Wednesday 25 October 2023

Buku "Pangan: Sistem, Diversifikasi, Kedaulatan, dan Peradaban Indonesia" karya Dr. E. Herman Khaeron, Ir., M.Si.

 

 

Saya baru saja diberi hadiah buku "Pangan: Sistem, Diversifikasi, Kedaulatan, dan Peradaban Indonesia" karya Pak Dr. E. Herman Khaeron, Ir., M.Si. oleh Pak Iwan Setiawan saat kelas Filsafat Ilmu, yang beliau juga merupakan Editor dari buku ini. Beliau berpesan agar saya bisa mengulas buku ini seperti saya mengulas buku beliau yaitu buku "Agribisnis Kreatif". Ini salah satu buku yang terbit di tahun 2022 sehingga akan menghadirkan pemikiran dan data dari kebijakan serta kondisi terkini di negeri ini. Buku ini akan di bedah besok tanggal 26 Oktober 2023 sebagai rangkaian Dies Natalis Faperta UNPAD. Karena urgensi yang cukup penting, saya ingin membagikan Prakata dan Kata Pengantar dari Dekan Fakultas Pertanian UNPAD yang menjadi pembuka dan mengawali buku ini, dan untuk bab-bab selanjutnya saya akan menyampaikan poin-poin penting dan menarik perhatian saya. Tunggu ya untuk kutipan selanjutnya. Selamat Menyimak bagian Prakata dan Kata Pengantar dari Dekan Fakultas Pertanian UNPAD!


PRAKATA


Kedaulatan pangan senantiasa diidealkan bangsa-bangsa di seluruh dunia, terutama bagi banyak negara yang sedang bergegas memasuki era bonus demografi, termasuk Indonesia. Kedaulatan pangan diidealkan karena menjadi pondasi untuk membangkitkan dan mewujudkan puncak peradaban yang hanya terulang setiap 400 tahun sekali. Dikatakan demikian karena kisah suksesnya teruji secara historis maupun empiris. Dipaparkan secara eksplisit dalam kitab suci agama samawi, bahkan dibuktikan dengan berbagai catatan dan artefak sejarah panjang berbagai peradaban mapan.

Secara riil, Pemerintah Indonesia pun berusaha mewujudkan kedaulatan pangan. Upaya nyatanya dimulai sejak Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dilegalisasi DPR RI. Terminologi kedaulatan pangan mulai diadopsi, bahkan dieksplisitkan sebagai kebijakan pemerintah dalam enam tahun terakhir.

Persoalannya, upaya mewujudkan kedaulatan pangan belum holistik. Implikasinya, meskipun sudah diadopsi hampir dua periode pemerintahan, angka impor pangan masih tetap tinggi dan berbagai subsistem produksi pangan masih didominasi korporasi. Bukan hanya komoditasnya yang impor dan dikendalikan korporasi, tetapi juga berbagai input produksinya.

Ilmu pangan, baik dalam lingkup pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan, telah banyak dikembangkan. Ilmu pangan sangat penting, tetapi itu saja tidak cukup untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan hanya akan terwujudkan jika ditunjang dengan sistem pangan yang kondusif. Sistem pangan (agrifood system) merujuk pada pendekatan pengelolaan dan pengembangan pangan yang sistemik, holistik, multifungsi, terintegrasi, dan berkelanjutan. Pangan bukan hanya urusan sektor, institusi, dan daerah tertentu, tetapi menjadi tanggung jawab dan membutuhkan pemihakan semua pihak.

Seperti posisi pangan dalam 17 tujuan pembangunan berkelanjutan, perspektif sistem memandang pangan sebagai keseluruhan dari sistem sosial (sociosystem), sistem lingkungan (ecosystem), sistem agribisnis, sistem agraria, sistem irigasi dan sistem layanan. Pangan merupakan keseluruhan dari berbagai sektor dalam skema pentahelix model (ABCGM: Academics/Peneliti, Businessmen, Community, Government, Media), yang mengintegrasi, berbagi, dan berkolaborasi bukan hanya berlangsung dalam ruang fisikal, tetapi juga dalam ruang virtual yang berbasis aplikasi.

