Wednesday 18 September 2024

Etnoagrikultur: Integrasi Praktik Pertanian Berkelanjutan dan Budaya Kearifan Lokal; Studi Kasus Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat

Kampung Adat Cireundeu


Akbar Primasongko, Reza Raihandhany, dan Dzikra Yuhasyra

Pertanian berkelanjutan merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini berfokus pada menjaga keseimbangan antara produktivitas pertanian dan kelestarian lingkungan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi tanah, air, serta keanekaragaman hayati. Seiring dengan perkembangan zaman, praktik pertanian modern seringkali mengabaikan aspek keberlanjutan, sehingga mengakibatkan degradasi ekosistem. Oleh karena itu, upaya untuk mengintegrasikan kembali nilai-nilai berkelanjutan dalam pertanian menjadi semakin penting.

Di sisi lain, kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat adat seringkali mengandung pengetahuan dan praktik yang mendukung prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. Kearifan lokal ini diwariskan secara turun-temurun dan telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Banyak masyarakat memiliki praktik etnoagrikultur yang mengintegrasikan pertanian berkelanjutan dengan budaya lokal. Melalui studi kasus mengenai topik ini, kita dapat melihat bagaimana etnoagrikultur menjadi model yang relevan dalam konteks pertanian modern yang semakin terancam oleh perubahan iklim dan praktik agrikultur yang tidak ramah lingkungan.

Melalui turunan pendekatan multidisiplin ilmu etnobiologi yang memadukan keilmuan sains terapan dan sosial, etnoagrikultur hadir dalam perannya yang lebih mendalam pada ranah pertanian. Jadi, apakah itu etnoagrikultur? Sederhananya, etnoagrikultur terdiri dari dua kata, yakni etno yang berarti budaya dan agrikultur yang berarti pertanian, sehingga dapat dikorelasikan bahwasannya etnoagrikultur merupakan suatu integrasi praktik pertanian yang dipadukan dengan kebudayaan atau kepercayaan. Menurut Karnarajan & Natarajan (2019), etnoagrikultur merupakan suatu akumulasi informasi pengetahuan dan perilaku dalam praktik pertanian tanpa mengganggu sumberdaya alam serta lingkungan. Konsep etnoagrikultur menggabungkan identitas budaya suatu kelompok dengan praktik pertanian (Supiyati, 2016). Masyarakat biasanya menerapkan praktik-praktik etnoagrikultur di lingkungannya untuk meningkatkan kepercayaan sosial dan budaya. Dengan kata lain, etnoagrikultur merupakan suatu manajemen pertanian berbasis budaya maupun kearifan lokal. Selain itu, konsep etnoagrikultur memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah model pengelolaan sumber daya alam lokal secara berkelanjutan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia sebagai salah satu strategi dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Penerapan konsep etnoagrikultur sudah kerap dilakukan oleh sejumlah Masyarakat, khususnya masyarakat adat di Indonesia, salah satunya yang dekat berada sekitar kita, yaitu terdapat di Kampung Adat Cireundeu yang berlokasi di Kota Cimahi, Jawa Barat. Bentuk etnoagrikultur yang dipraktikan oleh komunitas tersebut adalah pemanfaatan singkong (Manihot esculenta) sebagai makanan pokok (Patriasih, Wigna, Widiaty, & Dewi, 2011). Praktik ini sudah dilakukan secara turun-temurun dalam kurun waktu 100 tahun. Singkong tersebut diolah menjadi “rasi” atau beras singkong yang memiliki tekstur dan rasa seperti beras padi. Selain rasi, masyarakat di Kampung Adat Cireundeu juga mengolah singkong menjadi bahan makanan lainnya seperti kue kering, kue basah, keripik, bubur, rujak, dan dendeng (Mu'min, 2020). Hingga saat ini, makanan pokok di Kampung Adat Cireundeu adalah singkong yang diolah menjadi rasi, bukan nasi sebagaimana kebanyakan di wilayah Indonesia lainnya.

Secara etimologi, penamaan Kampung Adat Cireundeu diambil dari suatu spesies tumbuhan reundeu (Staurogyne elongata), dikarenakan dahulu populasi tumbuhan tersebut ditemukan melimpah pada wilayah kampung adat ini. Kampung Adat Cireundeu memiliki slogan dalam Bahasa Sunda "teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat." yang dapat diartikan “tidak mempunyai sawah asalkan mempunyai beras, tidak mempunyai beras asalkan mempunyai nasi, tidak mempunyai nasi asalkan bisa makan, tidak bisa makan asalkan kuat”. Filosofi dari slogan tersebut adalah bersyukur atas apa yang dimiliki, di samping itu disarankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya dengan bijak. Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu mempertahankan dan memegang teguh kearifan lokal tersebut dari para leluhurnya sejak tahun 1920-an (Logayah, Ruhimat, & Mulyadi, 2021). Saat itu, kondisi tanah di Kampung Adat Cireundeu tidak bisa ditanami padi dan berpotensi menyebabkan krisis pangan sehingga para leluhur memutuskan untuk mengganti makanan pokok dengan singkong (Wigna & Khomsan, 2011; Sunaedi & Nuritsa, 2017).

