Thursday 11 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 5 and Day 6 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata

 


Berikut ini rekap insight dan rangkuman dari Day 5 dan Day 6 #22HBB Vol. 3 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata. Selamat Menyimak!


Day 5 #22HBB Vol.3 (10 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 97-121/362

Insight/rangkuman/catatan:

PARADIGMA PERTANIAN POSTMODERN

"baik sebagai terminologi maupun paradigma, postmodern sejatinya merupakan produk era modern yang bersifat antitesis (anti kemodernan); diadopsinya konsep tersebut tentu tidak semata- mata didasari proposisi tidak adanya istilah lain yang lebih steril dari kemodernan dan tidak juga menalan postmodern sebagaimana diarusutamakan Nietzsche, Derrida, Foucault, Lyotard, Rosenau dan Baudrillard, ada makna yang lebih dari diskursus atau sekedar kritis ala Marxis dan mazhab Frankfurt yang hendak dikemukakan, makna yang berlandaskan pada kebenaran mutlak (ultimately truth) yang membebaskan pikiran dari diskursus-diskursus yang dikreasi imperium global, bukan kebenaran relatif yang sejak lahir telah terkontaminasi kekuasaan (power) dan kepuasan"

Meminjam istilah Fakih (2001), pertanian postmodern dalam tulisan ini lebih ditempatkan sebagai gerakan pemikiran dan perilaku radikal, bukan suatu teori perubahan sosial yang terkontaminasi modernisasi.

Pertanian postmodern ditawarkan bukan sekedar mengganti terminologi pertanian modern, tetapi membongkar secara radikal (membelah dan mengubah) secara paradigmatis pakem-pakem kemodernan. Melalui dekonstruksi, kecacatan-kecacatan pakem pertanian modern terlebih dahulu diuraikan secara mendalam, sehingga dapat ditelusuri jejak-jejak kontradiksi kebenarannya. Sekali lagi, berbeda dengan pemikiran Derrida yang memandang tidak ada kebenaran, yang dalam kaca mata penulis, yakin diarahkan pada kebenaran relatif, bukan kepada kebenaran idealitas sebagaimana ditawarkan Foucault. Benar bahwa teks-tualitas, termasuk sosial, budaya, ekonomi, pilitik dan religi menjadi sasaran pembelahan dan pengubahan radikal yang ditawarkan Derrida, namun tidak ditegaskan pada kebenaran idealitas. Dekonstruksi Derrida lebih dari sekedar pandangan dunia atau metode yang digunakan untuk memahami realitas, tetapi sampai pada makna dan nilai-nilai yang sejati yang melebihi batas rasionalitas. Makna dan nilai baru yang boleh jadi hasil integrasi hati dan pikiran, sehingga mengaburkan pemilahan-pemilahan dan pelabelan-pelabelan yang sifatnya diametral atau polar. Berdasarkan semua itu, dapat ditegaskan bahwa arah utama paradigma pertanian postmodern adalah membongkar secara radikal makna (kontradiktif) yang tersembunyi dibalik realitas (teks) pertanian modern untuk menemukan makna baru yang lebih berperikemanusiaan, yang berpijak pada kebenaran yang diidealkan. Kebenaran yang berdasarkan Al-Qur'an.

