Day 19 #22HBB Vol. 2 (9 April 2023)
5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽
📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 53-68 / 296
Insight/rangkuman/catatan:
REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM (ILM AL-KALAM) - Pemikiran Hassan Hanafi
Rekonstruksi
teologi yang dilakukan Hassan Hanafi adalah mengubah term atau
pemahaman teologi yang awalnya bersifat teosentris,berbicara tentang
Tuhan dan melangit, diubah dan diturunkan menjadi teologi yang
mendiskusikan tentang persoalan manusia,antroposentris,dan
membumi.Berkaitan dengan gagasan rekonstruksi teologi tersebut,ada
beberapa hal yang perlu disampaikan.
Pertama, dari sisi
metodologis, pemikiran Hassan Hanafi tampak memiliki kesamaan–jika tidak
dikatakan dipengaruhi oleh—dengan pemikiran Marx (1818–1883 M) dan
Husserl (1859–1938 M). Pengaruh atau kesamaan tersebut tampak ketika
Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas
pengaruh Barat.Pernyataannya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan
dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas
khazanah pemikiran Islam sendiri mirip dengan pemikiran fenomenologi
Husserl.Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi
menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran
teologinya, yaitu bahwa teologi dimulai dari titik praktis pembebasan
rakyat tertindas. Slogan-slogan yang dipergunakan, antara lain,
pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat
Muslim di hadapan Barat dan sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme.
Kesamaannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi
menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika
merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan
filsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam
pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia
tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan
duniawi, dalam Hanafi diberi ruh yang tidak sekadar materialistik. Ada
pranata-pranata yang bersifat religius atau keruhanian yang menggerakkan
sebuah perjuangan Muslim.
Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi teologi Hanafi memakai prinsip kesejahteraan, bahwa perjuangan mesti memerhatikan kebaikan umum, bukan brutal, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxisme tetapi tidak marxis, Barat tetapi tidak sekuler. Artinya, di sini ada metode-metode orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri.
Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari
kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, apa yang disampaikan Hanafi
dari proyek rekonstruksi teologi ini sesungguhnya bukan sesuatu yang
baru dalam makna yang sebenarnya. Pernyataannya bahwa zat dan sifat
Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal telah disampaikan kaum
Muktazilah dan kaum sufi , konsepnya tentang tauhid yang “membumi” juga
telah disampaikan Murtadha Muthahhari (1920–1979 M). Kelebihan Hanafi
adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih
utuh, jelas, dan up to date sehingga terasa baru. Di sinilah
orisinalitas pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya.
Ketiga, lepas apakah pemikiran besar Hanafi bisa direalisasikan atau
tidak seperti diragukan Boullata, jelas gagasan Hanafi adalah langkah
berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam
mengejar ketertinggalannya di hadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi
yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat
spiritual-religius menjadi sekadar material-duniawi akan bisa menggiring
pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis, dan
fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan transenden.
Selanjutnya, mencemati
gagasan Hanafi, ada ada cacatan yang perlu disampaikan. Pertama,
pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam kadar
yang relatif kecil, yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis pada
rasionalitas Muktazilah. Keberpihakan Hanafi pada rasionalitas
Muktazilah menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada Muktazilah,
yaitu bahwa mereka pernah melakukan intrik politik dan ideologis
(mihnah). Kedua, kritik Hanafi bahwa teologi Asy’ariyah adalah penyebab
kemunduran Islam terasa terlalu menyederhakan masalah di samping tidak
didasarkan investigasi historis yang memadai dan konkret. Kenyataannya,
seperti ditulis Shimogaki, Asy’ariyah telah berjasa dalam menemukan
keharmonisan mistik antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa
dimungkiri bahwa kebanyakan masyarakat Muslim yang Asy’ariyah sangat
terbelakang dibanding Barat
@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku
Day 20 #22HBB Vol. 2 (10 April 2023)
5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽
📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 69-89 / 296
Insight/rangkuman/catatan:
AL-FALSAFAH AL-ÛLÂ - Pemikiran Al-Kindi (801 873 M)
Al-Falsafah
al-Ûlâ adalah judul buku filsafat yang ditulis dan dipersembahkan Al-
Kindi untuk khalifah Al-Mu`tashim (833–842 M) dari dinasti Bani Abbas
(750–1258 M); sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafi sikanya yang
didasarkan atas konsep-konsep fi lsafat Aristoteles (384–322 SM).1
Pemikiran metafi ika Al-Kindi, menurut George N. Atiyeh, diinspirasikan
dari gagasan Aristoteles tentang Kebenaran Pertama, tidak didasarkan
atas ide-ide Plotinus (204–270 M) sebagaimana kebanyakan fi lsuf Muslim
sesudahnya. Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan
sebab dari semua kebenaran. Karena itu, Al-Kindi menggambarkan
metafisika sebagai pengetahuan yang paling mulia, karena subjek
kajiannya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua realitas.
