Sunday 7 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 1 and Day 2 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata

 


Di awal Januari ini saya kembali mengikuti Challenge 22 Hari Baca Buku #22HBB Volume 3, dan lebih spesial karena saya menjadi salah satu fasilitator setelah diajak oleh Teh Ayu. Seperti di Volume 2, saya juga ingin menshare insight dan rangkuman yang saya tulis di Blog ini setiap 2 hari sekali, dan kali ini saya akan membaca buku "Pertanian Postmodern: : Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara" karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata. Selamat menyimak ya teman-teman!


Day 1 #22HBB Vol.3 (6 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 1 - 14/362

Insight/rangkuman/catatan:

KATA PENGANTAR

..di zaman kolonisasi, pertanian padi dimanjakan agar produksi stabil dan kebutuhan pangan masyarakat jajahan terjamin, sehingga kenyamanan usaha perkebunan kolonial tidak terganggu; berbekal tesis Thomas Robert Malthus, kamuflase dan perangkap yang sama diterapkan dalam era modernisasi, melalui pembangunan dan industrialisasi pertanian yang dikemas apik dalam skema revolusi hijau (green revolution), pertanian padi kembali dimanjakan (bahkan di nasionalkan) dengan berbagai subsidi pupuk kimia, pestisida kimia, alat mesin pertanian modern, benih bersertifikasi, irigasi teknis dan kredit (hutang) berbunga rendah, arah utamanya agar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi dan stabilitas politik Indonesia kondusif, dengan itu usaha korporasi agribisnis (terutama perkebunan sawit) dan industri manufaktur yang didominasi korporasi asing (dan aseng) tidak terganggu; singkatnya, dengan politik dualisme akan tercipta kondisi:

"petani nyaman bersubsistensi, korporasi aman mengeksploitasi"...

Modernisasi dan industrialisasi pertanian telah membawa kemajuan semu di Indonesia. Dikatakan demikian karena:
(1) telah menenggelamkan bangsa dalam kendali korporasi global dan komoditas pertanian impor, sehingga menciptakan ketergantungan yang akut dan berkelanjutan; (2) telah mengukuhkan negeri ini sebagai zona produksi usahatani (on-farm) neokolonial, sedangkan zona hulu dan hilir berada di genggaman negara maju dan korporasi global; (3) telah sukses menjauhkan budaya agraris dari generasi anak negeri, sehingga menyisakan pelaku pertanian yang tua (aging agriculture) dan penilaian rendah (under value)generasi muda terhadap pertanian (termasuk peternakan, perikanan, kehutanan dan perkebunan); (4) telah mematikan keberagaman komoditas spesifik unggul lokal, input internal dan kearifan lokal oleh "zombi-zombi dan mumi-mumi" komoditas-komoditas dan input-input yang didatangkan dari luar (impor); (5) telah menenggelamkan pengetahuan dan teknologi pertanian lokal (tacit knowledge) oleh metafor-metafor hegemoni teknologi dan inovasi pertanian modern; (6) telah menyingkirkan petani pribumi dan menyuburkan dominasi korporasi agribisnis asing dan aseng melalui investasi; (7) telah memudahkan korporasi asing dan elit-elit pemodal dalam menguasai sumberdaya lahan (land grabbing) dan privatisasi sumberdaya air di seluruh negeri; (8) telah mengerdilkan keberlimpahan sumberdaya alam dan melemahkan peradaban lokal (localism); dan (9) telah menanamkan isme-isme pembangunan dan kediktatoran kapitalisme-komunisme yang terdesentralisasi dalam ruang pemerintahan, birokrasi, realitas pasar, dan superioritas rasio di dunia pendidikan-penelitian. Penguasaan korporasi global atas lahan-lahan subur di negara dunia ketiga (NDK), termasuk di Indonesia, kembali masif sesaat setelah sukses memisahkan generasi petani dari pertanian dan menyisakan petani-petani yang usianya semakin tua (aging agriculture).

Tulisan sederhana ini cukuplah dijadikan pembangkit motivasi bagi generasi era bonus demografi, yang karena lahir dari "rahim kemodernan" yang dibuahi "imperium global" dan dibesarkan "nilai keduniaan dan ilusi kebenaran", penulis khawatir menjadi miskin dalam keberlimpahan. Padahal, sebagai bangsa yang dianugerahi keberlimpahan sumberdaya, generasi anak bangsa punya segala. Keragaman hayati lautan nomor satu dan keragaman hayati daratan nomor 2 di dunia. Apa yang lain tidak punya kita punya, apa yang lain miliki kita kelebihan. Hanya empat yang tidak dimiliki generasi anak negeri saat ini, yakni keyakinan diri, percaya diri, harga diri, dan identitas diri. Penduduknya nomor tiga di dunia, tetapi nasibnya bak zombi- zombi yang hanya punya raga, bagai robot-robot yang tidak berjiwa. Hilang kemanusiaannya karena dikendalikan hutang dan hegemoni neokolonisasi. Implikasinya, keberagaman sumberdaya direduksi dan diganti dengan keseragaman oleh korporasi. Kearifan dan pengetahuan lokal ditinggalkan, diganti dengan teknologi global Kini pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan yang tumbuh secara alami di atas keragaman hayati lautan dan daratan diasingkan dari generasi. Padahal tanpa pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan peradaban tidak akan berdiri. Jika para pendiri peradaban Eropa dan Amerika menjarah Asia, Afrika dan Amerika Selatan untuk membangun peradabannya, maka bangsa Nusantara hanya butuh kebenaran mutlak untuk merekonstruksi keyakinan diri, percaya diri, harga diri dan identitas diri.

