Sunday 8 October 2023

Kutipan Buku "Agribisnis Kreatif" karya Pak Dr. Iwan Setiawan - Pertanian dalam Gelombang Ekonomi Indonesia

 

Berikut ini beberapa kutipan yang menarik perhatian saya dari buku "Agribisnis Kreatif: Pilar Wirausaha Masa Depan, Kekuatan Dunia Baru Menuju Kemakmuran Hijau" karya Pak Dr. Iwan Setiawan di bab Pertanian dalam Gelombang Ekonomi Indonesia. Selamat menyimak!

- Gelombang Pertama: Ekonomi Pertanian (1967-1986)

Melalui program revolusi hijau (green revolutions) yang dimotori lembaga donor dan perusahaan agribisnis raksasa internasional (multinational corporations/MNCs), berbagai inovasi (panca dan sapta usaha tani), baik tekonologi budidaya modern, alat mesin pertanian modern, sarana irigasi, input kimia (pupuk dan pestisida), benih unggul, kelembagaan baru maupun kredit, diintroduksikan secara massal dan linear (social engineering) kepada para petani melalui tangan-tangan aparat, petugas dinas teknis, dan penyuluh peryanian lapangan (PPL). Tidak tanggung-tanggung, tiga pendekatan pengembangan pertanian (intensifikasi, ekstensifikas, dan diversifikasi) diadopsi dan ditempuh secara sekaligus dan maraton. Hasilnya, berbagai kebijakan dan alternatif pemecahan masalah yang diimplementasikan mampu mendorong petani dalam iklim modernisasi produksi. Menurut Craig dan Mayo (1995), hal itu terjadi karena program-program tersebut didesain untuk meningkatkan produksi melalui perbaikan teknologi dan pembentukan kelompok. Hasil kajian Goldensohn (1994:33) di India, Indonesia, Filipina, Srilanka, Pakistan, dan Bangladesh menyimpulkan bahwa teknologi telah mengakibatkan semakin bagusnya usaha tani petani.

Sektor pertanian, terutama subsektor pangan (padi, jagung, kedelai) dan perkebunan (tebu, teh, karet, sawit) bagai disulap. Hanya dalam tempo singkat, mengalami pertumbuhan spektakuler, hampir mencapai 6 %. Bersamaan dengan itu, institusi sosial-ekonomi pertanian dan pedesaan baru (produk rekayasa), seperti badan usaha unit desa (BUUD), koperasi unit desa (KUD), kelompok tani (Poktan), unit penggilingan padi (UPP), jaringan informasi dan distribusi sarana produksi pertanian, tumbuh kembang. Sayang pemihakan  pemerintah bersifat semu, pemihakan yang tinggi tidak terjadi pada petaninya, tetapi lebih kepada teknologi dan institusinya (bias teknologi dan politis). Akibatnya, petani kecil tetap lemah atau tidak berdaya. Bahkan, dengan revolusi hijau, kondisi petani yang sudah dilemahkan sejak masa feodalisme, kian memuncak.

- Gelombang Kedua: Ekonomi Industri (1986-1997)

Ironisnya, industri yang dibangun bukan terkait dengan sektor pertanian (agroindustri), tetapi lebih condong pada industri yang tidak terkait dengan sektor pertanian, yakni industri manufaktur (footlose industry). Selain itu, industri yang dibangun lebih terfokus pada industri sedang dan besar. Industri skala rumah tangga dan skala kecil yang jumlahnya sangat banyak dan sebagian besar berbasis pertanian tidak banyak mendapatkan ruang dan pemihakan. Sektor pertanian bukan saja ditinggal secara politik, tetapi juga dipinggirkan secara sosial dan ekonomi.

Gelombang ekonomi industri runtuh dengan tragis oleh krisis ekonomi dan krisis keuangan global yang berkepanjangan pada ujung abad-20, sekaligus mengakhiri kekuasaan rezim orde baru. Krisis bukan hanya karena utang, tetapi oleh tidak adanya kemandirian dan kedaulatan dalam pangan, baik beras, daging, kedelai, jagung, dan sebagainya. Ironisnya lagi, ketergantungan terhadap kekuatan luar (impor) terjadi di dalam tubuh industri itu sendiri, baik dalam bahan baku, bahan bakar, alat mesin, dan tenaga-tenaga ahli. Akibatnya ketika ekonomi negara didera krisis, industri-industri yang semula begitu digdaya runtuh dan tidak berdaya, seperti bubarnya Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) dan runtuhnya IPTN atau PT Dirgantara Indonesia.

Paradoks dengan itu, para petani kakao, karet, sawit, lada, cengkeh, teh dan sebagainya justru meraup untung yang sangat tinggi. Pertanian justru tampil menjadi penyelamat ekonomi masyarakat yang banyak terkena pemutusan hubungan kerja. Bahkan, meski bersifat sementara, sebagian besar korban PHK waktu itu beralih ke usaha pertanian, termasuk agroindustri.