Sistem pangan bukan hanya mengintegrasikan kelembagaan lingkup pertanian dan mengolaborasikan ABCGM, tetapi juga berbagai sektor terkait yang selama ini terpisah secara diametral, sebut saja perindustrian dan perdagangan, UMKM, pemuda dan olahraga, pariwisata dan ekonomi kreatif, komunikasi dan informasi, badan pembangunan desa, badan pertanahan, dan sebagainya. Sistem pangan juga menyangkut sistem irigasi, sistem agraria, sistem lingkungan, sistem sosial, dan sistem kebumian (agrogeosystem).

Sistem pangan menjadi kerangka pikir dan kerangka makna (paradigma), karena hanya dengan itulah diversifikasi dan kedaulatan pangan dapat terwujudkan. Secara metodologi, pendekatan sistem pangan bukan hanya membuat kondusif ekosistem produksi, tetapi juga penyediaan input, peningkatan nilai tambah, promosi dan pemasaran, pengemasan dan pelabelan, dokumentasi dan barkode, serta distribusi dan kelembagaan pendukungnya. Sistem pangan juga mengintegrasikan  ruang, baik ruang fisikal (spasial) maupun ruang virtual.

Sebagai prasyarat bagi bangkit dan mapannya peradaban suatu bangsa, kedaulatan pangan tidak pernah terwujudkan dalam keseragaman (homogenisasi) pangan. Hampir dalam semua episode peradaban di muka bumi, kedaulatan pangan dihasilkan dari serangkaian proses kemandirian bangsa yang berpijak pada diversifikasi pangan (food diversification). Kedaulatan pangan tidak pernah terkabarkan terwujud oleh dominasi negara, apalagi oleh negara lain dan korporasi global. Basis realisasi diversifikasi dan kedaulatan pangan adalah otonomi dan komunitas. Secara paradigmatis, kedaulatan pangan sangat lekat dengan paradigma postmodern yang bersifat disruptif. Mekanismenya tidak dapat dioperasikan secara dominan oleh negara maupun korporasi, karena secara historis maupun empiris kontemporer pun, sangat identik dengan otonomi, berbagi, berkolaborasi, dan berbasis komunitas. Bahkan, dalam kerangka berpikir revolusi industri 4.0 dan era disruptif, mekanismenya diperluas dengan berbasis aplikasi. Konsekuensinya, dominasi korporasi akan tereduksi secara perlahan dan tergantikan oleh komunitas yang terbangun dalam ruang fisik dan virtual.

Bagi Indonesia yang memiliki beragam karakteristik demografi dan geografi, diversifikasi pangan telah terbukti dan teruji mengantarkan Nusantara ke puncak peradabannya. Bagi Indonesia, diversifikasi pangan merupakan bagian dari keunikan negeri yang memberi banyak warna terhadap budaya dan kearifan (pengetahuan, teknologi, metode, dan kelembagaan) lokal. Diversifikasi pangan juga identik dengan keragaman suku bangsa dan variasi agroekosistem tiap-tiap daerah. Diversifikasi pangan bukan hanya menjamin kedaulatan pangan, tetapi juga keamanan dan kedaulatan bangsa dan negara.

Beratus tahun masyarakat Nusantara hidup dalam keberagaman, selama itu juga pangan bangsa ini tidak pernah terkabarkan dijajah pangan impor dan dikendalikan penguasa pangan dari negara lain. Bahkan, alih-alih dikontrol dan dikendalikan pihak lain, pangan Nusantara malah memberi warna dalam perdagangan pangan di Jalur Sutra (silkroad). Tentu bukan hanya beras hitam, beras merah dan beras putih, tetapi ada beragam pangan dari berbagai daerah di Indonesia.

Ada sagu yang membudaya dan melembaga di masyarakat kawasan timur Indonesia, terutama di sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pangan unik ini sekarang menjadi salah satu sumber karbohidrat para astronot, antariksawan, dan wisatawan antariksa. Ada juga beragam ubi kayu, ubi jalar, talas atau keladi, pisang, sukun, sorgum, hanjeli, jawawut, dan aneka kacang-kacangan.

Sejatinya, pangan Indonesia tidak hanya bersumber dari karbohidrat dan protein nabati, tetapi juga dari pangan sumber protein hewani. Ekosistem daratan Indonesia memiliki keragaman hayati nomor dua di dunia dan keragaman hayati ekosistem perairan nomor satu di dunia. Ternak dan ikan yang tumbuh kembang secara endemik tidak hanya beragam, tetapi unik dan spesifik lokasi.

