Monday 17 April 2023

#22HBB Day 21 and Day 22 Buku "FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer" karya Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag.

 

Day 21 #22HBB Vol. 2 (11 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 90-106 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

HIERARKI WUJUD SECARA EMANASI - Pemikiran Al-Farabi (870-950 M)

Pertama, konsep metafisika Al-Farabi tidak hanya menunjuk soal wujud-wujud non-materi, sesuatu yang gaib atau sesuatu yang melampaui fisika (mâ warâ’a thabî`ah), seperti yang ada dalam teologi Islam umumnya, tetapi mencakup juga persoalan psikis, konsep-konsep yang ada dalam pikiran, bahkan epistemologis.

Kedua, dari sisi ontologis, pemikiran emanasi Al-Farabi tampak selaras dan konsisten, di mana tiap-tiap bagiannya saling terkait. Dimulai dari yang Esa, Sebab Pertama, secara hierarkis turun menuju ke sepuluh intelek yang kemudian melahirkan langit dan bumi yang merupakan wujud empiris dan plural. Artinya, di sini bisa diselesaikan perbedaan dua kutub yang saling berseberangan sehingga bisa dijelaskan keterkaitan antara Tuhan yang Esa dan wujud empiris yang plural, antara yang substantif dan aksiden, antara yang tidak bergerak dan yang berubah, yang merupakan persoalan pelik fi lsafat saat itu. Namun, harus pula disadari bahwa dengan konsep emanasi tersebut, Al-Farabi dapat jatuh pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang partikular atau teperinci seperti pernah dituduhkan Al-Ghazali.

Ketiga, konsep Al-Farabi bahwa eksistensi manusia di bumi berada di antara wujud-wujud materi yang rendah dan wujud-wujud metafi sik yang tinggi, akan bisa menggiring pada pemahaman bahwa manusia tidak akan bisa mencapai derajat paling utama di antara makhluk ciptaan. Jika asumsi ini benar, ia bisa berseberangan dengan konsep lain, khususnya soal kenabian dan konsep manusia sempurna (insân al-kâmil) yang sering diungkap oleh kaum sufi s, yakni sosok manusia unggul yang mencapai derajat tertinggi melampaui segala ciptaan sehingga eksistensi dan tindakannya merupakan ‘bayangan’ Tuhan di bumi.

Keempat, dalam konsep emanasi Al-Farabi yang hanya sampai tingkat ke-11, mengapa hanya 11? Apakah ini murni hasil renungan filosofisnya atau karena pengaruh doktrin imâmah dalam teologi Syiah? Richard Netton menduga Al-Farabi termasuk seorang pemikir dari kalangan Syiah,  karena Bani Hamdan (890–1004 M) penguasa Aleppo dan Mosul yang memberi fasilitas dan mendukung kegiatan ilmiah Al-Farabi adalah pengikut mazhab Syiah. Juga, pemikiran dan elite politik Syiah, sebenarnya, masih mengontrol secara efektif jalannya roda pemerintahan pusat di Baghdad sampai menjelang kematian Al-Farabi.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

Day 22 #22HBB Vol. 2 (12 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 107-120 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

HIERARKI NILAI REALITAS - Pemikiran Al-Ghazali (1058-1111 M)

Pertama, pembagian tentang bentuk dan tingkat kualitas alam oleh Al-Ghazali menjadi dua bagian, yakni alam atas dan bawah, yang masing-masing termanifestasikan oleh alam malakût yang bersih dan mulia dan alam dunia yang kasat mata dan rendah, sesungguhnya, bukan ide baru. Para filsuf sebelumnya juga telah menyatakan hal itu, meski dengan format yang berbeda. Namun, yang berbeda dari Al-Ghazali, tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi sebagaimana pemikiran filsafat, tetapi berdasarkan teori imkân yang biasa dikaji dalam teologi, yaitu bahwa alam dicipta dari sesuatu yang tiada (creatio ex nihilo).

