Monday 17 April 2023

#22HBB Day 21 and Day 22 Buku "FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer" karya Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag.

 

Day 21 #22HBB Vol. 2 (11 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 90-106 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

HIERARKI WUJUD SECARA EMANASI - Pemikiran Al-Farabi (870-950 M)

Pertama, konsep metafisika Al-Farabi tidak hanya menunjuk soal wujud-wujud non-materi, sesuatu yang gaib atau sesuatu yang melampaui fisika (mâ warâ’a thabî`ah), seperti yang ada dalam teologi Islam umumnya, tetapi mencakup juga persoalan psikis, konsep-konsep yang ada dalam pikiran, bahkan epistemologis.

Kedua, dari sisi ontologis, pemikiran emanasi Al-Farabi tampak selaras dan konsisten, di mana tiap-tiap bagiannya saling terkait. Dimulai dari yang Esa, Sebab Pertama, secara hierarkis turun menuju ke sepuluh intelek yang kemudian melahirkan langit dan bumi yang merupakan wujud empiris dan plural. Artinya, di sini bisa diselesaikan perbedaan dua kutub yang saling berseberangan sehingga bisa dijelaskan keterkaitan antara Tuhan yang Esa dan wujud empiris yang plural, antara yang substantif dan aksiden, antara yang tidak bergerak dan yang berubah, yang merupakan persoalan pelik fi lsafat saat itu. Namun, harus pula disadari bahwa dengan konsep emanasi tersebut, Al-Farabi dapat jatuh pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang partikular atau teperinci seperti pernah dituduhkan Al-Ghazali.

Ketiga, konsep Al-Farabi bahwa eksistensi manusia di bumi berada di antara wujud-wujud materi yang rendah dan wujud-wujud metafi sik yang tinggi, akan bisa menggiring pada pemahaman bahwa manusia tidak akan bisa mencapai derajat paling utama di antara makhluk ciptaan. Jika asumsi ini benar, ia bisa berseberangan dengan konsep lain, khususnya soal kenabian dan konsep manusia sempurna (insân al-kâmil) yang sering diungkap oleh kaum sufi s, yakni sosok manusia unggul yang mencapai derajat tertinggi melampaui segala ciptaan sehingga eksistensi dan tindakannya merupakan ‘bayangan’ Tuhan di bumi.

Keempat, dalam konsep emanasi Al-Farabi yang hanya sampai tingkat ke-11, mengapa hanya 11? Apakah ini murni hasil renungan filosofisnya atau karena pengaruh doktrin imâmah dalam teologi Syiah? Richard Netton menduga Al-Farabi termasuk seorang pemikir dari kalangan Syiah,  karena Bani Hamdan (890–1004 M) penguasa Aleppo dan Mosul yang memberi fasilitas dan mendukung kegiatan ilmiah Al-Farabi adalah pengikut mazhab Syiah. Juga, pemikiran dan elite politik Syiah, sebenarnya, masih mengontrol secara efektif jalannya roda pemerintahan pusat di Baghdad sampai menjelang kematian Al-Farabi.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

Day 22 #22HBB Vol. 2 (12 April 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 FILSAFAT ISLAM: Dari Klasik Hingga Kontemporer - Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag. – hlm. 107-120 / 296

Insight/rangkuman/catatan:

HIERARKI NILAI REALITAS - Pemikiran Al-Ghazali (1058-1111 M)

Pertama, pembagian tentang bentuk dan tingkat kualitas alam oleh Al-Ghazali menjadi dua bagian, yakni alam atas dan bawah, yang masing-masing termanifestasikan oleh alam malakût yang bersih dan mulia dan alam dunia yang kasat mata dan rendah, sesungguhnya, bukan ide baru. Para filsuf sebelumnya juga telah menyatakan hal itu, meski dengan format yang berbeda. Namun, yang berbeda dari Al-Ghazali, tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi sebagaimana pemikiran filsafat, tetapi berdasarkan teori imkân yang biasa dikaji dalam teologi, yaitu bahwa alam dicipta dari sesuatu yang tiada (creatio ex nihilo).

Kedua, pemikiran Al-Ghazali tentang dua kutub realitas, partikular dan universal, yang keduanya sama-sama merupakan substansi yang mempunyai bangunan tersendiri tapi saling berkaitan, adalah gagasan yang genius. Dengan pemikiran ini, doktrin kaum teolog bahwa semesta diciptakan dari sesuatu yang tiada, creatio ex nihilo, bisa dijelaskan sehingga perbedaan antara doktrin teologi dan filsafat bisa diselesaikan. Namun, gagasan bukan tidak bisa dipersoalkan. Pada saatnya, konsep Al-Ghazali ini bisa dianggap syirik, ketika dihadapkan pada konsep kesatuan wujud Ibn Arabi (1165-1240 M).

Ketiga, pembagian eksistensi wujud, (1) aktual yang eksistensinya tidak hanya ada dalam mental, konsep, dan pikiran, tetapi konkret, nyata dalam wujud realitas dan (2) wujud potensial yang hanya ada dalam konsep, mental atau pikiran dan masih dalam posisi imkân, pada gilirannya akan bisa mengarah pada kesimpulan bahwa aksiden lebih penting dibanding substansi, karena aksiden itulah yang menentukan eksistensi sesuatu. Ini tidak berbeda dengan konsep Al-Farabi. Di sisi lain, dengan konsep wujud potensial-aktual tersebut berarti pula bahwa segala yang konkret telah ada ‘gambarannya’ dalam pikiran, termasuk wujud semesta telah ada gambarannya dalam benak Tuhan sebagai wujud potensial. Al-Ghazali mengakui hal ini dan menamakan dengan nasyiyah alazaliyah (kehendak azali). Ini berarti tidak berbeda dengan konsep ‘keqadiman alam’ dari filsafat Al-Farabi bahwa semesta ini telah ada wujudnya dalam pikiran Tuhan secara azali bersama keazaliaan-Nya.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya @22haribacabuku

No comments:

Post a Comment