Tumbuhan reundeu (Staurogyne elongata)

Dalam penerapan konsep etnoagrikultur, Kampung Adat Cireundeu membagi peruntukan wilayah spasialnya yang tersusun atas 20 ha sebagai lahan pertanian (leuweung baladahan), 20 ha adalah hutan larangan (leuweung larangan), 20 ha sebagai hutan cadangan (leuweung tutupan), dan 5 ha sisanya merupakan daerah pemukiman dengan luas total sebesar 65 ha (Sunaedi & Nuritsa, 2017; Primasongko, 2021; Tahnia, 2022). Penanaman singkong dilakukan di lahan pertanian (leuweung baladahan) yang pengelolaannya dipegang oleh setiap keluarga. Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu menerapkan pengelolaan pertanian yang unik dari wilayah kampung lainnya, yaitu dengan cara melakukan rotasi tanam pada sistem pertanian pada tanaman singkong dan komoditas lainnya. Rotasi tanam diterapkan dengan penentuan kapan waktu suatu petak tertentu di lahan pertanian ditanami singkong. Penerapan rotasi taman ini membuat Kampung Adat Cireundeu memungkinkan dapat melakukan panen singkong lebih dari satu kali setiap tahunnya (Putranto & Taofik, 2014; Primasongko, 2021) dengan implikasi tidak akan terjadinya panen raya (Gulfa & Saraswati, 2015).


Lahan Pertanian (Leuweung Baladahan) di Kampung Adat Cireundeu


Sebaliknya, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menerapkan suatu aturan bahwa tidak diperbolehkan untuk siapapun untuk memasuki hutan larangan (leuweung larangan) apalagi sampai memanfaatkan sumberdaya di dalamnya. Hal ini dilakukan supaya tetap berlangsungnya keseimbangan dalam proses ekosistem sehingga daur air tetap terjaga, mencegah erosi maupun longsor. Pada leuweung baladahan terdiri dari beberapa kebun antara lain kebun singkong (kebon sampeu), kebun talas (kebon taleus), kebun rumput gajah (kebon gajahan), dan kebun bambu (kebon awi). Kebun talas merupakan suatu lahan di mana ditumbuhi oleh tanaman talas. Talas dikonsumsi oleh Masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagai bahan pangan tambahan. Talas tumbuh di area yang tenaungi. Kebun talas juga dapat dijumpai di sekitar kebun bambu. Kebun bambu merupakan kebun dengan luas wilayah terluas yang ada di kawasan ini. Kebun bambu secara tidak langsung berperan sebagai konservasi air, selain batang bambu tersebut diambil untuk berbagai kebutuhan. Selanjutnya, kebun rumput gajah, dimanfaatkan sebagai persediaan bahan pakan bagi hewan-hewan ternak seperti kambing dan sapi. Tumbuhan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dapat tumbuh selalu meski dalam kondisi musim kemarau dan dapat dipanen setiap dua minggu sekali. Kebuthan bagi hewan terak dapat dipenuhi sepanjang tahun dengan adanya kebun rumput gajah ini (Tahnia, 2022).

Selain singkong sebagai bahan makanan pokok, di Kampung Adat Cireundeu juga ditanami berbagai spesies komoditas tanaman pertanian. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menanam tanaman buah-buahan seperti pisang (Musa sp.), pepaya (Carica papaya), dan nangka (Artocarpus altlis) (Putranto & Taofik, 2014). Adapun komoditas tanaman pangan lainnya yang dibudidaya di wilayah Kampung Adat Cireundeu antara lain kacang tanah (Arachis hypogaea), bawang daun (Allium fistulosum), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga), dan kunyit (Curcuma longa). Tanaman-tanaman tersebut umumnya dimanfaatkan sebagai bahan masakan (Tahnia, 2022; Entri, 2022).

Kembali lagi pada aspek etnoagrikultur, produksi singkong pada lahan Kampung Adat Cireundeu masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok untuk semua anggota komunitas adat yang secara eksklusif mengkonsumsi beras singkong sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan adat (Priyanto & Desmafianti, 2022). Untuk memenuhi kebutuhan singkong tersebut, Masyarakat adat masih menerapkan aturan-aturan adat yang terbentuk melalui perkembangan kearifan lokal di wilayah tersebut. Salah satunya adalah penggunaan singkong lokal jenis “karihil” dan “garnawis” untuk bahan baku utama beras singkong. Singkong jenis ini merupakan singkong dengan karakteristik umbi yang cenderung keras dan pahit, serta memiliki kadar sianida yang lebih tinggi dari singkong lainnya, namun singkong tersebut dapat tumbuh secara subur pada lahan di wilayah Kampung Adat Cireundeu (Purike, 2020). Singkong tersebut diolah menjadi rasi melalui proses yang disebut “nyampeu” agar dapat dikonsumsi secara aman oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Selain itu, beras singkong memiliki rasa dan tekstur yang mendekati beras padi sehingga cocok digunakan sebagai bahan pangan pokok alternatif (Adiputra et al., 2021).

