Tuesday 16 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 11 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata - PERTANIAN POSTMODERN: KONSTRUKSI BARU DAYA SAING BERKELANJUTAN INDONESIA



Karena hari ini adalah hari spesial untuk aku dan insight/rangkuman yang ditulis merupakan hal yang fundamental, jadi aku ingin membagikan untuk Day 11
#22HBB Vol. 3 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata ini dipostingan tersendiri, yang biasanya aku tulis 2 hari sekali. Topik nya yaitu mengenai  PERTANIAN POSTMODERN: KONSTRUKSI BARU DAYA SAING BERKELANJUTAN INDONESIA, yang terdiri dari: Pertanian Berbasis Industri "Input Dalam" Unggul Lokal: Belajar dari Pabrik Cacing dan Belatung, Pertanian Spesifik Lokal (Fitrah Pertanian), Pertanian (Agribisnis) Beradab, Pertanian Era Ekonomi Biru (Blue Economy): Belajar Kepada "Bagaimana Cara Alam Menghasilkan?", Pertanian Maslahat dan Halalan- Toyyiban, dan Pertanian Harmony: Mentautkan Keseimbangan dan Keterpaduan Pertanian Masyarakat Lokal dengan Perkembangan Global. Selamat Menyimak!


Day 11 #22HBB Vol.3 (16 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata – hlm. 200-294/362


Insight/rangkuman/catatan:

PERTANIAN POSTMODERN: KONSTRUKSI BARU DAYA SAING BERKELANJUTAN INDONESIA

"pertanian (dan atau agribisnis) postmodern berkarakter spesifik (fitrah), beradab, maslahat, produktif (kreatif, inovatif), integratif, adaptif, variatif (divergent), antisipatif, ramah lingkungan (ecologis), diusahakan oleh generasi terdidik dan berkeahlian secara kolektif dan kolaboratif, berbasis keunikan dan kearifan lokal (sustainable competitiveness), bernilai tambah tinggi pada seluruh sistem, berbasis komunitas, serta mendapat pemihakan sosial ekonomi politik dari bangsa dan negara; PERSOALANNYA, belum terbangun puing-puing kearifan dan hukum formal untuk menginternalisasi dan melembagakan pertanian postmodern"

Pertanian postmodern dikonstruksi lebih dari sekedar tradisi yang sudah lama tererosi dan bukan pula antithesis dari bisnis sebagaimana implisit dalam terminologi "agribisnis", tetapi hendak menempatkan kembali pertanian sebagai identitas "budaya" sebagaimana makna sejati yang terkandung dalam "agri-culture". Makna yang lebih dari sekedar romantisme dan steril dari diskriminasi "tahapan pembangunan W.W Rostow, tanda-tanda zaman Lester Brown dan gelombang ekonomi Alfin Tofler". Makna yang derajatnya lebih bernilai dari sekedar ekonomi kreatif, ekonomi inovasi, ekonomi informasi dan ekonomi industri. Makna "budaya" umat manusia yang tidak lekang dimakan zaman (abadi) dan diabadikan kitab-kitab suci. Makna yang kebenarannya melebihi kerelatifan, makna yang memancarkan kebenaran ideal yang berlandaskan Al-Qur'an. Pertanian postmodern adalah dekonstruksi pertanian modern yang cacat, yang dalam tulisan ini dimaknai menggulingkan pertanian modern 1.0, 2.0, 3.0 dan 4.0 yang terbukti bermuatan metafor kekuasaan, pengendalian dan pengrusakan peradaban lokal yang menjadi identitas budaya Nusantara.

Pertanian postmodern bukan menawarkan jalur kiri karena kecewa dengan jalur kanan, pun sebaliknya, tetapi mengganti kedua jalur yang tidak steril dari kecacatan, kapitalisme, komunisme dan sosialisme. Pertanian postmodern adalah pertanian yang steril dari dominasi, homogenisasi dan institusionalisasi. Pertanian postmodern adalah pertanian yang bebas dari isme-isme cacat dari "kolonisasi, neo- kolonisasi, globalisasi, Eropanisasi, Amerikanisasi, Jepangnisasi, Cinanisasi, Koreanisasi, Australianisasi dan Thailandisasi". Pertanian postmodern adalah pertanian yang tumbuh sesuai fitrah alami dan berkembang (membudaya) melalui internalisasi. Internalisasi yang bersifat menyeluruh (hollistically), yang "internalnya" bermakna ganda, yang bukan hanya merujuk kepada input produksi (internal input), tetapi juga pelaku sistem pertanian (internal actors), ilmu pengetahuan dan teknologi internal yang diaplikasikan (internal knowledge and technology), kebijakan dan aturan pertanian yang digunakan dan dijadian acuan (internal policy), ragam modal yang dialokasikan (internal capital), pasar komoditas yang diprioritaskan (internal market), industri peningkatan nilai tambah atau rantai nilainya (internal industry), lembaga yang menunjangnya (internal institution) dan sumberdaya alam (lahan, air) penunjangnya (internal resources). Identitas utama dari pertanian postmodern adalah keberagaman (diversification), keseimbangan, komunitas (community) dan lokalitas. Keempatnya identik dengan kemandirian dan kedaulatan.

Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang berbagai sumberdayanya diproduksi secara mandiri dari lingkungan sendiri (localism). Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif, karena spesifik, unik dan eksistensinya bersanding (bukan saling mematikan) dengan pertanian yang spesifik lainnya. Budaya pertanian yang tidak saling meruntuhkan, tetapi saling menguatkan dan melengkapi. Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang keunggulannya terletak pada keunikan (unique), baik komoditas, lokasi, teknologi, kelembagaan, cita rasa, nilai tambah maupun kreasi dan inovasinya. Pertanian posmodern adalah budaya pertanian yang bernilai dan berumpan balik positif terhadap sistem lingkungan, sistem komunitas dan sistem geologis. Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang unik dan spesifik lokal yang dikreasi dan diinovasi berbagai nilai tambahnya. Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang dicintai, dihargai, dinikmati dan dibanggakan seluruh komponen bangsanya secara regeneratif. Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang diminati, dihargai dan dinikmati secara timbal balik oleh bangsa yang berbeda budaya. Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang tidak saling menihilkan dan tidak saling memusnahkan. Budaya pertanian yang riil, bukan pertanian yang terlihat mewah padahal mati bagai mumi-mumi atau zombi-zombi. Pertanian postmodern adalah budaya pertanian yang mandiri dan berdaulat, yang berbasis komoditas, input, energi dan agroindustri lokal, yang tidak bersampah (zero waste) dan ramah lingkungan.


Pertanian Berbasis Industri "Input Dalam" Unggul Lokal: Belajar dari Pabrik Cacing dan Belatung

Penciri utama pertanian postmodern adalah berbasis komunitas (community based), ramah lingkungan dan full input dalam (internal input). Pertanyaannya, bagaimana agar petani postmodern menggunakan input dalam secara penuh? Pendekatan pengadaan input dalam dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, membangun kembali budaya beternak dan memanfaatkan bahan organik lainnya pada masyarakat petani. Kedua, mengembangan produksi input dalam berbasis komunitas, baik melalui pendekatan kolektif maupun kooperatif. Ketiga, mengembangkan industri input dalam berskala industri di sentra produksi pertanian postmodern. Tentu saja industri yang dibangun menggunakan tangan, modal dan teknologi anak bangsa. Industri yang dibangun bukan industri raksasa, tetapi industri yang sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik lokasi. Selain itu, bahan baku yang digunakan harus bersumber dari setempat, sehingga proses saja yang menginternalisasi dari jaringan komunitas. Siapa yang dimaksud dengan jaringan komunitas? Adalah para peneliti muda di lembaga penelitian, di perguruan tinggi dan di komunitas-komunitas yang dengan keilmuannya, ketekunannya, solidaritasnya, keberaniannya dan kemandiriannya mengkreasi dan menginovasi formula input dalam yang memiliki komposisi yang sesuai dengan karakteristik lokasi dan kebutuhan hara tanaman. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan input dalam yang sesuai dengan karakteristik lokasi dan kebutuhan tanaman bukan ditujukan untuk maksimalisasi produksi persatuan luas (produktifitas), tetapi untuk mendapatkan hasil yang baik, sehat, ramah, terjangkau dan berkualitas sesuai dengan kecukupan dan kebutuhan.

Peluang pengembangan industri "input dalam" spesifik lokal dapat mengadaptasi cara-cara alam dalam berproduksi. Model produksi yang mengadaptasi cara alam disebut oleh Gunter Pauli sebagai pendekatan ekonomi biru (blue economy). Caranya alami, tetapi proses produksinya dapat dilakukan dalam skala industri. Termasuk dalam industri yang dimaksud adalah yang dikelola oleh komunitas dalam lokasi yang spesifik. Banyak usaha bioprotein yang sudah berkembang di dunia, baik dalam skala rumaham maupun skala industri. Pertama, usaha pakan ikan ramah lingkungan skala rumahan. Contoh konkritnya adalah para pembudidaya dan pengusaha ikan air tawar di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya yang dapat menyediakan pakan ikan yang sangat murah meriah, ramah, terintegrasi dan berkelanjutan. Prosesnya dilakukan dengan hanya memanfaatkan limbah organik dari pabrik tahu (ampas tahu) dan dari rumah potong ayam (bulu ayam). Kedua limbah tersebut kemudian dicampur (diaduk), lalu disimpan dalam kotak-kotak kayu terbuka di tengah kolam. Volume media disesuaikan dengan kotak yang rata-rata berukuran setengah meter persegi. Setelah beberapa hari, media yang akan dijadikan tempat untuk bertelurnya lalat, akan menghasilkan belatung dalam jumlah yang sangat banyak dan secara otomatis belatung akan melompat ke kolam. Belatung adalah makanan yang disukai oleh ikan, karena kandungan proteinnya. Dengan demikian, pakan ikan akan tersedia secara murah, mudah dan berlimpah untuk jangka waktu tertentu. Prosesnya dapat diulang-ulang, sehingga kebutuhan pakan ikan akan terus tercukupi secara murah dan sampah organik terolah secara ramah. Jika volume sampah berlimpah, maka dapat dilakukan perbanyakan kotak dan mendorong anggota komunitas untuk melakukan secara kolektif.