Pertanyaannya kemudian, seperti apa wujud kebenaran pertanian postmodern yang diidealkan atau yang steril dari hasrat kepuasan dan kekuasaan manusia tersebut? Adalah pertanian yang difitrahkan Alloh SWT sesuai dengan karakteristik belahan bumi. Pertanian yang berlandaskan keragaman hayati (komoditas), klimatologis, geografis, demografis dan ekologis spesifikasi lokal. Pertanian yang berpola pada cara alam menghasilkan, yang teratur (tertata), yang adil, yang seimbang, yang beretika, yang spesifikasi lokasi, yang unik, yang berlandaskan kemandirian lokal, yang mengedepankan pengetahuan dan teknologi lokal (internalization), yang beradab dan yang maslahat. Pertanian- pertanian yang berlandaskan kebenaran mutlak yang digaransi Al-Qur'an. Pertanian postmodern adalah pertanian yang berbasis keragaman lokalitas, berbasis keragaman komoditas dan berbasis keragaman komunitas, yang tidak menciptakan persaingan, tetapi bersanding (sejajar) dan berbanding, sehingga membangun pertukaran, saling menguatkan dan saling melengkapi. Pertanian yang menciptakan wirausaha (kemandirian), yang mengakar pada banyak masyarakat, yang saling melengkapi, bukan burpusat pada penguasa atau dominasi elit yang mengeksploitasi. Pertanian postmodern adalah pertanian yang menciptakan wirausaha pada seluruh aktifitas yang bertautan, baik dalam produksi usahatani, produksi input, distribusi input, distribusi hasil, pemasaran, pengolahan, distribusi input pengolahan, distribusi hasil olahan, distribusi informasi dan sebagainya.

Paradigma Islam Tentang Pertanian Postmodern

Hal yang penting untuk digaris bawahi dari pertanian postmodern paradigma ideal adalah "semangat perubahan dan pembebasan" ke jalan yang lurus. Ada kegelisahan dan kecemasan dari kesalahan- kesalahan dan kecacatan-kecacatan pertanian modern yang jika meminjam istilah Dale Carnegie "butuh proses dan waktu untuk bisa mengelurkannya dari gulungan ombak akibat tergelincir dari jalan yang lurus dan tercerabut dari keteraturan dan keseimbangan". Ibn al-Muqaffa berkata "orang mukmin pun disebut berada dalam kebaikan selama tidak tergelincir dari jalan lurus. Bila tergelincir, ia akan tenggelam ditelan gelombang". Jalan yang lurus adalah jalan yang benar. Syeh Muhammad Al-Ghazali mengatakan "dengan Al-Qur'an dan sunnah Rasul-Nya, Islam menyiapkan petunjuk bagi manusia menuju kebenaran dan kesempurnaan". Petunjuk diturunkan agar manusia tidak tersesat. Pertanyaannya? Mengapa ummat Islam sekarang tersesat di jalan yang terang? Alloh SWT berfirman "barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka (QS. Thaha (20): 123-124)". Sejatinya ibadah ditujukan untuk mempertajam nalar dalam memahami kebenaran. Kesalehan dan ketaatan meski diikuti dengan kesadaran dan tindakan. Ilmu itu harus berbuah amal, jangan hanya disimpan dalam ingatan. Jika diamalkan secara kaffah akan membawa kecakapan, kemajuan dan kejayaan peradaban. Rasulullah SAW bersabda "perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan supaya merasa lapang".

Sebagai sebuah aktifitas paling tua di dunia, bertani itu butuh pola pikir teratur dan seimbang (ilmu, akhlak, amal) agar "kelapangan atau keberlimpahan sumberdaya alam tidak menenggelamkan dan "kesempitan atau krisis" tidak memenjarakan. Bahwasanya, pertanian bukan sekedar budaya dan aktifitas yang bersifat pemenuhan perut (duniawi-sekuleristik), tetapi memiliki makna dan nilai-nilai transendental.



Day 6 #22HBB Vol.3 (11 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 122-132/362

Insight/rangkuman/catatan:

PRESISI PERTANIAN POSTMODERN (STUDI KOMPARASI PERTANIAN JALAN TENGAH)

"kini tiba saatnya bagi generasi era bonus demografi bangkitkan identitas negeri, kelebihan tanah air yang dianugerahkan Illahi, kekayaan dan keberlimpahan sumberdaya alam bukan hanya dapat digunakan untuk mengunggulkan bangsa, tetapi merupakan fondasi menuju peradaban mapan; mari kita cermati dan kita komparasi dengan negeri- negeri lain yang tidak punya apa-apa, yang berbekal dari mencuri tetapi merajai bumi; mari kita lantunkan kepada generasi tentang biodiversity, tentang flora dan fauna di daratan dan di lautan, tentang sungai yang mengalir di seluruh negeri, tentang kejayaan dan ketangguhan para pejuang Nusantara yang lantang menentang dan mempertahankan jengkal pertiwi dari ambisi kolonisasi"

