Monday 17 April 2023

#22HBB Day 19 and Day 20 Buku "FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer" karya Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag.


 

Day 19 #22HBB Vol. 2 (9 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 53-68 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM (ILM AL-KALAM) - Pemikiran Hassan Hanafi

Rekonstruksi teologi yang dilakukan Hassan Hanafi adalah mengubah term atau pemahaman teologi yang awalnya bersifat teosentris,berbicara tentang Tuhan dan melangit, diubah dan diturunkan menjadi teologi yang mendiskusikan tentang persoalan manusia,antroposentris,dan membumi.Berkaitan dengan gagasan rekonstruksi teologi tersebut,ada beberapa hal yang perlu disampaikan.

Pertama, dari sisi metodologis, pemikiran Hassan Hanafi tampak memiliki kesamaan–jika tidak dikatakan dipengaruhi oleh—dengan pemikiran Marx (1818–1883 M) dan Husserl (1859–1938 M). Pengaruh atau kesamaan tersebut tampak ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas pengaruh Barat.Pernyataannya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri mirip dengan pemikiran fenomenologi Husserl.Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya, yaitu bahwa teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogan yang dipergunakan, antara lain, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat Muslim di hadapan Barat dan sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme. Kesamaannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi ruh yang tidak sekadar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau keruhanian yang menggerakkan sebuah perjuangan Muslim. 

Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi teologi Hanafi memakai prinsip kesejahteraan, bahwa perjuangan mesti memerhatikan kebaikan umum, bukan brutal, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxisme tetapi tidak marxis, Barat tetapi tidak sekuler. Artinya, di sini ada metode-metode orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri.


Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi teologi ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang sebenarnya. Pernyataannya bahwa zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal telah disampaikan kaum Muktazilah dan kaum sufi , konsepnya tentang tauhid yang “membumi” juga telah disampaikan Murtadha Muthahhari (1920–1979 M). Kelebihan Hanafi adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas, dan up to date sehingga terasa baru. Di sinilah orisinalitas pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya. Ketiga, lepas apakah pemikiran besar Hanafi bisa direalisasikan atau tidak seperti diragukan Boullata, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya di hadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekadar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis, dan fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan transenden.

Selanjutnya, mencemati gagasan Hanafi, ada ada cacatan yang perlu disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam kadar yang relatif kecil, yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis pada rasionalitas Muktazilah. Keberpihakan Hanafi pada rasionalitas Muktazilah menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada Muktazilah, yaitu bahwa mereka pernah melakukan intrik politik dan ideologis (mihnah). Kedua, kritik Hanafi bahwa teologi Asy’ariyah adalah penyebab kemunduran Islam terasa terlalu menyederhakan masalah di samping tidak didasarkan investigasi historis yang memadai dan konkret. Kenyataannya, seperti ditulis Shimogaki, Asy’ariyah telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistik antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dimungkiri bahwa kebanyakan masyarakat Muslim yang Asy’ariyah sangat terbelakang dibanding Barat

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

Day 20 #22HBB Vol. 2 (10 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 69-89 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

AL-FALSAFAH AL-ÛLÂ - Pemikiran Al-Kindi (801 873 M)

Al-Falsafah al-Ûlâ adalah judul buku filsafat yang ditulis dan dipersembahkan Al- Kindi untuk khalifah Al-Mu`tashim (833–842 M) dari dinasti Bani Abbas (750–1258 M); sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafi sikanya yang didasarkan atas konsep-konsep fi lsafat Aristoteles (384–322 SM).1 Pemikiran metafi ika Al-Kindi, menurut George N. Atiyeh, diinspirasikan dari gagasan Aristoteles tentang Kebenaran Pertama, tidak didasarkan atas ide-ide Plotinus (204–270 M) sebagaimana kebanyakan fi lsuf Muslim sesudahnya. Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran. Karena itu, Al-Kindi menggambarkan metafisika sebagai pengetahuan yang paling mulia, karena subjek kajiannya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua realitas. Berdasarkan hal ini, Al-Kindi kemudian mendefi nisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiah—yang dalam konsep Aristoteles disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak. Namun, cakupan kajiannya tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being qua being) sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles, tetapi terbatas hanya pada masalah Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatif-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam ciptaan. Artinya, Al- Kindi mengikuti Aristoteles tetapi tidak sama dengan gurunya, dan di sinilah orisinalitas Al-Kindi.

Bahwa Al-Kindi hidup pada masa fi lsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa transisi pemikiran teologi pada filsafat. Dalam kondisi ini, Al-Kindi jelas menghadapi banyak kesulitan dan persoalan, baik internal gagasan maupun eksternal masyarakat, dan pikirannya banyak dicurahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Namun, hal itu bukan berarti Al-Kindi tidak mempunyai pemikiran filsafatnya sendiri yang orisinal sehingga tidak layak disebut seorang filosof, atau bahkan hanya sebagai seorang penerjemah seperti dituduhkan beberapa pihak. Uraian di atas, meski singkat dan tidak utuh, menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah benar-benar seorang filosof yang orisinal.

Al-Kindi (801–873 M)secara kronologis dapat dianggap sebagai tokoh pertama yang berusaha menyelaraskan agama dan filsafat lewat berbagai cara,dan upayanya tersebut ternyata kemudian diikuti oleh banyak filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi (870–950 M),Abu Sulaiman Al-Sijistani (932–1000 M),Ibn Miskawaih (932–1030 M),Ibn Sina (980–1037 M) sampai Ibn Rusyd (1126–1198 M),tentu dengan caranya masing-masing sesuai dengan konteks dan aliran filsafat yang dianutnya.

Konsep Al-Kindi tentang proses penciptaan semesta yang tercipta dari tiada (creatio ex nihilo) dengan berdasarkan atas nalar filsafat, bukan teologis sebagaimana dalam tradisi pemikiran Islam, adalah gagasan orisinal Al-Kindi yang tidak terdapat pada para pemikir Muslim yang lain. Konsep penciptaan semesta para filosof Muslim secara umum dapat dibagi dua. Pertama, bersifat creatio ex nihilo dengan dasar nalar teologis. Kedua, bersifat creatio ex materia dengan dasar nalar filsafat, baik lewat emanasi seperti Al-Farabi atau gerakan seperti Ibn Rusyd. Al-Kindi menggabungkan kedua konsep tersebut.

Secara umum tampak Al-Kindi berusaha menjelaskan persoalan keagamaan berdasarkan logika dan perspektif filsafat, bukan dengan dasar wahyu atau naqli, bahkan kebenaran logika dan fi lsafat juga digunakan untuk membenarkan dan menjustifi kasi informasi wahyu. Di sinilah kelebihan Al-Kindi. Meski demikian,pemikiran Al-Kindi bukan tanpa masalah. Persoalan proses bagaimana Tuhan berkarya dan hubungan-Nya dengan semesta, apakah Tuhan bersifat imanen (tasybîh) atau transendens (tanzîh) atas semesta, adalah satu persoalan yang ditinggalkan oleh Al-Kindi.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

No comments:

Post a Comment