Wednesday 18 October 2023

Kutipan Buku "Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih" oleh Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro dengan Penyunting M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi - Penerbit Yayasan AKATIGA

 

 

Saya baru saja meminjam buku "Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih" dari Prof. Sediono M.P. Tjondronegoro dengan Penyunting M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi yang diterbitkan oleh Yayasan AKATIGA dengan prakarsa Faperta Institut Pertanian Bogor (IPB). Berikut beberapa kutipan yang ingin saya bagikan. Selamat Menyimak!  


PENGANTAR DARI PENYUNTING


Sosiologi agraria sebenarnya hanyalah satu dari sejumlah sudut pandang dalam mengkaji hubungan antara manusia dan tanah (land) serta hubungan antarmanusia berkaitan dengan tanah. Sudut pandang lainnya adalah ekonomi agraria yang memusatkan perhatian pada arti tanah sebagai faktor produksi, ilmu kependudukan yang mengkaji rasio manusia-tanah atau tekanan penduduk atas tanah, hukum agraria yang menyoroti kerangka pengaturan formal dan informal segala kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan tanah, dan politik agraria yang mengkaji hubungan antara distribusi kekuasaan dan struktur agraria. Tetapi, dapat dikatakan bahwa beragam sudut pandang tersebut menyatu dalam tinjauan sosiologi agraria. Hal ini mengingat peubah-peubah ekonomi, kependudukan, hukum, dan politik tadi dalam kenyataannya secara bersama-sama telah membentuk struktur agraria yaitu sistem pelapisan ataupun hubungan sosial berdasarkan akses atau penguasaan terhadap tanah.

Ringkasnya, struktur agraria yang dimaksud di sini menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai tanah luas di satu pihak dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali (tunakisma) di lain pihak. Antara golongan-golongan tersebut terjalin hubungan sosial atau tepatnya sosio-agraria yang secara spesifik dikenal sebagai hubungan produksi. Termasuk dalam golongan yang menguasai tanah luas tadi terutama adalah para 'tuan tanah' tradisional dan para pengusaha swasta yang memperoleh misalnya hak pengusahaan tanah untuk bisnis perkebunan, industri, perumahan, pariwisata, padang golf, sampai hak pengusahaan hutan (HPH) dalam jangka panjang. Sedangkan golongan berikutnya meliputi petani bermigrasi dan membentuk golongan peasant di perkotaan. Di atas kedua golongan tersebut, dalam wujud pemerintah, berdirilah negara (state) tidak saja mengatur secara formal hubungan manusia dengan tanah serta hubungan produksi yang melibatkan golongan-golongan tadi, tetapi juga memiliki klaim penguasaan atas hamparan tanah tertentu yang disebut sebagai "tanah negara".

Pumpunan (focus) analisis sosiologi agraria dengan demikian adalah struktur agraria dan dinamikanya, yaitu hubungan sosio-agraria antargolongan penguasaan tanah dan perubahan-perubahan hubungan tersebut baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan. Secara spesifik analisis perubahan pola hubungan tersebut terakhir terpumpun pada gejala penajaman diferensiasi kelas berdasar akses atau penguasaan terhadap tanah, sebagai akibat dari perubahan sosial masyarakat agraris menuju masyarakat industri.
 

Tema pokok dalam analisis sosiologi agraria adalah gejala konflik agraria, yaitu konflik sosial yang terjadi dalam konteks struktur atau hubungan-hubungan sosio-agraria, baik itu konflik yang berdasarkan faktor-faktor kepentingan politik atau spesifik kekuasaan maupun yang berdasarkan kepentingan sosial dan ekonomi ataupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Sudah barang tentu, konflik agraria itu melibatkan golongan-golongan sosial tersebut di atas, yaitu pengusaha swasta dan tuan tanah, rakyat (terutama petani), pemerintah (negara), baik dalam pola "dua pihak" maupun "banyak pihak", horisontal ataupun vertikal. Konflik tersebut menjadi sangat kompleks sifatnya karena, seperti dikatakan tadi, diwarnai oleh pertarungan berbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.


Terdiri dari empat bagian, tulisan-tulisan Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro yang terkumpul dalam buku ini berisikan analisis dan pemikiran sosiologi atas permasalahan pertanahan atau agraria di Indonesia. Bagian pertama, sekaligus sebagai pendahuluan, adalah sebuah tulisan yang menempatkan masalah pertanahan atau agraria sebagai tema kajian sosiologis. Dalam tulisan tersebut, penulis mendemonstrasikan bagaimana analisis sosiologis agraria terpumpun pada satu tema spesifik, yaitu situasi situasi konflik yang terjadi dalam konteks struktur agraria atau hubungan- hubungan sosio-agraria.