Kedua, pemikiran Al-Ghazali tentang dua kutub realitas, partikular dan universal, yang keduanya sama-sama merupakan substansi yang mempunyai bangunan tersendiri tapi saling berkaitan, adalah gagasan yang genius. Dengan pemikiran ini, doktrin kaum teolog bahwa semesta diciptakan dari sesuatu yang tiada, creatio ex nihilo, bisa dijelaskan sehingga perbedaan antara doktrin teologi dan filsafat bisa diselesaikan. Namun, gagasan bukan tidak bisa dipersoalkan. Pada saatnya, konsep Al-Ghazali ini bisa dianggap syirik, ketika dihadapkan pada konsep kesatuan wujud Ibn Arabi (1165-1240 M).

Ketiga, pembagian eksistensi wujud, (1) aktual yang eksistensinya tidak hanya ada dalam mental, konsep, dan pikiran, tetapi konkret, nyata dalam wujud realitas dan (2) wujud potensial yang hanya ada dalam konsep, mental atau pikiran dan masih dalam posisi imkân, pada gilirannya akan bisa mengarah pada kesimpulan bahwa aksiden lebih penting dibanding substansi, karena aksiden itulah yang menentukan eksistensi sesuatu. Ini tidak berbeda dengan konsep Al-Farabi. Di sisi lain, dengan konsep wujud potensial-aktual tersebut berarti pula bahwa segala yang konkret telah ada ‘gambarannya’ dalam pikiran, termasuk wujud semesta telah ada gambarannya dalam benak Tuhan sebagai wujud potensial. Al-Ghazali mengakui hal ini dan menamakan dengan nasyiyah alazaliyah (kehendak azali). Ini berarti tidak berbeda dengan konsep ‘keqadiman alam’ dari filsafat Al-Farabi bahwa semesta ini telah ada wujudnya dalam pikiran Tuhan secara azali bersama keazaliaan-Nya.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

#22HBB Day 19 and Day 20 Buku "FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer" karya Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag.


 

Day 19 #22HBB Vol. 2 (9 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 53-68 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM (ILM AL-KALAM) - Pemikiran Hassan Hanafi

Rekonstruksi teologi yang dilakukan Hassan Hanafi adalah mengubah term atau pemahaman teologi yang awalnya bersifat teosentris,berbicara tentang Tuhan dan melangit, diubah dan diturunkan menjadi teologi yang mendiskusikan tentang persoalan manusia,antroposentris,dan membumi.Berkaitan dengan gagasan rekonstruksi teologi tersebut,ada beberapa hal yang perlu disampaikan.

Pertama, dari sisi metodologis, pemikiran Hassan Hanafi tampak memiliki kesamaan–jika tidak dikatakan dipengaruhi oleh—dengan pemikiran Marx (1818–1883 M) dan Husserl (1859–1938 M). Pengaruh atau kesamaan tersebut tampak ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam) dalam konteksnya sendiri, lepas pengaruh Barat.Pernyataannya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri mirip dengan pemikiran fenomenologi Husserl.Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi menempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya, yaitu bahwa teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogan yang dipergunakan, antara lain, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan penguasa, persamaan derajat Muslim di hadapan Barat dan sejenisnya adalah jargon-jargon Marxisme. Kesamaannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi ruh yang tidak sekadar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau keruhanian yang menggerakkan sebuah perjuangan Muslim. 

Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi teologi Hanafi memakai prinsip kesejahteraan, bahwa perjuangan mesti memerhatikan kebaikan umum, bukan brutal, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxisme tetapi tidak marxis, Barat tetapi tidak sekuler. Artinya, di sini ada metode-metode orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri.


Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi teologi ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang sebenarnya. Pernyataannya bahwa zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal telah disampaikan kaum Muktazilah dan kaum sufi , konsepnya tentang tauhid yang “membumi” juga telah disampaikan Murtadha Muthahhari (1920–1979 M). Kelebihan Hanafi adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas, dan up to date sehingga terasa baru. Di sinilah orisinalitas pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya. Ketiga, lepas apakah pemikiran besar Hanafi bisa direalisasikan atau tidak seperti diragukan Boullata, jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya di hadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekadar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis, dan fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan transenden.

