Wednesday 22 March 2023

#22HBB Day 1 and Day 2 Buku "Dunia Sophie" karya Jostein Gaarder

 

Saya sedang mengikuti Challenge 22 Hari Baca Buku #22HBB Vol. 2 yang diselenggarakan oleh Salman Reading Corner, FIM Bandung, dan FIM Tangerang Raya. Dan saya memutuskan untuk membaca lagi buku "Dunia Sophie" karya Jostein Gaarder yang terakhir saya baca di tahun 2013, kurang lebih 10 tahun lalu. Di setiap harinya, saya harus menyetorkan rangkuman/insight/catatan dari halaman buku yang saya baca. Dan saya akan men-share setiap dua hari di blog ini mengenai rangkuman/insight/catatan yang saya setorkan di grup komunitas ini. Selamat menyimak!

 

Day 1 #22HBB Vol. 2 (22 Maret 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Dunia Sophie - Jostein Gaarder – hlm. 01- 53 / 798

Insight/rangkuman/catatan:

Sophie Amundsend, gadis 14 tahun yang serba ingin tahu, baru saja pulang dari sekolah dan mendapatkan sebuah surat di kotak surat atas nama dirinya tanpa nama pengirim. Surat itu berisi secarik kertas bertuliskan "Siapakah kamu?" Tak lama kemudian, ia mendapatkan sebuah surat baru yang bertuliskan "Dari mana datangnya dunia?" Dua hal itu membuatnya berpikir tentang eksistensi dunia dan dirinya sendiri. Orang itu menyentakkan Sophie keluar dari keberadaannya sehari-hari dan tiba-tiba membawa nya berhadapan dengan teka-teki besar tentang alam raya. Lalu ia mendapati surat ketiga bercap pos batalion PBB atas nama Hilde Moller Knag, dan ia terheran kenapa ada surat itu datang kepadanya. Keesokan harinya ia mendapat amplop besar dengan tulisan dibagian belakang: "Pelajaran Filsafat. Hati-hati." Lalu ia membaca isi amplop yang berisi:

'Apakah Filsafat itu?'

Cara terbaik untuk mendekati Filsafat adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis: Bagaimana dunia diciptakan? Adakah kehendak atau makna dibalik yang terjadi? Adakah kehidupan setelah kematian? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya kita hidup? Orang-orang telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama berdabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan yang tidak mengaitkan diri dengan pertanyaan apakah manusia itu dan dari mana datangnya dunia.

Satu-satu nya cara yang kita butuhkan untuk menjadi filosof yang baik adalah rasa ingin tahu. Dan orang dewasa di saat ini, tidak seperti anak-anak, sudah kehilangan rasa ingin tahu dan keheranannya terhadap dunia. Mereka terlalu nyaman dengan rutinitas dan permasalahan sehari-hari, lalu apatis dan acuh tak acuh dengan pertanyaan mendasar mengenai kehidupan.

Dan Sophie membuktikan nya dengan bertanya mengenai pertanyaan esensial kepada Ibunya, yang menganggap nya aneh dan meracau.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya

 

Day 2 #22HBB Vol. 2 (23 Maret 2023)

5 - 64 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Dunia Sophie - Jostein Gaarder – hlm. 54-83 / 798

Insight/rangkuman/catatan:

Sophie mendapatkan lagi amplop cokelat dengan namanya tertera disana, dan amplop itu berisi pelajaran tentang: "Gambaran Mitologis Dunia".

Pelajaran itu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Filsafat adalah cara pikir yang sama sekali baru yang berkembang di Yunani sekitar enam ratus tahun sebelum kelahiran Kristus. Hingga masa itu, semua pertanyaan yang diajukan oleh manusia dijawab oleh berbagai agama. Penjelasan-penjelasan agama ini disampaikan dari generasi ke generasi dalam bentuk mitos. Mitos adalah sebuah cerita mengenai dewa-dewa untuk menjelaskan mengapa kehidupan berjalan seperti adanya. Selama ribuan tahun, banyak sekali penjelasan mitologis bagi pertanyaan-pertanyaan Filsafat yang tersebar ke seluruh dunia. Para filosof Yunani berusaha untuk membuktikan bahwa penjelasan-penjelasan ini tidak boleh di percaya. Seperti di Skandinavia yang mempercayai Thor dan Odin, Freyr dan Freyja, Hoder dan Balder serta banyak Dewa lainnya. Pada masa itu mereka percaya bahwa guntur dan halilintar adalah akibat palu Thor, sehingga menyebabkan hujan. Juga di Yunani, para Dewa dinamakan Zeus dan Apollo, Hera dan Athena, Dionysos dan Asklepios, Herakles dan Hephaestos, dan yang lainnya. Para filosof Yunani paling awal mengecam mitologi itu sebab para dewa terlalu menyerupai manusia dan sama egois dan sama curangnya. Untuk pertama kalinya dikatakan bahwa mitos-mitos itu tidak lain dari hasil pemikiran manusia. Seiring berkembang nya kota-kota di Yunani, setiap individu atau warga negara mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis tanpa berpaling pada mitos-mitos kuno. Kita menyebut ini perkembangan dari cara pikir mitologis menuju cara pikir yang didasarkan pengalaman dan akal. Tujuan para filosof Yunani awal adalah menemukan penjelasan-penjelasan alamiah, dan bukannya supranatural, untuk berbagai proses alam.

