Sunday 19 June 2016

Mahasiswa Bergantung pada Ide-Ide yang Abstrak dan Sesaat


Sebuah tulisan dari tahun 1995 yang dirasa masih relevan hingga saat ini. Salah satu tulisan di Edisi Spesial Boulevard ITB.

 



Dari beberapa pendapat yang herhasil dihimpun, sebagian besar mengindikasikan keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap aksi mahasiswa. Keraguan dan ketidakpercayaan ini  pada gilirannya tentu akan menimbulkan sejumlah pertanyaan terhadap aksi mahasiswa. Jika ditilik lebih jauh, pertanyaan tadi tidak bisa tidak akan membawa kita masuk  ke dalam pembicaraan tentang "gerakan mahasiswa" karena bagaimanapun aksi merupakan salah satu bentuk dari gerakan mahasiswa.

Disini akan disorot gerakan mahasiswa dengan beherapa aspeknya. Sorotan yang kami tampilkan adalah wawaneara dengan Hendardi dengan pokok tema "gerakan mahasiswa" dimana BOULEVARD diwakili oleh Suryadi AR, staf LBH Bandung. 

Sekilas mengenainya: Hendrardi adalah alumni ITB jurusan Teknik Sipil angkatan '78. Tahun 1978-1981 menjabat Ketua KPM (Komite pembelaan Mahasiswa) DM ITB - organisasi yang bertugas menangani kasus pengadilan mahasiswa ITB yang terlibat gerakan 1978. Tahun 1981 Hendrardi mengambilalih jabatan ketua terpilih DM ITB yang mengundurkan diri. Sekarang dia menjabat Direktur Komunikasi dan Program Khusus Yayasan LBH Indonesia di Jakarta 

BOULEVARD: Mengapa mahasiswa yang peduli terhadap politik sekarang makin sedikit? 

Hendardi : Ada sejumlah faktor yang menimbulkan keadaan seperti itu. Pertama. penguasa Orde, Baru telah berhasil menciptakan ketakutan-ketakutan politik bukan saja terhadap mahasiswa tapi kepada semua warga negara masyarakat Indonesia sehingga bicara politik seperti hidup di sebuah ruangan yang menakutkan. Apa yang ditampilkan Deni ketika menentang otoriterisme ITB menunjukkan hal itu. Dia telah memunculkan istilah `takut': takut dipecat. takut ditangkap, takut disiksa, dan takut dipenjara bertahun-tahun. Kedua, dampak ketakutan ini dikawinkan dengan politik 'massa mengambang'. Akibatnya. orang yang aktif menciptakan kemajuan politik rakyat begitu langka. Apalagi oposisi dilarang. Ketiga. implikasi dari pelarangan berorganisasi. seperti DM/MPM adalah sudah begitu mencengkeramnya kaki tangan aparat negara (state apparatus) ke kampus-kampus. Hal yang sama terjadi diluar kampus. Upaya mahasiswa ITB mclaksanakan referendum LSM (Lembaga Sentral Mahasiswa) mencapai kemenangan namun upaya selanjutnya justru terbentur oleh penguasa kampus (rektorat). Tapi setidak-tidaknya, mahasiswa ITB tidak lagi 'buta huruf’ terhadap kata referendum. Keempat, mahasisxva ITB sekarang relatif lebih makmur dibanding pada masa saya jadi mahasiswa. Faktor ekonomi seperti ini telah mempengaruhi minat mahasiswa akan politik. Dengan kemakmuran, mereka bisa berbuat banyak hal tanpa dipusingkan oleh penindasan-penindasan politik. Mereka bisa menyalurkan hobinya ke olahraga dan hiburan. Kelima. faktor SKS juga berpengaruh. SKS yang makin ketat memang mendorong mahasiswa untuk memikirkan kepentingan pribadinya untuk menggondol gelar sarjana. Tapi SKS bukanlah faktor utama. Menurut saya, represi politik itulah faktor utamanya.

Tapi mengapa masih banyak protes-protes politik yang dilancarkan mahasiswa? 

Secara ideologis. mahasiswa dihidupkan oleh mitos-mitos peranan. Sampai sekarang mahasiswa masih terus dijulangkan sebagai 'hero' bagi masyarakat yang tertindas. Mahasiswa merasa bahwa mereka bertanggung jawab untuk memprotes penindasan politik yang terus dijalankan penguasa termasuk penguasa kampus. Gerakan mahasiwa baru muncul di Indonesia tahun 1965-1966. Berhubung mereka sukses menumbangkan rezim Soekarno dan menjadi pendukung yang memuluskan jalan bagi Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan negara, timbul istilah gerakan mahasiswa. Sebelum masa itu ada banyak gerakan. Misalnya. gerakan buruh, petani. opbsisi dan gerakan pemuda. Selama Orba, gerakan-gerakan ini dilenyapkan dan tampil gerakan mahasiswa. Kalau diperiksa lebih, seksama. kemenangan tahun 1965 telah berada di tangan Angkatan Darat. Sementara mahasiswa anti-komunis dimobilisasi untuk segera mempercepat pencopotan Soekarno. Jadi. mahasiswa '66 bergerak atas dasar mitos seolah-olah mereka yang punya andil besar menumbangkan Soekarno dan membalas dendam terhadap golongan kiri dan simpatisannya.              