Selanjutnya, mencemati gagasan Hanafi, ada ada cacatan yang perlu disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme, meski dalam kadar yang relatif kecil, yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis pada rasionalitas Muktazilah. Keberpihakan Hanafi pada rasionalitas Muktazilah menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada Muktazilah, yaitu bahwa mereka pernah melakukan intrik politik dan ideologis (mihnah). Kedua, kritik Hanafi bahwa teologi Asy’ariyah adalah penyebab kemunduran Islam terasa terlalu menyederhakan masalah di samping tidak didasarkan investigasi historis yang memadai dan konkret. Kenyataannya, seperti ditulis Shimogaki, Asy’ariyah telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistik antara ukhrawi dan duniawi, meski tidak bisa dimungkiri bahwa kebanyakan masyarakat Muslim yang Asy’ariyah sangat terbelakang dibanding Barat

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

Day 20 #22HBB Vol. 2 (10 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 69-89 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

AL-FALSAFAH AL-ÛLÂ - Pemikiran Al-Kindi (801 873 M)

Al-Falsafah al-Ûlâ adalah judul buku filsafat yang ditulis dan dipersembahkan Al- Kindi untuk khalifah Al-Mu`tashim (833–842 M) dari dinasti Bani Abbas (750–1258 M); sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafi sikanya yang didasarkan atas konsep-konsep fi lsafat Aristoteles (384–322 SM).1 Pemikiran metafi ika Al-Kindi, menurut George N. Atiyeh, diinspirasikan dari gagasan Aristoteles tentang Kebenaran Pertama, tidak didasarkan atas ide-ide Plotinus (204–270 M) sebagaimana kebanyakan fi lsuf Muslim sesudahnya. Kebenaran pertama adalah penggerak pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran. Karena itu, Al-Kindi menggambarkan metafisika sebagai pengetahuan yang paling mulia, karena subjek kajiannya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua realitas. Berdasarkan hal ini, Al-Kindi kemudian mendefi nisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang Ilahiah—yang dalam konsep Aristoteles disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak. Namun, cakupan kajiannya tidak meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being qua being) sebagaimana dalam pemikiran Aristoteles, tetapi terbatas hanya pada masalah Tuhan, perbuatan-perbuatan kreatif-Nya, dan hubungan-Nya dengan alam ciptaan. Artinya, Al- Kindi mengikuti Aristoteles tetapi tidak sama dengan gurunya, dan di sinilah orisinalitas Al-Kindi.

Bahwa Al-Kindi hidup pada masa fi lsafat belum dikenal secara baik dalam tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa transisi pemikiran teologi pada filsafat. Dalam kondisi ini, Al-Kindi jelas menghadapi banyak kesulitan dan persoalan, baik internal gagasan maupun eksternal masyarakat, dan pikirannya banyak dicurahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

Namun, hal itu bukan berarti Al-Kindi tidak mempunyai pemikiran filsafatnya sendiri yang orisinal sehingga tidak layak disebut seorang filosof, atau bahkan hanya sebagai seorang penerjemah seperti dituduhkan beberapa pihak. Uraian di atas, meski singkat dan tidak utuh, menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah benar-benar seorang filosof yang orisinal.

Al-Kindi (801–873 M)secara kronologis dapat dianggap sebagai tokoh pertama yang berusaha menyelaraskan agama dan filsafat lewat berbagai cara,dan upayanya tersebut ternyata kemudian diikuti oleh banyak filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi (870–950 M),Abu Sulaiman Al-Sijistani (932–1000 M),Ibn Miskawaih (932–1030 M),Ibn Sina (980–1037 M) sampai Ibn Rusyd (1126–1198 M),tentu dengan caranya masing-masing sesuai dengan konteks dan aliran filsafat yang dianutnya.

Konsep Al-Kindi tentang proses penciptaan semesta yang tercipta dari tiada (creatio ex nihilo) dengan berdasarkan atas nalar filsafat, bukan teologis sebagaimana dalam tradisi pemikiran Islam, adalah gagasan orisinal Al-Kindi yang tidak terdapat pada para pemikir Muslim yang lain. Konsep penciptaan semesta para filosof Muslim secara umum dapat dibagi dua. Pertama, bersifat creatio ex nihilo dengan dasar nalar teologis. Kedua, bersifat creatio ex materia dengan dasar nalar filsafat, baik lewat emanasi seperti Al-Farabi atau gerakan seperti Ibn Rusyd. Al-Kindi menggabungkan kedua konsep tersebut.

