Saturday 28 October 2023

Kutipan Buku "Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan" Karya Khudori

 


Sebelum saya melanjutkan kembali mengulas buku terbaru dari Pak Herman Khaeron, saya ingin terlebih dahulu membagikan kutipan buku yang cukup gamblang menentang neoliberalisme pangan dan pertanian yang juga menyerukan untuk meraih kembali kedaulatan pangan nasional melalui sumber daya lokal. Sebuah buku bernas yang diterbitkan tahun 2004 dengan judul "'Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan" karya Khudori, yang saya pinjam dari Perpustakaan Faperta UNPAD. Berikut kutipan yang menarik perhatian saya. Selamat Menyimak! 



Indonesia Terjebak Pangan (Food Trap)


Perihal ketahanan pangan, kehadiran IMF di Indonesia justru semakin memperburuk kondisi ketahanan pangan kita. Hal ini telah ditunjukkan oleh terjadinya penurunan yang drastis dalam kemandirian pangan kita. Bagi kepentingan nasional, pangan mempunyai peranan yang sangat penting dan kritis sebagai salah satu komponen ketahanan nasional sebuah bangsa. Kondisi kemampuan sebuah negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya dinyatakan dalam istilah ketahanan pangan (food security). Istilah ini menunjuk pada suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah, keamanan mutunya, pemerataan dan keterjangkauan. Sedangkan dalam The World Food Summit (1996) pada saat mencetuskan FIVIMS (Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping Systems), batasan yang digunakan untuk ketahanan pangan adalah suatu kondisi di mana semua orang, setiap waktu, mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi atas bahan pangan yang aman dan bergizi, sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh sesuai dengan kepercayaan sehingga bisa hidup secara aktif dan sehat.

Pada dasarnya, terdapat empat pilar yang menopang ketahanan pangan; pertama, aspek ketersediaan pangan (food availibility); kedua, aspek stabilitas ketersediaan/pasokan (stability of supplies); ketiga, aspek keterjangkauan (access to supplies); dan keempat, aspek konsumsi (food utilization). Dalam bangunan ketahanan pangan nasional, keempat pilar ketahanan pangan tersebut satu sama lainnya saling terkait. Terlihat jelas bahwa kondisi ketahanan pangan nasional suatu negara sangat ditentukan oleh komitmen pemerintah, baik itu berupa komitmen sosial, budaya, politik maupun ekonomi nasionalnya. Itu artinya, sistem sosial, politik, dan ekonomi suatu negara akan sangat mewarnai status ketahanan pangan nasionalnya. Karena itu, analisis mendasar tentang sistem ketahanan pangan nasional suatu negara akan sangat terkait dengan sistem sosial, budaya, politik dan ekonomi nasionalnya pula. Karena posisi pentingnya dalam menentukan ketahanan pangan, maka dalam kerangka kerja konseptual ketahanan pangan, struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi ini dinyatakan sebagai faktor determinan dasar (basic determinant) bagi ketahanan pangan.

Komitmen pemerintah berikut pilihan-pilihan kebijakan pangan yang diambilnya akan menentukan apakah sebuah negara memiliki piranti untuk menangkal jebakan pangan (food trap) atau malah justru menenggelamkan diri dalam keterjebakan pangan. Kebijakan untuk menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan pangan bisa dicapai baik dengan memproduksinya sendiri atau mendatangkan dari luar (import).  Dalam masalah ini, salah satu komitmen penting pemerintah yang diperlukan adalah komitmen untuk tidak mudah memutuskan  untuk import pangan. Komitmen tegas di sini menjadi penting, khususnya dalam rangka mewaspadai dan menangkal jebakan pangan. Lebih dari itu, komitmen seperti itu perlu dibarengi dengan komitmen untuk memanfaatkan pelbagai daya indigenous. Dalam konteks jangak panjang, kedua komitmen besar ini merupakan prasyarat terciptanya kemandirian pangan, keta- hanan pangan, dan terbebas dari food trap.

Dikaitkan dengan resiko kelaparan, sistem ketahanan pangan melibatkan gugus proses yang menghasilkan komoditas pertanian di tingkat usaha tani, mengubah komoditas tersebut menjadi makanan di sektor hilir, menjualnya kepada konsumen untuk memenuhi kebutuhan gizi serta kebutuhan estetika dan sosial. Sistem ini mensyaratkan keterlibatan secara konsisten antara kebijakan makro dan mikro dengan kebijakan pertanian, pangan, dan gizi. Kebijakan makro memberi payung berupa iklim yang kondusif bagi pembangunan pertanian, agroindustri pangan serta distribusinya. Kebijakan mikro (yang konsisten dengan kebijakan makro) pangan menyangkut strategi memadukan pelbagai kegiatan negara yang mengarahkan pasokan, distribusi, dan konsumsi pangan supaya menjamin keberlanjutan akses masyarakat terhadap distribusi produk-produk pangan secara berkecukupan di seluruh pelosok negeri. Dalam sistem ketahanan pangan, bukan hanya soal pasokan yang perlu diperhatikan, tetapi yang lebih penting adalah tingkat kemampuan seseorang atau rumah tangga dalam mengendalikan pasokan pangan untuk dirinya atau untuk keluarganya (food entitlement). Di suatu negeri, meskipun secara matematis pasokan pangan (seharusnya) cukup bagi setiap orang dan sistem distribusi sudah lancar berjalan, tetapi bisa saja terjadi sekelompok orang mengalami kurnag gizi, bahkan kelaparan, karena tidak mampu memasok ketersediaan pangan bagi dirinya atau keluarganya. Oleh karenanya, secara seksama kemampuan-kemampuan kelompok rawan itu perlu dicermati.

Sayangnya, kini pelbagai kebijakan pemerintah, baik dalam aspek sosial, politik maupun ekonomi justru lebih cenderung suka "memanen pangan di pasar" dari pada "memanen pangan di lahan sendiri". Dengan lain kata, kebijakan ketahanan pangan pemerintah lebih bertumpu pada pasar, bukan lahan domestik. Kondisi demikian mengakibatkan semakin tidak efisiennya sistem produksi pangan dalam negeri, yang pada saatnya nanti akan menyebabkan tidak berfungsinya sarana dan prasarana produksi selama beberapa masa siklus produksi. Hal ini akan diiringi dengan kemandekan produksi dalam negeri. Dalam jangka panjang, kebijakan pemerintah itu akan menyingkirkan produk-produk pangan dan budaya pangan asli (indigenous) Indonesia. Potensi produksi pangan asli selanjutnya menjadi kurang atau malah tidak terurus, keragaman sumberdaya bahan, kelembagaan, dan budaya pangan lokal terabaikan, dan lebih tragisnya beberapa di antaranya bahkan terkuras keluar.

Alasan yang sering dikemukakan pemerintah kepada ke publik, sepanjang kita memiliki dana yang cukup, kebutuhan pangan kita masih bisa dipenuhi dengan import. Terutama untuk komoditas beras, alasan ini jelas mengandung cacat mendasar. Bagi negara dengan penduduk 210 juta jiwa yang mayoritas konsumsi pokoknya beras, sangatlah riskan menggantungkan konsumsi beras dari import karena karakteristik beras di pasar dunia sangat tidak menguntungkan. Selain volume beras yang diperdagangkan tipis (thin market), antara 21-23 juta ton per tahun atau 5-7% dari total produksi, dan hanya diekspor setelah kebutuhan dalam negeri negara eksportir terpenuhi (residual market), pasar beras ternyata lebih mendekati pasar oligopoli (imperfect market). Karakteristik pasar yang demikian membuat   harga beras di pasar internasional amat fluktuatif. Antara tahun 1954-1994, harga tertinggi beras bisa mencapai US$ 600 setiap tonnya begitu juga harga beras bisa merosot sampai terendah hingga US$ 200 setiap ton. Ketidakstabilan ini pasti memukul Indonesia yang statusnya net importir seperti sekarang ini. Apalagi, keputusan import pun bakal menguras devisa. 

Itulah sebabnya mengapa hampir semua negara, terutama negara-negara maju, masih mempertahankan subsidi mereka untuk sektor pertanian. Bagi negara-negara tersebut, subsidi sesungguhnya bukan semata-mata untuk meringankan beban hidup rakyat atau petani. Lebih substansial dari itu, terutama untuk melindungi kedaulatan negara dari ketergantungan yang berlebihan terhadap negara lain. Bagi negara-negara tersebut, pangan tidak dipandang sebagai barang privat, tetapi sebagai komoditas politik dan bersifat strategis. Karena posisinya yang demikian strategis bagi stabilitas sebuah negara, pangan amat menentukan hidup-matinya suatu bangsa. Karena pangan, dengan segenap fungsi yang melekat padanya, bisa berubah men- jadi senjata mematikan, tidak kalah dibanding pelor. 

Contohnya, berulangkali kebijakan luar negeri AS memanfaatkan distribusi pangan sebagai senjata ampuh untuk menekan negara-negara yang tidak sejalan dengan garis politiknya. Pada tahun 1974, Jepang telah merasakan embargo kedelai. Dalam kasus lain, penghentian ekspor gandum dapat menceraiberaikan negara sebesar Rusia. Padahal, dalam bidang senjata, militer, dan politik, Rusia amat tangguh. Tetapi Rusia amat lemah di bidang pangan, karena sebagian besar kebutuhan gandum diimport terutama dari AS. Sejumlah negara seperti Libya, Iran, dan Irak sudah merasakan bagaimana mereka dibuat tidak  berdaya oleh pelbagai embargo AS, termasuk embargo pangan. Meski kaya minyak, mereka tetap saja lumpuh. Dilaporkan bahwa akibat embargo ekonomi Amerika, mengakibatkan rakyat ketiga negara tersebut telah menderita kekurangan gizi terutama anak-anak balita dan ibu hamil.

Sangat jarang ada negara yang berani membantu mereka yang diembargo itu. Walaupun dalam deklarasi Roma (1996) yang ditandatangani oleh 185 kepala negara dunia dinyatakan bahwa pangan adalah salah satu hak asasi manusia dan dilarang memakainya sebagai instrumen politik dan ekonomi, ternyata tetap saja diabaikan oleh sejumlah negara maju untuk me nekan negara lain. Dalam pelbagai kesempatan, negara yang mengalami defisit pangan sering mengeluh tentang perlakuan tersebut di forum-forum dunia seperti di FAO dan WTO. Namun tak pernah digubris oleh sejumlah negara maju, termasuk AS.

