua, karena pertanian modern sangat tidak kondusif terhadap kemaslahatan bersama dan keharmonian (keragaman, keunikan, keseimbangan, keberlanjutan, spesifik lokal, kesehatan, keunggulan komparatif dan kompetitif).

Selain tidak maslahat (mafsadat), pertanian modern juga tidak berkelanjutan, baik secara sosial (tidak kondusif terhadap regenerasi pelaku-pelakunya), secara ekonomi (tidak menjamin kesejahteraan pelakunya) dan secara ekologis (tidak ramah terhadap lingkungan, reduktif terhadap keragaman dan lokalitas). Pertanian modern yang serba dikendalikan korporasi global mereduksi keseimbangan lokal, nasional, regional dan global. Pertanian modern yang memaksakan keseragaman semakin mendekati krisis pangan dan bahkan mengarah pada perang pangan (food war). Apalagi eksistensinya setali tiga uang dengan konflik perebutan air dan sumberdaya lahan yang semakin didominasi oleh korporasi. Oleh karena demikian, maka diperlukan model pertanian baru yang mengoreksi pertanian modern, yang lebih menjamin daya saing dan keberlanjutan pertanian Indonesia, yang lebih menghargai keberagaman, yang berbasiskan komunitas, yang mengedepankan sumberdaya lokal, yang orientasi lebih pada pemenuhan kebutuhan (bukan maksimalisasi produksi dan keinginan). Ada beberapa model pertanian alternatif yang teridentifikasi diterapkan di Indonesia dalam 15 tahun terakhir, namun hingga saat ini belum dilabel sebagai konsep, kebijakan dan model terbaru yang lebih dari pertanian modern. Beberapa negara di belahan benua lain telah lebih dahulu mengoreksi dusta industrialisasi pertanian, sehingga memutuskan untuk memilih dan menerapkan pertanian spesifik lokal. Beberapa yang lain menolak pengetahuan dan teknologi modern, yang lain menginternalisasi pertanian global untuk meningkatkan keunggulan pertanian lokal. Lainnya mengembangkan model pertanian alternatif yang mandiri dan berbasis komunitas.

Telah nampak kerusakan di daratan, di lautan dan di udara yang diakibatkan oleh model pertanian modern yang memaksakan keinginan (kemaslahatan pribadi) dan keserakahan entitas luar (kolonial, korporasi). Model pertanian modern yang memaksakan keseragaman dan mereduksi keberagaman yang difitrahkan oleh Yang Maha Pencipta. Model pertanian modern sejatinya merupakan bentuk lanjutan dari pertanian era kolonisasi, namun telah dikoreksi dan dikreasi (dimodifikasi). Sampai kapan pun, model pertanian modern akan selalu dikendalikan korporasi, karena segala sesuatunya dipaksakan dari luar. Segala sesuatunya dikendalikan industri dan korporasi global yang notabene merupakan refrensentasi negara-negara maju dan imperium global. Oleh karena itu, jika kita terus memaksakan model pertanian modern, maka alih-alih mampu mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pertanian, malah akan semakin tenggelam dalam krisis pangan, konflik pangan dan bahkan perang pangan. Generasi bangsa harus sadar dan menggunakan akal, bahwa kita tidak mungkin berdiri di atas keseragaman dan kendali asing dan aseng, karena fitrah alami pertanian Indonesia adalah beragam. Kita memiliki banyak komoditas pertanian yang tersebar, berakar, membudaya dan melembaga pada masyarakat lokal dan daerah yang juga beragam. Belajarlah kepada Turki dan India yang menyadari, menghargai dan melembagakan keberagaman. Alloh SWT berfirman "Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran" (QS Az-Zumar: 9).


Hipotesis Pertanian Postmodern

Secara historis empiris, jauh sebelum konsep pertanian modern dikonstruksi oleh masyarakat modern, telah ada konsep dan aktifitas pertanian primitif dan tradisional. Pembeda utama pertanian tradisional dengan pertanian modern terletak dalam penggunaan teknologi.

Secara historis, tidak ada yang mengatakan pertanian tradisional gagal. Pelabelan negatif datang dari negara-negara industri yang memaksakan teknologinya. Para pakar sepakat bahwa pertanian tradisional sangat ramah terhadap lingkungan, harmoni dengan alam, menghargai keberagaman, mandiri dan berdaulat. Jauh sebelum kolonisasi, bangsa Nusantara tidak pernah terdengar kelaparan. Kesulitan pernah terjadi ketika dilanda bencana alam (terutama letusan gunung berapi).
Bahkan, Nusantara yang memiliki banyak hasil pertanian (diversifikasi), telah mengolahnya menjadi aneka produk kreatif dan komoditas kompetitif di pasar-pasar regional sepanjang jalur sutera. Sejatinya, peradaban Nusantara berdiri mapan diatas keragaman pertanian yang membentang dari Barat (Aceh) sampai Timur (Papua). Jelaslah bahwa pelabelan negatif terhadap pertanian tradisional Nusantara merupakan desain besar kolonial, negara-negara maju dan korporasi global untuk mereduksi keberagaman, mengebiri kemandirian, menghilangkan kedaulatan dan menciptakan ketergantungan pada pertanian modern.