Secara umum tampak Al-Kindi berusaha menjelaskan persoalan keagamaan berdasarkan logika dan perspektif filsafat, bukan dengan dasar wahyu atau naqli, bahkan kebenaran logika dan fi lsafat juga digunakan untuk membenarkan dan menjustifi kasi informasi wahyu. Di sinilah kelebihan Al-Kindi. Meski demikian,pemikiran Al-Kindi bukan tanpa masalah. Persoalan proses bagaimana Tuhan berkarya dan hubungan-Nya dengan semesta, apakah Tuhan bersifat imanen (tasybîh) atau transendens (tanzîh) atas semesta, adalah satu persoalan yang ditinggalkan oleh Al-Kindi.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

#22HBB Day 17 and Day 18 Buku "FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer" karya Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag.


Untuk meneruskan buku "Dunia Sophie" yang sudah selesai dibaca di Challenge 22 Hari Baca Buku @22haribacabuku saya akan meneruskan membaca dua buku Filsafat yaitu buku "FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer" karya Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. untuk memahami lebih dalam mengenai Filsafat dalam Islam setelah sebelumnya di Dunia Sophie pemikiran Eropa Barat lah yang menjadi acuan dan buku "FILSAFAT SEBAGAI ILMU KRITIS" karya Franz Magnis-Suseno, S.J. untuk mengasah lagi dan menghidupkan Filsafat sebagai ilmu kritis yang merupakan tools penting yang harus kita pelajari.

Saya akan berusaha mengupdate hasil bacaan saya di Instagram dan blog ini. Stay tuned :)

Semoga dilancarkan untuk mendalami lautan ilmu yang begitu luas. Aamiin..

Day 17 #22HBB Vol. 2 (7 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 1-23 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

Filsafat adalah alat. Sebagai alat, ia tidak saja berfungsi mengantarkan kita untuk masuk memahami kehidupan, tetapi juga menemukan kearifan di balik kehidupan itu sendiri. Kearifan adalah puncak berfilsafat. Kearifan akan muncul jika antara aktualitas teori sebagai entitas filsafat dengan realitas perilaku kita berpadu: membumi dan nyata adanya. Untuk itu, sudah seyogianya kita berterima kasih kepada para filsuf. Hidup serasa bermakna berkat amal jariah mereka berupa alat-alat berpikir, metode, dan pendekatan yang mereka ciptakan dan temukan sehingga menjadikan kehidupan kita berkualitas. Tanpa filsafat, jangan harap kita dapat mengetahui dan menjelaskan siapa kita sebenarnya. Namun demikian, buku ini tidak hanya akan mengajak untuk mengetahui ihwal teknis atau alat apa yang dipergunakan oleh filsuf-filsuf Muslim untuk berfilsafat, tetapi juga memperlihatkan bagaimana mereka berpikir dan beberapa informasi epistemologis yang paling bermanfaat dan memungkinkan untuk dipahami oleh kita sebagai pembaca. Dari Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang peripetatik, Suhrawardi yang ilmuniasionistik, Mulla Sadra yang teosofi transenden, Ibnu Arabi dengan wahdat al-wujûd, hingga Al-Kindi dengan al-falsafah al-ula, semuanya bertujuan mengetahui hakikat realitas kehidupan dengan menggabungkan segenap sumber pengetahuan secara integratif: akal, intuisi, dan wahyu.

Benar sebagaimana kritik Amin Abdullah, Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bahwa kajian-kajian fi lsafat Islam yang ada sampai saat ini, di PTAIN atau PTAIS, bahkan di tingkat Pascasarjana sekalipun, masih lebih banyak berkutat pada masalah sejarah dan metafisika. Kenyataannya, silabi dan buku-buku daras Filsafat Islam di Perguruan Tinggi tidak banyak yang keluar dari dua kajian pokok tersebut.