Berdasarkan hal ini, Al-Kindi kemudian mendefi nisikan metafisika
sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiah—yang dalam konsep
Aristoteles disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak. Namun,
cakupan kajiannya tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being
qua being) sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles, tetapi terbatas
hanya pada masalah Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatif-Nya, dan
hubungan-Nya dengan alam ciptaan. Artinya, Al- Kindi mengikuti
Aristoteles tetapi tidak sama dengan gurunya, dan di sinilah
orisinalitas Al-Kindi.
Bahwa Al-Kindi hidup pada masa fi lsafat
belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa
transisi pemikiran teologi pada filsafat. Dalam kondisi ini, Al-Kindi
jelas menghadapi banyak kesulitan dan persoalan, baik internal gagasan
maupun eksternal masyarakat, dan pikirannya banyak dicurahkan untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Namun, hal itu bukan
berarti Al-Kindi tidak mempunyai pemikiran filsafatnya sendiri yang
orisinal sehingga tidak layak disebut seorang filosof, atau bahkan hanya
sebagai seorang penerjemah seperti dituduhkan beberapa pihak. Uraian di
atas, meski singkat dan tidak utuh, menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah
benar-benar seorang filosof yang orisinal.
Al-Kindi (801–873
M)secara kronologis dapat dianggap sebagai tokoh pertama yang berusaha
menyelaraskan agama dan filsafat lewat berbagai cara,dan upayanya
tersebut ternyata kemudian diikuti oleh banyak filosof sesudahnya,
seperti Al-Farabi (870–950 M),Abu Sulaiman Al-Sijistani (932–1000 M),Ibn
Miskawaih (932–1030 M),Ibn Sina (980–1037 M) sampai Ibn Rusyd
(1126–1198 M),tentu dengan caranya masing-masing sesuai dengan konteks
dan aliran filsafat yang dianutnya.
Konsep Al-Kindi tentang
proses penciptaan semesta yang tercipta dari tiada (creatio ex nihilo)
dengan berdasarkan atas nalar filsafat, bukan teologis sebagaimana dalam
tradisi pemikiran Islam, adalah gagasan orisinal Al-Kindi yang tidak
terdapat pada para pemikir Muslim yang lain. Konsep penciptaan semesta
para filosof Muslim secara umum dapat dibagi dua. Pertama, bersifat
creatio ex nihilo dengan dasar nalar teologis. Kedua, bersifat creatio
ex materia dengan dasar nalar filsafat, baik lewat emanasi seperti
Al-Farabi atau gerakan seperti Ibn Rusyd. Al-Kindi menggabungkan kedua
konsep tersebut.
Secara umum tampak Al-Kindi berusaha menjelaskan
persoalan keagamaan berdasarkan logika dan perspektif filsafat, bukan
dengan dasar wahyu atau naqli, bahkan kebenaran logika dan fi lsafat
juga digunakan untuk membenarkan dan menjustifi kasi informasi wahyu. Di
sinilah kelebihan Al-Kindi. Meski demikian,pemikiran Al-Kindi bukan
tanpa masalah. Persoalan proses bagaimana Tuhan berkarya dan
hubungan-Nya dengan semesta, apakah Tuhan bersifat imanen (tasybîh) atau
transendens (tanzîh) atas semesta, adalah satu persoalan yang
ditinggalkan oleh Al-Kindi.
@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku
No comments:
Post a Comment