Persoalannya, setelah beratus-ratus tahun dieksploitasi, keragaman hayati tersebut mulai mengalami degradasi. Pola pemanfaatan sumber daya alam dan konsumsi yang cenderung eksploitatif, bahkan menghabisi seisi bumi, tidak diimbangi dengan berbagai upaya domestikasi dan produksi berkelanjutan, sehingga mengakibatkan terjadinya kelangkaan sumber daya hayati.

Kelangkaan pun menjadi senjata untuk mematikan diversifikasi pangan. Alih-alih memulihkan, kelangkaan malah dikemas dengan bahasa ekologi dan lingkungan hidup menjadi perlindungan. Seolah keragaman haram dijadikan bahan konsumsi publik. Ironi, padahal kelangkaan itu merupakan akibat eksploitasi yang tidak dibarengi upaya domestik, bukan keniscayaan. Meskipun realitasnya langka, tetapi proses budidayanya dapat dikreasikan dan diinovasikan melalui produksi berkelanjutan.

Menyempitkan dan mematikan diversifikasi pangan terjadi karena kerangka berpikir dan kerangka makna (paradigma) yang digunakan selama ini sangat bias manusia (antroposentris) dan positivistik. Implikasinya, pemanfaatan keragaman pangan menjadi searah, reduksionis, generalis, hipotetikal, apriori, dan bias referensi luar. Oleh karena itu, kerangka berpikir dan paradigmanya harus diganti dengan sistem pangan.

Melalui pendekatan sistem pangan berkelanjutan yang dikembangkan secara disruptif dengan mekanisme berbagi, berkolaborasi, beraplikasi, serta berbasis komunitas dan otonomi daerah, keragaman atau diversifikasi pangan berpeluang dibangkitkan dan dikembangkan kembali. Mewujudkan sistem pangan dalam lingkup nasional membutuhkan kolaborator dalam lingkup mikro, meso, dan makro.

Oleh karena itu, keberadaan badan usaha pangan atau korporasi pangan yang multifungsional dan terintegrasi dari tingkat petani (BUMP/ BUMR/korporasi petani), desa (BUMDes), kecamatan (Gudang Cerdas), kabupaten (BUMD Pangan Kabupaten), provinsi (BUMD Pangan, Bulog Cerdas Provinsi, Resi Gudang Cerdas Pangan Provinsi) sampai tingkat nasional (BUMN Pangan), dan Badan Pangan Nasional Indonesia (BPNI), menjadi keniscayaan.

BUMN Pangan yang terintegrasi dan multifungsi, yang berpatok pada mekanisme berbagi, berkolaborasi, beraplikasi, dan berbasis komunitas merupakan manifestasi dari UU Nomor 18 Tahun 2012. BUMN Pangan menjadi sangat strategis dalam kerangka bisnis disruptif, tentu bukan hanya untuk meningkatkan produksi sebagaimana dilakukan institusi pangan selama ini, tetapi juga ditujukan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.

BUMN Pangan juga berposisi strategis dalam meningkatkan nilai tambah aneka pangan spesifik lokal menjadi berbagai produk turunan. Berposisi strategis dalam menata administrasi dan dokumentasi aneka produk turunan pangan, mulai dari GAP, GMP, GPP, Indikasi Geografis, labeling, dan barcode. Berposisi strategis dalam memperluas ceruk pasar berbagai produk turunan dari pedesaan sampai ke pasar global, baik secara luring (offline) maupun daring (online).

Melalui BUMN Pangan yang terintegrasi dari tingkat korporasi dan komunitas petani sampai tingkat nasional, diversifikasi pangan yang bernilai tambah dan multifungsionalitas berpeluang untuk diwujudkan dan ditingkatkan daya saing berkelanjutannya. BUMN Pangan diidealkan terintegrasi, multifungsi, dan berkelanjutan karena berperan dan berfungsi bukan hanya dalam sisi produksi (usahatani/on farm), tetapi menyeluruh.

BUMN Pangan berfungsi dari mulai kreasi dan inovasi berbagai input produksi usahatani dan agroindustri, sampai pengolahan (agroindustri) komoditas pangan menjadi aneka produk turunan bernilai tambah tinggi, berdokumentasi, berlabel dan berbarcode. Termasuk pemasaran hasil secara luring maupun daring melalui mekanisme berbagi, berkolaborasi, beraplikasi dan berbasis komunitas.