Reijntjes et al (1992) menjelaskan bahwa pertanian modern lebih intensif, akseleratif, ekstensif, produktif dan massal, karena menggunakan input-input terkendali hasil rekayasa (skala industri) yang instan, praktis, berlimpah, padat modal dan didatangkan dari luar agroekosistem (HEIA). Input-input luar bersifat efisien, cepat (instan), massal dan padat teknologi. Sedangkan pertanian primitif dan tradisional dilabel bersifat lamban, padat kerja, ektensif, mengandalkan input internal (LEISA), ramah lingkungan, berprinsip mencukupi kebutuhan (bukan maksimalisasi hasil), mengedepankan proses, kesimbangan dan keberlanjutan. Sejak dikonstruksi dan dipopulerkan hingga sekarang, terminologi pertanian modern belum tergantikan, masih mapan dan dominan (superior), masih ditempatkan sebagai model terbaru (yang lebih baik dari model primitif dan tradisional) dan masih dipakai secara umum di dunia. Secara formal, FAO (2006) mendefinisikan pertanian modern sebagai "pertanian yang mengoptimalkan produksi, produk dan proses-proses agribisnis terkait lainnya (dari hulu sampai hilir), baik kuantitas maupun mutu melalui penggunaan input eksternal (pupuk kimia, pestisida sintetis, benih unggul dan teknologi canggih)". Jika demikian, maka pertanyaannya kemudian, adakah model alternatif yang lebih baru dan atau lebih baik dari pertanian modern?

Secara riil, sejak kritik (jika tidak disebut anti-thesis) terhadap mode pertanian modern muncul ditahun 1990an, telah lahir dan digunakan beberapa terminologi pertanian yang lebih dari modern. Reijntjes et al (1992) memberi istilah pertanian masa depan (agriculture future) untuk menyebut pertanian yang lebih baik dari pertanian modern dan berbeda dengan pertanian tradisional. Pada perkembangannya, Reijntjes memberi istilah yang lebih umum terhadap konsepnya, yakni pertanian berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus menjaga, mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam. Menurut Rogers et al. (2006), pertanian berkelanjutan adalah "pertanian yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang". Termaktub didalamnya adalah perlindungan keragaman hayati dan pelestarian SDA (lahan, hutan, air). Sedangkan nilai sosial yang menjadi penciri utama keberlanjutan adalah regenerasi dan kearifan (Don Weaver, 2002; Setiawan, 2015).

Pada perkembangannya, pertanian berkelanjutan dipahami secara sempit menjadi pertanian organik (organic farming) sebagai konsep penyederhanaan dari sistem pertanian berkelanjutan. Pertanian organik yang warna tradisionalnya ada, tetapi warna modern dari teknologi ramah lingkungannya tetap terjaga. Salah satu teknologi pertanian organik yang cukup populer adalah SRI (system of rice intensification). Persoalannya, pertanian organik dipertanyakan paradigmanya, ketika orientasinya bukan pada pemenuhan kebutuhan petani sendiri, tetapi didesain secara linear untuk pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar. Pada kasus yang ada, pertanian organik modern bukan berangkat dari kesadaran petani, tetapi lebih sebagai program (proyek) yang digerakan oleh lembaga swadaya luar, korporasi input dan anggaran pemerintah. Secara tekno-ekonomi, hal lainnya yang dipertanyakan dari pertanian organik adalah, mengapa harga produk organik menjadi sangat mahal? Bukankah inputnya bersumber dari dalam (internal input) lingkungan petani, sehingga tidak perlu banyak modal? Hal itu menegaskan bahwa pertanian organik dan pertanian berkelanjutan kontemporer tidak terlepas dari kreasi kapitalisme. Sistem produksinya ramah lingkungan, tetapi semua inputnya tetap dipasok dari industri atau korporasi.

Konsep sistem pertanian berkelanjutan berikutnya adalah pertanian terintegrasi (integrated farming). Oleh Wilson disebut juga pertanian multifungsi (multifunctionality agriculture), yakni ekologi (konservasi, integrasi, adaptasi), sosial, ekonomi, teknis, budaya, estetika dan kelembagaan. Model pertanian ini lebih berorientasi pemenuhan kebutuhan daripada maksimalisasi produktifitas. Selain itu, secara ekologis, model ini juga mentautkan dan mendudukan pertanian dalam konteks agro kompleks (integrasi horizontal, termasuk dengan ternak dan ikan) dan agribisnis (integrasi vertikal, dari hulu sampai hilir), baik pada tanaman pangan, horti maupun perkebunan (Reijntjes et al., 1992; Rogers et al., 2006). Bagi negara-negara berbasis pertanian di daerah tropis, integrated farming sudah biasa, bahkan menjadi strategi adaptasi. Beberapa istilah yang sudah melembaga adalah sistem tumpang sari, sistem agroforestry, sistem agrosilvopastory dan sistem pertanian konservasi. Model integrated farming juga diterapkan dalam pengelolaan ternak dan ikan, seperti bududaya ayam di atas kolam ikan (longyam). Pada sistem perikanan jaring terapung, sistem budidaya bertingkat berdasarkan stratifikasi ikan, integrated farming juga diterapkan. Namun dalam implementasinya, integrated farming dalam model pertanian modern menjadi tidak steril dari input luar, sehingga tetap tidak ramah terhadap lingkungan.