Bahasannya pun berkisar masalah sejarah perkembangan filsafat, aliran-aliran filsafat, dan pemikiran metafisika masing-masing tokoh. Akibatnya, kajian filsafat Islam menjadi tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal, kajian filsafat sesungguhnya bukan sekadar sejarah dan metafisika, melainkan juga epistemologi, etika, dan estetika; epistemologi adalah kajian tentang metodologi dan logika penalaran sehingga filsafat berarti kajian tentang cara berpikir, yaitu berpikir kritis-analisis dan sistematis. Artinya, filsafat lebih merupakan kajian tentang proses berpikir dan bukan sekadar kajian tentang sejarah dan produk pemikiran.

Salah satu faktor utama kelesuan berpikir dan berijtihad di kalangan umat Islam sampai saat ini, menurut penulis, adalah disebabkan mereka tidak mau melihat dan memerhatikan persoalan filsafat (metodologi) ini. Sebaliknya, seperti ditulis Al-Jabiri (1936–2010 M), sejak pertengahan abad ke-12 M, pasca serangan Al-Ghazali (1058–1111 M) terhadap filsafat, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, tanpa memedulikan posisinya sebagai produk, pendekatan, atau metodologi. Padahal, Al-Ghazali sendiri tidak pernah menyerang atau menyalahkan filsafat secara keseluruhan, tetapi hanya pada aspek metafisikanya yang merupakan produk pemikiran, yang dinilai dapat menyeret pada kekufuran. Namun, filsafat sebagai sebuah proses penalaran dan metodologi justru tetap dinilai penting dan harus dikuasai.

Oleh karena itu, dalam upaya pengembangan dan kajian keilmuan Islam saat ini, kita tidak bisa berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit menjelaskan jati dirinya dalam era global. Namun, sekali lagi, apa yang dimaksud filsafat di sini bukan sekadar uraian sejarah dan metafisikanya yang notabene merupakan produk pemikiran, melainkan lebih pada sebuah metodologi atau epistemologi. Karena itulah, Fazlur Rahman (1919–1988 M) menyatakan bahwa filsafat adalah ruh atau ibu pengetahuan (mother of science) dan metode utama dalam berpikir, bukan produk pemikiran. Tanpa filsafat, seseorang tidak akan mampu mengembangkan ilmunya, bahkan tanpa filsafat ia berarti telah melakukan bunuh diri intelektual.

Berdasarkan alasan itulah, maka kajian buku ini tidak hanya menyajikan sejarah dan metafisika, tetapi juga epistemologi, etika, dan estetika. Dalam kajian metafisika, konsep-konsep metodologi atau pemikiran epistemologi masing-masing tokoh tetap disampaikan. Subbagian epistemologinya sendiri menjelaskan tiga model epistemologi yang dikenal dalam Islam: bayânî, irfânî, dan burhânî. Ketiga model tersebut, dalam sejarahnya, telah menunjukkan keberhasilannya masing-masing. Nalar bayânî telah membesarkan disiplin fiqh (yurisprudensi) dan teologi (‘ilm al-kalâm), irfânî telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme di samping kelebihannya dalam wilayah praktis kehidupan, dan burhânî telah mengantarkan filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya. Namun, hal itu bukan berarti tanpa kelemahan. 

Berdasarkan hal itu, maka masing-masing bentuk epistemologi tersebut berarti tidak memadai digunakan secara mandiri untuk pengembangan keilmuan Islam, tetapi harus digunakan secara bersama-sama dan berkaitan. Maksudnya, ketiganya harus diikat dalam jalinan kerja sama sirkuler untuk saling mendukung, mengisi, mengkritik, dan memperbaiki kekurangan yang melekat pada masing-masing. Meski demikian, ketiga-tiganya sekaligus rasanya juga belum cukup untuk memecahkan persoalan-persoalan keagamaan kontemporer yang sangat kompleks sehingga perlu ditambah dengan epistemologi tajrîbî , yaitu bentuk penalaran yang mengandalkan pada eksperimen dan pengamatan objek fisik secara langsung.