Sekali lagi, peran, fungsi dan posisi BUMN Pangan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten diidealkan identik dengan resi gudang cerdas atau gudang dagang (halmart). Gudang yang tertautkan dengan jejaring bisnis luring dan daring. Gudang yang dilengkapi dengan ruang penitipan dan penyimpanan berpendingin (cooling storage). Gudang yang tidak hanya menjadi penitipan produk unik, bernilai tambah tinggi, berlabel dan ber-barcode, tetapi juga menjadi jembatan dan pengikat jejaring bisnis.

Gudang yang juga menjadi pusat promosi dan pemasaran aneka produk turunan pangan bernilai ekonomi tinggi yang dihasilkan komunitas petani yang bersifat tercecer. Promosi dan pemasaran yang dilakukan se- cara daring dan luring. Gudang yang dilengkapi teknologi cerdas dan manusia cerdas. Gudang yang dikelola oleh tenaga muda berbakat (tech- notalent), yang profesional, berjiwa kewirausahaan dan kepemimpinan, serta menguasai teknologi cerdas.

BUMN Pangan yang terintegrasi, multifungsi, dan berkelanjutan juga berperan dan berfungsi mengkreasi, menginovasi, dan menciptakan ekosistem layanan yang adaptif, antisipatif, bahkan mitigatif. Tentu bukan hanya memberikan layanan informasi, inovasi, dan permodalan, tetapi juga riset, pelatihan, pemberdayaan, kreasi, dan inovasi iptek unggul lokal, kreasi dan inovasi metode spesifik lokal, dan sebagainya.

Ekosistem layanan yang kondusif bagi terealisasinya mekanisme berbagi, berkolaborasi, beraplikasi, dan berbasis komunitas. Ekosistem layanan yang menjembatani (bridging) dan mengikat (bonding) komunitas petani muda yang akses terhadap internet (netizen) dengan yang tidak akses (citizen). Ekosistem yang menautkan komunitas fisik dengan virtual.

BUMN Pangan yang terintegrasi, multifungsi, dan berkelanjutan juga berperan sebagai ruang berbagi dan berkolaborasi dalam mengkreasi, mengadaptasi, menginovasi, dan memproduktifkan teknologi cerdas (smart technology) era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Ruang sinergi dan kolaborasi berbagai teknologi cerdas yang datang dari ling- kungan eksternal (explicit knowledge) dengan teknologi spesifik unggul lokal yang bersumber dari lingkungan lokal (tacit knowledge).

Ruang berbagi dan berkolaborasi dalam mengkreasi, menginovasi, dan membudayakan input usahatani (benih/bibit komoditas unik unggul lokal, pakan lokal, pupuk lokal, alat mesin spesifik lokal, pestisida ramah lingkungan dan sebagainya), input agroindustri (alat mesin spesifik lokal, bahan baku lokal dan sebagainya), dan kelembagaan pendukung (sistem irigasi cerdas, sistem agroindustri cerdas, sistem pemasaran cerdas, sistem pendistribusian cerdas dan lainnya).

Bagaimanapun, substansi buku ini masih jauh dari sempurna. Namun, ada pelajaran dari kisah-kisah peradaban masa lalu yang besar dengan pangan dan hancur karena melupakan pangan. Ada landasan UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 untuk melakukan perbaikan dan pembenahan ke arah diversifikasi dan kedaulatan pangan, termasuk kedaulatan kelembagaan pangan dari tingkat komunitas petani sampai tingkat nasional.

Ada realitas pendekatan parsial, general, dan sektoral dalam pengelolaan pangan di Indonesia, yang perlu dikoreksi, direkonstruksi, atau diganti (disrupted) dengan pendekatan yang adaptif, sistemik, ekologis. dan humanis (hollistically) dalam kerangka sistem pangan. Ada realitas pendekatan yang bias pangan tertentu, yang eksplisit homogenisasi pada padi.  Ada juga homogenisasi pada ayam broiler, sapi impor, jagung, sawit, dan sebagainya.

Selain itu, dikemukakan juga harapan dan peluang dari otonomi dan disrupsi yang memberi ruang bagi tumbuh kembang dan membudayanya diversifikasi pangan sesuai karakteristik geografis dan demografis Indonesia yang beragam. Seperti ditegaskan dalam isi buku ini, diversifikasi pangan merupakan prasyarat bagi terealisasinya kemandirian dan terwujudnya kedaulatan pangan.

