Sunday 22 October 2023

BUMDES: Salah Satu Opsi Upaya Korporatisasi Petani Gurem di Era Kebijakan Pemerintah Saat ini

 


Setelah saya mengulas mengenai beberapa organisasi ekonomi pertanian di desa pada postingan sebelumnya, lantas apa bentuk kelembagaan yang sekarang ini ada, yaitu mulai dari Pemerintahan Jokowi di tahun 2014? Salah satunya adalah BUM Desa (Badan Usaha Milik Desa). UU No. 6/2014 tentang Desa menjadi prioritas penting bagi Pemerintahan Jokowi-JK, dimana Desa diposisikan sebagai “kekuatan besar” yang akan memberikan kontribusi terhadap misi Indonesia yang berdaulat, sejahtera dan bermartabat. Dalam NAWACITA, khususnya Nawa Cita ke-tiga “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”, Pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen mengawal implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan, untuk mencapai Desa yang maju, kuat, mandiri dan demokratis. Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi berkomitmen mewujudkan harapan UU Desa dan NAWACITA. Dalam konteks demikian, pendirian BUM Desa diposisikan sebagai salah satu kebijakan untuk mewujudkan Nawa Cita Pertama, Ketiga, Kelima dan Ketujuh, dengan pemaknaan sebagai berikut: 1. BUM Desa merupakan salah satu strategi kebijakan untuk menghadirkan institusi negara (Kementerian Desa PDTT) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Desa (selanjutnya disebut Tradisi Berdesa). 2. BUM Desa merupakan salah satu strategi kebijakan membangun Indonesia dari pinggiran melalui pengembangan usaha ekonomi Desa yang bersifat kolektif. 3. BUM Desa merupakan salah satu strategi kebijakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia di Desa. 4. BUM Desa merupakan salah satu bentuk kemandirian ekonomi Desa dengan menggerakkan unit-unit usaha yang strategis bagi usaha ekonomi kolektif Desa. Seperti pada video di postingan ini, BUMDES tidak hanya kaku pada basis usaha sumberdaya alam desa saja, seperti pertanian, tetapi juga berbagai diversifikasi usaha lainnya. Korporatisasi Petani Gurem melalui BUMDES dan pelibatan Dana Desa merupakan salah satu opsi solusi peningkatan kesejahteraan petani yang bisa dilakukan dengan kebijakan terkini yang ada di era sekarang ini.

Kutipan Monograph Series No. 25 "Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian" dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian pada tulisan "Reformasi Kelembagaan dan Kemandirian Perekonomian Pedesaan: Kajian pada Kasus Agribisnis Padi Sawah" oleh Tri Pranadji

 

 

Saya ingin membagikan kutipan dari Monograph Series No. 25 "Aspek Kelembagaan dan Aplikasinya dalam Pembangunan Pertanian" dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian pada tulisan "Reformasi Kelembagaan dan Kemandirian Perekonomian Pedesaan: Kajian pada Kasus Agribisnis Padi Sawah" oleh Tri Pranadji yang saya pinjam dari Perpustakaan Faperta UNPAD. Meskipun ini monograph lama di awal 2000-an, saya tertarik dengan monograph ini karena secara khusus membahas aspek kelembagaan pertanian dan pedesaan yang merupakan topik yang cukup menarik perhatian saya. Berikut kutipannya. Selamat Menyimak!

ORGANISASI EKONOMI PEDESAAN

 

Dari "Vandemecum Bimas Volume III" (Anonimous, 1977) diperoleh gambaran bahwa pada awal kemerdekaan antara rendahnya produksi pertanian (padi) dan belum majunya perekonomian pedesaan masih menunjukkan gejala berimpit. Organisasi seperti Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD), yang didirikan tahun 1947, bukan saja berfungsi sebagai lembaga penyuluhan petani, namun juga sebagai lembaga dan tempat pertemuan dan musyawarah untuk petani (Taryoto et al., 1993). Organisasi ekonomi seperti koperasi petani baru diperkenalkan tahun 1964/1965, yang dikenal sebagai Koperasi Pertanian (Koperta). Baru pada awal 1970-an, diperkenalkan melalui program BIMAS, dibentuk (oleh pemerintah) organisasi perekonomian desa yang dikenal dengan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Lembaga Koperasi Unit Desa atau KUD, yang dibentuk sejak 1974, adalah juga organisasi bentukan pemerintah yang tujuan utamanya adalah membantu melancarkan pelaksanaan program Bimas padi sawah di pedesaan.