Apapun, tulisan ini masih jauh dari sempurna, tetapi seperti pepatah Arab "ketika saya menulis, saya yakin". Kalaupun kalimatnya tidak mudah dicerna, minimal substansinya dapat dimengerti dan dipahami. Kalaupun ide utamanya baru sebatas wacana, minimal isinya dapat menjadi motivasi dan inspirasi. Meski arus utama (mainstream) pemikirannya tidak gampang dimapankan, minimal ditawarkan. Kalaupun tidak dimiliki, minimal diamati dan dipikirkan. Kalaupun belum musimnya untuk diimplementasikan, minimal gagasan dan harapannya sudah ditanamkan lebih awal. Kata orang bijak "cintanya datang padaku sebelum aku tahu artinya cinta".



Day 2 #22HBB Vol.3 (7 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 15-48/362

Insight/rangkuman/catatan:

PERTANIAN DALAM IMPERIALISME POSTMODERN

EROSI BUDAYA AGRARIS
"komoditas yang dipaksakan dari luar dan teknologi pertanian modern yang didesakan ke pedesaan bukan hanya mengganti komoditas lokal dan teknologi pertanian tradisional, tetapi mereduksi budaya (culture) agraris secara regeneratif; perlahan namun pasti pertanian dinilai rendah, dilupakan dan ditinggalkan oleh generasi, sehingga tinggal petani-petani tua (aging); dengan demikian maka jelaslah bahwa modernisasi pertanian merupakan suatu metafor pembangunan yang diarus-utamakan neokolonial dan korporasi transnasional untuk mengendalikan keberlimpahan, menciptakan keseragaman, dan ketergantungan".

..."imperium global menempatkan Indonesia dalam puzzle imperialisme berkelanjutan. Oleh karena itu, calon generasi emas, generasi bonus demografi Indonesia harus disadarkan, dicerahkan dan dihijrahkan, baik pemikiran maupun perilakunya, agar steril dari kamuflase-kamuflase pembangunan, tidak terbawa arus kecacatan pemikiran modern yang semakin jauh meninggalkan kearifan, agar terlepas dari ketergantungan atas inovasi-inovasi global yang menjadi piranti kolonisasi, serta proaktif menjemput Iptek unggul untuk mengkreasi inovasi-inovasi lokal unggul global sehingga tidak taqlid terhadap isme dan episteme yang diwariskan "generasi korban pembangunan", agar percaya diri terhadap keunikan dan keberlimpahan yang dianugerahkan Illahi (fitrah tanah air), agar kelak tidak menyesali kekeliruan dan tidak berkata 'tidak ada yang mengingatkan', tidak ada yang menguatkan, tidak ada yang meluruskan, tidak ada yang menawarkan jalan baru yang bereferensi pada kebenaran ideal..

Imperialisme sengaja disajikan paling awal agar generasi bangsa yang akan menjadi pelaku utama era bonus demografi sadar bahwa "kita belum merdeka dalam banyak hal", agar mereka tidak terlelap dalam "zona nyaman" isme pembangunan neokolonial, agar mereka belajar bahwa "kita berada dalam puzzle penjajahan global", agar mereka berpikir bahwa "bangsa ini semakin jauh dari kemandirian", agar mereka cerdas menghadapi "benturan peradaban", agar mereka bangga dan berdaya "mengelola sumberdaya", dan agar mereka berinisiatif "menjemput dan menata kebangkitan peradaban Nusantara". Sudah lebih dari 400 tahun imperium Nusantara (Indonesia) tenggelam sejak dihantam ragam bencana, dijajah imperium Eropa, imperium Jepang, imperium Amerika Serikat, dan sekarang diintai imperium Cina modern. Sebuah kondisi yang mirip Arab di abad kegelapan (jahiliah), Eropa di abad pertengahan, dan Jepang sebelum restorasi Meiji. Masa kegelapan dipastikan pernah dialami seluruh imperium dunia, baik Mesir, Yunani, Romawi, Eropa, Arab, Amerika, Jepang, Cina, maupun India (Hindu). Mungkin karena peradaban di muka bumi diciptakan Yang Maha Kuasa senantiasa timbul tenggelam (dipergilirkan). Inilah hakikat kehidupan yang bersifat siklus (cyclic), tidak ada yang linear (QS. Ali Imran, 140). Ada masa kejayaan dan ada masa keruntuhan, ada masa cerah dan ada masa kegelapan, yang keduanya ada yang melatari dan mendahului. Setiap peradaban memberi warna dan pelajaran kepada generasi yang menjemput dan mempersiapkan lahirnya peradaban kemudian.

Imperialisme postmodern berupa "Imperialisme Global" yang didesain secara berkelanjutan (sustainable imperialism) sedang merongrong bangsa ini dan peradaban Islam (peradaban selanjutnya yang akan bangkit) yang sedang menuju puncak bonus demografi dan gold generations melalui (1) Imperialisme Spatial (Colonization), (2) Imperialisme Komoditi, (3) Imperialisme Idiologi, (4) Imperialisme Industri, (5) Imperialisme Inovasi, (6) Imperialisme Informasi dan Teknologi Informasi, (7) Imperialisme Pasar, (8) Imperialisme Standar, (9) Imperialisme Investasi, dan (10) Imperialisme Pendidikan. Dan "Pertanian" merupakan kunci utama untuk kita terbebas dari imperialisme global karena peradaban yang menguasai dunia diawali oleh penguasaan pertanian dan akan jatuh ketika peradaban tersebut meninggalkan pertanian. Dan pertanian postmodern merupakan jawaban agar kita terbebas dari imperialisme global.