Tanpa diversifikasi pangan, kedaulatan pangan hanyalah "hiasan kebijakan". Memaksakan kedaulatan pangan dalam arus utama kebijakan yang bias homogenisasi pangan, sama dengan menghambur-hamburkan dan memberi ruang lebar dan kesempatan berkelanjutan kepada para importir pangan. Oleh karena itu, harus ditanamkan kepada generasi bangsa bahwa kedaulatan pangan merupakan harga mati.

Sekali lagi, diversifikasi, kemandirian, dan kedaulatan pangan bukan sekadar dalam produksi, tetapi juga dalam input (benih, bibit, pakan, obat-obatan, alat mesin pertanian, teknologi cerdas dan bahan baku agroindustri), dalam produksi (bebas dari dominasi korporasi, bebas dari kendali kebijakan setengah hati), dalam agroindustri, dalam pemasaran, dalam pelayanan, dalam permodalan, dalam pemberdayaan, dalam kemasan, dalam standardisasi, dan sebagainya.

Diversifikasi, kemandirian, dan kedaualtan pangan yang berkelanjutan hanya akan terwujudkan apabila konsumen (masyarakat) Indonesia pun berdaulat. Ciri utamanya adalah memihak dan mengonsumsi pangan produk bangsanya sendiri. Agar pemihakan signifikan, harus ditanamkan sejak buaian. Pesan utamanya, pangan lokal harus dibudayakan dan dilembagakan kepada masyarakat Indonesia sejak dini, sejak PAUD sampai pendidikan tinggi.

Pendidikan kritis, kreatif, inovatif, dan disruptif penting diadopsi dalam berbagai ruang pendidikan (informal, nonformal, dan formal). Bahkan ideal diimplementasikan dalam sistem pendidikan bela negara. Sasarannya adalah membangun kesadaran dan cara berpikir generasi bangsa agar dapat melepaskan diri dari perangkap kolonisasi komoditi dan penjajahan pangan yang berkelanjutan. Agar berani mengganti homogenisasi dengan diversifikasi yang menjadi ciri (indikasi) geografis negeri ini.

Itu semua penting untuk membangkitkan dan mengembalikan identitas serta kedaulatan pangan bangsa. Siapa pun sepakat, kedaulatan pangan merupakan prasyarat bagi terwujudnya kedaulatan nasional. Mewujudkan kedaulatan pangan merupakan tugas minoritas kreatif yang me nata pijakan bagi generasi era bonus demografi untuk membangkitkan peradaban Indonesia.

Bagi Indonesia, diversifikasi pangan yang dikembangkan dalam kerangka sistem pangan merupakan keniscayaan. Seperti karakteristik sosial budaya, geografis, demografis, dan flora-faunanya yang diciptakan Tuhan secara beragam, pangan pun ditakdirkan beragam. Memaksakan homogenisasi pada satu komoditas pangan, sama saja dengan menghabisi keberagaman sosial budaya, geografis, demografis, komoditas, dan flora-faunanya.

Jika terus dipaksakan, alih-alih mencapai ketahanan dan kedaulatan pangan, dapat dipastikan yang akan terjadi malah krisis pangan, krisis lingkungan, krisis identitas, krisis percaya diri, dan sebagainya. Implikasinya, impor pangan dan pangan impor menjadi terdampak. Oleh karena itu, diversifikasi pangan merupakan harga mati bagi Indonesia yang akan memasuki puncak peradaban mulai 2035.

Melalui diversifikasi pangan, negara dan korporasi pangan asing dipastikan tidak dapat mengendalikan input dan layanan input, produksi, agroindustri, pemasaran, distribusi, logistik, dan standardisasi. Secara so- sial ekonomi politik, diversifikasi adaptif dan antisipatif terhadap era disrupsi yang mengedepankan mekanisme berbagi, berkolaborasi, beraplikasi, dan berbasis komunitas. Sejatinya, diversifikasi pangan sudah bernilai ekologis dan humanis karena menghargai keragaman geografi dan demografi, sehingga sejalan dengan masyarakat (society) 5.0.