Bagian kedua, terdiri dari lima tulisan, pada pokoknya menggambarkan keterkaitan masalah agraria dan pelaksanaan pembangunan. Intinya adalah bahwa keterbelakangan pembangunan bidang agraria di Indonesia telah menimbulkan berbagai kendala dalam proses pembangunan bidang lain. Pangkal keterbelakangan bidang agraria itu adalah “pembekuan” implementasi UUPA 1960 (dan UUPBH) atau landreform oleh pemerintahan Soeharto, karena undang-undang tersebut diasosiasikan dengan komunisme (PKI). Terbukti kemudian bahwa pembekuan landreform itu bukanlah suatu langkah pemecahan masalah, tetapi sebaliknya, justru merupakan penciptaan masalah, sebagaimana terbukti dari semakin meningkatnya intensitas dan cakupan konflik agraria di Indonesia.

Penulis pada pokoknya berpandangan bahwa tanpa terlebih dahulu memenuhi prasyarat landreform atau lebih luas lagi reforma agraria, maka tidak mungkin tercapai transformasi sosial masyarakat Indonesia secara substantif dari tipe agraris ke tipe industri. Karena itu, jika pembangunan nasional diarahkan kepada industrialisasi, maka pemenuhan prasyarat reforma agraria adalah suatu tuntutan mutlak, dan itu berarti melaksanakan UUPA 1960 secara konsekuen. Hal tersebut terakhir, yaitu tuntutan reforma agraria di Indonesia merupakan tema atau pesan pokok lima tulisan dalam bagian ketiga buku ini.

Bagian keempat, sekaligus sebagai penutup, adalah satu tulisan yang bersifat melihat lebih luas ke depan. Pada pokoknya, penulis berpandangan bahwa orientasi pembangunan wilayah di Indonesia, juga meliputi wilayah hutan (terutama luar Jawa) dan lautan. Implikasi  pandangan ini adalah bahwa reforma agraria, selain menyentuh tanah pertanian/perkebunan, juga harus menyentuh wilayah hutan dan perairan laut (dan bahkan udara dan lingkungan).

Jika diperhatikan, terdapat satu isu pokok yang hampir selalu diungkap ulang oleh Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro dalam setiap tulisan dalam kumpulan ini, yaitu suatu keprihatinan mendalam atas sikap pemerintahan Soeharto yang telah membekukan upaya reforma agraria, sehingga pembangunan nasional selama ini telah berjalan di atas basis struktur agraria yang timpang. Kondisi tersebut kiranya dapat menjelaskan mengapa bagian terbesar penduduk yang lemah aksesnya terhadap tanah selama ini menikmati hanya bagian terkecil dari hasil-hasil pembangunan. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kemudian Tjondronegoro juga berulang-ulang menekankan perlunya pelaksanaan reforma agraria, sebagai upaya yang paling tepat untuk memperbaiki ketimpangan tadi. Inilah yang seharusnya juga menjadi keprihatinan dan harapan kita bersama. Mudah-mudahan angin reformasi yang kini sedang bertiup di negeri ini terarah juga ke bidang agraria, sehingga terbukalah pintu untuk reforma agraria.

Salah satu lembaga yang sebenarnya sangat diharapkan peran aktifnya dalam mendukung reformasi agraria itu adalah perguruan tinggi. Selama masa pemerintahan Soeharto, tuntutan reformasi agraria tidak pernah terdengar dari lembaga ini, bahkan tidak juga dari institut ataupun sekolah tinggi pertanian yang seharusnya paling berkepentingan dengan isu tersebut. Cap 'komunisme' mungkin telah menjadi momok yang membungkam perguruan tinggi selama ini. Tetapi, di masa reformasi sekarang ini alasan tersebut tidak relevan lagi, dan sudah saatnya perguruan tinggi bersuara dan bertindak secara sungguh-sungguh. Tindakan konkrit dapat dimulai dengan membentuk pusat-pusat studi kebijakan dan reforma agraria di berbagai perguruan tinggi. Bersama dengan kekuatan LSM, pusat-pusat studi itu kiranya dapat mendukung pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria.