Indonesia bisa saja mengalami nasib seperti yang pernah dialami oleh Libya, Iran, Irak, Jepang atau Rusia. Karena, secara riil posisi Indonesia saat ini sudah berada dalam "terjebak pangan" (food trap). Keterjebakan pangan (food trap) dapat diartikan sebagai suatu proses ketergantungan pada suatu jenis pangan yang tidak mampu dihasilkan sendiri. Proses terjadinya keterjebakan itu berlangsung cukup lambat, sering tidak disadari, tetapi sebenarnya hampir selalu merupakan proses yang aktif dan dilangsungkan dengan rencana yang matang. Di kemudian hari baru negara korban sadar kalau dirinya sudah terjebak.

Jebakan pangan juga bisa diartikan sebagai kondisi di mana suatu negara mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap import pangan. Jebakan pangan juga mengandung  pengertian ketidakmampuan sarana dan prasarana produksi pa- ngan dalam negeri untuk bersaing dengan bahan pangan produksi import. Pada derajat yang ekstrem, jebakan pangan akan menyebabkan terenggutnya keleluasaan suatu negara dalam menentukan kebijakan pangan nasional. Hal ini karena beban biaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap impor akan semakin membesar. Pada tahap awal, jebakan pangan ditandai dengan membanjirnya pelbagau produk pangan impor dengan harga yang murah. Harga pangan yang murah itu se- ringkali dikemas dengan kamuflase yang amat mulia, misalnya melalui kebijakan subsidi atau dalam kerangka promosi jangka panjang.

Ketidakmampuan bersaing dengan harga pangan yang murah di pasar internasional menyebabkan banyak pelaku bisnis (yang sama sekali tidak menaruh urusan dengan pentingnya membangun sistem ketahanan pangan yang tangguh) dan peng- ambil kebijakan yang strategis menempuh jalan pintas berjangka pendek, yaitu memilih "memanen langsung dari pelabuhan impor" dari pada bersusah-susah "menanam dan memanen di lahan sendiri". Keadaan semacam itulah yang berlangsung di Indonesia selama era reformasi. Selama lima tahun masa reformasi (1998-2003), kebijakan di sektor pangan mengalami liberalisasi besar-besaran. Pasar pangan domestik yang sebelumnya tertutup dan sebagian besar dalam pengadaannya (baik dari produksi domestik maupun import) dimonopoli oleh Bulog, kini sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Bulog yang semula dalam notifikasi WTO berperan sebagai STE (State Trading Enterprise) oleh pemerintah reformasi malah dihilang- kan status STE-nya, sehingga hilanglah semua hak-haknya. Padahal, negara-negara lain seperti Malaysia, India, Filipina, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia tetap mempertahankan badan-badan STE mereka.

Atas desakan IMF, reformasi kelembagaan Bulog terus berlanjut dengan diubahnya status Bulog dari LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) menjadi Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Perubahan ini dimulai oleh audit konsultan asing Pricewaterhouse Coopers (PwC) untuk mengkaji format Bulog ke depan dengan mempertimbangkan pelbagai aspek, antara lain potensi, sumberdaya yang tersedia, peluang, tantangan dan yang lain". Sejak tanggal 10 Mei 2003 Bulog resmi berubah menjadi Perum Bulog. Dengan status Perum, Bulog yang selama ini menjalankan aktivitas bisnis (yang sebetulnya terlarang dilakukan LPND) menjadi legal. Dengan status Perum, Bulog dituntut mencapai keuntungan. Masalahnya adalah, setelah Bulog menjadi Perum, tidak jelas lagi lembaga ma- na yang berperan sebagai institusi penyangga pangan nasional? Lembaga mana yang harus bertindak sebagai wakil pemerintah guna melaksanakan instrumen kebijakan untuk melindungi petani dari fluktuasi harga beras lewat instrumen harga dasar produk pertanian? Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan nasional? Sampai sekarang, jawaban atas pertanyaan tersebut masih belum jelas. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah missing institution sistem kelembagaan pangan nasional.

Keterputusan kelembagaan itulah yang menjadikan pelbagai kebijakan yang dirakit pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi strategis yang melekat dalam sistem ketahanan baru dari lembaga yang kredibilitasnya masih belum jelas atau pangan tidak bisa berjalan. Membangun sebuah kelembagaan mendesain aransemen kelembagaan yang baru sama sekali jelas bukan langkah mudah. Pada prakteknya, yang sering terjadi adalah bongkar-pasang kebijakan serta inkonsistensi dalam implementasi kebijakan. Karena tidak jelas lagi leader institutions-nya, seringkali kebijakan antara departemen yang satu bertabrakan, bahkan bertolak belakang, dengan departemen yang lain". Alih-alih memperbaiki kondisi ketahanan pangan, kebijakan tersebut justru bersifat disinsentif terhadap pelbagai upaya meningkatkan kesejahteraan petani, menghapus kemiskinan, dan pembangunan pedesaan.

Kondisi inilah yang membuat situasi ketahanan pangan nasional kita semakin memburuk saja dan hal ini akan memper- dalam keterjebakan pangan yang memang sudah menyudutkan Indonesia dalam posisi sulit. Tanpa upaya-upaya radikal untuk merubahnya, di masa depan, ketergantungan Indonesia pada distribusi produk-produk pangan import akan semakin tinggi. Dan ini bisa menjadi senjata ampuh bagi negara-negara yang menilai Indonesia tidak segaris dengan kebijakan politiknya. Di sini kita menyaksikan, neoliberalisme telah berhasil menjadikan Indonesia sebagai lahan yang paling ideal bagi eksperimentasi neoliberalisme pertanian.



Perlawanan Global

Sejak awal harus ditegaskan bahwa dunia tidaklah monolitik dan seragam. Dunia itu warna-warni, bukan satu warna seperti yang digembar-gemborkan oleh para penguasa korporasi. Dengan demikian, alternatif-alternatif lain akan selalu ada dan terbuka, sebagaimana semboyan World Social Forum (WSF): "Another World is Possible" (Nirwana Dunia itu Niscaya). Fakta-fakta dunia menunjukkan bahwa para dedengkot korpo- rasi global selalu menggelar pertemuan di tempat-tempat mewah untuk memetakan jalannya globalisasi korporasi demi ke untungan pribadi. Sementara fakta lain melukiskan betapa gerakan-gerakan rakyat berusaha mengorganisir diri guna menggagalkan globalisasi korporasi demi demokrasi dan keberagaman. Para dedengkot korporasi global yakin tindakan memprivatisasi aset-aset publik dan membebaskan pasar dari campur tangan pemerintah berarti akan menyebarluaskan kemerdekaan dan kemakmuran ke seluruh dunia, meningkatkan taraf hidup rakyat di mana saja, dan menciptakan kekayaan material dan finansial yang sangat dibutuhkan dalam pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan. Di sisi lain, pelbagai gerakan rakyat melihat bahwa dunia kini telah terperangkap dalam krisis yang skalanya kian memprihatinkan dan sangat mengancam struktur peradaban dan keberlangsungan hidup manusia sebagai spesies. Betapa keduanya tersekat oleh jurang perbedaan yang sangat lebar dalam banyak hal: nilai-nilai, pandangan dunia, dan definisi kemajuan. Keduanya sungguh-sungguh berbeda.

Pada konteks inilah pentingnya menyadari dan menyadarkan banyak manusia di Bumi. Para penentang globalisasi neoliberal jelas memiliki sejumlah orang di pihak ini, yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang beruntung dalam permainan neoliberal. Kelompok ini memang dicap fakir miskin, padahal sebenarnya mereka tidak miskin dan lemah, melainkan dimiskinkan dan dilemahkan, bahkan dimarginalkan. Pemiskinan dan pelemahan itu terjadi lewat sistem dan mekanisme politik yang tersembunyi pada kebijakan ekonomi dan politik yang diskriminatif dan meminggirkan". Dan jangan lupa, kelompok penentang globalisasi neoliberal juga punya ide, yang dengan usaha terus-menerus-untuk mempreteli pelbagai bentuk kesadaran palsu, menggembleng semangat dan jiwa yang lembek, mengasah nalar dan kesadaran yang tumpul, dan meng-animasi kerja-kerja pembebasan di akar rumput-dalam kesempatan yang tersedia, akan menemu- kan solusi bagi masalah mereka sendiri. Di sisi lain, ide-ide neo-liberal semakin dipertanyakan karena menyebabkan krisis yangsemakin mendalam.

Ini bisa dilihat dari sepak terjang aparatus-aparatus neoliberal. Di mata negara-negara berkembang, trio Bretton Wood (WTO, IMF dan Bank Dunia) kini semakin kehilangan legitimasi. Pelbagai kebusukan ketiga lembaga multilateral itu tersiar meluas. Laporan komisi Meltzer atas Bank Dunia misalnya, menemukan: 70% pinjaman tanpa bunga dikonsentrasikan di 11 negara, dengan 145 negara anggota yang lain dibiarkan berjuang mendapatkan 30%; sedang 80% sumber-sumber disediakan bukan untuk pengembangan negara-negara termiskin tetapi untuk negara-negara yang lebih makmur yang memiliki tingkat kredit yang positif; tingkat kegagalan proyek 65-70% di negara-negara termiskin dan 55-60% di negara-negara berkem- bangl. Artinya, Bank Dunia telah melakukan misi yang jauh menyimpang dalam program pengentasan kemiskinan dunia.

Untuk IMF, komisi Meltzer menemukan bahwa dalam mempromosikan pertumbuhan ekonomi, IMF malah melembagakan stagnasi ekonomi; (IMF+Bank Dunia) dikendalikan oleh lembaga ekonomi dan politik seperti G-7, khususnya kepentingan pemerintah AS dan lembaga-lembaga keuangannya; dan kurang dinamisnya lembaga tersebut dilihat dari kurangnya permintaan-permintaan eksternal dalam mempromosikan per- tumbuhan. Hal yang sama terjadi pada WTO, yang dengan mandat dan kewenangannya yang luas telah meminggirkan pe- ran negara dalam urusan-urusan publik. Dengan kata lain, IMF+Bank Dunia+WTO hampir tidak ada nilai kegunaannya. Cuma, tidak seradikal Walden Bello dan Susan George yang meminta ketiga lembaga itu dibubarkan, komisi Meltzer mere komendasikan ditutupnya program-program IMF/Bank Dunia dan mandat WTO.