Konsekuensinya, sistem pangan, sistem pengairan, sistem lingkungan, sistem sosial, sistem agraria, dan sistem kebumian (agrogeosystem) harus kondusif dari tingkat komunitas, daerah otonom, dan nasional. Pada ke- nyataannya, semua sistem tersebut terintegrasi dan menjadi prasyarat bagi tumbuh kembangnya diversifikasi, kemandirian, serta kedaulatan pangan. Tanpa sistem yang kondusif, IPTEKS pangan, sumber daya manusia, dan keragaman hayati akan statis.

Diversifikasi dan sistem pangan diposisikan sebagai topik utama dalam buku ini mengingat keduanya menjadi prasyarat bagi perwujudan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat untuk me mapankan peradaban Indonesia mulai 2035. Tentu tidak mudah meng arusutamakan diversifikasi dan sistem pangan dalam iklim kebijakan yang puluhan tahun didominasi homogenisasi pangan dan pendekatan pangan yang sangat parsial, sektoral, searah, dan generalis.

Implementasi diversifikasi dan sistem pangan dipastikan akan men- disrupsi model kebijakan parsial dan general yang diadopsi selama ini. Sebagai pemikiran yang dikonstruksi dari pengalaman ilmiah, praktis (termasuk legislasi dan advokasi), dan pengalaman empiris Penulis, tulisan dalam buku ini tentu masih jauh dari sempurna. Pepatah, "Tiada gading yang tak retak". Oleh karena itu, masukan kritis dan konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan.

Selesainya buku ini tentu tidak terlepas dari peran serta berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, secara khusus, kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada kedua orangtua kami yang telah mendoakan dan mendidik untuk selalu berlajar sepanjang hayat. Terima kasih yang dalam diucapkan kepada anak-anak dan istri tercinta. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Meddy Rachmadi, Ir., MP selaku Dekan Fakultas Pertanian Unpad yang bersedia memberikan kata pengantar dalam buku ini.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para guru kami di Unisba, IPB, dan Unpad. Begitu juga kepada para kolega kami di DPR RI. Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Penerbit Kompas. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada saudara Dr. Iwan Setiawan, SP., MSi, yang bersedia menjadi editor buku ini. Semoga isi buku ini dapat menjadi hikmah pencerah dan memberi berkah kepada bangsa dan negara. Semoga amal kebaikan semuanya mendapat balasan yang lebih tinggi dari Allah, SWT. Amin.

Bandung, Januari 2022

Dr. E. Herman Khaeron, Ir., M.Si.





KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS PERTANIAN UNPAD


Pangan masih dan akan tetap mediskusi posisi strategis dalam era revolusi industri 4.0. Bahkan diversifikasi, kemandirian, dan kedaulatan pangan sangat relevan dengan masyarakat (society) 5.0. Ketahanan pangan penting, tetapi itu hanyalah prakondisi yang harus segera ditransformasi, bahkan diganti dengan kedaulatan pangan. Pada era disrupsi dan bonus demografi, kedaulatan pangan bukan hanya dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan perut dan stabilisasi politik, tetapi menjadi landasan untuk membangkitkan dan memapankan peradaban Indonesia di paruh pertama abad 21.

Konsekuensinya, secara makro kebijakan yang dominan pada penyeragaman (homogenisasi) satu komoditas pangan harus mulai ditransformasi menjadi keberagaman (diversifikasi) pangan. Mengapa harus diversifikasi? Karena berbagai referensi dan catatan sejarah membuktikan bahwa diversifikasi merupakan prasyarat untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dasar untuk mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara. Secara ekologis dan antroposentris, Indonesia sejak lahir identik dengan keberagaman
pangan.

Menghidupkan keberagaman pangan berarti mengembalikan Indo- nesia pada identitasnya sebagai negara dengan keragaman hayati daratan nomor dua di dunia dan keragaman hayati lautan nomor satu di dunia. Secara riil, keragaman hayati pangan Indonesia masih eksis, meskipun semakin terdegradasi dari sistem lingkungan, sistem sosial, dan sistem ekonomi politik. Sebagai domain kebijakan, padi semakin dominan. bahkan dibudayakan dan dilembagakan pada seluruh masyarakat Indonesia. Padahal, hingga 1990-an pangan bangsa Indonesia masih beragam.