Secara makro, tidak ditemukan referensi yang secara eksplisit mengupas tentang model pertanian postmodern. Namun, dari hasil penelusuran, penulis mengidentifikasi beberapa referensi yang "konten dan konteksnya" relatif mendekati atau memiliki presisi (penghampiran) dengan pertanian postmodern. Pertama adalah buku "Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah" yang ditulis oleh Reijntjes dan Bartus (1999); Kedua, buku "Dekolonisasi Metodologi" yang ditulis oleh Linda Tuhiway Smith (2001); Ketiga, buku “Kuba Melawan Revolusi Hijau" yang ditulis oleh Peter Rosset dan Medea Benyamin (2005); Keempat, buku "Multifunctional Agriculture: A Transition Theory Perspective" yang ditulis oleh Geoff A. Wilson (2007); dan Kelima, buku "Blue Economy: 10 Tahun, 100 Inovasi dan 100 Juta Pekerjaan" yang ditulis oleh Gunter Pauli (2013). Sebagai penganut isme pembangunan, sangat sulit menemukan referensi yang eksplisit mencerminkan pertanian postmodern di Indonesia. Namun, ada beberapa yang relatif mendekati, meski tidak menyinggung postmodern atau kritik post-productivist. Pertama, pertanian kontemporer masyarakat pedalaman (Kasepuhan, Dayak, Dani Balim), pertanian spesifik lokal (manggis) dan pertanian organik. Kedua, budidaya ikan tradisional di Tasikmalaya dan Ciamis dengan input (pakan organik) yang diproduksi sendiri dari limbah pabrik tahu dan RPH ayam (ampas tahu dan bulu ayam) dengan menerapkan cara alam dalam menghasilkan. Beberapa referensi yang memiliki presisi dengan model pertanian postmodern adalah sebagai berikut:

Belajar Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah: Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA)

Secara praktis, pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA) bukanlah hal baru. Jauh sebelum konsep dan teorinya diperkenalkan, masyarakat di beberapa negara tropis sudah menerapkannya. Pada umumnya, praktik dan konsep LEISA muncul sebagai bentuk koreksi para prakisi maupun teoretisi terhadap praktik pertanian berparadigma positivistik, yakni revolusi hijau (green revolution). Salah satu implikasi revolusi hijau yang dikritisi adalah dampak penggunaan input kimia (baik pupuk kimia, pestisida kimia dan benih hibrida) yang negatif terhadap manusia, lahan, air, udara, binatang dan lingkungan pada umumnya. Selain itu, input-input yang didatangkan dari luar juga berdampak terhadap erosi genetik keragaman hayati dan degradasi kearifan (pengetahuan dan teknologi) lokal Secara paradigmatis, LEISA merupakan kreasi kapitalisme. Dikatakan demikian karena lahir sebagai bentuk koreksi (self correction) terhadap developmentalisme. Pada kenyataannya, LEISA lebih mendekati model pertanian yang seimbang, namun input luarnya masih tetap didatangkan dari industri dan bahkan impor. Jika demikian, maka LEISA bersifat mendua (ambigue), karena tidak secara tegas menghentikan input luar (pupuk kimia, pestisida kimia dan benih hasil rekayasa genetik) yang dipasok dari industri dan impor. Melekatnya konsep "Sustainable Agriculture" yang didesain WCED (World Commission on Environmental and Development) menegaskan bahwa LEISA masih belum steril dari "developmentalism". Orientasi LEISA "pada peningkatan produktifitas dan pemenuhan permintaan pasar" menegaskan bahwa warna trauma "Thomas Malthus" masih menghantui. Bahkan, menjadi strategi dan teknik para pekerja pembangunan (Reijntjes et al, 1992). Namun demikian, pemihakannya atas pentingnya input dalam (internal input) dan partisipasi masyarakat lokal cukup memadai untuk dijadikan sebagai presisi pertanian postmodern.