Pada suatu sore Sophie mendapatkan lagi surat yang berisikan secarik kertas dengan tulisan: "Adakah zat dasar yang menjadi bahan untuk membuat segala sesuatu? Dapatkah air berubah menjadi anggur? Bagaimana tanah dan air dapat menghasilkan seekor katak hidup?"

Ketika pulang sekolah hari itu ia mendapatkan amplop tebal di kotak surat yang berisi "Proyek Para Filosof" yang diawali oleh "Para Filosof Alam".

Para filosof Yunani paling awal kadang-kadang disebut filosof alam sebab mereka hanya menaruh perhatian pada alam dan proses-prosesnya. Mereka ingin memahami proses yang sesungguhnya dengan menelaah alam itu sendiri. Ini sangat berbeda dengan menjelaskan guntur dan halilintar atau musim semi dan musim salju dengan menciptakan dongeng mengenai dewa-dewa.

Filosof yang pertama kita kenal adalah Thales dari Miletus, sebuah koloni Yunani di Asia Kecil. Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air.

Filosof berikutnya adalah Anaximander. Dia beranggapan bahwa dunia kita hanyalah salah satu dari banyak dunia yang muncul dan sirna di dalam sesuatu yang disebutnya tak terbatas, tapi tampaknya jelas bahwa dia tidak sedang memikirkan suatu zat yang dikenal dengan cara yang dibayangkan Thales. Jelas bahwa zat dasar itu tidak mungkin sesuatu yang sangat biasa seperti air.

Selanjutnya Anaximenes (kira-kira 570-526 SM) yang beranggapan bahwa segala sesuatu pastilah berasal dari udara atau uap.

Ketiga filosof ini semuanya percaya pada keberadaan satu zat dasar sebagai sumber dari segala hal. Namun bagaimana mungkin satu zat dapat dengan tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lain? Kita dapat menyebut ini masalah perubahan. Sejak sekitar 500 SM, ada sekelompok filosof di koloni Yunani Elea di Italia Selatan. "Orang-Orang Elea" ini tertarik pada masalah ini.

Yang paling penting diantara para filosof ini adalah Parmenides (kira-kira 540 - 480 SM). Parmenides beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada dan tidak ada yang disebut perubahan aktual. Tidak ada yang dapat menjadi sesuatu berbeda dari yang sebelumnya.

Rekan sezaman nya Heraclitus beranggapan bahwa perubahan terus menerus atau aliran sesungguhnya merupakan ciri alam yang paling mendasar. "Segala sesuatu mengalir".

Dua filosof tadi saling bertentangan, tapi siapa yang benar? Adalah Empedocles (kira-kira 490 - 430 SM) dari Sicilia yang menuntun mereka keluar dari kekacauan yang telah mereka masuki itu. Empedocles menyimpulkan bahwa gagasan mengenai satu zat dasar itulah yang harus ditolak. Sumber alam tidak mungkin satu unsur saja. Ia yakin bahwa alam itu terdiri dari empat unsur, atau "akar" sebagaimana ia mengistilahkan. Keempat akar ini adalah tanah, udara, api, dan air. Semua proses alam disebabkan oleh menyatu atau berpisahnya keempat unsur ini.

Anaxagoras (500 - 428 SM) adalah filosof lain yang tidak setuju bahwa satu bahan dasar tertentu -air, misalnya- dapat diubah menjadi segala sesuatu yang kita lihat di alam ini. Dia juga tidak dapat menerima bahwa tanah, udara, api, dan air dapat diubah menjadi darah dan tulang. Anaxagoras berpendapat bahwa alam diciptakan dari partikel-partikel sangat kecil yang tidak dapat dilihat mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh, segala sesuatu dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, bahkan dalam bagian yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain.

Dan nanti Sophie akan bertemu Democritus ujar sang penulis surat.

Akhirnya Sophie memutuskan bahwa Filsafat bukanlah sesuatu yang dapat kita pelajari, namun barangkali kita dapat belajar untuk berpikir secara filosofis.

@salmanreadingcorner @fimbandung @fimtangerangraya

No comments:

Post a Comment