Eksistensi ubi jalar, keladi, dan sagu masih melekat pada sebagian ma- syarakat Papua. Sagu, ubi kayu, dan ikan masih lekat dengan sebagian masyarakat Maluku. Ubi kayu, sagu, pisang, dan ikan pun masih tersisa pada masyarakat Sulawesi. Sukun, sagu, dan pisang, masih dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan, tetapi hanya sebagai cemilan. Produksi ja- gung terus meningkat, tetapi tidak lagi identik dengan pangan utama masyarakat Madura. Ubi kayu, ubi jalar, jagung, sorgum, sagu, pisang, ubi manis, dan lainnya masih dikonsumsi di Jawa dan Sumatra, tetapi hanya sebagai pangan sampingan.

Sebagai komponen keragaman hayati, berbagai jenis pangan masih eksis dan dibudidayakan di Indonesia, tetapi posisinya bukan lagi sebagai pangan utama. Bahkan, secara sosial budaya sudah dipandang kelas dua dan imperior. Secara ekonomi politik, pangan nonpadi tidak lagi men- jadi fokus kebijakan, termasuk di daerahnya. Bahkan, tidak sedikit yang sudah tereduksi dari komunitasnya. Benar bahwa jagung dan kedelai mendapat pemihakan pemerintah, tetapi fungsinya bukan sebagai substi- tusi beras, melainkan untuk kepentingan industri pangan, pakan, dan energi terbarukan. Ironinya, ketika keragaman pangan semakin tere- duksi, gandum justru mendapatkan posisi.

Fenomena tersebut menegaskan bahwa keragaman pangan Indonesia bukan hanya tertekan oleh kebijakan penyeragaman pangan yang bias pada padi, tetapi juga oleh terigu (gandum) sebagai pangan impor. Ironi, hampir empat puluh tahun terigu dilembagakan di Indonesia, padahal tidak sejengkal pun lahan gandum ada di Indonesia. Secara ekonomi po- litik, kebijakan pun tidak pernah mempersoalkan, bahkan memihak. Paradoks dengan itu, pemihakan terhadap pangan lokal yang diversitas semakin melemah. Inilah yang tidak disadari bangsa Indonesia: Penyeragaman pangan dan pelembagaan pangan impor merupakan bentuk kolonisasi komoditi dan perang pangan (food war).

Oleh karena itu, diversifikasi pangan yang menjadi arus utama buku ini harus kembali mendapat pemihakan. Mengembalikan keberagaman berarti melindungi keragaman hayati, mewujudkan kedaulatan pangan, dan membangun fondasi peradaban. Tentu untuk mewujudkannya tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan lingkungan sosial, eko- nomi, politik, fisik, serta kelembagaan yang kondusif dan terintegrasi.

Diperlukan sistem pangan yang mencakup sistem lingkungan, sistem sosial, sistem ekologis, sistem inovasi, sistem irigasi, sistem agraria, dan sistem perdagangan yang kondusif. Secara ekonomi politik, Pemerintah
Indonesia sudah memulainya dengan melegalisasi Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012.

Berdasarkan UU Pangan, kedaulatan pangan dieksplisitkan sebagai kebijakan pemerintah dalam enam tahun terakhir. Persoalannya, upaya mewujudkan kedaulatan pangan belum didukung dengan pendekatan sistem pangan, sehingga implementasinya masih searah, parsial, sektoral, dan general. Implikasinya masih bias ketahanan pangan, sehingga impor à dominan dan diversifikasi masih setengah hati. Sebagaian besar sistem agribisnis pangan masih didominasi korporasi dan tergantung pada impor, baik subsistem penyediaan input, agroindustri, pemasaran, inovasi, dan permodalan. Jika produksinya saja masih berlum berdaulat, apalagi subsistem lainnya. Sebagai konsumen, masyarakat Indonesia pun
pangan belum berdaulat karena masih memihak pangan impor.