Pelbagai borok neoliberal juga telah dibeberkan secara mendetail oleh banyak tokoh, mulai dari John Cavanagh, Sarah Anderson, Debi Barker, Maude Barlow, Tony Clarke, Jerry Mander, Martin Khor, Vandana Shiva, David Korten, William Greider, Noreena Hertz, Will Hurton, Edward Luttwak, Paul Krugman, Walden Bello, Susan George, sampai pemenang No- bel Ekonomi 2001, Joseph Stiglitz, dan masih banyak lagi. Mereka ini semua meyakini bahwa dunia ini tidak menjadi lebih makmur, apalagi lebih adil, semata-mata karena kapitalisme yang menjelma menjadi neoliberalisme itu. Yang menarik, ketimpangan tak hanya terjadi di negara berkembang, tapi juga di negara maju. Fakta-fakta inilah yang antara lain melahirkan gerakan anti-kapitalisme sekitar sepuluh tahun yang lalu. Berju- ta-juta orang mulai melakukan aksi turun ke jalan, seperti yang terjadi banyak negara: Washington, Melbourne, Praha, Millai, Nice, Perancis'', India, Filipina, Indonesia, Kanada, Meksiko, Argentina, Venezuela, Perancis, Jerman, Republik Ceko, Spanyol, Swedia, Inggris, Selandia Baru, Australia, Kenya, Afrika Selatan, Thailand, Malaysia, Seattle (AS), Genoa (Italia), dan New York18. Yang terakhir adalah di Cancun (Meksiko) pada September 2003, dan di Mumbay (India) pada Januari 2004 lalu.

Di India, pelbagai gerakan kerakyatan berupaya memberdayakan masyarakat lokal melalui kontrol komunitas yang de- mokratis atas sumberdaya lokal. Dengan beranggotakan jutaan orang yang sangat militan, pelbagai gerakan itu tergabung di bawah bendera Living Democracy Movement (Jaif Panchayat). Di Kanada, ratusan organisasi telah bergabung dalam aliansi guna meneriakkan Agenda Rakyat (a Citizen's Agenda) yang berupaya merebut kembali kontrol dari korporasi-korporasi internasional atas lembaga-lembaga pemerintah. Di Chili, koalisi-koalisi dari pelbagai kelompok lingkungan membentuk sebuah gerakan yang kuat, yang bernama Sustainable Chile (Sustenable Chile). Mereka mencoba memutarbalikkan kiblat negara Chili yang mengarah pada neoliberalisme dan mempertegas kembali pentingnya kontrol demokrasi kerakyatan atas pelbagai prioritas dan sumberdaya nasional. Di Brasil, gerakan rakyat terfokus pada terpenuhinya hak-hak kaum miskin dan kaum tuna-tanah (landleness). Sedangkan di Bolivia, gerakan rakyat berbentuk ger- akan massa petani dan buruh. Mereka inilah yang berhasil menggagalkan privatisasi air. Sementara di Meksiko, masyarakat Suku Maya membangkitkan kembali spirit Zapata dalam sebuah gerakan mengangkat hak-hak masyarakat lokal atas tanah dan pelbagai sumberdaya. Para petani di Perancis juga membangkitkan aksi perlawanan menentang aturan-aturan per-dagangan yang cenderung menghancurkan pertanian rakyat. Di Inggris, pembangunan sejumlah jalan raya baru telah menyulut emosi ratusan ribu rakyat untuk bangkit melawan proyek perusakan daerah pedalaman. Di Indonesia, elemen masyarakat petani yang tergabung dalam sejumlah LSM terus-menerus menggelorakan tuntutan reforma agraria20.

Sederetan bentuk perlawanan di atas hanyalah sebagian kecil contoh dari gerakan dan prakarsa rakyat dalam mempertahankan hak-hak demokrasi dan kembalinya kontrol komunitas lokal yang tengah berkembang di seluruh dunia. Munculnya beragam prakarsa tersebut sesungguhnya menjadi pertanda yang sahih tentang lepasnya tali kekang daya kreatif manusia (the creative energy of humanity) dalam mewujudkan berdirinya sistem-sistem kooperatif dari masyarakat-berkelanjutan adil serta mampu melayani seluruh umat manusia. Peradaban yang umat manusia saat ini telah sampai pada batas-batas masa di mana kekuasaan dan kontrol institusional tersentralisasi. Korporasi global, WTO, IMF dan Bank Dunia didirikan guna memusatkan kekuasaan di tangan para elite penguasa yang bebas dari tuntutan tanggung-jawaban publik (public accountability) Mereka pada hakikatnya melambangkan model institusi yang ketinggalan jaman (an outmodel), tidak demokratis, tidak efisi en, dan pada akhirnya bersifat sangat destruktif bagi pengelolaan atas segala segala aspek dalam subjek manusia. Laiknya institusi monarki, mereka tidak lagi peduli dan mau mengurusi beragam kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat yang sehat, demokratis, dan berkelanjutan. Oleh karena itu, keberlangsungan peradaban umat manusia untuk sekarang dan masa depan kelak akan sangat tergantung pada perubahan pola-pola hubungan kekuasaan, baik di dalam maupun di antara masyarakat-manusia. Pada titik inilah signifikansi mempromosikan dan mengimplementasikan kerja-kerja dari sistem alternatif menjadi begitu penting, terutama untuk menggeser pola-pola hubungan kekuasaan menjadi lebih demokratis, tidak terpusat dan bisa dipertanggung-jawabkan.



Dari Global Menuju Lokal

Wujud kecongkakan luar biasa para dedengkot globalisasi korporasi adalah ketika mereka mencerabut kontrol ekonomi dari tempat di mana sedianya berada -baik di dalam negara, propinsi, kabupaten, komunitas maupun masyarakat lokal- dan menyerahkan kontrol tersebut kepada para penguasa pasif (absentee authorities). Tapi hal ini bisa dipahami, karena modus operandi utama model globalisasi adalah mendelokalisir seluruh kontrol atas aktivitas politik dan ekonomi Cara ini merupa kan siasat penyerahan seutuhnya atas kekuasaan, keputusan likan sendiri oleh komunitas, daerah atau negara. Karena pelba pilihan dan fungsi, yang menurut sejarah sebelumnya dikenda gai kekuasaan yang berdaulat itu sudah bisa dicerabut akan lo kalnya dan digantikan oleh birokrasi-birokrasi yang jauh terpi sah dari kawasan lokal, maka sistem politik lokal pun akhirnya juga dirancang ulang supaya sesuai dengan pelbagai aturan dan praktik dari birokrasi-birokrasi tersebut. Akhirnya, pelbagai ko munitas dan negara yang semula bertindak dengan sikap yang relatif mandiri, yang berdasarkan pada amanat/kepentingan rakyat mereka sendiri, diubah menjadi "subjek-subjek yang tidak lagi memiliki kemauan dan harapan" (unwilling subjects) oleh struktur global yang tidak bertanggung jawab.

Globalisasi ekonomi pertama-tama, dan terutama, berakibat pada de-lokalisasi (de-localisation) dan pengebirian (disempowerment) masyarakat dan perekonomian lokal. Oleh karenanya, penting untuk memutar/membalikkan arah dan menciptakan pelbagai aturan beserta struktur yang baru. Dengan ini ada harapan adalah mampu memperlakukan masyarakat lokal secara lebih baik, dan mematuhi prinsip subsidiaritas. Yakni suatu prinsip bahwa segala keputusan dan aktivitas apa pun yang bersifat lokal seharusnya ditangani secara lokal pula. Pembalikan tersebut pada intinya merupakan suatu proses pemulihan kembali (reinvigoration) kondisi pelbagai komunitas lokal, sehingga mereka mendapatkan kembali kekuasaannya untuk menentukan dan mengontrol jalur-jalur (path) ekonomi dan politiknya sendiri. Prinsip kerja yang dijalankan adalah konsep subsidiaritas, yaitu prinsip-prinsip tentang upaya memprioritaskan masyarakat lokal, bilamana saja pilihan itu ada. Dalam praktiknya, hal itu berarti bahwa semua keputusan mesti dihasilkan oleh otoritas kekuasaan di tingkat terendah yang berkompeten dalam persoalan tersebut. Lebih dari itu, sistem- sistem ekonomi juga seharusnya memperlakukan secara lebih baik pelbagai produksi dan pasar lokal ketimbang hanya dirancang demi melayani perdagangan jarak jauh (long distance trade). Cara itu akan memperpendek jalur-jalur aktivitas ekonomi. Misalnya, memperpendek jarak lalu-lintas pangan.

Pelokalan pada hakikatnya berupaya memutarbalikkan kecenderungan global dengan cara aktif kepentingan memperlakukan lokal secara lebih baik dalam semua kebijakannya. Pelbagai kebijakan yang mencakup pelokalan pada dasarnya adalah kebijakan yang berupaya meningkatkan kontrol ekonomi secara demokratis oleh masyarakat dan atau negara-bangsa, dengan cara merebut kembali kontrol ekonomi yang kini berada dalam cengkeraman institusi-institusi global. Hal itu akan memungkinkan negara-negara, pemerintahan, dan masyarakat lokal mendapatkan kembali perekonomian mereka, dan membuatnya menjadi perekonomian yang seberagam mungkin, sehingga mampu membangun kembali stabilitas kehidupan masyarakat. Untuk memulai pelokalan itu, selain membutuhkan perubahan atas asumsi-asumsi mengenai masyarakat industri, juga meminta waktu yang panjang dan bertahap. Jalan pelokalan dimulai sebagai berikut;

- Pengenalan kembali mengenai upaya-upaya perlindungan (protective sfaguards) yang biasanya telah digunakan untuk memproteksi ekonomi-ekonomi (lokal) domestik, dan untuk membantu pembaharuan ekonomi.

- Perubahan dalam kebijakan subsidi demi mendukung sejumlah usaha lokal yang vital, seperti pertanian organik berskala kecil yang diperuntukkan bagi pasar-pasar lokal, energi berskala kecil, dan infrastruktur transportasi.

- Pengawasan baru terhadap korporasi, termasuk kebijakan site here to sale here (bertempat di sini berdagang di sini) bagi industri manufaktur, perbankan dan jasa-jasa pelayan- an lainnya, baik itu yang domestik maupun regional.