Hal mendasar dari LEISA "yang relevan dengan pertanian postmodern" adalah aksi radikalnya dalam membongkar perspektif pertanian modern yang dalam penggunaan input luar sangat bias pada peningkatan produktifitas. Padahal, keberlanjutan terkait juga dengan ekosistem, budaya, identitas, lokasi, keamanan, kontinuitas, modal sosial dan kriteria penilaian dari masyarakat setempat. Fenomena stagnasi produktifitas pertanian di negara-negara dunia ketiga sejatinya bukan karena berkurangnya penggunaan input (luar), tetapi karena degradasi sumberdaya lahan, konversi lahan, ekstensifikasi, banjir dan kekeringan akibat kerusakan daerah resapan air, salinisasi, tuanya umur petani, jenuhnya komoditas produk rekayasa dan kebalnya generasi hama penyakit tanaman. Bahkan, kondisi tersebut bertambah parah seiring dengan berubannya iklim dan diabaikannya daerah tadah hujan. Secara historis, LEISA mulai dilembagakan di penghujung abad 20, baik oleh Conway dan Pretty (1988), Chambers et al (1989), Reijntjes et al (1992) maupun Rosset dan Benyamin (1994) sebagai upaya melakukan perubahan sesuai dengan kondisi yang juga berubah. Harapannya, perlahan namun pasti, para petani yang lama ketergantungan pada teknologi2 HEIA (High External Input Agriculture), modal besar, kredit, homogenisasi, parsial (bahkan mereduksi usaha ternak dan minatani) dan layanan eksternal (terutama penyuluhan) dapat berubah ke pendekatan LEISA. Pertimbangan lainnya adalah diadopsinya pengetahuan dan teknologi pertanian lokal, sumberdaya lokal, pengintegrasian konsep ekologis (hijau, organik, lestari) dan pertanian Model pertanian yang memprioritaskan produktifitas disebut "productivist". Sebuah model yang sangat lekat dengan pertanian modern, sehingga dikritisi habis oleh Geoff A. Wilson (2007) dan melahirkan perspektif alternatif yang olehnya disebut "post-prodictivist". alami. Fokusnya adalah pertanian dengan input luar rendah, baik karena tidak tersedia, tidak membudaya dan tidak terakses (mahal harganya).

Bereferensi pada buku "Pertanian Masa Depan" yang ditulis oleh Reijentjes dan Bartus (1992), mengidentifikasi bahwa LEISA mengacu kepada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: Pertama, berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani (yaitu: tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia, sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar; dan Kedua, berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusahakan lingkungan. LEISA tidak bertujuan untuk memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mecapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang. LEISA berupaya untuk mempertahankan (dan jika mungkin) meningkatkan sumberdaya alam, serta memanfaatkan secara maksimal proses-proses alami. Di mana bagian dari produksi itu dipasarkan, maka dicari pelung untuk memperoleh kembali unsur hara yang dihilangkan dari sistem usaha tani ke pasar.

LEISA menggabungkan komponen-komponen terbaik dari pengetahuan dan praktek-praktek setempat, pertanian berwawasan ekologi yang dikembangkan di tempat lain, ilmu konvensional dan pendekatan baru dalam ilmu pengetahuan (misalnya: bioteknologi dan sistem agroekologi). Proses penggabungan pengetahuan dan keterampilan petani setempat dengan yang dibawa dan diintroduksikan oleh agen-agen luar untuk mengembangkan teknik pertanian yang khas setempat (ekologis) dan sesuai dengan keadaan sosial ekonomi (sosio-system) disebut Pengembangan Teknologi Partisipatoris (PTP).

No comments:

Post a Comment