Konsep alternatif selanjutnya adalah pertanian berkarakter ekonomi hijau (green economy). Pertanian yang tidak hanya bertujuan menghasilkan pangan dan produk pangan, tetapi juga energi alternatif dan material maju. Istilah baru ramah lingkungan yang muncul dalam arus utama (mainstream) konsep pembangunan berkelanjutan. GIZ (2012) menegaskan bahwa ekonomi hijau tidak seharusnya dilihat sebagai paradigma baru, tetapi lebih merupakan sebuah daya dorong baru untuk merealisasikan visi pembangunan berkelanjutan. Pada prinsipnya, ekonomi hijau berpijak pada perspektif ekologi, yang menurut Arne Naess, Jim Ife dan Greer et al, menjadi perspektif baru berbagai disiplin ilmu. Adiwibowo dan Djayadiningrat menegaskan bahwa prinsip ekologi menjadi inspirasi baru bagi kalangan intelektual (akademisi) dalam mengembangkan paradigma, paham dan gagasan hijau (green). Seperti halnya pembangunan berkelanjutan, green economy juga memadukan aspek keberlanjutan sosial, ekonomi dan ekologis. Namun karena munculanya lebih merupakan respon atas berbagai fenomena krisis-krisis lingkungan (environmental response), maka sifat prinsip ekologisnya dangkal (shallow ecology) (Satria et al., 2009; Dharmawan 2010; Setiawan, 2012).

Pada perkembangannya, meskipun didorong niat baik dan upaya keras untuk mewujudkan ramah lingkungan, namun ekonomi hijau belum berhasil mencapai batas ketahanan yang dibutuhkan. Bagaimana mungkin hal baik bagi kesehatan dan lingkungan harus mahal, harus melenyapkan ekosistem dan kebutuhan orang muskin, sehingga hanya terakses oleh orang-orang dan negara-negara kaya. Jagung dan ubi kayu yang semula identik dengan masyarakat miskin, kini menjadi mahal dan tidak terjangkau, baik oleh kaum miskisn maupun peternak kecil, karena diolah menjadi bioenergy, green-cup dan sebagainya. Greer et al., (1999) dan Gunter Pauli (2010) merespon green, namun mengoreksi ekonomi hijau yang penuh dengan komuflase kapitalisme (capitalism creative) dan sekalgius menawarkan konsep ekonomi biru (blue economy) sebagai penggantinya. Ekonomi biru menjawab keberlanjutan lebih dari sekedar konservasi. Ekonomi biru berhadapan langsung dengan regenerasi. Intinya, bagaimana memastikan ekosistem mampu mempertahankan jalan evolusinya sehingga semua dapat memetik manfaat dari kreatifitas, adaptasi dan keberlimpahan alam (sumber daya lokal). Sebuah paradigma ekonomi yang berakar dari ekologi dalam (deep ecology), yang benar-benar ramah lingkungan, yang membirukan seluruh ekosistem (archipelago), baik daratan, lautan maupun udara. Ekonomi biru juga merupakan stimulus ekonomi dan inovasi untuk menghasilkan pekerjaan dan wirausaha di wilayah pedesaan (Setiawan, 2015). Bagi Indonesia yang dua pertiganya merupakan lautan, ekonomi biru dapat diimplementasikan di daratan dan lautan.

Konsep pertanian alternatif lainnya yang dipandang lebih baik dari modern dan tradisional adalah pertanian beradab, yakni pertanian yang maju (bernilai keberlanjutan), bertata, beretika, bermoral, berjiwa, harmoni dan berakhlak. Pertanian yang menjunjung tinggi nilai keberkahan dan kemaslahatan, sehingga saling menghargai dan melindungi hak-hak seluruh mahluk (pelaku, konsumen, tanaman, ternak, mikrorganisme), lokalitas, generasi sekarang dan yang akan datang, dan lingkungan (lahan, air, udara, iklim, musim, lokasi). Pertanian yang menginovasi, menjaga dan melindungi keseimbangan, keragaman dan keharmonian sebuah sistem (ecosystem, sociosystem dan geosystem). Pertanian yang mengedepankan relasi antar manusia, manusia dengan tuhan dan manusia dengan alam (tanaman, lahan, ternak, air, udara dan komponen ekosistem lainnya). Pertanian yang mengedepankan kemaslahatan dan keadilan bersama daripada memaksakan kemaslahatan pribadi dan kelompok. Pertanian yang mencerminkan keseimbangan dan harmoni lokal, nasional, regional dan global.