- Penanaman modal dan investasi dalam masyarakat. Di sini, keuntungan yang diperoleh di tempat (lokal) harus diutamakan untuk peruntukkan lokal.

- Perubahan besar dalam pelbagai kebijakan perpajakan, seperti meningkatkan pajak bagi praktik penggalian dan pengerukan sumber daya alam berupa hutan, air, mineral, dan penerapan pajak pajak atas polusi yang diakibatkan oleh  aktivitas tersebut

- Peningkatan partisipasi publik secara langsung dalam pembuatan kebijakan yang memungkinkan terciptanya Keadilan dan keberagaman pandangan.

- Reorientasi pelbagai bantuan dan aturan perdagangan internasional serta kebijakan domestik yang mempunyai pengaruh atas perubahan-perubahan tersebut, sehingga pa da akhirnya hal-hal tersebut bisa berkontribusi pada upaya pembangunan kembali (rebuilding) perekonomian lokal ketimbang perekonomian global.

- Pentingnya kebijakan baru mengenai kompetisi agar korporasi korporasi global kehilangan akses pada pasar-pasar jokal, kecuali jika mereka sungguh-sungguh mau mematuhi seluruh aturan investasi lokal.

Pembalikan dari global menuju lokal adalah bahasa lain dari de globalisasi. De-globalisasi bukanlah mundur dari perekonomian internasio nal. Langkah ini lebih pada reorientasi ekonomi yang lebih menekankan produksi untuk ekspor menjadi produksi untuk pasar lokal. Ada tujuh lang kah dalam de-globalisasi. Pertama, sebagian besar sumber-sumber kenangan negara digunakan untuk pembangunan dari dalam, dari pada tergantung pada investasi asing dan pasar keuangan asing. Kedua, melakukan redistribusi pendapatan dan redistribusi lahan (baca: landreform-Penulis) untuk menciptakan pasar internal yang bergairah yang akan menjadi senjata perekonomian dan mencetak sumber-sumber keuangan untuk investasi. Ketiga, mengurangi pertumbuhan dan memaksimalkan persamaan secara radikal dengan tujuan mengurangi ketidakseimbangan lingkungan. Keempat, tidak me- rumuskan keputusan-keputusan ekonomi yang strategis tapi membuat pasar dalam pilihan yang demokratis. Kelima, menjadikan sektor swasta dan pe- merintahan mengawasi secara konstan masyarakat sipil. Keenam, menciptakan produksi baru dan perubahan yang kompleks, termasuk kelompok-kelompok masyarakat, perusahaan swasta, dan pemerintah, tidak termasuk TNC. Dan ketujuh, memurnikan prinsip subsidi dalam kehidupan ekonomi dengan mendorong produksi barang di tingkat masyarakat dan tingkat nasional, dengan biaya yang layak untuk melindungi rakyat.

Langkah-langkah pelokalan versi World Social Forum (WSF) yang dirumuskan oleh International Forum on Globalization (IFG) pada dasarnya mirip dengan tiga resep yang ditawarkan Susan George agar negara-negara berkembang bisa lepas dari jerat neoliberalisme. Pertama, pemerintah dan masyarakat harus berani membatasi pasar pada wilayah yang tepat. Tak ada alasan sektor penting dalam perekonomian suatu negara dimasuki modal swasta yang tak punya kepentingan apa pun atas nasib bangsa. Sebab, seperti diterangkan oleh Polanyi dalam Great Transformation, bahwa pasar dengan sendirinya akan menggerakkan kekayaan ke atas, meniadakan jumlah yang tak terhitung dari keuntungan, dan meningkatkan disparitas dan ketegangan sosial menuju titik kehancuran. Kedua, memperkuat kembali peran publik dan negara demokratis. Karena, seperti dikatakan Adam Smith dalam Wealth of Nations, kepentingan pedagang tidak pernah persis, bahkan bertentangan dengan kepentingan publik. Usulan perundang-udangan atau peraturan baru yang berasal dari tatanan ini harus didengarkan secara hati-hati, cermat, dan dengan rasa curiga. Karena kepentingan mereka-biasanya menipu dan bahkan menindas publik, tidak sama dengan kepentingan publik. Ketiga, memperluas konsep dan jangkauan "masyarakat bertanggungjawab" yang mencakup lingkungan internasional. Mestilah dipahami, tatanan neoliberal bukan akibat desakan mekanisme alam, tapi memang diciptakan untuk se buah tujuan. Makanya, apa yang diciptakan oleh beberapa orang, orang lain juga dapat mengubahnya.



Membangun (Kembali) Kedaulatan Pangan

Kehidupan masyarakat dan bangsa bisa dikatakan stabil dan aman apabila rakyatnya memiliki cukup pangan. Idealnya semua bangsa harus mampu memproduksi pangan mereka sendiri (swasembada pangan). Tapi itu saja belum cukup. Rakyat juga memerlukan pangan yang aman untuk dikonsumsi. Yang belakangan ini menjadi keinginan yang semakin sulit dipenuhi sejak perusahaan-perusahaan agrobisnis global memperluas pertanian yang syarat dengan asupan kimia dan bioteknologi secara intensif ke seluruh dunia. Tidak cuma itu. Penggusuran dan penghapusan sistem-sistem pertanian berbasis masyarakat yang berskala kecil, terdiversifikasi dan mandiri yang diganti- kan oleh korporasi pertanian monokultur berorientasi ekspor- adalah penyebab utama dari tuna-tanah, kelaparan dan kerawanan pangan di dunia. Hal itu juga berakibat pada rusaknya ling kungan global, seperti menipisnya kesuburan tanah (soil depletion), polusi dan pemborosan air, hancurnya keanekaragaman hayati dan pengetahuan masyarakat lokal.

Perubahan ke arah pertanian industrial global memang meningkat pesat. Ini terjadi karena korporasi-korporasi pertani an semakin gencar melancarkan propaganda. Setiap tahunnya mereka menghambur-hamburkan miliaran dolar untuk kepentingan lobi, iklan dan humas (public relation). Ini dilakukan untuk mempromosikan pelbagai kebijakan perdagangan nasional dan global, sehingga bisa mempercepat perkembangan menuju sistem pertanian industrial. Korporasi-korporasi global ini bersi- kukuh bahwa pertanian industrial jauh lebih efisien ketimbang pertanian tradisional. Mereka pun ngotot bahwa pertanian in- dustri semacam itu memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk memberi makan dunia yang kelaparan. Tetapi bukti-bukti sangat bertolak belakang.   Efisiensi pertanian industrial hanyalah isapan jempol. Efisiensi, menurut pengikut pertanian industrial, dicerminkan oleh murahnya harga pangan di pasar dunia. Pandangan ini sangat menyesatkan. Harga pasar pangan dunia tidak bisa dijadikan indikator efisiensi karena harga tersebut merupakan harga dumping-yang itu bisa dilakukan berkat subsidi besar-besaran dari pemerintah.

Pertanian industrial dicirikan oleh pengusahaan di atas lahan yang luas (mencapai puluhan, bahkan ratusan hektar), serba mekanis dan mengandalkan masukan asupan kimiawi yang intensif. Di sisi lain, pertanian tradisional diusahakan di lahan-lahan yang sempit dengan kultur-teknisnya sederhana. Label bahwa petani gurem (berlahan sempit) tidak efisien perlu dipikirkan kembali. Bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Edmunson dalam penelitiannya di Jawa Timur menyebutkan bahwa petani dengan 0,5 hektar sawah mampu menghidupi 6 orang anggota keluarga (BIES, 19, No. 2, 1983). Di Taiwan, luas usaha tani yang paling efisien adalah 0,5 hektar (World Bank, 1975). Dr Prosterman, pakar dari University of Washington yang juga penasihat ahli dari salah seorang senator di Amerika, bersama Riedinger pernah menulis dalam The Wall Street Journal, terbitan 27 Oktober 1983, mengenai landreform. Di antara pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam karangannya itu, ia mengemukakan bahwa di seluruh dunia sekarang ini, ada 12 negara yang pertaniannya memperoleh predikat most productive agriculture. Dari 12 negara ini, 10 di antaranya adalah negara-negara, dengan usaha tani keluarga yang sangat dominan (Prancis, Denmark, Irlandia, Korea Selatan, Jepang). Selanjutnya, menurutnya negara-negara yang dalam pelaksanaan landreformnya telah melahirkan sejumlah besar usaha tani gurem, ternyata dalan rangking produktivitasnya sangat dekat dengan kedua belas negara top tersebut diatas (Mesir dan Taiwan).

Pentingnya mempertahankan perspektif sistem pertanian berbasis masyarakat yang berskala kecil, terdiversifikasi dan mandiri sesungguhnya didukung oleh banyak bukti empiris. Kira-kira setengah penduduk dunia hidup bergantung langsung pada tanah, membudidayakan tanaman pangan, memberi makan keluarga dan komunitasnya. Mereka menggunakan varietas benih lokal yang telah berkembang selama berabad-abad. Mereka juga telah menyempurnakan pelbagai pupuk organik mereka sendiri, mengatur pola tanam bergilir (crop rotation), serta menggunakan pestisida alami. Secara turun-temurun, ko- munitas mereka juga bersama-sama menggunakan seluruh unsur barang-barang milik bersama yang ada di lokal (local common), termasuk di antaranya air, tenaga kerja, dan benih. Mereka telah memberi contoh pentingnya pelestarian keanekaragaman hayati bagi kelangsungan hidup masyarakat. Bukti-bukti menunjukkan, sistem-sistem pertanian berbasis masyarakat berskala kecil, terdiversifikasi dan mandiri itu mampu mencukupi ke- butuhan pangan masyarakat lokal selama berabad-abad. Tak satu pun bisa mengatakan mereka kaya atau miskin, tetapi kehandalan sistem pangan mereka selama berabad-abad mem- buktikan bahwa mereka memiliki kedaulatan soal pangan.

Banyak studi menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal tentang pemanfaatan sumber daya hayati adalah pilar ketahanan pangan. Studi The Rural Advancement Foundation International (RAFI) untuk United Nations Development Program (UNDP) punya kesimpulan bahwa sedikitnya separuh dari populasi dunia menggantungkan kebutuhan pangannya pada pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan ta naman lokal. Kaum miskin dunia bertumpu pada keanekara gaman hayati sebesar 85%-95% bagi sokongan penghidupan mereka-yang kini mengalami ancaman dari industri paten. Lebih dari separuh penduduk dunia masih menetap di kawasan pedesaan dan bersinggungan erat dengan produksi pangan. Sekitar 20% populasi pedesaan masih dihuni warga asli yang me miliki kekayaan pengetahuan dan inovasi yang akrab dengan masalah pangan.