Kedua, usaha pakan ikan dan unggas skala industri. Pada kasus di Afrika Selatan dan Australia, larva-larva (belatung) dari sampah- sampah organik bukan hanya diproduksi dalam skala industri, tetapi dimanfaatkan oleh industri yang beragam, baik industri vaksin, industri pakan ternak, industri pakan ikan dan industri pupuk organik. Larva-larva yang dihasilkan dari industri pengolahan limbah organik tidak hanya dimanfaatkan dagingnya untuk pakan ternak dan ikan, tetapi diambil air liurnya sebagai bahan anti septik dan anti virus untuk mengobati beberapa penyakit yang endemik di Afrika, terutama yang diakibatkan oleh gigitan nyamuk atau lalat Afrika (tsetse). Skala usahanya pun bukan lagi rumahan, tetapi sudah skala industri. Pada perkembangannya, industri yang mamanfaatkan belatung dari proses pengolahan limbah organik ini disebut INDUSTRI BIOPROTEIN. Belajar dari Afrika Selatan, Australia yang berlimpah sampah organik mulai mengembangkan pabrik lalat (pabrik belatung) dalam skala industri. Oleh masyarakat dan komunitasnya dilabel INDUSTRI DAUR ULANG PROTEIN. Ada banyak produk turunan yang dihasilkan dari industri belatung ini, diantaranya adalah protein makanan berbasis serangga 'MagMeal'; pakan ternak, tanah lembut yang kaya nutrisi 'MagSoil' dan kompos. Manfaat utamanya adalah terolahnya ratusan ribu ton limbah organik secara berkelanjutan, sehingga permasalahan limbah tertangani, kebutuhan pakan unggas dan ikan tercukupi, kebutuhan pupuk organik terpenuhi dan pendapatan dari usaha ikan, ternak dan pertanian didapatkan. Jika kedua usaha dikembangkan, maka petani dan peternak tidak perlu tergantung pada pakan impor dan pupuk kimia. Terpenting, industrinya harus dikembangkan secara spesifik lokal dan steril dari segala yang berbau asing.

Sejatinya, usaha yang relatif sama dengan industri belatung dapat diterapkan dalam industri cacing. Perintisan usaha cacing skala rumahan sudah cukup banyak dikembangkan di Indonesia. Namun dalam bentuk pabrik atau industri cacing belum ada. Potensi cacing sama dengan belatung, dapat dimanfaatkan untuk mengolah limbah organik yang bukan hanya menghasilkan pupuk organik (kascing), tetapi cacingnya sendiri dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan, pakan ternak dan pakan ikan. Meskipun proses budidayanya lebih rumit daripada belatung, tetapi perbanyakannya mudah dilakukan. Usaha dan pabrik cacing potensial mengolah limbah organik yang selalu menjadi persoalan, sehingga ramah dan produktif. Selain itu, usaha dan pabrik cacing juga dapat menghasilkan pakan ternak dan ikan dalam jumlah besar, sehingga dapat menjadi solusi atas impor pakan dan tingginya harga konsentrat (yang juga impor). Untuk jenis cacing tertentu, seperti cacing kalung, dapat diolah menjadi obat penyakit tertentu. Jika skala usaha rumahan dan skala usaha komunitas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan terbatas, maka industri atau pabrik cacing dapat dikembangkan untuk mengembangkan usaha pengolahan limbah skala besar, usaha ternak dan perikanan skala besar. Skala besar dalam artian, untuk melayani kebutuhan peternak dan pembudidaya ikan. Jika belajar dari usaha budidaya cacing skala rumahan, maka potensi untuk dikembangkan dalam bentuk komunitas sangat memungkinkan. Terpenting, usaha harus sejalan dengan budaya masyarakat (menggunakan input dalam) dan mendapat pemihakan dari semua pihak (terutama kebijakan penggunaan input dalam), sehingga ada jaminan yang terintegrasi dan berkelanjutan.


Pertanian Spesifik Lokal (Fitrah Pertanian)

Oleh karena itu, pertanian postmodern yang diidealkan hendak mengembalikan Indonesia kepada keunggulannya yang dianugerahkan dan difitrahkan Alloh SWT. Secara strategis, ada tiga hal yang akan menjadi pokok perhatikan dalam pertanian spesifik lokal. Pertama, kembali untuk menjadikan komoditas spesifik lokal sebagai modal kedaulatan dan kemandirian dalam membangun daya saing berkelanjutan. Kedua, menegakan jalan tengah yang vertikal sebagai pilihan pasti untuk mensterilkan pertanian spesifik lokal dari isme- isme modernisasi; dan Ketiga, pembebasan pertanian spesifik lokal dari kekakuan penciptaan, mistik dan mitos-mitos yang membingkai ketradisionalan. Postmodern hendak membongkar metafor kemodernan dan ketradisionalan secara sekaligus, sehingga mendapatkan makna yang sejatinya, baik makna negatif maupun positif, untuk membangun pertanian spesifik lokal yang beradab dan maslahat. Mengapa mitos- mitos ketradisionalan perlu dibongkar secara radikal, karena ada makna produktif sejati yang ditutupi oleh aktor-aktor lokal dan sengaja disembunyikan oleh agen-agen global. Ada pertanyaan mendasar terkait dengan sulitnya komoditas spesifik lokal untuk diarusutamakan, seperti terjeruji oleh kekakuan birokrasi. Bahkan, tidak jarang dipersempit, dipersulit dan dikerdilkan oleh metafor-metafor perlindungan, sehingga dikonstruksi akan memasuki kematian. Ironi, metafor langka itu naif, karena jika spesifik lokal diupayakan, maka akan menjadi keberlimpahan. Dalam kontek inilah, pertanian postmodern membangun pemungkinan, penguatan dan perlindungan spesifik lokal.