Alasan yang lebih mendasar, mahasiswa belum masuk dalam hubungan kerja upahan atau gajian sehingga mahasiswa sering terbawa mitos maupun ideologi dominan. Mereka belum masuk dalam dunia karir atau profesi. Sementara dalam struktur ekonomi, negara (state) menempati posisi dan peran yang dominan. Karenanya negara mendominasi universitas.

Kalau begitu, dimana posisi dari gerakan mahasiswa di Indonesia?
 
Posisi mahasiswa tidak jelas, karena belum masuk dalam dunia hubungan kerja atau profesi sehingga mereka tidak membawakan kepentingan ekonomi (struktural) diri mereka. Mereka menggantungkan diri pada gagasan seperti hak asasi. kebebasan dan demokrasi atau keadilan sosial. Sebagai gerakan. menggantungkan pada gagasan—bukan kepentingan ekonomi—tentu saja lemah. 

Mengapa menggantungkan pada gagasan demokrasi dan keadilan sosial dianggap lemah?

Karena mereka tidak menganalisa kondisi obyektif ekonomi-politik. Akibatnya tidak punya pegangan ilmiah yang kuat. Gerakan mahasiswa tidak digabung kedalam gerakan ilmiah. Berbeda dengan negara lain. Misalnya. mahasiswa Korea Selatan justru menggabungkan dirinya ke dalam  gerakan ilmiah. Mereka menyerap ilmiah untuk menganalisa ekonomi-politik serta kekuatan-kekuatan sosial yang beroperasi di negaranya. Sementara mahasiswa kita hanya menggantungkan pada ide-ide yang abstrak dan sesaat. 

 

Mengapa harus digabungkan dengan gerakan ilmiah? 
 
Karena mahasiswa tidak punya basis kepentingan ekonomi. Mereka berbeda dengan buruh. petani. pengusaha atau profesi seperti guru. Golongan-golongan sosial tadi membawa kepentingan ekonomi, tapi mahasiswa tidak. Mereka cenderung jadi resi. intelektual tukang protos tapi mandul dalam politik karenanya menjadi elitis dan eksklusif. Kegagalan gerakan mahasiswa 1974 dan 1978 bisa dipahami dari cara mereka bergerak yang mirip resi dan elitis.                                

Apa akibatnya jika gerakan mahasiswa tanpa gerakan ilmiah?
 
Mereka cenderung berilusi. Mereka seolah-olah merasa kuat, tapi begitu dipukul ketahuan lemahnya.

Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan gerakan ilmiah?
 
Untuk menghasilkan gerakan yang efektif. mahasiswa harus ditunjang oleh  ilmu pengetahuan. Tidak ada demokrasi tanpa kesadaran demokratik. Untuk sampai pada kesadaran demokratik, mahasiswa harus membekali kesadarannya untuk mengetahui apa demokrasi itu, mengapa sekarang belum ada dan bagaimana upaya untuk mencapainya. Tapi sebagian besar mahasiswa masih saja melayang sebagai `massa mengambang'.  
                 
Apa kehidupan ilmiah di Indonesia sudah berkembang?

Belum. Kita tidak dididik untuk .berdebat, berdiskusi, atau berdialog dengan suatu argumentasi yang kuat. Forum-forum seminar dan diskusi. tidak sedikit yang dilarang. Para aktivispun tidak banvak menghimpun energinya untuk belajar dan secara kreatif mendidik dirinya untuk dibekali pengetahuan yang tajam. Artinya, mereka nggak mau menggarap pikirannva untuk menimbulkan kekuatan spiritual yang tangguh dan unggul. Ironisnya, mereka berada dalam suatu –‘masyarakat iimiah’.

Apakah ada perkembangan atau kemajuan dalam pola aksi mahasiswa? 

Aksi-aksi mahasiswa akhir 80-an dan 90-an memang berbeda dibanding tahun 70-an. Tanpa sengaja telah menyeret mereka untuk menjulangkan isu-isu penggusuran penduduk dari tanah garapan se perti Badega, Kacapiring, Cimacan dan Kedungombo. Pada tingkat ini mahasiswa mulai melihat perannya dengan kepentingan ekonomi penduduk (petani) yang tergusur. Hal ini  menaikkan mitos mahasiswa sebagai `pejuang rakyat'.  Dengan mitos ini, mahasiswa tetap saja terpisah dengan petani. Mahasiswa terus dipengaruhi oleh obsesi borjuis kecil.         
       
Apa pola mobilisasi maupun isu tanah tidak tepat? 