Pertanian yang epistemologisnya terbebas dari modus varian eksploitasi (linearitas, reduksionis deterministik), kendali imperialisme (kolonisasi, korporasi global) lanjut dan kreasi-kreasi kapitalisme (Setiawan, 2012). Pertanian beradab berlandaskan kepada keunikan (lokalitas) geografis dan demografis, kerja sama (rekanan saling berinteraksi, bertransaksi, berbagi dan menghargai) dan dengan mengedepankan komoditas yang difitrahkan Alloh SWT secara spesifik dan beragam (diversity).

Secara riil, belum dikenal istilah pertanian postmodern, namun secara terminologi, postmodern sudah lama dikenal dalam ilmu-ilmu sosial dan dinamika paradigma. Istilah postmodern berkembang dari filsafat dan pemikiran kebudayaan (Jean Baudrillard, J.F.Lyotard, Federico de Onis), sosiologi yang digulirkan Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Jacques Derrida dan kemudian diadopsi (bahkan digeneralisasi) sebagai paradigma alternatif (post-positivistik) yang korektif terhadap paradigma positivistik. Paradigma positivistik sendiri disebut post- tradisional (Anthony Gidden) yang menjadi pijakan kemodernan (juga pertanian modern) yang secara historis merupakan anti-thesis dari ketradisionalan. Adorno, Hokamier, Habermas, Freireu, Fromm, Bordieou dan penganut majhab Frankfurt secara umum menyebutnya paradigma postpositivistik. Pada perkembangannya, postpositivistik (termasuk kritik) teridentifikasi tidak steril dari kreasi-kreasi, komuflase-komuflase dan metafor-metafor positivistik, sehingga mendorong gagasan radikal dari Nietzsche, Foucault, Heideggar, Lyotard dan lainnya untuk membongkar kebenaran ilusi atau kebenaran relatif yang sembunyi dibalik positivistik dan postpositivistik (modernism). Paradigma postmodern memandang perlunya kebenaran ideal, yang dipandang memadai untuk membongkar secara radikal metafor-metafor (makna-makna dibalik) kebenaran relatif (ilusi).

Mengadaptasi postmodern sebagai paradigma baru (alternatif) yang lahir dari kritik dan krisis yang terjadi pada paradigma positivistik dan postpositivistik, maka hipotesis yang berkembang, pertanian postmodern adalah pertanian yang bercirikan berlandaskan pada kebenaran mutlak, beradab, maslahat, ekologis (seimbang, berkelanjutan), produktif (kreatif, inovatif), menyejahterakan, mengedepankan keberagaman (diversity), mengintegrasikan kecerdasan (spirit, emosi, rasio, sosial), mengedepankan kemungkinan ketimbang kepastian, menjadikan yang mutlak sebagai validasi yang relatif, mengadopsi keterbukaan (divergent) ketimbang pemusatan (homogen, convergent), mendahulukan yang lokal (spesifik, unik, citizenship, glocalism) ketimbang yang umum (general, globalism), senantiasa adaptif-antisipatif dan regeneratif, mengintegrasikan etika dan estetika, menggunakan cara berpikir sistem (kedinamisan, keteraturan dan keseimbangan), menguatkan daya saing, kedaulatan dan membangun kemandirian. Konstruksi tersebut tentu sangat hipotetikal, karena dalam dunia nyata pertanian modern, petani saja patut dipertanyakan, apakah masih ada yang namanya petani? Jika menemukan dugaan kebenaran, apakah itu petani sungguhan atau hanya sekedar zombie-zombie dan mumi-mumi yang digerakan korporasi transnasional? Meskipun Eric R. Wolf, Alain Touraine, Ploeg dan lainnya menegaskan ketiadaan petani gurem (peasant) di masa yang akan datang, namun fakta di Indonesia (terutama di Jawa) menunjukkan eksistensi yang masih nyata.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang berbasis komunitas (community), yang menghasilkan produk yang unik, spesifik dan bernilai tambah. Komunitas-komunitas yang berperan sebagai penangkal (counter) hegemoni korporasi global. Sejatinya, hanya dua entitas lokal yang dapat menangkal dominasi korporasi, yakni komunitas-komunitas yang menghasilkan produk unik dan spesifik, serta korporasi bangsa (BUMP, BUMD dan BUMN) yang mengakar hingga ke peloksok pedesaan. Korporasi bangsa yang dimaksud adalah yang terintegrasi dengan komunitas-komunitas, sehingga tidak saling melemahkan, tetapi saling menguatkan dalam meng-counter hegemoni korporasi. Pengembangan korporasi bangsa sampai ke desa-desa harus didukung semua pihak, karena itu merupakan strategi untuk meng-counter korporasi swasta dan korporasi global yang semakin menghujam ke desa-desa. Kehadiran layanan korporasi negara yang terintegrasi dengan komunitas di desa- desa merupakan suatu keharusan, karena itu merupakan upaya untuk meng-counter (minimal mengimbangi) laju perkembangan supermarket dan minimarket yang ekspansinya semakin meluas (menyebar) ke pedesaan. Sebelum seluruh warung runtuh, seluruh jaringan bisnis pedesaan beku, alangkah lebih baiknya jika komunitas dan korporasi negara dilembagakan dan mendapat pemihakan. Sejatinya, Cina, Jepang, India, Taiwan, Israel dapat bertahan dari gempuran imperialisme global karena menempatkan komunitas dan korporasi negara sebagai kekuatan terdepan. Kekuatan yang didukung dengan pemihakan bangsa dan negara atas komoditas dan produk (karya) bangsa sendiri.