Pertanian spesifik lokal adalah pertanian yang difitrahkan oleh Alloh SWT tumbuh kembang pada suatu lokasi di permukaan bumi, baik terkait dengan komoditas maupun ilmu pengetahuan dan teknologinya. Jauh sebelum komoditas industri dan inovasi kemodernan dipaksakan sebagai senjata penghancur komoditas dan budaya lokal, setiap masyarakat di seluruh penjuru bumi sudah memiliki budaya dan teknologi pertanian yang spesifik lokasi, yang dominan diwarnai oleh komoditas khas, karakteristik wilayah dan kelembagaan lokal. Spesifikasi berbeda di semua benua, baik di Asia, Afrika, Amerika, Eropa, Antartika dan Arktik. Bahkan, antar pulau Indonesia saja terdapat perbedaan yang spesifik. Sebagai contoh, masyarakat Papua memiliki aneka komoditas khas (seperti sagu, ubi jalar, keladi, buah merah dan lainnya), Kalimantan memiliki pisang, sukun, padi rawa, padi pasang surut, aneka ikan rawa, ternak rawa dan aneka buah-buhan khas, Jawa memiliki padi sawah, padi ladang, padi hitam, ubi kayu, aneka ubi jalar, aneka sayuran datarang tinggi, aneka buah-buahan dan sebagainya, yang masing-masing dilengkapi dengan aneka kelembagaan, pengetahuan dan teknologi spesifik lokal, baik dalam aspek input, pembenihan, pembudidayaan maupun pengolahannya. Secara historis, pertanian spesifik lokasi telah terbukti sukses membangun kemandirian dan mampu mewujudkan kedaulatan pertanian. Suatu kondisi yang lebih dari sekedar kedaulatan pangan. Tidak ada pengendalian dan tidak ada persaingan, karena semuanya bersanding untuk saling melengkapi dan menguatan. Secara alami, interaksi dan proses sosial dan ekonomi terbangun antar zona ekologi.


Pertanian (Agribisnis) Beradab


Perspektif ekologi manusia melihat bahwa "stagnasi" terjadi karena manusia dan pertanian kontemporer (agribisnis) yang diadopsi Indonesia sudah sejak awal jauh dari nilai-nilai keberadaban. Bahkan, perilaku sebagian besar masyarakat dan para pelaku agribisnis sudah tidak beradab (jika tidak dikatakan biadab). Para pelaku agribisnis sudah kehilangan rasa sayang terhadap tanaman, lahan, air, hutan, binatang, keragaman hayati, dan generasi yang akan datang. Input luar (pupuk dan pestisida sintetis) dipacu untuk mengeksploitasi lahan, tanaman dan petani. Tanaman tidak dihargai hak-haknya, bahkan "diperkosa" agar cepat menghasilkan dan berproduksi tinggi. Hutan digunduli, keragaman hayati direduksi, cekungan diuruk, bukit diratakan, sungai dicemari dan danau dihabisi. Berbagai produk impor dipacu tanpa dipikirkan ekses-eksesnya terhadap keberlanjutan komoditas lokal. Berbagai produk agribisnis dibiarkan bersaing secara sempurna tanpa disertai jaminan perlindungan dari negara. Berbagai perusahaan raksasa internasional dibiarkan berproduksi dan menguasai berbagai pasar. Masyarakat dan pengelola bangsa semakin massif dengan berbagai mekanisme global, produk impor, bahkan semakin larut dalam budaya instan, baik dalam konsumsi maupun pengadaan barang. Kini berkembang anggapan "untuk apa memproduksi sendiri kalau barang yang sama lebih mudah dan lebih murah didatangkan dari luar negeri". Sangat ironis, berbagai sumberdaya alam dieksploitasi ke luar tanpa disertai peningkatan nilai tambah, upaya rehabilitasi dan tidak memberi kontribusi berarti kepada masyarakat setempat.

Pertanyaannya kemudian, siapa dan dari mana memulai membangun pertanian yang beradab? Seperti diungkapkan Ismail dan Louis Lamya Al-Faruq, Fritjof Capra dan Arnold Toynbe, sebuah peradaban sejatinya dibangun oleh minoritas kreatif. Artinya, membangun pertanian beradab hanya akan terwujud jika dan hanya jika tumbuh minoritas kreatif. Siapa minoritas kreatif itu? adalah anak bangsa kelompok pelaku agribisnis muda yang berakhlak, yang mengedepankan keberagaman dan lokalitas, yang berani keluar dari homogenitas, yang memberontak dari kemapanan, yang menawarkan gagasan alternatif produktif, yang menentang berpikir reproduktif, yang berpikir divergen, serta yang memiliki militansi dalam menemukan, mensosialisasikan dan memasarkan kreasi bangsanya sendiri. Mereka adalah kelompok muda yang memberontak dari jeruji "isme" kolonisasi dan kendali hegemoni, yang berdaya dan berjiwa, yang sadar dan berjuang dengan kemandirian, yang kritis [bukan anti] terhadap status quo, yang kosmopolit, yang adaptif terhadap dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, serta yang melek ekologis. Minoritas yang mampu melakukan secara bersama berpikir dan bertindak kreatif. Minoritas yang siap dan mandiri mengawal generasi era bonus demografi. Generasi yang bangga dengan sejarah peradabannya dan menjadikan keberagaman lokalitasnya sebagai fondasi peradaban baru. Generasi yang mampu meninggalkan ketergantungan terhadap berbagai produk budaya yang dijejalkan kolonial.

Agribisnis kreatif yang beradab merupakan kunci sukses bagi terwujudnya sistem kemakmuran Indonesia, yakni kemakmuran hijau (green prosperity). Sebuah kemamkuran yang akan tercapai jika dan hanya jika diinisiasi oleh generasi-generasi yang berakhlak, cerdas, kreatif, dinamis, memiliki kesadaran (consciousness) dan keingintahuan (curriousity) tinggi, beridentitas, berpengetahuan, berilmu, berteknologi, berpengertian, berjiwa (soulness). Generasi-generasi yang melahirkan karya-karya kreatif unggul (competitive). Karya-karya kreatif yang berbasis sumberdaya alam unggulan bangsa, sumberdaya berbasis agraris dan maritim yang membentang luas di daratan dan di lautan, di perut dan permukaan bumi. Generasi yang polymath dan produktif, yang mampu menghasilkan invensi dan inovasi tiada henti. Generasi yang terbebas dari virus "isme" kolonisasi. Generasi yang berani membalik ritus homogenisasi menjadi heterogenisasi, ritus konsumtif menjadi produktif, serta ritus brain-drain (migrasi) menjadi brain-gain. Generasi yang berani merubah budaya instan dan eksploitatif menjadi budaya "militan" dan berkelanjutan. Generasi yang berani menggeser strategi dari subsistensi menjadi agroindustri, dari kebiasaan mengimpor menjadi mengekspor. Generasi yang siap mengganti budaya "kuli" (hanya sekedar menyediakan kebutuhan bahan mentah untuk negara lain) menjadi budaya "mulia" (mengekspor berbagai produk olahan/turunan sumberdaya alam, agraris dan maritim yang berkualitas). Generasi yang berkoneksi dan berorganisasi, yang mampu mengkombinasikan dan mengkomersialisasikan berbagai produk kreatif bagi memperluas pertumbuhan menjadi kemakmuran dan kebahagiaan.