Dalam perjalanannya, setelah bantuan kredit Bimas dan Kredit Usahatani (KUT) tidak diintensifkan lagi, organisasi KUD mulai menunjukkan ketidakberdayaannya untuk menopang perekonomian pedesaan. BRI Unit Desa, yang keberadaannya banyak digerakkan oleh kebijakan pemerintah pusat untuk mendukung program pencairan kredit Bimas, juga mengalami nasib seperti KUD. Organisasi ekonomi yang kemudian muncul dan berkembang di pedesaan umumnya adalah penjual saprodi, pedagang pembeli gabah petani dan pengolah hasil pertanian seperti usaha Rice Milling Unit (RMU). Organisasi tadi umumnya dikendalikan secara perorangan, dan hanya sedikit yang dikelola secara kolektif atau mengikuti pola koperasi. Cara kerja mereka umumnya didasarkan pada dua ciri, yang pertama, mengikuti pola hubungan jual beli biasa. Kedua, mengikuti pola hubungan patronase yang didasarkan pada ikatan kepercayaan personal antara "Sang Patron" dan "Klien"-nya. Sang patron umumnya adalah para penguasa tanah atau pemilik kapital di pedesaan, sedangkan klien adalah petani kecil (berlahan sempit) dan petani tak bertanah.

"Kejayaaan" KUD berakhir, karena melemahnya dukungan pemerintah di satu sisi dan tidak mengakarnya lembaga ini pada kepentingan masyarakat pedesaan di sisi lain. Dengan gambaran ini dapat dikatakan bahwa pada hampir semua masyarakat pedesaan mengalami "kekosongan kelembagaan", khususnya di bidang ekonomi. Kebanyakan perekonomian pedesaan dikendalikan oleh pelaku-pelaku ekonomi berkapital besar di perkotaan atau agen dari pemilik kapital besar tadi. Oleh sebab itu, terutama pada daerah yang kekuatan kelembagaan ekonomi setempatnya relatif lemah, secara keseluruhan posisi tukar masyarakat petani padi dalam percaturan perekonomian terbuka relatif lemah. Gejala yang mudah ditangkap dari gambaran ini adalah bahwa peran pemerintah yang selama ini menggunakan "pendekatan politik kekuasaan" dalam menggerakkan perekonomian pedesaan bisa dikatakan mengalami kegagalan. Proses transformasi kelembagaan perekonomian pedesaan bukan hanya mengalami gejala stagnasi, melainkan juga kemunduran yang serius.

Organisasi ekonomi pedesaan harus dipandang sebagai bagian dari sistem masyarakat pedesaan yang perlu mendapat perhatian serius, karena hingga kini aspek organisasi ekonomi ini masih menjadi titik lemah dalam memasuki era pasar bebas. Menurut Uphoff (1992), suatu lembaga atau organisasi lokal yang dinilai bisa mendorong kemajuan masyarakat haruslah mampu menjaring partisipasi masyarakat secara masif (Inayatullah, 1979). Ciri organisasi sosial (dan ekonomi) yang berciri monolitik (Tjondronegoro, 1977) dan feodalistik sangat kurang sesuai untuk mengantarkan perekonomian pedesaan bisa cepat maju bersamaan dengan dengan pencapaian tujuan keadilannya. Selama ini keorganisasian atau kelembagaan ekonomi pedesaan, seperti KUD (yang dibentuk pemerintah), secara akademik juga perlu dicurigai dalam mendorong terjadinya polarisasi sosial ekonomi yang tajam di pedesaan (Hayami dan Kikuchi, 1987).

