Di zaman
digital sekarang ini informasi mudah sekali diperoleh. Hanya dengan sekali klik
teori-teori mutakhir tentang teknologi dan berbagai hal lainnya dapat langsung
muncul di depan mata. Bahkan lebih banyak informasi yang didapat dari sekedar
materi-materi kuliah di kelas-kelas universitas yang sifatnya general. Begitu
pula dengan materi-materi tentang pertanian. Teori-teori pertanian di
kelas-kelas perkuliahan agaknya sudah dapat diakses hanya dengan mengetikan
kata kunci di Google, sehingga tak heran materi-materi perkuliahan pertanian
hanya dirasakan sebagai ceramah-ceramah akademik tingkat tinggi yang berisi
teori tanpa ada bayangan nyata di lapangan seperti apa. Itulah yang saya
rasakan tentang kuliah Rekayasa Pertanian selama 4,5 tahun di ITB, terlalu
banyak teori tingkat tinggi yang minim realisasi di lapangan. Contohnya
Termodinamika Sistem Ekologi ataupun Peristiwa Perpindahan Dalam Biosistem
masih bingung untuk saya praktekan di lapangan. Mekanika Fluida dan Matematika
Rekayasa pun cenderung hanya menjadi hitungan teoritis tanpa makna ketika sudah
melihat problematika-problematika di lapangan. Kenyataan nya di lapangan
seorang sarjana teknik di bidang Rekayasa Pertanian akan kalah dengan seorang
petani yang sudah 25 tahun menggarap sawah dan kebun secara otodidak. Teori
dikalahkan praktek dan pengalaman. Teori-teori tingkat tinggi itu seakan hanya
menjadi hitungan-hitungan tak real di atas kertas. Seorang lulusan Rekayasa
Pertanian dididik menjadi seorang generalis tanpa keahlian khusus. Kami belajar
semua hal yang berhubungan dengan pertanian dan teknik tapi tidak mendalam.
Sehingga kristalisasi materi kuliah tidak dirasakan setelah lulus kuliah dan
menguap begitu saja. Satu keahlian bidang pertanian yang seharusnya spesifik
seperti Teknik Pemuliaan ataupun Teknologi Benih hanya mengandalkan satu mata
kuliah tertentu tanpa ada pendalaman. Sehingga apa yang terjadi? Keahlian yang
sangat krusial dimiliki menguap begitu saja setelah wisuda dilaksanakan.
Sehingga tak heran setelah lulus wisuda, yang sekarang sudah tiga angkatan yang
di wisuda, sangat sedikit yang turun langsung menjadi petani dan mayoritas
masih mengejar karir di bidang lain. Begitupun dengan penulis yang masih
kebingungan antara mencari pekerjaan kantoran atau turun ke lapangan menjadi
praktisi pertanian. Sehingga kritik khalayak umum tentang lulusan pertanian
yang membelot ke bidang lain memang nyata di lapangan. Sehingga pendidikan
tinggi pertanian lebih baik teori atau praktek? Semoga dapat di jawab oleh
adik-adik angkatan penulis dimana mungkin jurusan Rekayasa Pertanian yang masih
muda ini sudah mengevaluasi kurikulum dan metode perkuliahan di masa mendatang.
Semoga!