Pertanian Era Ekonomi Biru (Blue Economy): Belajar Kepada "Bagaimana Cara Alam Menghasilkan?"

Tidak ada kata terlambat, melalui pemungkinan (enabling), penguatan (strengthening) dan perlindungan (advocating), spesifik lokal pertanian Indonesia yang beraneka ragam potensial dibangkitkan dan ditumbuhkembangkan. Integrasi cara alam atau cara lokal dalam memproduksi dengan cara-cara hasil internalisasi, potensial memulihkan kelangkaan (yang dilabelkan) menjadi keberlimpahan kembali. Cara-cara alam atau cara lokal sejatinya tetap mumpuni diimplementasikan apabila pola dan tingkat konsumsi masyarakat atas pangan dapat dikendalikan (tidak serakah), sehingga yang terjadi bukan menghabisi sumberdaya alam, tetapi melestarikannya secara berkelanjutan. Mode produksi subsistensi, baik yang dilakukan oleh rumah tangga petani maupun oleh komunitas, sejatinya berpijak pada diversifikasi dengan orientasi memenuhi kebutuhan keluarga dan atau komunitas. Sebuah mode produksi yang tidak dikendalikan pasar, tetapi pemenuhan kebutuhan secara wajar. Melalui pengendalian konsumsi (yang cenderung serakah) dan mode produksi diversifikasi, memungkinkan bagi petani untuk menyimpan (sebagai stok ketahanan pangan) dan menjual sebagian hasil produksi (sebagai sumber pendapatan).

Mode produksi lestari dan diversifikasi yang belajar kepada cara alam dan cara lokal dalam menghasilkan sesuatu pangan dan karya- karya lainnya secara seimbang telah terbukti mampu mewujudkan kemandirian dan kedaulatan. Memproduksi secara diversifikasi komoditas-komoditas spesifik lokal telah terbukti sukses diterapkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh dunia. Mereka memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dan berkelanjutan, tanpa melupakan hak-hak masyarakat lain yang membutuhkan. Kelebihan subsistensi dikelola secara rasional melalui transaksi yang tidak dilandasi maksimalisasi keuntungan (profit maximization). Semua itu menegaskan bahwa homogenisasi dan generalisasi pangan pada satu komoditas tidak akan pernah terwujud secara berkelanjutan, karena beban komoditas dan komunitas menjadi berat. Risiko dan ketidakpastiannya juga tinggi. Selain bertentangan dengan keragaman lokasi dan spesifik lokal, juga melawan fitrah (sunatullah). Cara memproduksi berdasarkan alam dam cara lokal inilah yang oleh Gunter Pauli (2013) disebut sebagai ekonomi biru (blue economy). Pertanyaannya, apakah ekonomi biru potensial diimplementasikan di Indonesia? Sangat memungkinkan, karena semua daerah di negara kepulauan Indonesia memiliki karakteristik agroekosistem yang spesifik, biodiversity yang spesifik, sistem sosial budaya yang spesifik dan kelembagaan yang spesifik.

Ekonomi biru sejatinya merupakan kritik terhadap ekonomi hijau yang dipandang tidak steril dari paradigma positivistik, bias hegemoni [dominasi korporasi], bias mode produksi kapitalis, bias sumberdaya daratan, bias modernisasi ekologi dan rentan terhadap komuflase hijau. Menurut Gunter Pauli (2010), sebagai paradigma ekonomi berkelanjutan, ekonomi biru setidaknya mengacu pada efesiensi sumber daya, nirlimbah [berpijak pada cyclic, bukan chain, sehingga tercipta produksi bersih], inklusi sosial [berbasis kerakyatan, berarti pemerataan sosial dan kesempatan kerja atau wirausaha yang banyak untuk kaum miskin], pemerataan sosial dan kesempatan kerja bagi orang miskin, inovasi dan adaptasi serta efek ekonomi pengganda [bertumpu pada diversifikasi produk]. Ekonomi biru mengandaikan transformasi [bukan eksploitasi] potensi melalui konservasi dan integrasi inovasi-inovasi keragaman hayati berbasis masyarakat [perpaduan teknologi lokal dengan penelitian ilmiah] dengan memperhatikan kelestarian lingkungan [yang memberi jaminan sosial ekonomi kepada masyarakat], kearifan lokal, partisipasi semua pihak terkait, daya saing dan nilai tambah. Pendekatan ekonomi biru diharapkan mampu mengatasi ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pemanasan global, serta bersinergi dengan program pengentasan kemiskinan (pro-poor), pertumbuhan (pro-growth), penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja (pro-job), penciptaan wirausaha (pro-entrepreneur) dan pelestarian lingkungan (pro-environment).