Organisasi ekonomi yang dibangun untuk masa depan masyarakat Indonesia yang masih sarat dengan ciri agraris haruslah berorientasi pada penguatan ekonomi pedesaan. Salah satu tujuan utamanya adalah mendorong dihasilkannya produk-produk pertanian dan jasa usaha lainnya yang memiliki daya saing tinggi di pasaran. Organisasi semacam ini sudah barang tentu harus bertolak dari kekuatan masyarakat pedesaan itu sendiri. Dengan organisasi tadi masyarakat pedesaan diharapkan bisa menguasai aset-aset ekonomi strategisnya, baik yang berupa sumberdaya material maupun sumberdaya nonmaterialnya. Sebagaimana dikemukakan Sudaryanto dan Pranadji (2000), organisasi ekonomi pedesaan tadi adalah seperti bangunan jaringan kemitraan agribisnis yang seharusnya dikembangkan di pedesaan. Beberapa ciri penting organisasi ekonomi pedesaan yang dinilai mampu untuk meningkatkan daya saing ekonomi pedesaan adalah sebagai berikut:

(1) Strategi reformasi organisasi ekonomi di pedesaan sejauh mungkin diarahkan untuk tujuan menghasilkan produk akhir (misalnya beras kepala), bukan sekedar untuk (misalnya) bahan baku yang harus diolah lagi (misalnya; gabah kering giling) atau sebagai input industri. Organisasi ekonomi desa yang dibangun pemerintah pusat pada masa lalu lebih banyak dipusatkan untuk mengembangan usaha pertanian sebatas pada kegiatan usahatani. Oleh sebab itu, pelaku ekonomi di pedesaan hingga kini belum sepenuhnya bisa menikmati semua hasil nilai tambah produk pertanian padi sawah yang dihasilkan. Sistem agribisnis padi yang ada masih tidak efisien dan tidak mampu bersaing dengan sistem agribisnis padi negara lain, misalnya Vietnam.


(2) Konsolidasi fisik cabang-cabang kegiatan agribisnis padi sawah masih sangat lemah. Hal ini bukan saja merupakan titik lemah daya saing agribisnis padi sawah 
Indonesia,  namun juga menjadi sumber pemborosan pemanfaatan sumberdaya pertanian dan ekonomi pedesaan. Konsolidasi cabang agribisnis tadi seyogyanya menjadi perhatian dan memperoleh penanganan secara serius oleh banyak pihak terutama kalangan aparat pemerintah. Upaya mengkonsolidasi seluruh cabang kegiatan dan sumberdaya agribisnis padi sawah di pedesaan merupakan hal yang mendesak, karena melalui cara ini terbuka kemungkinan terjadinya penguatan jaringan dan sistem agribisnis padi sawah di pedesaan.


(3) Dipandang dari keorganisasian ekonomi, jaringan agribisnis padi yang dibangun di pedesaan seyogyanya diarahkan untuk memperkuat makna pengintegrasian kegiatan agribisnis, yang selama ini masih sangat tersekat-sekat, menjadi bangunan ekonomi yang relatif utuh. Tujuan pengintegrasian ini adalah untuk memperoleh dua manfaat sekaligus, yaitu: mewujudkan asas skala ekonomi yang kompetitif (MES-Minimum Economics of Scale) di satu sisi dan untuk menarik seluruh potensi nilai tambah dari keseluruhan jaringan agribisnis padi pada pelaku ekonomi di pedesaan di sisi lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna peningkatan efisiensi pada jaringan agribisnis padi sawah tadi sekaligus dalam rangka peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat pedesaan.


(4) Sistem pengintegrasian tadi harus mencakup pula pengembangan kepemilikan jaringan agribisnis secara kolektif. Dengan model penguasaan saham secara kolektif, mengutamakan masyarakat pelaku agribisnis padi di pedesaan sebagai pemilik saham terbesarnya harus mendapat penonjolan. Dalam konsep ini penguasaan secara individual ("monopoli") terhadap jaringan atau salah satu cabang agribisnis padi tidak dimungkinkan lagi, sehingga tidak ada konsentrasi penguasaan (modal) agribisnis padi pada segelintir pemilik modal. Dengan cara demikian, sebagian besar jaringan agribisnis padi bisa dikuasai masyarakat pedesaan dan interdependensi antar pelaku agribisnis padi diharapkan bisa menjadi relatif seimbang. Dengan kata lain, kecenderungan terjadinya interdependensi antarpelaku agribisnis di pedesaan yang sangat asimetris, seperti yang umum terjadi selama ini, bisa dihindarkan.