 

Thesis dan Sinthesis Pertanian Postmodern

Secara filosofis, pertanian postmodern adalah pertanian yang berlandaskan filosofi dan kerangka kebenaran mutlak, kebenaran ideal, kebenaran yang berlandaskan Al-Qur'an dan Assunah. Pertanian yang islami, pertanian yang beradab, pertanian yang maslahat, yang teratur dan seimbang (QS Al Mulk: 3), yang mengedepankan kemaslahatan bersama dan keberagaman (diversity). Pertanian yang terintegrasi atau terpadu (QS Al Kahfi: 32). Pertanian yang kreatif-inovatif berkelanjutan, yang eco-logically (deep ecology), yang eco-nomically (blue economy), yang eco-socially (succes-regeneration). Pertanian yang multifungsi dan multi sistem (ecosystem, sociosystem, geosystem). Pertanian yang holistik dan ekologis (QS Al Ra'd: 4), yang lintas pelaku dan lintas bidang ilmu (transdisiplin). Pertanian yang multi integrasi hollistically (pelaku, pemerintah, pelaku usaha, akademisi, konsumen, masyarakat, infrastruktur, iklim, alam dan lainnya) dan berbasis komunitas (lokal). Pertanian postmodern adalah pertanian spesifik lokasi, pertanian yang spesifik agroekosistem, pertanian yang bebas dari kendali-kendali (imperialisme lanjut) dan kreatif kapitalisme (kendali korporasi). Pertanian postmodern adalah pertanian ideal yang rasional diimplementasikan, yang steril dari riba, utang dan bahan-bahan pencemar.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang dikelola disuatu tempat (spesifik lokasi), komoditasnya setempat, komoditasnya beragam (diversifikasi), pelakunya dari petani atau komunitas setempat (local community), proses produksi (perbenihan, input, usatani, penyimpanan, pengolahan) dilakukan dilokasi dan oleh komunitas setempat. Pertanian yang orientasi produksinya untuk pemenuhan kebutuhan (post- productivism), baik untuk benih (sebagian besar disimpan dalam bentuk bulirnya), sedikit untuk konsumsi (diolah) dan sebagian untuk berbagi. Pertanian yang tidak tergantung kepada satu hasil produksi usahatani (karena pendekatannya terintegrasi) sehingga tidak memaksimalkan produktivitas (melalui intensifikasi), tetapi diversifikasi, ketertataan tanaman (kebun), pola keseimbangan alam dan kesesuaian dengan kondisi lingkungan (adaptif). Pertanian postmodern adalah pertanian yang saling menghargai keberagaman dan dengan keberagamannya saling berbagi, saling bertransaksi, saling bekerja sama dan saling melindungi. Pertanian postmodern adalah pertanian yang terbebas dari upaya-upaya penyeragaman dan pengendalian oleh kelompok atau bangsa tertentu. Pertanian postmodern adalah pertanian yang menghargai kemaslahatan bersama, yang meminimalkan konflik dan kebencian.