- Gelombang Ketiga: Ekonomi Informasi (1998-2008)

Faktanya Indonesia tidak banyak berkutik ketika berhadapan dengan perubahan iklim (climate change) dan perdagangan bebas (WTO, AFTA, ACFTA). Ekonomi informasi tidak banyak membantu, minimal dalam sosialisasi informasi menghadapi dampak perubahan iklim dan keterbukaan pasar, seperti penataan instrumen kebijakan pasar, pengetatan, serta pemberlakuan standardisasi proses dan produk yang baru oleh negara-negara importir, perbaikan praktik pertanian (good agricultural practices), sertifikasi produk, perbaikan lingkungan, perampingan sistem rantai pasokan (supply chain), dan efisiensi dalam pelayanan.

Bagaimana dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan menciptakan lapangan kerja kalau industrinya belum memihak pada sektor pertanian, belum berbasis pertanian, dan belum mampu meningkatkan nilai tambah pertanian?

- Gelombang Keempat: Ekonomi Kreatif (2009-2015/Sekarang)

Gelombang ekonomi yang berbasis pengetahuan (knowledge economy) yang juga sering disebut k-economy merupakan ekonomi yang menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Seperti halnya gelombang ekonomi kedua dan ketiga, pertanian juga tidak memilki ruang dalam gelombang keempat. Alih-alih tertautkan, terwarnai, dan terkuatkan; gelombang ekonomi pertama malah semakin ditinggalkan (terfragmentasi, tereliminasi, dan teraleniasi) dari gelombang keempat. Seperti terperangkap dalam penjara besi dan mati kutu, pertanian seakan tercipta -jika tidak dikatakan dikutuk- hanya menjadi bantalan pijak dan korbanan (trade-off) untuk gelombang ekonomi kedua, ketiga, dan keempat.  Pertanian seolah-olah dicitrakan tidak prospektif dan tidak populer bagi mode ekonomi kreatif. Pertanian seperti pecundang, terdiskriminasi dalam ruang gelap (black box) bangunan ekonomi-politik yang tidak bereferensi dan terkendali hegemoni.

- Gelombang Kelima: Ekonomi Hijau (2015-2030)

Para futurolog memprediksi bahwa negara-negara dengan sumber daya pertanian atau agribisnis yang melimpah dan mampu mengelolanya menjadi berbagai produk kreatif dan inovatiflah yang akan mendapatkan keuntungan berlimpah dari gelombang ekonomi dan industri hijau. Betapa tidak, berbagai kebutuhan hidup akan diproduksi dengan menggunakan bahan-bahan yang dihasilkan pertanian. Sekarang saja plastik sudah dibuat dari rumput laut, listrik dari biomassa, bahan bakar dari kedelai, sawit, ubi kayu, bunga matahari, dan jagung. Begitu juga pewarna makanan diekstrak dari berbagai tanaman, pestisida dibuat dari ekstrak tanaman atau kerang, pupuk kembali pada bahan baku organik, obat-obatan kembali pada tanaman (biofarmaka), dan sebagainya. Artinya, bagi negara dengan keragaman hayati berlimpah seperti Indonesia, gelombang ekonomi dipastikan dapat memberi banyak keuntunghan. Syaratnya: pertama, teknologi dan pengelolaannya harus dikreasi hingga dihasilkan aneka produk turunan yang dinilai dan bernilai tinggi. Kedua, kita harus mandiri dalam produksi, tetapi berjaringan dalam berbisnis. Indonesia jangan mengekor lagi kepada negara lain agar memaksimalkan peluang dan tidak kembali terjajah.

Jangan Ulang Kegagalan: Sebuah Argumentasi.

Bagi Indonesia, jika pertanian dan/atau agribisnis kreatif dikembangkan, penulis yakin bahwa: pertama, akan mampu berkontribusi lebih nyata terhadap ekonomi nasional, baik terhadap PDB, terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, dan lapangan wirausaha (terutama di pedesaan), mupun terhadap nilai ekspor nasional. Kedua, akan mampu menciptakan dan mendorong iklim bisnis yang kondusif dan produktif, baik dalam penciptaan lapangan berusaha, bagi tumbuh kembang usaha lain maupun bagi pemasaran. Ketiga, akan berdampak nyata terhadap sosial bangsa, baik meningkatkan kualitas hidup, toleransi sosial, maupun keseimbangan pembangunan perkotaan dan pedesaan. Keempat, akan mampu merangsang ide-ide atau gagasan-gagasan dan penciptaan nilai positif-produktif. Kelima, akan memperkuat citra dan identitas bangsa (sebagai negara agraris dan maritim), baik melalui tourisme (khususnya agrowisata), ikon nasional, maupun membangun budaya, heritage, dan nilai lokal. Keenam, identik dengan mengembangkan sumber daya terbarukan berbasis pengetahuan dan kreativitas, serta memberdayakan komunitas yang ramah terhadap lingkungan (green community).

No comments:

Post a Comment