(5) Dalam rangka memberi insentif bagi pelaku ekonomi padi sawah untuk menginvestasikan uang atau aset berharga yang dimilikinya, pengakuan terhadap pemilikan individu pada agribisnis di pedesaan masih dimungkinkan. Hanya saja pemilikan individu tadi seyogyanya diterjemahkan dalam bentuk pemilikan saham, bukan pada (misalnya) pemilikan secara monopolistik atas suatu cabang kegiatan agribisnis tertentu. Sebagai contoh, dengan memonopoli jaringan pemasaran, maka hampir seluruh nilai tambah agribisnis padi sawah di pedesaan bisa dikuasainya. dan hanya sebagian kecil yang jatuh di tangan petani di pedesaan. Secara keorganisasian bisnis, pemilikan individu harus sebatas kontribusi modal. Sedangkan dari segi pengambilan keputusan (manajemen) kegiatan usaha tetap harus dilakukan mengikuti kaidah-kaidah manajemen futuristik, seperti yang akan dijelaskan kemudian.

Beberapa syarat penting yang harus diperhatikan dalam menghela reformasi keorganisasian ekonomi pedesaan berbasis pengembangan jaringan kegiatan agribisnis padi adalah: Pertama, perlu adanya kekuatan lembaga penunjang yang setiap saat siap melayani keperluan kegiatan agribisnis. Lembaga yang dimaksud mencakup tersedianya sistem keuangan dan perkreditan mikro, pelayanan informasi pemasaran hasil dan kebutuhan inovasi untuk pengembangan daya saing produk agribisnis padi setempat. Kedua, prasarana ekonomi dan jaringan telekomunikasi yang memadai di pedesaan, sehingga dinamika dan perkembangan kegiatan agribisnis padi di pedesaan bisa seirama dengan tuntutan kebutuhan pasar. Ketiga, adanya peraturan pemerintah, yang merupakan representasi kepentingan masyarakat banyak, yang diarahkan untuk membatasi praktek monopoli pada kegiatan agribisnis yang sedang dibangun sebagai basis kegiatan perekonomian pedesaan. Keempat, adanya sistem penegakan hukum yang jelas dan tegas, sehingga berbagai macam konflik yang terjadi antar pelaku ekonomi di pedesaan bisa diselesaikan dengan adil.

Organisasi (dan manajemen) merupakan bagian dari konsep kelembagaan yang mengarah pada pekerjaan yang dilakukan secara kolektif. Ini dilakukan dengan pengertian bahwa jika seseorang bekerja secara individual maka hasilnya akan kalah efisien dan efektif dibanding jika individu-individu tadi menjalin hubungan kerja sama dengan kesepakatan dan cara tertentu. Seperti dalam sebuah tim sepak bola, kemampuan individu mengolah dan memainkan bola merupakan syarat penting seseorang bisa direkrut menjadi anggota tim sepak bola. Namun tidak benar jika semua pemain hanya pandai memainkan bola (misalnya) di garis belakang saja, dan tidak satu pun yang diandalkan sebagai pencetak gol di gawang lawan. Satu tim sepakbola perlu didukung para pemain yang masing-masing mempunyai keahlian memainkan bola pada posisi atau peran yang spesifik. Hal yang tidak kalah penting adalah memadukan secara harmonis semua pemain sehingga tercipta pola organisasi permainan yang indah dan produktif dalam menghasilkan gol. Demikian juga halnya kerja suatu tim dalam organisasi atau lembaga ekonomi di pedesaan. Setiap pelaku ekonomi yang terorganisasikan harus mempunyai peran yang jelas, karena dengan demikian akan bisa dicapai efisiensi dan keefektifan kerja yang relatif tinggi.