Aspek kearifan lokal lainnya kemudian ditunjukkan melalui manajemen pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Melalui pemberian hak pengelolaan lahan kepada setiap kepala keluarga (KK) melalui pembagian petak lahan, komunitas tersebut dapat melakukan rotasi tanaman singkong dengan menanam singkong pada petak yang berbeda melalui interval waktu tertentu. Metode ini memungkinkan masyakarat adat untuk melakukan panen lebih dari satu kali setiap tahunnya (Adiputra et al., 2021), sehingga stok singkong atau rasi akan tetap terjaga di sepanjang tahunnya. Dengan menerapkan konsep etnoagrikultur tersebut, masyarakat Kampung Adat Cireunden dapat bertahan beberapa dekade hingga saat ini dengan mengandalkan produksi pangan secara lokal. Konsep etnoagrikultur yang diterapkan juga memiliki aspek keberlanjutan karena pengelolaan sumber daya alam oleh komunitas adat tersebut dapat memastikan kebutuhan pangan tetap cukup dalam jangka waktu yang panjang sehingga ketersediaan sumber daya lokal masih tersedia dari generasi pendiri hingga generasi penerus yang ada saat ini (Kotob, 2011).

Sebagaimana adat-istiadat yang masih kental dan dipegang teguh di Kampung Adat Cireundeu, sejumlah kepercayaan dan ritual yang berhubungan dengan sistem serta aspek pertanian masih dilaksanakan. Pada lahan pertanian (leuweung baladahan) khususnya di kebun singkong, apabila ditemukan tumbuhan berduri, maka pertanda tanah jenuh atau tidak subur sehingga diperlukannya penanganan berupa penyuburan tanah atau hanya bahkan didiamkan saja. Tumbuhan tersebut diduga putri malu (Mimosa pudica). Apabila di kemudian waktu sudah muncul tumbuhan merambat, pertanda jika tanah akan kembali subur. Kemudian untuk memasuki wilayah lahan pertanian (leuweung baladahan) kebun singkong, alas kaki berupa sepatu maupun sandal harus dilepas. Menurut masyarakat adat di Kampung Cireundeu, filosofi dari melepas alas kaki tersebut adalah anggapan bahwa tanah adalah “ibu nu teu ngandung” atau “ibu yang tidak mengandung”. Filosofi ini memiliki arti bahwa kita perlu menghormati tanah layaknya kita menghormati ibu kita, dan memiliki makna pendekataan manusia dengan alam (Entri, 2022).

Untuk ritual pertanian, pelaksanaanya dilangsungkan sebelum memanen singkong. Sesajen yang disediakan dalam bentuk rujakan terdiri atas melati (Jasminum sambac), mawar (Rosa hybrida), kelapa (Cocos nucifera), pisang, kopi (Coffea arabica), asam (Tamarindus indica), dan sirih (Piper betle) dibawa ke kebun singkong dan dipersembahkan untuk Pwah Aci Sanghyang Asri atau Kersa Nyai. Sosok ini dipercayai sebagai ruh yang hidup dalam tumbuhan, baik yang dikonsumsi maupun tidak (Tahnia, 2022). Selebihnya, dalam kegiatan acara besar misalnya pada Upacara Adat Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura, hasil panen komoditas singkong harus selalu ditunjukkan dalam setiap rangkaian acara (Widyaputra, Novianti, & Bakti, 2019).

Kampung Adat Cireundeu menerapkan konsep etnoagrikultur yang masih mempertahankan adat-istiadat dan budaya yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh leluhurnya dan menerapkannya dengan pengetahuan dan kearifan lokal. Makanan pokok di kampung adat ini adalah singkong yang diolah sebagai beras dengan istilah rasi. Praktek dari pengetahuan dan kearifan lokal masih dilaksanakan dalam aspek pertanian, mulai dari pengelolaan lahan hingga pelaksanaan kepercayaan maupun ritual. Penerapan kearifan lokal tersebut merupakan salah satu bukti dari resiliensi masyarakat Kampung Adat Cireundeu untuk bertahan hidup menghadapi perubahan-perubahan sejak komunitas tersebut berdiri. Hal ini memastikan masyarakat Kampung Adat Cireundeu dapat bertahan beberapa dekade menghadapi keterbatasan ketersediaan bahan pangan dengan manajemen sumber daya alam lokal secara berkelanjutan.

No comments:

Post a Comment