Pemikiran radikal Gunter Pauli ketika memunculkan konse pekonomi biru" sejatinya tidak sekedar mengkritisi kecacatan ekonomi hijau (green economy) yang menjadi mahal, yang melemahkan akses kaum miskin atas pangan alternatif (kedelai, jagung dan lainnya) dan menambah beban negara dunia ketiga dengan biaya emisi karbon. Ada hal substansial yang didesakan kepada intelektual (terutama di negara dunia ketiga) untuk memetik pelajaran dari cara alam dalam berproduksi. Cara yang potensial digunakan dalam berbagai skala wirausaha. Cara yang bukan hanya teratur dan seimbang, tetapi banyak, beragam dan kompleks. Cara yang sudah terbukti dapat diadaptasi, dikreasi, diinovasi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah pemikiran yang bukan ditujukan untuk mendorong manusia "kembali dan taklid pada tradisi" atau "melegalisasi dan taqlid pada isme penciptaan (creation)", tetapi membongkar kecacatan berpikir manusia modern yang taklid pada mimpi-mimpi untuk belajar dari cara alam (rayap, lebah, lalat, nyamuk, semut, ulat, kunang-kunang, ikan, burung, tanaman, jamur dan lainnya) dalam menghasilkan karya cipta (kreasi, invensi dan inovasi) yang adaptif, yang spesifik, yang menghargai lokalitas, yang seimbang, yang murah (terjangkau), yang hemat energi, yang mandiri, yang berdaulat, yang mengentaskan kemiskinan dan menumbuhkan kemajuan negara dunia ketiga. Gunter Pauli mencontohkan, bagaimana produksi anti virus, anti penyakit, anti hama, pakan ikan, pakan ternak dan lainnya dapat diproduksi secara massal dengan menggunakan sumber-sumber alami, baik dari larva lalat, ulat, tanaman, jentik nyamuk dan sebagainya.


Pertanian Berbasis Komunitas (Community Based): Kasus Integrasi Participatory Plant Breeding dalam Pengembangan Kedelai

Sebelum pembaca jauh masuk ke dalam, pasti akan bertanya-tanya: apa sih lebihnya komunitas (communty)? apa yang dihasilkan komunitas dapat menembus pasar global? Apa yang dihasilkan komunitas berdaya saing? adakah komunitas yang dapat dijadikan sebagai sampel keberhasilan? Komuniti merupakan antihesis dari korporasi. Jika korporasi identik dengan komoditi, maka komunitas identik dengan produk unik dan spesifik. Komoditas bersifat umum (bahkan seringkali tanpa merek), sedangkan produk bersifat unik, spesifik dan bernilai tambah. Produk identik dengan inovasi teknologi dan inovasi estetika. Dalam era ekonomi kreatif dan industri kreatif, komunitas merupakan jaringan bisnis paling mapan dan menguasai pasar kreatif hingga tingkat global. Beberapa komunitas kreatif di Inggris Raya, terutama di Skotlandia, Irlandia dan Norwegia, sukses membentangkan pasar produk dari usaha kreatifnya hingga ke seluruh dunia. Bahkan, koperasi telah lama mapan di Eropa (di Belanda) dan di Canada. Secara khusus, komunitas petani paling mapan di dunia adalah Kibbutz di Israel yang menjadi pemilik paten dan perusahaan irigasi tetas di 110 negara di dunia. Kelebihan komunitas adalah menghasilkan produk yang unik, spesifik dan bernilai tambah (value creation, value added, value capture and value chain), sehingga memiliki daya saing berkelanjutan (sustainable competitiveness). Komunitas Rewo-Rewo di Desa Kalibu Kecamatan Salaman, Magelang Jawa Tengah merupakan contoh komunitas desainer yang produk-produknya (desain berbagai logo) diakui komunitas dan pasar dunia.

Metode pemuliaan tanaman formal (formal plant breeding/FPB) dipandang tidak mampu menghasilkan varietas unggul yang sesuai dengan ekspektasi dan preferensi konsumen; karena beragamnya kondisi agroekosistem pertanaman dan sosial budaya masyarakat serta karakteristik produk benih yang dibutuhkan. Karakteristik benih yang dibutuhkan dapat ditelusur dari pengguna itu sendiri, yang bukan hanya di tingkat petani pengguna benih, tetapi juga sampai pada konsumen akhir pengguna hasil usahatani. Alternatif pendekatan yang saat ini mulai banyak digunakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah participatory plant breeding (PPB). Dalam pendekatan ini, petani beserta pelaku lainnya seperti penyuluh pertanian, dan peneliti pemulia berpartisipasi dalam pengembangan varietas baru. Kata participatory berarti bahwa kegiatan pemuliaan tanaman ini bersifat inklusif, mempromosikan keragaman genetik dan responnya terhadap keragaman agroekosistem pertanaman dan sosial budaya masyarakat, serta sekaligus memberdayakan petani dan masyarakat perdesaan.

Menurut Desclaux (2005), Participatory Plant Breeding dapat dikenali dari tujuannya (pendekatan proses atau fungsional). Pendekatan fungsional mengupayakan benih yang sesuai dengan kebutuhan petani, sementara pendekatan proses memberdayakan petani untuk memproduksi benih sendiri. Bergantung pada siapa yang memimpin proses pemuliaan atau konteks kelembagaannya PPB dibedakan atas farmer led atau formal led. Menurut bentuk interaksi antar petani dan pemulia (konsultatif/berbagi informasi, kolaboratif/ berbagi tugas, atau kolegial/berbagi tanggung jawab, pengambilan keputusan dan tanggung jawab), serta lokasi pemuliaannya (sentralisasi atau desentralisasi). Upaya pemuliaan kedelai saat ini, seyogyanya diantisipasi tidak hanya sampai pada tingkat petani pengguna tetapi lebih jauh lagi hingga tingkat pengguna akhir, dalam hal ini para pengrajin pangan berbahan baku kedelai. Kano (Widiawan dan Irianti, 2004)
 

