Saturday 13 April 2019

Pendidikan Tinggi Pertanian: Antara Teori dan Praktek, Mana yang Lebih Penting? Sebuah Curahan Hati dan Kritik Untuk Diri.


Di zaman digital sekarang ini informasi mudah sekali diperoleh. Hanya dengan sekali klik teori-teori mutakhir tentang teknologi dan berbagai hal lainnya dapat langsung muncul di depan mata. Bahkan lebih banyak informasi yang didapat dari sekedar materi-materi kuliah di kelas-kelas universitas yang sifatnya general. Begitu pula dengan materi-materi tentang pertanian. Teori-teori pertanian di kelas-kelas perkuliahan agaknya sudah dapat diakses hanya dengan mengetikan kata kunci di Google, sehingga tak heran materi-materi perkuliahan pertanian hanya dirasakan sebagai ceramah-ceramah akademik tingkat tinggi yang berisi teori tanpa ada bayangan nyata di lapangan seperti apa. Itulah yang saya rasakan tentang kuliah Rekayasa Pertanian selama 4,5 tahun di ITB, terlalu banyak teori tingkat tinggi yang minim realisasi di lapangan. Contohnya Termodinamika Sistem Ekologi ataupun Peristiwa Perpindahan Dalam Biosistem masih bingung untuk saya praktekan di lapangan. Mekanika Fluida dan Matematika Rekayasa pun cenderung hanya menjadi hitungan teoritis tanpa makna ketika sudah melihat problematika-problematika di lapangan. Kenyataan nya di lapangan seorang sarjana teknik di bidang Rekayasa Pertanian akan kalah dengan seorang petani yang sudah 25 tahun menggarap sawah dan kebun secara otodidak. Teori dikalahkan praktek dan pengalaman. Teori-teori tingkat tinggi itu seakan hanya menjadi hitungan-hitungan tak real di atas kertas. Seorang lulusan Rekayasa Pertanian dididik menjadi seorang generalis tanpa keahlian khusus. Kami belajar semua hal yang berhubungan dengan pertanian dan teknik tapi tidak mendalam. Sehingga kristalisasi materi kuliah tidak dirasakan setelah lulus kuliah dan menguap begitu saja. Satu keahlian bidang pertanian yang seharusnya spesifik seperti Teknik Pemuliaan ataupun Teknologi Benih hanya mengandalkan satu mata kuliah tertentu tanpa ada pendalaman. Sehingga apa yang terjadi? Keahlian yang sangat krusial dimiliki menguap begitu saja setelah wisuda dilaksanakan. Sehingga tak heran setelah lulus wisuda, yang sekarang sudah tiga angkatan yang di wisuda, sangat sedikit yang turun langsung menjadi petani dan mayoritas masih mengejar karir di bidang lain. Begitupun dengan penulis yang masih kebingungan antara mencari pekerjaan kantoran atau turun ke lapangan menjadi praktisi pertanian. Sehingga kritik khalayak umum tentang lulusan pertanian yang membelot ke bidang lain memang nyata di lapangan. Sehingga pendidikan tinggi pertanian lebih baik teori atau praktek? Semoga dapat di jawab oleh adik-adik angkatan penulis dimana mungkin jurusan Rekayasa Pertanian yang masih muda ini sudah mengevaluasi kurikulum dan metode perkuliahan di masa mendatang. Semoga!

No comments:

Post a Comment