Pandemi COVID-19 idealnya dijadikan momentum untuk menata puing-puing kedaulatan pangan. Melandai dan terhentinya impor bebe- rapa komoditas pangan seharusnya dijadikan sebagai dasar untuk mem- balik pola pikir bangsa agar memihak pangan lokal. Berkembanganya bisnis pangan secara daring, baik komoditas maupun dalam bentuk pro- duk, baik pangan segar, olahan, dan dalam bentuk beku (frozen food), sejatinya memberi ruang kepada pangan lokal untuk dibudayakan dan mendapat pemihakan. Dimensi pangan tentu harus diperluas, bukan ha- nya pangan sebagai sumber karbohidrat, tetapi juga pangan sumber tein, sumber lemak nabati, sumber tepung, dan sebagainya. pro-
pasar

Secara ekososiologis, diversifikasi dan kedaulatan pangan tidak lagi ditangani oleh korporasi global, tetapi idealnya dikelola oleh korporasi dan komunitas petani. Sifat otonominya hanya memungkinkan akan mendapat penghargaan dari jaringan komunitas, termasuk dari disruptif yang berlandaskan mekanisme berbagi, berkolaborasi, beraplikasi, dan berbasis komunitas. Pangan dan produk pangan yang unik, beragam, dan spesifik lokasi harus dikreasi dan diinovasi agar bernilai tambah, terakses masyarakat, berdokumentasi, berlabel, dan memiliki barcode, sehingga dapat dikelola oleh lembaga layanan komunitas setingkat gudang dagang atau gudang cerdas yang berperan sebagai kolaborator untuk menghimpun, mempromosikan, dan memasarkannya ke berbagai pasar, baik secara fisik maupun virtual.

Hanya dengan jejaring komunitas, komoditas dan produk komunitas berkelanjutan, komoditas dan produk pangan yang dikreasi dan diinovasi berbagai negara dan benua. Agar mapan dan memiliki daya saing yang akan dihargai. Oleh karena itu, banyak komunitas harus dibentang ke padi hitam dan padi merah. Selain tepung sagu, ubi kayu, pisang, ubi ja- harus unik, spesifik, dan multifungsi. Selain padi putih, kembangkan juga gai produk turunannya. Selain daging ikan dan ternak segar, kreasikan lar, sukun, sorgum, hanjeli, dan lainnya, kreasikan dan inovasikan berba- dan inovasikan berbagai produk turunannya agar dapat diakses oleh kon- sumen secara luas. Berbagai pangan yang bersumber dari tanaman, ter- nak, dan ikan potensial diproduksi, jangan lagi terbelenggu kekakuan
konsep kelangkaan.

Secara geopolitik dan geostrategis, pemikiran kritis, pengalaman em- piris dan gagasan inovatif sistem, diversifikasi, dan kedaulatan pangan yang ditawarkan saudara Dr. E. Herman Khaeron, Ir., MSi ini sangat re- levan dengan upaya mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Hanya dengan pendekatan sis- tem, diversifikasi dan kedaulatan pangan dapat terwujudkan. Melalui diversifikasi dan kedaulatan pangan, dunia akan steril dari kelaparan, mewujudkan ketahanan pangan dan gizi, serta pertanian berkelanjutan. Bahkan, ikut mewujudkan tujuan 14 dan 15, yakni melestarikan ekosis- tem lautan dan daratan.

Secara akademik, buku ini dikonstruksi secara kuantitatif dan kualitatif, baik dari hasil review literatur, kajian deduktif dan induktif, analisis kritis, maupun berbagai kebijakan yang kental dengan Penulis selaku anggota DPR RI. Oleh karena itu, substansi buku ini direkomendasikan untuk dijadikan sebagai referensi, baik oleh para peneliti, akademisi, praktisi bisnis pangan, pengelola korporasi/komunitas petani pangan, penyuluh/pemberdaya masyarakat, pelaku kebijakan pada berbagai level pemerintahan, dan profesional pengembangan pangan. Pangan yang dimaksud tentu tidak hanya merujuk pada pangan yang ada di daratan, tetapi juga di perairan dan lautan.

Secara pribadi maupun institusi, kami menyambut baik terbitnya buku ini. Selain menambah referensi bagi para mahasiswa, dosen, dan peneliti, terutama terkait sistem pangan, diversifikasi pangan, kedaulatan pangan, dan pemapanan peradaban Indonesia memasuki era disrupsi dan bonus demografi, publikasi alumni juga diharapkan dapat berkontribusi terhadap promosi institusi. Sebagai wakil rakyat yang telah berpengalaman selama dua periode di Komisi IV DPR RI dan turut membidani lahirnya beberapa kebijakan pertanian, pemikiran kritis dan praktis Dr. E. Herman Khaeron, Ir., MSi tampak memberi warna mendalam dan arti membumi terhadap isi buku ini.

 

Bandung, Januari 2022 

Dr. Meddy Rachmadi, Ir., M.P.