Sesuatu, akhirnya, harus dikatakan tentang riwayat buku ini. Buku suntingan ini pada pokoknya dimaksudkan sebagai wujud pengakuan, penghargaan, dan rasa terimakasih atas pemikiran Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro di bidang agraria sekaligus sebagai kenang-kenangan bagi beliau di usianya yang ke-70 pada tahun 1998. Dengan segala kekurangan yang ada pada kenang-kenangan ini, mudah-mudahan Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro tetap berbesar hati menerimanya.


Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Ir. Gunardi, MA, Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, Ir. Melani Abdulkadir-Sunito, M.Sc., Drs. Satyawan Sunito dan Ir. Ivanovich Agusta, M.Si., yang masing-masing telah menerjemahkan satu judul tulisan dalam buku ini dari teks aslinya yang berbahasa Inggris. Terimakasih juga kami sampaikan kepada Yayu Rahayu, Pinandito D.P., Fahmi Abdillah dan Ari Prabowo yang telah mengetik ulang semua tulisan. Tidak kurang terimakasih juga disampaikan pada Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial (DOKIS) Bogor, Pusat Studi Pembangunan IPB, dan Panitia Dialog Reformasi Agraria (Bogor) yang telah memfasilitasi kerja penyuntingan, dan tentu saja kepada Yayasan AKATIGA yang telah bersedia menerbitkan buku ini.

Penyunting:
M.T. Felix Sitorus
Gunawan Wiradi



"Sementara ini, belum jelas bagaimana kami harus mengartikan pernyataan Menteri Pertanian untuk menghapuskan satuan-satuan usaha tani gurem dengan penguasaan di bawah setengah hektar. Apabila satuan-satuan tersebut digabungkan menjadi satu hamparan yang lebih luas masih dapat dipertanyakan, apakah petani yang lebih berada diberi kesempatan membeli ataukah penyatuan tadi selanjutnya dikelola secara bersama?

Kalau tidak salah, Sajogjo (1977b) pernah melontarkan ide penggarapan lahan yang disatukan seperti itu dalam Badan Usaha Buruh Tani (BUBT). Wadah seperti itu merupakan sejenis sarana pendidikan dan pelatihanan, disamping juga untuk melakukan usaha bersama. Di sini bukan saja dalam hal masukan perlu adanya pengaturan lebih jelas, melainkan juga dalam pembagian tugas pada berbagai tahap proses produksi, dan akhirnya bagian yang dialokasikan kepada mesing-masing anggota dari hasil akhir atau keuntungan bila hasil dijual.

Bentuk-bentuk organisasi demikian sudah lebih maju dan mutakhir dari pada hubungan patron klien, misalnya, yang memposisikan petani kaya untuk bertindak sebagai pengelola tunggal dan berani menanggung risiko. Patron lebih banyak memanfaatkan tenaga klien yang bernaung di bawah lindungannya, sehingga ketergantungan itu sekaligus juga menjamin pemeliharaan satuan produksi.

Hubungan-hubungan demikian banyak dikemukakan oleh Scott (1979). Hubungan hidup demikian pada hakikatnya bisa berlangsung selama faktor risiko bagi pihak klien bertambah, akan tetapi kalau hal ini terjadi dan meyempitkan ruang gerak pihak klien maka akan timbul revolusi. Paling tidak gambaran ini yang diamati Scott di Malaysia, tempat penelitiannya dilakukan.

Agak berbeda adalah gambaran dari Popkins (1979) yang melihat petani di Malaysia, dengan tingkat kepadatan penduduk yang belum terlalu tinggi, masih lebih mudah mengembangkan usahanya. Pertimbangan- pertimbangan rasionallah yang mendasari keputusannya dan tidak ada faktor risiko yang menjadi penghambat pemikiran petani.


Bila ditelusuri lebih cermat, sebenarnya beberapa postulat yang mendasari pemikiran Scott dan Popkins tidak berbeda, yaitu bahwa petani berpikir rasional. Karena, walaupun Scott berpendapat bahwa petani gurem yang sering tidak dapat mengusahakan maksimalisasi dalam usahanya, tidak menambah risiko pun adalah hasil pemikiran rasional. Biaya lebih besar dibandingkan dengan keuntungan marjinal yang mungkin diperolehnya dari suatu masukan baru. Konservatisme petani menurut persepsi Scott artinya juga rasional, ialah menghindari biaya beban yang lebih besar daripada yang dapat dipikulnya."