Warga asli pedesaan dan masyarakat lain di pedesaan terus menguasai kekayaan berupa varietas yang paling beragam secara hayati. Terdapat lebih dari 103 jenis tanaman pangan yang dibudidayakan dan berfungsi sangat esensial bagi ketahanan pangan global. Terdapat 73 species tanaman pangan yang masing-masing berkontribusi sebanyak 5% atau lebih untuk pangan suatu negara. Di Indonesia sendiri, masyarakat menggu- nakan lebih dari 940 species liar sebagai bahan tanaman obat tradisional maupun modern, juga 100 species tumbuhan sebagai sumber karbohidrat, tidak kurang dari 100 species kacang- kacangan, 450 buah-buahan, serta 250 species sayur, termasuk jamur yang menjadi menu masyarakat sehari-hari. Selain itu, terdapat 56 species bambu dan 150 species rotan yang memberi sejumlah penting manfaat dan sumber pendapatan. Bukti-bukti itu berimplikasi serius, bahwa pembangunan berkelanjut an, khususnya pertanian berkelanjutan, hanya dapat terwujud jika terdapat kepekaan dalam memperhitungkan kekayaan pengetahuan lokal dan kelimpahan keragaman sumber pangan hayati.

Bukti-bukti ini menyadarkan petani di seluruh dunia, dan karena itu, mereka berupaya mengerahkan kekuatan untuk menghapuskan globalisasi pertanian industrial. Jutaan petani India melakukan aksi perlawanan menentang "perampokan hayati" korporasi (corporate biopiracy) atas keanekaragaman hayati dan benih-benih mereka. Bahkan, mereka mengutuk keras tindakan korporasi yang mempatenkan pelbagai macam varietas benih lokal mereka untuk kepentingan komersial (commercial patenting). Perlawanan serupa juga dikobarkan oleh puluhan ribu petani di Jepang, Filipina, Bolivia, Jerman, dan Perancis. Yang paling signifikan dari gerakan ini adalah merebaknya gerakan internasional "kaum tani tuna-tanah" (landleness peasants) di seluruh belahan Dunia Ketiga. Secara sungguh-sungguh gerakan tersebut menuntut perlindungan terhadap tanah mereka (jika mereka memiliki tanah) atau reforma argaria (agrarian reform). Di Brasil misalnya, MST (Moviento Sem Terra), sebuah gerakan petani tuna-tanah, pada akhirnya memenangkan tuntutan mereka terhadap hak milik atas tanah pertanian seluas lebih dari 15 juta hektar yang mampu menghidupi 250.000 keluarga. Oleh karena itu, upaya pembalikkan kebijakan harus dilancarkan secara simultan, baik di tingkat internasional, nasional maupun lokal. Gerakan ini diawali oleh lima keyakinan utama berikut:

- Hilangnya tanah pertanian rakyat lantaran terlalu dipusatkan untuk kepentingan korporasi besar adalah penyebab utama kemiskinan dan kelaparan di seluruh dunia, termasuk atas kerusakan lingkungan.

- Akses terhadap tanah bagi upaya pengembangan tanaman pangan adalah hak asasi manusia yang paling dasar.

- Di mana pun orang tetap hidup dan bekerja di tanah lelu- hur mereka sendiri, maka segala daya upaya apa pun harus dibuat agar mereka tetap dapat tinggal di sana, bekerja demi keluarga, dan komunitasnya, dan bukan untuk pasar global. Di mana terdapat masyarakat yang tercerabut/tergusur dari tanah mereka, maka reformasi agraria yang merata adalah sebuah langkah penting yang harus dilakukan.

- Masyarakat harus membuang pola pikir sesat/ilusif mengenai produksi monokultur berorientasi ekspor dalam skala besar, dan harus menghidupkan kembali (re-invigorating) prinsip-prinsip pertanian lokal (indigenous agricultural principles) yang melindungi keanekaragaman hayati, sehingga bisa bermanfaat bagi penduduk-penduduk lokal secara berkelanjutan.

- Seluruh penyelesaian masalah haruslah melayani kebutuhan masyarakat untuk memperpendek jarak antara produsen dan konsumen.

Jadi, kata kunci untuk mendapatkan kembali kedaulatan adalah berpaling dan membenahi kondisi di dalam negeri. Itulah pekerjaan pertama dan utama. Setelah masalah mendasar domestik bisa diselesaikan, barulah kita beranjak ke meja perundingan dengan tugas yang jelas: menjaga kedaulatan bangsa. Sejauh ini, negara-negara berkembang berangkat ke meja perundingan WTO-yang penuh trik dan tipu daya- hanya dengan tangan kosong, sehingga tidak jelas apa yang mau diper- juangkan. Ini juga dialami oleh pelbagai perwakilan delegasi Pemerintah Indonesia. Bagi negara-negara berkembang, terma- suk Indonesia, ada satu konsep dalam bidang pertanian yang patut dibawa dan diusung di meja perundingan AOA (Agreement on Agriculture), yaitu kedaulatan pangan (food sovereignty). Seperti layaknya sebuah negara, pangan dan pertanian memerlu- kan kedaulatan. Tidak tergantung pada import dan pertanian impor.

Konsep kedaulatan pangan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan konsep ketahanan pangan (food security). Dalam konsep ketahanan pangan yang pertama kali diperkenalkan oleh FAO tidak mempersoalkan siapa yang memproduksi pa- ngan, dari mana produksi pangan, dan bagaimana produksi pangan itu tersedia. Yang penting, sejumlah pangan tersedia da- lam jumlah yang cukup (availability of food). WTO bahkan menyebut ketahanan pangan sebagai ketersediaan pangan di pa- sar (availability of food in the market). Artinya, pangan yang mengabdi kepada kepentingan pasar. Ketahanan pangan yang mengabdi kepada pasar itulah yang terdapat dalam pelbagai modalitas AoA.


Konsep kedaulatan pangan masih baru umurnya. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh sebuah organisasi petani internasional bernama La Via Campesina pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan pada bulan Nopember 1996 di Roma, Italia. Pada saat itu, La Via Campesina melakukan mobilisasi massa untuk mengecam konsep ketahanan pangan yang dipromosikan FAO dan lembaga internasional lainnya. respons positif dari FAO dan negara-negara anggotanya. Na- Sampai saat ini, konsep kedaulatan pangan tidak mendapatkan mun demikian, konsep ini banyak diadopsi oleh pelbagai ele- men gerakan sosial di seluruh dunia. Kedaulatan pangan meng- acu kepada aspek pengambilan keputusan secara berdaulat di tingkat nasional dalam soal ketahanan pangan, yaitu menekan- kan kepada keputusan di tangan pemerintah nasional dan bu- kan di bawah badan-badan perdagangan internasional dan korporasi global.

Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi mereka sendiri atas pro- duksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk Bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan menengah, menghargai kebudayaan mereka sendiri dan keberagaman kaum tani, kaum nelayan dan bentuk-bentuk alat produksi pertanian, serta meng- hormati pengelolaan dan pemasaran di wilayah pedesaan, di mana perempuan memainkan peran yang mendasar. Jadi, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri dan otonom. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari keamanan pangan. Keamanan pangan baru akan tercipta kalau kedaulatan pangan dimiliki oleh rakyat. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi setiap bangsa dan rakyat untuk bisa memiliki hak dan menentukan makanan yang dipilihnya dan kebijakan pertanian yang dijalankannya, kapasi- tas produksi makanan lokal di tingkat lokal, dan perdagangan di tingkat wilayah yang lebih luas.

Dalam upaya menciptakan kedaulatan pangan menuju keamanan pangan yang sejati, pemerintah negara-negara berkembang haruslah melaksanakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan keberlanjutan berlandaskan pada produksi pertanian keluarga, berskala kecil, dan terdiversifikasi, yang menggantikan peran pertanian industrial yang serba terpusat dan berorientasi pada pasar eksport. Dengan demikian strategi membangun kedaulatan pangan menyangkut aspek-aspek penting dan mendasar sebagai berikut:

A. Kebijakan Pasar:

1. Melindungi pasar dalam negeri dari serangan pangan import murah.

2. Mengenakan tarif dan kuota untuk memproteksi ekonomi nasional.

3. Membatasi kekuasaan pasar ritel pangan besar, lewat: (a) pengaturan atas super market dalam hal stok pangan lokal; (b) denda lewat pajak (tax penalties) atas kelebihan stok produksi dari luar bila produksi dalam negeri tersedia; (c) insentif pajak untuk stok pangan yang diproduksi lokal.

4. Mengatur produksi untuk kebutuhan pasar dalam negeri untuk mengatasi surplus produksi.

5. Menghentikan subsidi bagi usaha pertanian yang tidak berkelanjutan, dan ketidakadilan bagi penyewa dan buruh, sebaliknya, mendukung usaha-usaha yang mendukung dilaksanakannya pembaruan agraria dan pertanian berkelanjutan.

6. Menghentikan dukungan-dukungan pada usaha pertanian yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk keperluan eksport.


B. Jaminan Pangan, Kualitas, dan Lingkungan Hidup:

1. Mengontrol penyebaran hama dan penyakit untuk menjamin pangan.

2. Menjamin kualitas pangan yang diinginkan oleh rakyat.

3. Menciptakan mekanisme nasional untuk menjamin kuali  tas lingkungan hidup, sosial dan kesehatan.


C. Akses Terhadap Sumber-Sumber Agraria:

1. Meningkatkan keadilan terhadap akses sumber-sumber agraria, tanah, air dan alat-alat produksi lainnya.

2. Melindungi petani dengan keanekaragaman dan kekaya an hayati yang mereka miliki dan kebebasan petani untuk melakukan tradisi saling tukar-menukar benih.

3. Melarang pematenan makhluk hidup dan rezim pematenan kekayaan intelektual.

4. Merevitalisasi terhadap hukum-hukum adat masyarakat setempat untuk melindungi sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.