Secara kebetulan. itu tepat saja. Yang tidak tepat adalah perencanaannya. Mahasiswa selalu menggarapnya secara sesaat. Umumnya. mereka membentuk komite dan menjalin komunikasi dengan penduduk yang tegusur, lalu memobilisasi aksi. 

Apakah perencanaan itu mengandung arti jangka panjang? 

Tepat sekali. Berorganisasi itu tidak cuma sekedar aksi-aksian. Dalam perencanaan harus digarap upava memperbanyak aktivis karena tidak ada kemajuan kalau jumlah aktivis tidak bertambah. Dalam posisi mahasiswa yang lemah, aksi haruss diasumsikan sebagai sarana latihan berorganisasi. Mobilisasi massa dalam situasi 'massa mengambang’ hanya akan efektif kalau pesan yang disampaikan bersifat konkret. 

Apa alternatif yang harus dilakukan mahasiswa? 

Perlu dicamkan, saya tidak lagi berposisi sebagai mahasiswa. Saya tidak ingin menggurui. Alternatif itu harus dilakukan mahasiswa sendiri. Misalnya. mereka harus mcmpertimbangkan atau meninjau kcmbali basis massa gerakannya baik di dalam maupun di luar kampus. Mereka harus lebih jeli menggarap organisasi dan menyiapkan rencana jangka panjang.                 

Apa kelemahan mendasar gerakan mahasiswa terletak pada organisasinya?

Itu betul. Organisasi adalah sesuatu yang vital bagi sebuah gerakan. Tapi organisasi yang efektif tidak akan ada tanpaditunjang oleh pengetahuan yang efektif tentang organisasi dan gerakannya.

Buya Hamka, 1940.


"Maka sebelum kita maju dalam menentukan tujuan hidup, hendaklah kita pandai memilih mana yang cocok buat diri, jangan mana yang disukai saja. Anak muda kerapkali tidak insaf akan hal ini, karena darahnya masih muda dan panas.

Ada anak muda melihat orang lain senang makan gaji, dia hendak makan gaji, padahal yang lebih cocok dengan dia bukan makan gaji, tetapi berniaga. Ada pula yang melihat orang jadi wartawan atau pengarang, dia hendak jadi wartawan pula, padahal yang lebih sesuai dengan dirinya jika ia jadi petani. Ada pula pemuda yang hendak dibentuk oleh ayahnya menurut maunya saja, mau menurut kelayakan yang cocok dengan anak itu, ada pula yang karena pengaruh orang lain hilang timbangannya.

Tetapi ada golongan ketiga yang mempelajari pekerjaan sebelum ditempuhnya, menimbang sebelum berjalan dengan kemerdekaan pendapat dan akal, memakai pakaian yang sesuai dengan tubuhnya. Inilah yang paling benar, tetapi ini pula yang  sulit."

Fact-Checking “The Martian”: Can You Really Grow Plants on Mars?



I AM THE GREATEST BOTANIST ON THIS PLANET -Mark Watney in "The Martian"

In Ridley Scott’s movie, “The Martian,” Mark Watney, played by Matt Damon, gets caught in a sandstorm on Mars. He’s left for dead by his crew, who manage to escape the planet. To save himself, Watney needs to get in touch with NASA and arrange a rescue mission. In the meantime, he has to survive for a few hundred days—on a planet where nothing grows.

Unfortunately, Watney is apparently nowhere near where NASA just found water on Mars. But, fortunately, he is a botanist. Almost immediately, he heads back to NASA’s Martian base, MacGuyvers together a device that distills water from the air, and figures out how to grow potatoes, living off them and leftover food from NASA. But does the science stand up to scrutiny?

We spoke to Andy Weir, who wrote the novel on which the movie “The Martian” is based. He did copious research to make sure the novel is as scientifically accurate as possible, and was in frequent contact with Drew Goddard, who adapted the book into a screenplay, to transfer that accuracy on screen. Weir also said he was in frequent contact with the crew during the shoot to consult on technical questions.

And, yes, it is possible to grow plants on Mars—kind of. Alone, Martian soil doesn’t have the necessary elements for plant life. “The main thing that’s not in Martian soil is a bunch of nutrients and biological materials that plants rely on to grow,” Weir says. “It’s not there because, obviously, there’s no life on Mars.”

So to get biological material into Martian soil, Watney uses the only spare biological material he has: astronaut poop. He mixes it in with the Martian soil, plants some potatoes that NASA had sent up with his crew, and, voila, you have plant life on Mars.

Watney rehydrated his crew’s feces and mixed it with his own. That way, he could take advantage of the nitrates and other elements from the crew’s feces, and still have the bacteria from his own feces into it. “So what he ended up with was a big tub of shit that only has his pathogens,” Weir says. Good advice if you’re ever stuck on Mars.

The next question is whether a person can actually live off practically only potatoes for hundreds of days, but that’s fodder for another article.

NO PLANT. NO FOOD. NO LIFE.