"Penguasaan atas tanah memberikan ketenangan (security) kepada sehingga bila hal itu diganggu akan mengundang protes pada awalnya dan akhirnya menimbulkan perlawanan apabila protes tidak mempan lagi. Hipotesa Kartodirdjo boleh dikatakan digarisbawahi oleh teori Scott (1979) tentang "falsafah moral petani". Menurut Scott, petani yang termiskin merasa dirinya aman selama masih hidup dalam naungan desa dan komunitasnya, yang akan membantunya pada saat-saat terkena musibah Bagi petani, sistem sosial dengan gotong-royong, gugur-gunung dan kelembagaan tradisional lainnya dirasakan tidak akan menambah beban risiko yang harus ditanggungnya. Hal yang paling dikhawatirkan petani ialah apabila keseimbangan yang menjamin ketenangan hidup --walaupun dalam keadaan miskin-- dikacaukan, karena perubahan keseimbangan mungkin sekali akan memperbesar risiko hidupnya. Inilah yang menyebabkan petani miskin kerap curiga terhadap pembaharuan, termasuk teknologi, cenderung bersifat konservatif dan berhati-hati, menunggu bukti yang meyakinkan dahulu. Baru bila perubahan ternyata menguntungkan, akan diikuti petani. Pembuktian seperti ini makan waktu dan minta kesabaran.

Mengingat sikap petani yang demikian, kita yang menginginkan perbaikan nasib hidupnya harus mengerti dahulu bahwa sikap kehati-hatian petani itu diakibatkan oleh ketidakpastian tentang risiko. Setiap usaha atau pendekatan kepada petani miskin yang akan meningkatkan risiko, pada akhirnya akan mencapai titik yang membuat petani miskin akan memberontak, karena terus hidup dalam keadaan yang dipaksakan dengan risiko tinggi tidak ada artinya lagi. Mati, sebagai risiko memberontak, berimbang dengan risiko yang meningkat selama hidup. Di negara kita terjadi protes dan perlawanan dari petani terhadap pemajakan yang terlalu berat, sumbangan untuk penguasa, dan curahan tenaga petani kepada tuan tanah."

"Namun, apabila konsep reforma agraria kita pahami sebagai satu sendi dalam strategi pembangunan nasional, maka reforma agraria juga tidak dapat dilihat terlepas dari usaha industrialisasi, urbanisasi yang lebih sehat, pelestarian alam, dan sebagainya. Momentum untuk reforma agraria juga lebih didekati apabila persyaratan untuk mendirikan sektor industri dapat menyerap kelebihan tenaga kerja sudah (paling tidak) sebagian dipersiapkan dan dipenuhi.
Jaminan pemasaran hasil pertanian, sistem perkreditan yang sehat, dan dukungan dari organisasi petani yang mendukung pemerintah merupakan persyaratan yang perlu dipenuhi sekaligus. Untuk pemerintah yang sungguh- sungguh ingin membantu petani lemah, organisasi (fungsionil) yang dapat mereka dukung sepenuhnya merupakan wahana yang dapat mempercepat pelaksanaan reforma agraria. Pemerintah dengan demikian juga dapat memperkuat kedudukan petani kecil dan buruh tani di pasaran tenaga kerja.
Di daerah padat penduduk, misalnya di banyak daerah di Jawa, sering diragukan bahwa redistribusi tanah pertanian dapat memberi cukup tanah garapan untuk keluarga petani. Juga dipertanyakan efisiensi pembagian yang kecil-kecil itu dalam meningkatkan produksi pertanian pada umumnya. Mungkin redistribusi tanah tidak dapat ditinjau hanya dari segi pemerataan dan keadilan, tetapi juga dapat ditinjau dari segi kemungkinan memberi harapan di hari depan. Perasaan ini memang hampir tidak dikenal lagi oleh petani gurem dan buruh tani.
Banyak negara yang setelah melakukan redistribusi kepada keluarga tani, menyatukan bidang-bidang tanah kembali melalui koperasi atau kolektifitas untuk mencapai tingkatan skala ekonomis (economics of scale). Perimbangan antara faktor-faktor produksi menjadi lebih baik. Akan tetapi, usaha-usaha demikian tidak terlepas dari keberhasilan memperluas sektor industri pada umumnya dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja."

Dikemukan pula ide mengenai Konsolidasi Lahan/Tanah dan Bank Tanah yang belum sepenuhnya bisa dilaksanakan pada masa pemerintahan Orde Baru.

No comments:

Post a Comment