D. Produksi dan Konsumsi:

1. Membangun ekonomi pangan lokal yang mendasarkan pada proses produksi dan pemasaran pangan di tingkat lokal.

2. Menjamin pengambilan keputusan di tingkat lokal. Kebijakan ekonomi harus dibentuk dari bawah (grass root).

3. Mengurangi "jarak pangan" (food miles), misalnya transportasi jarak jauh dari produksi pangan yang sebenarnya tersedia di lokal-setempat perlu dipajaki. Diprioritaskan pada rute suplai yang terdekat dan pasar wilayah (regional). 4. Menegakkan kesetaraan gender dan persamaan di dalam semua kebijakan dan praktik mengenai produksi pangan.


E. Keterbukaan pada Informasi dan Anti Trust Law:

1. Adanya informasi yang jelas dan terbuka tentang label, isi dan proses pembuatan pangan yang diperdagangkan.

2. Adanya keterbukaan, akuntabilitas bagi yang mempro- duksi makanan dan memperhatikan hak asasi manusia.

3. Menciptakan adanya undang-undang anti monopoli dalam produksi pangan yang berjalan.

4. Mengembangkan aturan-aturan perdagangan internasio nal yang mempromosikan lokalisasi.

Berpijak dari aspek-aspek normatif tersebut, sesungguhnya pangan dan pertanian semestinya tidak ditempatkan di pasar yang memang rentan, melainkan harus ditumpukan di pundak dan kemampuan rakyat sendiri. Teknologi modern, terma- suk rekayasa genetika dengan produk transgenik atau GMO (genetically modified organism), terbukti telah mengancam kemampuan keberlanjutan sistem produksi dan distribusi pangan yang sudah ada dalam kontrol rakyat dan ekosistem lokal. Dan yang penting, teknologi modern tersebut tidak mampu menebus produk-produk buangan (eksternalitas) yang dihasilkannya sendiri. Akibatnya, ongkos yang dibebankan kepada alam tidak diberi ganti rugi yang sepadan dengan ongkos untuk melestari kan lingkungan. Sejarah telah membuktikan, unsur yang mampu menjamin dan menopang kedua kriteria tersebut adalah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Kedua unsur tersebut sudah berabad-abad lamanya berada dalam kontrol rakyat. Keduanya juga merupakan sumber daya ketiga, setelah sumber daya alam dan manusia. Banyak sekali contoh-contoh kearifan lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati. Di Bali, ada petani yang paham melestarikan puluhan species buah salak dengan cita rasa yang beraneka ragam. Di hutan-hutan di ka- wasan Banten, terdapat penduduk Baduy yang tahu khasiat obat menyembuhkan terdapat dalam macam-macam jenis tumbuhan. Di hutan belantara Sumatera terdapat harimau buas yang tidak dimusuhi tetapi dihormati sebagai "inyik" (opa) oleh petani di daerah pedalam. Daftar ini bisa kita buat demikian panjang.

Dengan kearifan, dengan teknologi yang dicap tradisional, mereka membangun kebutuhan akan obat farmasi, bahan-bahan kosmetika, dan pangan bergizi dari pelbagai flora dan fauna. Dari cara-cara itu, usia hidup nenek moyang kita sampai bisa melebihi 80-90 tahun. Para ahli modern sering menyebut enek moyang kita "manusia terbelakang" karena tidak paham teknologi dan pola hidup orang modern. Tapi jarang orang paham bahwa pola hidup nenek moyang ditopang oleh hasil kekayaan alam yang dikembangkan dengan kearifan pemahaman akan alam. Sementara "manusia modern" hidup dari alam buatan dengan ilmu modern, menumbuhkan bahan-bahan organik yang tidak sustainable, sehingga merusak alam. Yang perlu di-  ingat, kearifan lokal dan keanekaragaman hayati merupakan pertaruhan hidup-mati bangsa. Cukup dan tidaknya, kurang dan lebihnya, serta kemakmuran dan kelaparannya dari perse- diaan makanan tergantung pada keduanya.
 


Mulailah dari Mimpi

Sektor pertanian bukanlah sekadar sebuah sektor industri an sich. Pertanian adalah sejarah, kebudayaan, dan kehidupan manusia. Para petani adalah pelindung yang sah lingkungan hidup. Oleh karena itu, sektor pertanian tidak pantas diatur oleh AoA WTO. AOA jelas-jelas memakai paradigma pasar bebas yang hanya mengabdi pada kepentingan perluasan pasar negara-negara maju yang akan menghancurkan pasar domestik negara-negara berkembang. Harus diingatkan kembali bahwa masalah pertanian tidak bisa diatur oleh perdagangan multilateral yang berorientasi pasar bebas, karena pertanian bukan bagian dari perdagangan, apalagi perdagangan bebas. Oleh karena itu, sektor pertanian harus segera dikeluarkan dari pelbagai kerangka perundingan AoA WTO.

Lalu, dari manakah tuntutan itu harus dimulai. Dalam negosiasi di WTO, peran proposal menjadi demikian penting. Bila proposalnya lemah, akan mudah bagi lawan untuk menjebak, bahkan membantai proposal itu. Sebaliknya, jika proposal- nya kuat, maka posisi tawarnya akan lebih kuat. Tetapi harus diakui, banyak orang pesimis, terutama di pemerintah, bisa mengajukan proposal yang kuat. Akan tetapi negosiasi bukan hanya proposal, tetapi juga masalah adu kekuatan dan kecerdikan. Negosiasi ini berkaitan dengan kekuasaan, power politics, Tapi, lagi-lagi harus dikatakan, negara-negara berkembang biasa nya selalu kalah ketika menghadapi pelbagai tekanan dari pel. bagai arah yang dilancarkan oleh negara-negara maju. Tetapi, WTO adalah forum di mana negara berkembang bisa memba ngun kekuatan yang maha dahsyat lewat prinsip "one country one vote". Negara-negara berkembang bisa membangun solida ritas dan menggalang kekuatan mayoritas dengan menyatukan satu langkah. Pada saat itulah ada peluang untuk menundukkan negara maju. AoA WTO harus dibuat macet agar ketidakadil- an dan kerusakan di muka Bumi yang terjadi saat ini bisa segera dihentikan.

Mimpikah kita? Pemikiran-pemikiran alternatif berikut sistem-sistem yang dibangun atasnya yang diformulasikan dari pelbagai tatanan sosial-ekonomi pro-rakyat dan terakit dalam kalimat demi kalimat dalam bahasan kita ini bukanlah mimpi kosong. Tatanan sosial-ekonomi pro-rakyat yang dirumuskan oleh International Forum on Globalization, La Via Campesina dan sejumlah aktivis anti-globalisasi, bukanlah kali pertama diutara- kan dalam khasanah teori dan praktik. M.K. Gandhi sudah lebih dahulu menganjurkan dan mengembangkan tatanan sosial- ekonomi prorakyat dengan jantera dan non-kooperasinya. E.F. Schumacer melanjutkan dan mengangkatnya dengan konsep ekonomi Buddhis yang dimotori usaha-usaha skala kecil dan teknologi yang pas dengan kebutuhan rakyat.

Tata sosial ekonomi yang memungkinkan lahir dan tumbuhnya kepengusahaan dan investasi kecil (namun banyak dan kuat) adalah koperasi. Salah satu model dari koperasi itu ada di Indonesia, bernama Credit Union (CU). Lebih dari sekadar simpan-pinjam dalam arisan, CU juga mengutamakan solidari
tas anggota dan mengedepankan pendidikan serta disiplin.  Pemupukan modal tidak hanya berdasarkan profit, tapi karena anggotanya percaya bahwa dalam CU akan mempermudah kehidupan sosial-ekonominya. CU yang cukup berhasil berada di Kalimantan, dimotori oleh Konsorsium Pancur Kasih. Dari tabungan anggotanya yang rata-rata Rp 2000 per orang, setelah 16 tahun kini ia sudah memiliki 20 ribu anggota dengan keka- karet, yang sekarang sudah mempunyai 4 truk, 2 tangki minyak, yaan Rp 54 miliar. Mereka sudah membesarkan koperasi petani sebuah supermarket dan merencanakan pembangunan pabrik karet rakyat. Mereka juga bisa menyisihkan uang untuk memberikan beasiswa kepada 140 mahasiswa/i dan siswa/i yang sebagian di antaranya kuliah di Yogyakarta. Cerita sukses ini ada di Indonesia. Maka, pemikiran-pemikiran dan sistem-sis- tem alternatif yang dirakit di sini bukanlah kemustahilan, tapi keniscayaan. Jika sistem yang dibawa neoliberalisme terbukti menyengsarakan, mengapa kita tidak memulainya dengan mimpi, dan lantas mewujudkan sistem-sistem alternatif.




Pertanian: Hidup Matinya Sebuah Bangsa

Untuk memudahkan penelusuran ini, ada baiknya diidentifikasi kembali persoalan mendasar yang membelenggu sektor pertanian Indonesia selama ini. Pertama, masalah struktural yang dicerminkan oleh besarnya jumlah petani subsisten dengan penguasaan lahan-lahan gurem. Dan di sisi lainnya, segelintir petani yang menguasai lahan amat besar. Kedua, stuktur pasar monopoli atau oligopoli yang menekan petani pada posisi price taker. Ketiga, kebijakan pemerintah yang lebih memanfaatkan (baca: eksploitasi) hasil pertanian sebagai sumber pendapatan, daripada mendukungnya sebagai suatu kegiatan ekonomi yang memberikan topangan hidup sebagian besar rakyat. Kasus cukai rokok adalah contoh yang baik dalam soal ini. Keempat, meskipun disadari dan diketahui, ketidak acuhan atas penurunan harga yang terus menerus akibat praktik-praktik tidak fair oleh negara-negara lain atau oleh kelompok pelaku ekonomi tertentu. Kelima, struktur pasar input, kapital, dan iptek yang menutup akses petani pada tataran minimal. Misalnya, alokasi kredit untuk pertanian tak lebih dari 10%. Bandingkan dengan dana rekapitalisasi perbankan nasional yang mencapai Rp 650 triliun dengan hasil mubadzir.

Menurut Sensus Pertanian 1993, jumlah usaha tani di Indonesia mencapai 17,9 juta dengan luas areal 15,4 juta hektar. Dari jumlah itu, 43% rumah tangga pedesaan sudah tidak lagi bertanah (landleness). Sementara jumlah petani dengan kepemi- likan lahan di bawah setengah hektar mencapai 27%. Artinya, pola hidup subsistensi dijalani olah sebanyak 70% rumah tangga pedesaan yang hanya memiliki akses lahan sebesar 13%. Di lain pihak, 16% petani dengan kepemilikan lahan di atas 1 hektar menguasai 69% tanah. Ini masalah struktural mendasar yang tidak pernah digarap secara serius.