Pertanian Maslahat dan Halalan- Toyyiban


Pertanian pada hakekatnya didesain untuk kehidupan secara baik, namun pada tahap perkembangannya terjadi penyimpangan, baik karena tuntutan permintaan yang serakah (mengikuti deret ukur), padahal pertanian difitrahkan bukan untuk memuaskan, tetapi pemenuhan kebutuhan secara cukup, teratur, terukur, sehat dan seimbang. Maksimalisasi produksi pertanian juga terkait dengan maksimalisasi keuntungan, terutama ketika industri menghasilkan input- input luar yang diyakini mampu merealisasikan produktifitas tinggi. Sejak efisiensi dan maksimalisasi memasuki dunia pertanian (perikanan, peternakan, kehutanan dan perkebunan), maka kerusakan (stagnasi lahan, degradasi lingkungan, erosi genetika, pencemaran lingkungan dan lainnya), keresahan petani (terutama dengan kendali industri dan korporasi) dan korbanan manusia yang ditimbulkan akibat pencemaran input kimia dan dampak praktik-praktik perilaku menyimpang. Tidak hanya dalam produksi (usahatani), efisiensi dan maksimalisasi juga terjadi dalam rantai distribusi, penanganan hasil, pengolahan hasil dan penyimpanan hasil. Berbagai perilaku menyimpang (tidak sehat, tidak halal dan tidak baik) dipacu dengan menggunakan aneka bahan kimia dan perlakuan yang dapat mengakibatkan aneka penyakit. Secara ekonomi, usahatani yang dikendalikan korporasi dan industri menjadi mahal, sehingga tidak dapat diwujudkan dengan modal petani, tetapi ditawari dengan kredit dan subsidi. Subsidinya tidak masalah jika benar-benar sampai kepada petani yang layak mendapatkannya, tetapi kreditnya yang disertai riba telah mengakibatkan tidak halal dan tidak berkahnya usaha pertanian.

Pertanian postmodern yang berdasarkan kebenaran mutlak (Al-Qur'an dan Assunah) membongkar secara radikal pertanian yang tidak baik, tidak halal, tidak sehat dan tidak berkah dengan menawarkan pertanian yang maslahat. Pertanian maslahat adalah pertanian yang mendatangkan kebaikan (keselamatan, kebaikan, keberkahan, kegunaan, kemudaratan dan berfaedah). Secara etimologi (meminjam istilah Al-Ghazali, maslahat dimaknai sebagai memelihara tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta manusia. Setiap hal yang dimaksudkan untuk memelihara kelima hal tersebut adalah maslahat. Demikian juga, setiap hal yang dimaksudkan untuk menghindarkannya dari hal-hal yang membahayakan dan mengancamnya dinamakan maslahat. Menurut Al-Ghazali, maslahat menurut pandangan manusia berbeda dengan menurut pandangan hukum Islam. Meskipun sama-sama ingin meraih kemaslahatan, tetapi kemaslahatan yang dikehendaki manusia belum tentu sama dengan kemaslahatan yang dikehendaki hukum Islam, juga sebaliknya. Artinya, apa yang dinilai maslahat oleh manusia belum tentu maslahat menurut kacamata hukum Islam. Apakah pertanian itu maslahat atau mafsadat, baromaternya bukan logika, selera atau hawa nafsu manusia, tetapi hukum Islam. Hukum islam yang dimaksud adalah Al-Qur'an dan Assunah. Inilah yang oleh pandangan postmodern disebut kebenaran ideal, kebenaran mutlak, kebenaran yang datang dari Alloh SWT. Referensi ideal yang dapat menjawab kebutuhan, permasalahan dan tantangan yang sudah, sedang dan akan terjadi kemudian (prediktif, antisipatif)

Al-Khawarizmi menegaskan bahwa untuk menentukan apakah sesuatu itu maslahat atau tidak (mafsadat), maka patok duganya adalah agama (hukum Islam), bukan akal (logika). Setiap hal yang mempunyai implikasi bagi upaya pemeliharaan agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan (kehormatan) merupakan maslahat (baik), sekalipun akal (hukum kebenaran relatif) menyatakan hal yang sebaliknya. Demikian juga, setiap hal yang merusak atau membahayakan ke lima unsur tersebut adalah masfadat atau buruk, sekalipun akal (hukum kebenaran relatif) mungkin menyatakan baik. Dalam kehidupan nyata, pemaknaan dan pemahaman kemaslahatan menjadi lebih praktis. Perspektif hukum Islam memandang maslahat sebagai sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan hukum Islam (hukum Allah), baik dalam beribadah maupun muamalah. Menurut hukum islam bertani adalah ibadah, sedangkan menurut muamalah, bertani adalah segala usahatani yang membawa kebaikan dan manfaat (faedah). Pertanian yang baik bukan yang mampu memenuhi permintaan pasar dan diinginkan pasar, tetapi yang memenuhi kebutuhan petani dan komunitasnya secara cukup, dan mampu berbagi dengan masyarakat yang tidak bertani yang membutuhkan kecukupan produk pertanian. Pertanian masalahat bukan pertanian yang memaksimalkan produktifitas, tetapi yang baik terhadap mahluk (manusia, tanaman, hewan, tanah, air, udara dan lingkungan) dan diniatkan sebagai ibadah.