Pertanian postmodern adalah pertanian yang menempatkan usahatani (on-farm) sebagai inti (core) pembangunan pertanian dan atau agribisnis. Pertanian yang terintegrasi secara vertikal maupun horizontal, secara sistemik maupun holistik (ecologis). Dalam konteks ini, konsepsi terintegrasi merujuk pada semua subsistem, semua pelaku dan semua sektor. Usahatani merupakan penentu berjalan dan berlanjutnya seluruh subsistem, pelaku dan sektor terkait, sehingga usahatani dipandang penting dan patut untuk diperhatikan dan menjadi perhatian, patut dilindungi (bukan dieksploitasi) dan patut dikembangkan atau diinovasi oleh semua pelaku terkait dalam sistem pertanian dan agribisnis. Tuntutan konsistensi dan konsekuensinya, semua pihak terkait harus menjaga dan melindungi keberlanjutan usahatani beserta sistem yang melingkupinya (agroecosystem), baik ecosystem, sociosystem maupun geosystem. Usahatani dan pelakunya harus berdaulat dan harus menjadi fokus regenerasi, karena menentukan jalannya aktifitas agribisnis sebelum dan sesudahnya. Produksi input dan pengolahan harus dikreasi dan diinovasi secara berkelanjutan, karena menjadi penentu peningkatan nilai tambah. Kelembagaan pendukung dan konsumen harus dikuatkan (diberdayakan) pemihakannya, karena menjadi mitra utama pelaku produksi dan pelindung dari berbagai spekulasi pasar.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang dikelola oleh generasi pelaku yang berjiwa kepemimpinan (amanah, fathonah, siddiq, tabligh), pelaku yang terdidik dan berkeahlian (brain gain actors), generasi yang berusia muda (20-40 tahun), yang berpendidikan tinggi (sarjana dan pascasarjana), berpendidikan nonformal (magang, kursus, sekolah lapang dan pelatihan), baik bidang pertanian maupun non pertanian. Pelaku muda yang mengembangkan usaha secara beragam, baik pelaku produksi dan penyediaan input (up-stream), pelaku produksi usahatani (on-farm), pelaku penanganan dan pengolahan (down- stream), pelaku pelayanan pendukung (supporting system) maupun pelaku kreatif-inovatif (value capture and creation) baik sayuran, pangan, hortikultura, ternak, tanaman perkebunanmaupun tanaman kehutanan, baik skala besar, sedang maupun kecil, baik yang mengelola usaha sendiri, warisan, kemitraan, pengembangan maupun rintisan. Pelaku yang menginternalisasi keunikan lokal dengan Iptek unggul global, yang terbebas dari riba utang. Pelaku yang bukan hanya kreatif, inovatif, adaptif dan antisipatif, tetapi juga memiliki mental dan jiwa percaya diri, identitas diri dan bangga atas karya bangsanya. Pertanian postmodern adalah pertanian yang halalan tiyyiban, pertanian yang steril dari ribu dan bersih dari hak orang lain (karena dikeluarkan zakatnya). Pertanian yang dasar-dasar ilmu praktiknya bersumber dari Al-Qur'an dan hadist. Sejatinya, Al-Qur'an adalah kebenaran abadi, kebenaran yang mematahkan kebenaran relatif masyarakat modern atau kebenaran ilusi (menurut Nietzsche).

Pertanian postmodern adalah pertanian yang mulia dan dimuliakan, yang secara holistik terbebas dari perbudakan dan penjajahan, kolonisasi dan neokolonisasi. Pertanian yang bermartabat, pertanian yang terhormat dan maslahat. Pertanian postmodern adalah pertanian yang diusahakan oleh tiga model pelaku muda. Pertama, pelaku primer yang fokus pada usahatani (on-farm) yang sudah menjadi tradisi keluarga dan masyarakat. Kedua, pelaku sekunder yang fokus pada usaha off-farm (penyedia input on-farm, input agroindustri), pengolahan, perantara, bandar, supplier, pengelola kelompok, pengrajin dan penyuluh. Ketiga, pelaku tersier yang fokus pada usaha alternatif on-farm dan of-farm (seperti kopi, pisang, jamur, supplier ke supermarket dan rumah makan, pengelola pusat pelatihan pertanian dan pedesaan swasdaya [P4S], penangkar benih/bibit, peternak, pelaku pengepakan, pengelola agro-ekowisata, pengelola radio komunitas, penyuluh swadaya) dan ekonomi kreatif. Pelaku tersier yang kreatif dan inovatif merupakan pelaku pertanian postmodern yang sejatinya. Pelaku pertanian yang menawarkan dan menciptakan keberagaman (diversification) berkelanjutan, baik dalam aspek input produksi, proses, produk, pengolahan, pelayanan, lingkungan, lapangan kerja dan wirausaha pedesaan dan regenerasi. Pelaku pertanian yang memperhatikan ketertataan dan keseimbangan.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan, keberlanjutan dan relasi-relasi sistem, baik inter, antar maupun trans agroekosistem. Pertanian postmodern adalah pertanian yang sejalan dengan sistem kerja ekosistem (holistik dan ecologis). Dengan kata lain, pertanian postmodern adalah agribisnis ekologis (eco-agribusiness). Agribisnis ekologis memiliki karakteristik yang sejalan dengan sistem sosial (socio-eco agribusiness), sistem geologis (geo-agribusiness) dan model bisnis berbasis ekologis (blue economy). Melalui agribisnis ekologis, peluang penciptaan lapangan kerja dan usaha baru tidak akan dibangun melalui pendekatan "manu" faktur, tetapi akan muncul dari "eco" faktur yang berjalan seperti pencapaian sebuah ekosistem. Eco-factur akan berjalan menggantikan proses-proses linear dan komuflase hijau. Limbah akan menjadi sumberdaya kembali, material yang tersedia secara lokal akan terintegrasi ke dalam alur material lainnya, standar pasar akan berubah dan ide-ide kreatif akan menjadi pemula norma bisnis yang stagnan dimana dominasi selama ini berubah pada aliran pemasukan. Budaya melindungi dan mematuhi akan berkembang dan mendorong regenerasi mengoreksi kesalahan masa lalu dan penciptaan peraturan baru. Memproduksi dalam skala personal, komunitas maupun massal tidak akan menjadi persoalan, karena tidak bergantung pada input dari luar dan hasil produksi tunggal (Pauli, 2010).