Sebagai bangsa berpenduduk sekitar 215 juta orang di tahun 2004, kita kurang menyadari kalau masyarakat Indonesia tergantung pada lahan pertanian yang hanya seluas 7,8 juta hektar untuk bahan pangan pokok beras, jagung, kacang-kacang an, gula, tembakau, sebagian sayuran, dan buah-buahan.   Ketersediaan lahan per kapita atau landman ratio menjadi kriteria penting untuk tingkat ketahanan pangan nasional.  Indonesia memiliki land-man ratio 362 meter persegi per kapita, Thailand memiliki land-man ratio 1870 meter persegi per kapita,  dan Vietnam sekitar 1300 meter persegi per kapita. Di antara negara-negara agraris di Asia Tenggara, Indonesia ternyata memiliki lahab pertanian per kapita paling kecil. Jika dibandingkan dengan Indonesia ternyata negara-negara UE, AS dan Jepang, tentu makin kecil lagi.

Bencana kelaparan dan malnutrisi merupakan rural phenomenon. Sekitar 80% manusia lapar di dunia saat ini tinggal di pedesaan. Bencana kekurangan pangan hampir selalu terjadi bukan di kota, melainkan di pedesaan tempat produk pangan pokok dihasilkan. Inilah ironi peradaban kita. Meskipun peperangan dan bencana alam kadang turut menjadi sebab terjadinya kekurangan pangan, namun sebagian besar bencana kurang pangan pada dasarnya disebabkan oleh alasan-alasan buatan manusia. Sebagian besar proses-proses kemasyarakatan yang menjurus ke arah pemiskinan dan marjinalisasi sosial berawal dari pengingkaran terhadap akses rakyat atas sumber-sumber produktif, terutama tanah.

Sejauh ini, lewat proses bottom up yang menelan waktu sekitar dua tahun, telah berhasil dirumuskan delapan hak-hak petani: hak hidup, akses lahan dan modal, akses tenaga kerja, hak berproduksi, hak distribusi, hak konsumsi, hak perdagang- an, dan hak ekspresi budaya". Namun, dari semua hak tersebut, tidak akan pernah ada yang bisa terlaksana dengan baik, bahkan mustahil terlaksana, kecuali petani memperoleh lahan dan sumber-sumber agraria lainnya yang layak untuk hidupnya. Di sinilah letak relevansi Reforma Agraria (RA) sebagai bagian pemenuhan hak-hak petani dan warga miskin.

Masalahnya, pelaksanaan RA itu menjadi tidak sederha na ketika negara-negara berkembang di pelbagai belahan dunia dicengkeram oleh lembaga-lembaga multilateral (IMF, Bank Dunia dan WTO) untuk mengamini agenda kebijakan-kebijakan neoliberal. Menurut ideologi ini, cara terbaik untuk meme- rangi kelaparan dan kondisi ekonomi petani adalah melalui liberalisasi perdagangan dan investasi, produksi untuk kepen- tingan ekspor dan memotong domestic support (Mittal, 2003). Tetapi, apa yang terjadi justru kebijakan tersebut sangat meng- goncang ketahanan pangan dan mata pencaharian para petani di negara-negara berkembang. Di India, jumlah petani tak ber- tanah di wilayah pedesaan meningkat dari 27,9 juta pada 1951 menjadi lebih dari 50 juta pada 1990-an.

Korban-korban serupa bisa ditemukan di Thailand, Bolivia, Filipina, Brasil dan negara lain. Di Thailand, 43% dari penduduk pedesaan hidup di bawah garis kemiskinan, kendati ekspor pertaniannya meningkat menakjubkan (65%). Di Bolivia, menjelang 1990, setengah dekade setelah pertumbuhan ekspor pertanian paling spektakuler, 95% penduduknya yang di pede- saan berpenghasilan kurang dari US$1 per hari. Di Filipina, sejak luas lahan padi dan jagung berkurang, sebanyak 350.000 mata pencaharian di sana musnah. Pada 1990, ketika Brasil menjadi eksportir pertanian terbesar ketiga di dunia, produksi beras perkapita merosot 18%. Padahal beras makanan pokok di sana. Di Mexico, pemerintah setempat harus merevisi UU nasional yang memungkinkan tanah menjadi komoditas. Di In- donesia, meskipun UU Pokok Agraria 1960 sudah dikeluarkan dari peti-es, struktur agraria tetap berwajah kapitalisme (berpihak pada kelompok modal).

Dari Sensus Pertanian 1993, ditemukan sebanyak 43% dari jumlah rumah tangga pedesaan (RT) adalah tunakisma. Di sisi lain, 16% dari RT menguasai 69% dari luas tanah yang tersedia, dan 41% RT menguasai hanya 31% dari luas tanah yang ada. Selama 30 tahun terakhir, luas areal perkebunan meningkat dari 4,96 juta ha menjadi 14,67 juta ha. Pada 1997/98, jumlah kebun pada sektor perkebunan besar mencapai 1338 kebun Di sektor kehutanan, data per Desember 1993 menunjukkan areal hutan yang dikuasai oleh kurang dari 570 pemegang HPH mencapai 64,29 juta ha (52% dari luas ini dikua- sai 20 kelompok konglomerat). Sementara areal yang dikuasaiBUMN hanya 8,9 juta hektar.

Gambaran agraria di atas memberikan indikasi kuat tentang proses terjadinya dua gejala; pertama, terjadi incompability (ketidakserasian) dalam alokasi tanah. Ketika tanah-tanah pertanian pangan tergusur, areal perkebunan besar justru bertam- bah. Dominasi modal swasta atas penguasaan tanah telah menggeser kedudukan negara jika dibandingkan 30 tahun sebe- lumnya. Kedua, incompability terparah terjadi di sektor pertanian pangan. Padahal, pengalaman sejarah di pelbagai negara mem- buktikan bahwa sumber utama konflik agraria adalah terjadinya pelbagai macam incompability.

Kondisi inilah yang menjadi sumber utama kemiskinan dan marjinalisasi petani di pedesaan. Padahal, melawan kemiskinan dan kelaparan bukan saja menjadi kewajiban moral, tetapi merupakan kewajiban negara untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan memajukan (to promote) sebagai bagian perwujudan hak-hak petani. Kewajiban ini secara legal dia- kui dan didukung oleh mayoritas negara-negara di dunia, seba gaimana tercermin dalam Pasal 25 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 1948 dan diperkuat oleh Kovenan ten- tang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESB) 1966. Pasal 11 ayat 2 HESB terdapat komitmen negara-negara peserta untuk, antara lain, melakukan pembaruan sistem agraria sedemi- kian rupa sehingga menjamin terwujudnya hak-hak untuk memperoleh pangan yang layak (the right to adequate food).

Implikasi dari landasan di atas, pertama, negara berkewa jiban untuk menghormati hak memperoleh pangan yang layak bagi rakyat, dalam keadaan apapun. Konsekuensinya negara mestinya tidak mengambil langkah-langkah politik yang merusak akses rakyat (baca: petani) terhadap sumber-sumber produk tif, khususnya tanah. Penggusuran tanah secara sewenang-we- nang tanpa kompensasi yang layak, apalagi dengan intimidasi dan kekerasan; mencaplok tanah masyarakat adat/lokal berda sar konsep kepemilikan tanah oleh negara; adalah sebuah pelanggaran HAM. Kedua, negara berkewajiban untuk melin- dungi akses rakyat atas tanahnya dari penggerogotan (undermine) oleh pihak ketiga. Ketika aparatus negara (baca: militer) memfasilitasi, bahkan berkolaborasi dengan, aktor-aktor kapi- tal lintas negara (TNCs) untuk mencaplok tanah rakyat dengan dalih investasi, ketika negara menutup peluang masyarakat adat atas tanah dengan memperpanjang konsesi tambang di lahan kehutanan atau kawasan konservasi, adalah sebuah pelanggaran HAM.

Ketiga, dalam keadaan di mana individu maupun kelompok-kelompok tidak memiliki akses terhadap tanah-yang berarti tidak akan memiliki akses terhadap pangan yang layak, negara berkewajiban untuk menciptakan akses tersebut. Ketidakmampuan negara untuk menjamin akses individu maupun kelompok-kelompok tunakisma atas tanah adalah sebuah pelanggaran HAM. Demi mencegah itu, inilah relevansi RA. Jadi, dilihat dari sisi manapun, RA bukan saja mendasar, tapi sangat mendesak untuk dilakukan. Berdasar perspektif HAM, RA bukanlah sekadar redistri busi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, tetapi ha semula tunakisma atau gurem mampu menjadi petani yang rus ditunjang oleh seperangkat infrastruktur agar mereka yang mandiri (farmers) dan terhindar dari jebakan utang. Perangkat tersebut meliputi jaminan hukum atas hak yang diberikan, terjaminnya hak berorganisasi, akses terhadap jasa-jasa advokasi, akses pada informasi dan teknologi baru, pendidikan dan latihan, akses terhadap bermacam sarana produksi dan bantuan pemasaran serta kredit. Inilah konsep integral dan menyeluruh tentang RA.

Posisi petani sebagai price taker harus segera diakhiri. Fa-ham lama bahwa ada floor price atau Rumus Tani mesti segera diperbaiki. Begitu pula pola pikir perlunya kebijaksanaan Cheap Food Price Policy tanpa kompensasi untuk petani. Pedagang, se-perti juga industri pengolahan tidak bisa dibiarkan terus mempermainkan petani. Untuk itulah perlu dicari jalan bagaimana petani mampu meningkatkan bargaining dengan pelaku ekonomi lainnya. Kemampuan bargaining petani tergantung dari kemampuan mereka dalam mengelola stok dan keperluan modal kerja. Yang terpenting adalah tersedianya biaya dan manajemen untuk melakukan pengelolaan tersebut. Makanya diperlukan asosiasi petani yang kuat, handal, dan profesional yang mampu menyatukan kepentingan mereka.