Pertanian Harmony: Mentautkan Keseimbangan dan Keterpaduan Pertanian Masyarakat Lokal dengan Perkembangan Global


Perbedaan dan keragaman wilayah (agroekosistem) adalah fitrah yang ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta. Perbedaan dan keragaman karakteristik agroekosistem akan memberi warna yang berbeda kepada jenis flora (tanaman) dan fauna (ternak dan ikan) yang hidup di dalamnya. Lebih dari itu, keragaman karakterisitik agroekosistem akan pula memberi warna yang berbeda kepada karakteristik sosial budaya, ekonomi, kelembagaan, fisik-teknis dan teknologi yang berkembang. Kata pepatah melayu "lain lubuk, lain ikannya", lain tempat lain karakteristiknya. Oleh karena itu, idealnya "di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung". Sejatinya, keberagaman komoditas dan spesifikasi geografi diciptakan Yang Maha Pencipta secara sempurna, berpasang- pasangan dan penuh dengan keseimbangan. Alloh SWT berfirman "....Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu" (QS. Ar-Rahman: 7-9). Paradoks dengan itu, yang terjadi sekarang adalah ketimpangan, kekacauan, penyeragaman dan pengendalian komoditas dan wilayah oleh satu entitas, satu hegemoni dan satu korporasi. Ironi, padahal, secara historis empiris, dengan perbedaan dan keragaman, Nusantara sangat lekat dengan kemandirian dan kedaulatan. Selain itu, dengan perbedaan dan keragaman, Nusantara steril dari pengendalian oleh satu entitas. Hal itu terjadi, karena otoritas kendali kemandirian dan kedaulatan berada pada entitas masyarakat (komunitas-komunitas) lokal. Siapapun sepakat bahwa sifat dasar dari perbedaan dan keberagaman adalah tidak dapat digeneralisasi dan diseragamkan.

Keseimbangan atau harmoni pertanian regional dan global dapat diwujudkan dalam bentuk saling bertransaksi, saling berbagi, saling menghargai dan saling melengkapi antar satu bangsa dengan bangsa lainnya dengan komoditas dan karya kreatif yang juga berbeda. Penyeragaman pada satu pangan (beras, gandum) telah terbukti menciptakan kelangkaan dan ketergantungan. Bahkan, dengan terjadinya perubahan iklim dan ledakan penduduk suatu kawasan, telah mengakibatkan mahalnya harga pangan, krisis pangan dan boleh jadi suatu waktu akan terjadi perang pangan (food war). Berbeda dengan masyarakat Asia lainnya, Turki dan India, tidak dipusingkan oleh masalah pangan, karena mereka sejak awal mereka mengembangkan pangan lokal yang beragam. Masyarakat Turki dan India memiliki banyak pilihan pangan, sesuai selera dan kebiasaannya. Ada padi, gandum, milet, hazle nut, jawawut, jagung, barley dan sebagainya. Ketika terjadi kejadian luar biasa yang mengakibatkan kekurangan pangan pada satu lokasi, maka pemerintah tidak pusing, karena dapat ditutupi dengan cadangan pangan yang aman, serta dapat ditutupi dari daerah lain yang memiliki kemandirian dan kedaulatan pangan. Tanggungjawab suatu komunitas dan wilayah diwujudkan dalam bentuk saling berbagi dan melengkapi (bermitra, membangun rekanan). Dengan keragaman pangan lokal yang berdaulat, maka bangsa dan negara terbebas dari kolonisasi pangan dan kolonisasi komoditi pertanian. Dengan demikian, maslahat individu dan komunitas diikuti dengan maslahat bersama. Sehingga kebahagiaan terwujudkan, serta kekikiran, kebencian dan konflik dapat dihindarkan.

Jika bangsa Indonesia ingin mandiri dan berdaulat dalam pertanian pada umumnya dan pangan pada khususnya, maka harus kembali kepada pertanian yang harmoni dan seimbang. Harus mengembangkan pertanian yang difitrahkan oleh Alloh SWT beragam (diversifikasi) sesuai dengan kondisi spesifikasi lokasi, daerah, pulau, bangsa dan regional. Pada hakekatnya, perbedaan dan keberagaman merupakan sunatullah yang mendorong manusia sebagai individu, komunitas dan bangsa untuk berinteraksi, bergaul, bekerja sama, bermitra dan membangun rekanan. Meminjam istilah Raghib As-Sirjani, rekanan inilah yang mewujudkan maslahat bersama (cinta, berbagi dan itsar), memakmurkan dan menumbuh kembangkan bumi. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus segera meninggalkan keseragaman yang mengarah kepada: (1) pengendalian oleh entitas pemilik modal (negara maju dan korporasi transnasional) yang memaksakan maslahat (kerakusan, keserakahan) pribadi dan kelompoknya; (2) yang mengarah kepada kelangkaan sumberdaya (termasuk tanaman, lahan, air); (3) mahalnya harga pangan sebagai akibat lompatan permitaan, gagal panen dan permainan pasar; (4) eksploitasi dan kerusakan lingkungan (baik ecosystem, sociosystem maupun geosystem); dan (5) konflik, kekikiran, krisis pangan, pembantaian, pemiskinan dan perang pangan (food war).

"Al-Qur'an mengajarkan pertanian secara holistik dari hulu sampai hilir, mulai dari teknik produksi (termasuk etika keluar masuk kebun), teknik pemuliaan (penyerbukan alami) dan perbenihan, teknik per- lindungan tanaman dan kebun, teknik diversifikasi dan tumpangsari, arsitektur kebun, teknik pengairan, teknik penanganan pasca panen, teknik pembersihan hasil (termasuk zakat mal), teknik pemasaran (jual-beli), teknik pengolahan (menjadi pangan, sandang dan papan yang halan dan toyyib), teknik mengonsumsi dan teknik mendistribusikannya"

No comments:

Post a Comment