Model agribisnis ekologis ditawarkan karena sejalan dengan uapaya mewujudkan keberlanjutan (termasuk dalam frame SDGs), kesejahteraan dan kebahagiaan. Ada beberapa keunggulan dari model agribisnis ekologis, diantaranya: (1) menyinergikan keberlanjutan sosial, ekonomi, ekologi, teknologi dan institusi; (2) menginternalisasi pengetahuan lokal [tacit knowledge] dengan pengetahuan unggul dari luar [explicit knowledge] sebagai wujud implementasi manajemen pengetahuan; (3) menyinergikan sistem agribisnis, sistem sosial, lingkungan (eco-sysem) dan sisem geologis; (4) menyinergikan modal sosial, modal ekonomi, modal teknologi, modal alami, modal manusia, modal fisik, modal informasi, modal institusi dan modal energi; (5) menyinergikan model bisnis ekonomi biru dengan pendekatan pengembangan masyarakat, kemitraan dan regenerasi dalam mewujudkan "eco-facture" dan menggeser pendekatan "manu-facture"; (6) mengganti manajemen rantai supply (supply chain management) dengan manajemen siklus nilai (value cyclick management) dengan menyinergikan eco-facture, value-ecocreation, keunikan lokal, pasar dan value capture; dan (7) mengantisipasi kemungkinan degradasi lingkungan, tidak produktifnya sumberdaya manusia (aging), kemandegan inovasi dan meningkatnya residu (sampah) agribisnis melalui fasilitasi, advokasi dan aplikasi teknologi konvergensi (cyber extension, rural innovation center, rural virtual, rural-Z dan lainnya).

Pertanian postmodern adalah pertanian yang bersifat menginternalisasi (internaliz), mengintegrasikan, mengkolaborasikan, mentautkan, menyandingkan, menjembatani, mengikat dan melibatkan berbagai pihak terkait (multiple helix) dengan menggunakan pendekatan yang bersifat plural (pluralistic method). Komunitas sebagai otoritas pengelola usahatani dan diversifikasi berbagai produk turunannya merupakan pusat dalam model multiple helix. Dengan demikian, maka penciptaan wirausaha dan lapangan kerja tercipta dan terjadi dalam banyak ruang, termasuk di pedesaan, pulau-pulau, wilayah pedalaman dan wilayah-wilayah strategis. Pendekatan kepada pelaku pertanian postmodern tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi plural (ragam metode, ragam, teknik, ragam alat bantu, ragam sumber). Namun semua itu bukan ditujukan untuk adopsi inovasi luar (external input), bukan pemaksaan monokultur, serta bukan pula peningkatan produktifitas untuk memenuhi permintaan pasar. Orientasi utamanya adalah membangun kedaulatan, kemandirian dan diversifikasi rumah tangga petani dan komunitas petani. Pertanian postmodern adalah pertanian yang berjiwa dan berbudaya, pertanian yang mendapatkan pengakuan dan pemihakan dari seluruh rakyat, pertanian yang dibanggakan dan dikembangkan generasi bangsa. Pertanian yang dihidupkan dan menghidupkan petani (peasant) dan generasi petani (new peasant). Pertanian yang bernilai dan selalu dinilai tinggi oleh generasi negeri.

Pertanian postmodern adalah pertanian transdisiplin yang mengintegrasikan pertanian dengan estetika (desain, arsitektur dan seni), baik untuk melakukan perombakan desain, perbaikan bentuk, peragaman rupa, membuat varian, mendesain (wadah, kemasan, bahasa dan mempercantik produk) maupun untuk peningkatan nilai tambah dari proses dan pelayanan. Desain menyangkut kedayaan estetik (daya penyadar, daya pembelajar dan daya pesona), peragaman rupa (seperti gaya dan tema) dan keadaban (apresiasi, kualitas, kesantunan, nilai, norma, cita, kebaruan, keberpihakan dan regenerasi). Keragaman agribisnis dapat didesain dalam bentuk "eco-design, green product, blu-product, green-craft, low-energy, sustainble-design, bio-design, blue-design, foods-design, foods- pill, bio-fractal" dan lainnya. Untuk itu, partisipasi aktif para seniman, desainer dan arsitek dalam menguatkan agribisnis menjadi sangat penting, terutama untuk meningkatkan nilai tambah keunikan yang menjadi penciri utama daya saing berkelanjutan. Estetika juga terkait dengan branding, baik promosi berteknologi, pameran, publikasi dalam berbagai ruang dan media, serta ekspor karya-karya desain. Meskipun kreasi-kreasi pertanian dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dan menginternalisasikan lokal dan global, namun sejarah mencatat bahwa kreasi dan inovasi lokalitas selalu lebih unggul dan lebih kompetitif dalam berbagai ruang publik.