Meski demikian, jalinan keempat bentuk epistemologi di atas tidak dapat berjalan begitu saja, tetapi tetap harus didukung oleh disiplin ilmu-ilmu sosial modern, seperti hermeneutika, sosiologi, antropologi, kebudayaan, dan sejarah sehingga produk yang dihasilkannya menjadi aktual dan utuh. Karena itu pula, jalinan epistemologi tersebut juga tidak boleh bersifat final, eksklusif, dan hegemonik, tetapi harus senantiasa terbuka dan inklusif. Sebab, finalitas dan eksklusivitas hanya akan mengantarkan pada jalan buntu dan tidak memberikan kesempatan bagi munculnya kemungkinan-kemungki nan baru yang mungkin lebih baik dalam menjawab problem-problem keagamaan dan kemanusiaan kontemporer. Di samping itu, finalitas dan eksklusivitas berarti menghilangkan kenyataan bahwa keragaman adalah keniscayaan dan keberagamaan adalah proses panjang menuju kematangan (on going process), bukan hal instan yang “sekali jadi”.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

Day 18 #22HBB Vol. 2 (8 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 24-52 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

SUMBER-SUMBER PEMIKIRAN RASIONAL-FILOSOFIS DALAM ISLAM

Dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pemikiran rasional-filosofis Islam tidak merupakan jiplakan atau plagiasi dari filsafat Yunani sebagaimana yang dituduhkan sebagian kalangan, meski diakui bahwa filsafat Yunani telah memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan pemikiran filsafat Islam sesudahnya. Sebab, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional dalam hukum (fiqh) dan teologi Islam Muktazilah telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya filsafat Yunani lewat terjemahan. Pemikiran rasional Islam inilah bahkan yang telah berjasa memberikan ruang bagi diterimanya filsafat Yunani.

Kedua, sistem pemikiran rasional Islam tersebut lahir atau muncul dari analisis dan perkembangan bahasa Arab (nahw), lewat berbagai mazhab bahasa yang ada. Berawal dari analisis dan rasionalisasi bahasa ini kemudian berkembang menjadi rasionalisasi dalam bidang hukum (fiqh) dan teologi, karena adanya kebutuhan untuk menjelaskan secara rasional-filosofis atas makna dan maksud teks suci dan menjawab problem-problem yang muncul saat itu secara rasional.

Ketiga, pemikiran dan fi lsafat Yunani masuk ke dalam khazanah pemikiran Islam pertama kali pada masa khalifah Al-Makmun (811–833 M) dari dinasti Bani Abbas (750–1258 M), lewat proyek terjemahan. Proses terjemahan atas pemikiran rasional filsafat Yunani ini sendiri dilakukan karena telah berkembang dan mapannya tradisi berpikir rasional filosofis di kalangan masyarakat Islam, terutama fiqh dan teologi Muktazilah, di samping untuk mencari tambahan referensi atau amunisi dalam menghadapi pemikiran-pemikiran heterodoks yang juga mulai berkembang saat itu.

PERGUMULAN FILSAFAT DENGAN ILMU KEAGAMAAN

Pertama, pemikiran filsafat Islam sesungguhnya tetap dan terus berkembang sampai masa modern, bahkan kontemporer ini. Hanya saja, ada perubahan bentuk dan orientasi filsafat setelah masa Ibn Rusyd (1126–1198 M). Yaitu, pemikiran filsafat yang awalnya berkembang secara mandiri dan bersifat rasional, kemudian bersinergi dengan tasawuf, sehingga melahirkan tasawuf falsafi : sebuah pemikiran yang menggabungkan antara pemikiran rasional dan intuisi. Selain itu, pemikiran rasional-intuitif ini lebih banyak berkembang di kalangan sarjana Syiah, bukan Sunni, sehingga apa yang dimaksud bahwa filsafat Islam telah mati pasca-Ibn Rusyd, sesungguhnya, hanya terjadi dalam masyarakat Sunni, bukan masyarakat Islam secara keseluruhan.

Kedua, perkembangan filsafat (Sunni), jika dihitung sejak masa Al-Kindi (806–875 M), tepatnya penulisan buku ‘Filsafat Pertama’ (al-Falsafah al-Ûla) yang dipersembahkan untuk khalifah Al-Mu`tashim (833–842 M) dan berakhir pada masa Ibn Rusyd (1126–1198 M), pemikiran filsafat Islam berarti hanya hidup selama sekitar 350 tahun; suatu masa yang tidak sebentar. Bahkan, jika dibanding dengan perjalanan Islam sendiri yang dimulai sejak turunnya wahyu pertama masa Rasul (611 M) sampai sekarang yang berarti telah berjalan selama 1400 tahun, filsafat Islam berarti telah memberi kontribusi selama seperempat kehidupan Islam sendiri, suatu masa waktu yang jelas tidak sedikit.