Karena itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah memberdayakan asosiasi-asosiasi petani yang kemudian bukan hanya menjadi penyambung lidah para petani tapi juga sebagai institusi primer dalam pembangunan pertanian. Pemberdayaan asosiasi petani juga menjadi titik awal restrukturisasi pasar. Jika angkah ini berhasil, maka seller yang tadinya berjumlah ribuan/jutaan akan menjadi satuan atau puluhan lembaga saja. Ini merupakan strategi pemusatan kekuatan, sehingga bargaining bisa dibangun. Untuk semua itu, diperlukan dana sebagai instrumen untuk membangun petani dari tidak bankable menjadi bankable. Hal ini hanya mungkin dilakukan apabila ada institusi antara atau avalis yang menjamin dana akan kembali. Di sinilah letak strategis bank pertanian dan trading house pertanian, yang akan menjadi simpul sekaligus sebagai jembatan yang akan mengangkat harkat, derajat, dan kesejahteraan seluruh petani.

Asosiasi petani berperan menginventarisir dan mengelola stok barang milik petani, gula misalnya. Jika asosiasi petani su- dah bisa dipercaya, maka para petani bisa menyerahkan hak pengelolaan komoditasnya kepada asosiasi. Dalam kasus peta- ni tebu, diperlukan dana talangan Rp 2,7 triluun (800 ribu ton gula petani X harga talangan Rp 3.410/kg). Bank akan memberikan dana talangan lewat trading house, di mana trading house telah menerima jaminan dari asosiasi petani bahwa komoditas yang dihasilkan akan dijual ke trading house. Trading house ini yang akan menjual komoditas petani ke pasar. Embrio trading house ini sudah terbentuk pada komoditas gula, yaitu "berkumpulnya para pedagang gula dan Bulog" yang memberi dana talangan petani tebu pada musim 2003.

Dari uraian ini, nampak bahwa restrukturisasi pasar komoditas memerlukan bukan hanya pendirian dan pengembangan asosiasi petani secara terpisah dari pelaku ekonomi lainnya. Tetapi ikut memerlukan institusi komplemen lainnya, yaitu bank/lembaga keuangan pertanian dan trading house. Hingga kini, kita mendapatkan sangat sedikit kebijakan yang berpihak ke petani. Dalam UU No 10/1998 tentang Perbankan hanya dikenal dua bentuk bank: bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Berbeda dengan Thailand yang punya Bank for Agricultural and Agricultural Cooperatives (1966), dan di Cina yang punya Agricultural Bank of Cina (1949) yang menjadi bank ter- besar di dunia dengan nilai penerimaan lebih dari US$ 250 miliar pada 2002. Di Belanda ada Rabobank (1890) dan di Perancis ada Agricole Banque, yang keduanya masuk ranking 500 besar Fortune 500.

Pada saat yang sama, kebijakan di bidang perdagangan, sejauh ini lebih banyak berpihak ke pedagang dan konsumen, dengan mengabaikan petani sebagai produsen. Ini berbeda dengan AS yang petaninya dilindungi ratusan UU, juga di Thailand dan Jepang, seperti disebut di muka. Sementara petani di Indonesia, bukan saja dipinggirkan (undervalue), mereka juga dibiarkan bertarung dalam kancah pasar global yang tidak fair dan distortif. Dalam kaitan itu, perlu dilakukan restrukturisasi di pelbagai perusahaan berbasis pertanian milik negara (BUMN). Pada sektor perkebunan restrukturisasi dimulai dengan membuat UU Perkebunan yang kini draftnya tengah di bahwa di DPR. Dalam UU itu perlu diatur proses pengalihan kepemilikan saham, sumber pembiayaan dan manajemen dari BUMN ke petani/asosiasi. Dalam jangka panjang, petani bisa menjadi strategic partner sebagai shareholders.

Kita bisa belajar dari sejarah American Sugar Crystal Companies di North Dakota, Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini tercatat di New York Stock Exchange. Pada 1972, perusahaan ini oleng. Al Bloomquist, ketua asosiasi petani gula bit di sana, berniat untuk membelinya. Petani yang berjumlah 1300 orang mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan untuk membeli perusahaan tersebut senilai US$ 86 juta. Dengan kurs saat ini, nilai tersebut hanya Rp 731 miliar, jauh lebih kecil dibandingkan nilai transaksi gula saat itu. Sekarang, perusahaan tersebut menjadi perusahaan gula terbesar di AS.

Strategi yang sama bisa kita perbuat, sebagai bagian dari restrukturisasi pabrik gula (PG) BUMN. Dengan pola US Sugar Crystal, apabila seorang petani dapat meminjam Rp 10 juta, de ngan hanya 100 ribu petani saja sudah terkumpul Rp 1 triliun. Dana ini akan dikembalikan dalam bentuk surplus perusahaan. Jadi, pembayaran utang petani dilakukan oleh perusahaan yang dibelinya. Dan jangan lupa, jumlah dana ini hanya sepertiga dari nilai gula petani yang mencapai Rp 3 triliun. Tatkala kepemilikan beralih, PG harus dikendalikan oleh manajemen yang profesional. Dengan pola ini, beberapa PG dapat dibeli oleh petani. Hal yang sama bisa dilakukan pada komoditas lain, apa- kah karet, coklat, atau kopi. Kepemilikan ini akan membuat petani lebih bergairah dalam berusaha tani tebu. Jika gambaran ini dapat diwujudkan maka pasokan tebu ke PG akan selalu terjamin. Dalam jangka panjang, secara gradual produksi gula nasional akan bisa didongkrak dan kita tak membutuhkan impor lagi.

Dengan pola pikir yang sama, BUMN yang menghasilkan saprodi seperti pupuk atau benih juga perlu segera direstrukturisasi. Sejauh ini, akses petani kepada saprodi pertanian sangat lemah. Distribusi dan perdagangan saprodi pertanian yang lebih mendekati monopoli, membuka peluang masuknya pengeruk rente ekonomi (rent-seeker) tanpa keluar keringat setetes pun. Kepentingan petani yang selama ini terabaikan akan bisa diatasi apabila para petani melalui organisasi mereka memiliki pelba- gai perusahaan penyedia saprodi pertanian ini. Jika sekarang ini dikenal istilah ESOP, maka hal yang sama perlu berlaku juga untuk petani, sebagaimana yang menjadi dasar restrukturisasi BUMN tadi.

Inti kemajuan pertanian di negara-negara maju adalah keberhasilan mereka dalam bidang pendidikan, riset, dan inovasi. Rekonstruksi lembaga-lembaga pendidikan, riset, dan inovasi yang ada di Indonesia perlu segera dilakukan. Sama seperti hal- nya lembaga keuangan dan perdagangan, yang perlu dilakukan untuk lembaga pendidikan, riset, atau lembaga inovasi lainnya adalah membuat jiwanya bahkan strukturnya lembaga-lembaga tersebut bersenyawa dengan kepentingan dan aktifitas petani. Sekarang ini ketiga lembaga tersebut lebih bersenyawa dengan birokrasi atau perusahaan-perusahaan besar, dengan meming- girkan petani dan sektor pertanian. Wajar jika selama ini tidak terjadi suasana sinergis.

Perlu diingat bahwa, rekonstruksi lembaga pendidikan, dengan menempatkan ketiga lembaga tersebut di tengah-tengah sistem kelembagaan: Asosiasi Petani, Bank/Lembaga Keuangan, dan Trading House komoditas pertanian. Ketiga lembaga ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan sekaligus ikut ditempatkan dalam arsitektur kelembagaan yang menyatu dan lembaga pengguna di sekitarnya, utamanya Bank/Lembaga Keu
angan dan Trading House. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2002 Agricultural Bank of China (ABC) memberikan dana kepada Jilin University sebesar US$ 240 juta (Rp 2,04 triliun) sebagai bagian human resources and technology innovation. Program seperti ini hanya dimungkinkan kalau arsitektur kelembagaan seperti yang diusulkan di atas bisa diwujudkan, yaitu lembaga pendidikan, riset, dan inovasi yang menjadi "milik" Asosiasi Petani, Bank, dan Trading House.

Untuk meraih surplus yang besar, membangun pertanian tidak hanya berhenti pada soal menanam, tapi bagaimana produk mentah harus dikembangkan sampai ke hilir: produk olahan. Selama ini, hampir semua komoditas pertanian andalan kita baru berkutat di produk primer dengan nilai tambah paling kecil. Sementara produk olahan (produk sekunder dan tertier) dengan nilai tambah terbesar dikerjakan pihak lain. Kita bisa mencontoh Brasil. Negara itu dengan mengandalkan tebu saja bisa menghasilkan: gula, alkohol, kertas, energi, board, pakan ternak, pupuk, minuman, dan komoditas lain. Dari tebu saja, Brasil menikmati beragam mukjizat. Padahal, tidak seperti negara lain, kita memiliki banyak komoditas andalan.

Tahun 2004 ini pendapatan per kapita kita US$ 600, sementara Thailand US$ 2000. Thailand ekonominya berbasis agraris. Ciri-ciri negara agraris apabila pendapatan per kapitanya sekitar US$ 2000. Jika ekonomi kita tumbuh 5% setahun, 20 tahun lagi kita baru setara dengan Thailand yang sekarang ini. Artinya, kita tertinggal dari Thailand 20 tahun, dan sekitar 30 tahun dengan Malaysia. Inilah kenyataan pahit yang ha- rus kita terima. Thailand dan Malaysia yang seperti kondisi sekarang ini masih bertumpu pada sektor pertanian. Sementara kita baru membangun pertanian beberapa tahun lalu tergoda dengan industrialisasi konglomerasi, foot loose dan dibiayai dari utang. Untuk mengejar keterbelakangan yang parah ini, salah satunya kita mesti berpaling kembali ke sektor pertanian. Selama ini telah berlangsung salah penanganan dalam sektor pertanian Indonesia. Seolah-olah untuk membenahinya cukup berkutat di sektor ini. Padahal, lebih dari 70% soal-soal rumit dan strategis pertanian justru ada di luar domain sektor pertanian. Oleh karena itu, untuk mengembalikan sektor pertanian pada peran kultur, ekonomi, dan politik yang layak, tak ada jalan lain kecuali harus menempatkan sektor ini menjadi persoalan bangsa. Secara radikal, ini harus menjadi semacam "agama" baru para pemimpin dan pengambil kebijakan. Mudah-mudahan saja Presiden hasil Pemilu 2004 ngeh dengan soal krusial bangsa ini.