Pertanian postmodern adalah pertanian islami. Dikatakan demikian, karena pertanian yang islami yang berlandaskan Al-Qur'an bukan saja bersifat universal tetapi juga adaptif dan antisipatif terhadap segala kemungkinan. Artinya, pertanian islami adalah pertanian yang lebih dari postmodern, karena bersifat adaptif dan antisipatif, sehingga berlanjut sampai akhir zaman. Pertanian yang berbasis Al-Qur'an kuratif terhadap kekeliruan masa lalu dan antisipatif terhadap segala hal yang "potensial, berpeluang dan pasti" akan terjadi di masa yang akan datang, bahkan sampai akhir zaman. Pertanian (dan atau agribisnis) postmodern adalah pertanian yang beradab (humanis), maslahat (melindungi, menghargai, berkah, berkebajikan), ekologis (sistemik, holistik), berkelanjutan (produksi, diversifikasi, distribusi, konsumsi, regenerasi), produktif (kreatif, inovatif), integratif, adaptif, variatif dan berbeda (divergent), ramah lingkungan, diusahakan oleh generasi yang terdidik dan berkeahlian, menempatkan usahatani sebagai inti (core) dari sistem pertanian/ agribisnis, dilakukan secara kolektif dan kolaboratif dalam komunitas yang terintegrasi dengan berbagai pihak yang multi dan trans disiplin (multiple helix), berbasis keunikan dan kearifan sumberdaya lokal (sustainable competitiveness), bernilai tambah tinggi pada seluruh sistem, menciptakan wirausaha mandiri dan lapangan kerja di berbagai ruang, mendapat pemihakan sosial ekonomi politik dari bangsa (konsumen dan masyarakat) dan negara, serta menggunakan pendekatan pemberdayaan yang adaptif-pluralistik (community polypalen). Rekomedasinya, diperlukan payung hukum untuk melegalisasi, menginternalisasi dan melembagakan pertanian postmodern.

Pertanian postmodern adalah pertanian yang halal dan baik (halalan toyyiban), yang harmoni, yang steril dari riba (utang bersyarat), yang dikeluarkan zakatnya (jika memenuhi nisab), yang bersih dari bahan-bahan kimia dan zat berbaya (baik pestisida kimiawi, pupuk kimiawi, pengawet kimiawi, perasa dan pewarna kimiawi), yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan (manusia, tanah, air, udara, tanaman dan ternak), yang steril dari perilaku menyimpang (dari mulai input, proses, pendanaan, panen, pengolahan sampai pemasaran). Pertanian yang menghargai keberagaman, yang diproduksi untuk memenuhi kecukupan kebutuhan (bukan maksimalisasi produksi), yang dinisbatkan untuk memenuhi generasi sekarang dan yang akan melanjutkan. Pertanian yang cerdas, yang bukan hanya bernilai tambah, tetapi menambah nilai (spirit, sosial, ekonomi, ekologi, emosional, intelektual dan kutlural). Pertanian yang dikelola dan dioperasikan oleh generasi petani yang bermental, berjiwa dan berbudaya pertanian. Pertanian yang dipersiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan (antisipatif), yang sesuai dengan keragaman (adaptif). Pertanian yang memperhatikan hak, kewajiban dan syukur. Pertanian yang beradab, yang maslahat, yang berkah dan yang diberkahi Illahi. Pertanian yang memperhatikan hak, kewajiban dan syukur. Pertanian yang beradab, yang maslahat, yang berkah dan yang diberkahi Illahi. Pertanian yang menghargai dan dihargai generasi negeri. Wallohua'alam bissawab.

"...Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran dari Al-Qur'an”

(QS. Al Muddatstir: 54-55)

 

PEMBERONTAKAN

"substansi buku ini lebih mencerminkan spirit pemberontakan (rebel) jika meminjam istilah Albert Camus, pemberontakan yang bukan (ber- beda) dengan revolusi; pemberontakan generasi bangsa atas kolonisasi, atas dominasi moderni- sasi, atas kendali hegemoni, atas bangsa yang nyaman dalam keterjajahan, atas bangsa yang bangga dengan aktor-aktor penjajahan, atas elit- elit bangsa yang menjilat korporasi, atas bangsa yang bangga dengan komoditi luar negeri, atas bangsa yang semakin tidak menghargai dan tidak bangga dengan keberagaman dan keunggulan spesifik lokal, pemberontakan............ dan pemberontakan"