Ketiga, grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam ternyata tidak senantiasa naik dan mulus, tetapi juga mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran ‘aneh’, tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama Islam sendiri yang dianggap telah baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina , kemudian jatuh lagi karena serangan Al-Ghazali; bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.

Keempat, kecurigaan dan penentangan yang dilakukan oleh sebagian tokoh Muslim terhadap filsafat, seperti yang dilakukan Ibn Hanbal, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam, tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa saat itu gerakan filsafat dinilai mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Misalnya, pemikiran Ibn Rawandi (827–911 M) dan Al-Razi (865–925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, atau perilaku oknum tertentu yang meremehkan ajaran agama dengan berdasarkan atas nama filsafat pada masa Al-Ghazali. Akan tetapi, yang harus juga dicatat adalah bahwa hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa seluruh filosof dan ajaran filsafat adalah salah. Adalah suatu keputusan yang tidak arif dan tidak tepat jika kita menjatuhkan putusan hanya karena adanya beberapa kasus yang tidak signifikan dan melupakan jasa-jasanya yang besar.

Kelima, serangan Al-Ghazali terhadap filsafat sesungguhnya lebih ditujukan pada aspek metafi sikanya dan bukan pada logika atau epistemologinya, sesuatu yang menjadi inti pemikiran filsafat. Sebab, Al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dan menggunakannya untuk membumikan gagasan-gagasannya. Artinya, dalam analogi fiqh, Al-Ghazali hanya mengkritik fiqhnya dan bukan ushûl al-fiqh-nya, menolak produk dan bukan alat atau metodenya. Berdasarkan hal itu, berarti tidak ada alasan bagi kita untuk menolak filsafat sebagai sebuah epistemologi atau metode berpikir meski kita bisa tidak sepakat pada bagian metafisika atau hasil pemikirannya.

Keenam, perselisihan antara kaum filsafat dan Al-Ghazali tampak juga disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami makna dari sebuah istilah yang digunakan. Sebagaimana dikatakan Al-Hamadani ,44 setiap kelompok atau aliran pemikiran, seperti teologi, filsafat, tasawuf, fiqh, dan seterusnya mempunyai istilah-istilah teknis tersendiri, di mana istilah-istilah yang digunakan tersebut bisa jadi sama tetapi mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan yang dimaksud oleh si pembicara. Karena itu, seseorang dari golongan tertentu tidak bisa langsung mengklaim atau memberikan makna tentang sebuah istilah sebelum meminta penjelasan secara baik kepada si empunya istilah. Menjatuhkan keputusan terhadap pembicara sebelum meminta penjelasan tentang apa yang dimaksudkan berarti sama dengan menembak dalam kegelapan, suatu tindakan yang sangat tidak bijak. Ketegangan antara filsafat dan ilmu keagamaan, termasuk juga ketegangan antara tasawuf dan fiqh, mazhab fiqh yang satu dengan yang lain, dan seterusnya, rupanya disulut oleh persoalan ini, tidak adanya sikap tabayun terlebih dahulu sebelum diambil keputusan. Serangan Al-Ghazali terhadap filosof karena istilah “qadim” pada alam adalah bukti nyata akan hal itu.

Ketujuh, para tokoh filsafat Islam, mulai Al-Kindi sampai Ibn Rusyd, dengan caranya masing-masing sesungguhnya telah dan selalu berusaha untuk menyelaraskan antara wahyu dan rasio, antara agama dan filsafat, bukan memisahkannya sebagaimana yang sering dituduhkan. Karena itu, dugaan, asumsi, atau bahkan tuduhan bahwa filsafat (Islam) telah mengabaikan atau bahkan meninggalkan ajaran wahyu, kiranya patut dikaji ulang.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku