Tuesday 24 September 2024

Selamat Hari Tani Nasional 2024

 


Dzikra Yuhasyra's eCommerce mengucapkan Selamat Hari Tani Nasional untuk seluruh Insan Pertanian Indonesia.. Sejahteralah Petani, Majulah Pertanian Indonesia!

Beberapa artikel yang bisa dibaca untuk sama-sama memperingati Hari Tani Nasional:

"Hari Tani: program subsidi pupuk perlu dirombak dan digantikan program pertanian ramah lingkungan"

https://dzikraecommerce.my.id/2024/09/01/hari-tani-program-subsidi-pupuk-perlu-dirombak-dan-digantikan-program-pertanian-ramah-lingkungan/

"Pertanian tak berkelanjutan menghambat petani beradaptasi dengan perubahan iklim"

https://dzikraecommerce.my.id/2024/09/24/pertanian-tak-berkelanjutan-menghambat-petani-beradaptasi-dengan-perubahan-iklim/

"Lestari dalam tradisi: menyelami aksi perempuan Kulon Progo merawat alam dan pangan dengan bertani"

https://dzikraecommerce.my.id/2024/09/24/lestari-dalam-tradisi-menyelami-aksi-perempuan-kulon-progo-merawat-alam-dan-pangan-dengan-bertani/

Dan artikel lainnya di Blogs Dzikra Yuhasyra's eCommerce!

Akang, Eceu, Teteh, Bapak, Ibu, teman-teman juga bisa mendapatkan e-Books tentang Pertanian, Bisnis, dan topik terkait di Dzikra Yuhasyra's eCommerce ya. Yuk dikunjungi 😊

https://dzikraecommerce.my.id

Dzikra Yuhasyra's eCommerce: Best Partners to Develop Your Agricultural Skills!

Pertanian tak berkelanjutan menghambat petani beradaptasi dengan perubahan iklim

Ica Wulansari, Paramadina University

Di tengah perubahan iklim yang kian ganas, petani di berbagai negara berjibaku untuk menjaga tanamannya tetap tumbuh dan produktif. Di Afrika Selatan, Kenya, Pakistan, Bangladesh, dan Malaysia, petani menggunakan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan, melakukan diversifikasi tanaman, menggunakan kalender tanam, melakukan konservasi air dan tanah, maupun menggunakan pupuk organik. Sementara itu, di Tanzania, petani juga giat mengembangkan benih lokal yang lebih tahan terhadap kekeringan. Pengembangan ini merupakan inisiatif mereka, guna melengkapi benih-benih rekomendasi pemerintah. Sayangnya, di Indonesia, inisiatif petani untuk beradaptasi belum dilakukan dalam skala yang masif. Upaya petani beradaptasi dengan perubahan iklim secara mandiri masih terbentur oleh sistem pertanian yang tidak berkelanjutan secara lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Beberapa contoh aspek dalam sistem ini adalah ketergantungan terhadap pupuk kimia, ketiadaan asuransi petani, dan seretnya pendampingan negara. Mandeknya inisiatif petani menyebabkan lahan-lahan pertanian kita semakin rawan gagal panen. Jika dibiarkan, kegagalan berulang akan menggerus ketahanan pangan, mengerek inflasi, hingga memarginalkan sektor pertanian Indonesia.

1. Ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida sintetis

Karena praktik-praktik tak berkelanjutan, sistem pertanian Indonesia sangat rapuh di segala sisi. Sebagai contoh, sistem pertanian kita amat menyokong penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis untuk menguatkan tanaman dari cuaca ekstrem dan hama. Sebagai gambaran, Indonesia adalah negara pemakai pestisida dan insektisida terbesar ketiga di dunia. Pemerintah pun memiliki program subsidi pupuk yang diarahkan ke komoditas pupuk kimia. Padahal, kedua praktik tersebut justru berisiko mencemari air dan tanah. Serangan hama juga berisiko meningkat karena mereka semakin resisten terhadap pestisida dan insektisida. Alhasil, tindakan tersebut menyebabkan maladaptasi—upaya adaptasi iklim yang salah sehingga berbalik merugikan lingkungan. Penelitian saya di Jawa Barat menemukan pupuk dan pestisida semakin berlebihan saat kekeringan melanda. Ini pun terjadi karena persoalan sistem pertanian Indonesia lainnya, yaitu minimnya penyuluhan pertanian. Alih-alih mempromosikan pemakaian pupuk organik, saya menemukan penyuluh pertanian justru berkomplot dengan agen perusahaan pupuk dan pestisida untuk meraup konsumen dalam jumlah besar.

2. Irigasi tidak memadai

Sistem pertanian kita juga tidak didukung oleh sistem irigasi yang memadai. Sekitar 46% infrastruktur irigasi Indonesia rusak. Pengelolaan irigasi juga masih belum fleksibel—dengan aliran air yang konstan. Pengelolaan ini justru tidak efisien dan berisiko melepaskan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat menangkap karbon di atmosfer.

3. Minimnya kehadiran negara

Kehadiran negara pun hampir tidak terasa dalam sistem pertanian. Hal ini terbukti dari minimnya akses petani terhadap informasi seputar sistem dan teknologi informasi cuaca dan iklim. Petani juga semakin terjepit lantaran tidak mendapatkan kemudahan akses kredit bertani, akses pasar, dan ketiadaan subsidi pertanian. Tak hanya itu, saat petani gagal panen, mereka tidak mendapatkan perlindungan sosial memadai dari negara. Program asuransi pertanian yang melindungi petani dari gagal panen hanya untuk pembudi daya padi. Ditambah lagi, peserta asuransi pun terus menurun dari tahun ke tahun. Di tengah keterbatasan itu semua, petani akhirnya terdesak. Mereka kemudian memilih jalan pintas dengan menjual lahan pertanian lantaran tidak sanggup melakukan budi daya. Ini terjadi di Bengkulu yang kehilangan 74% persen sawah, ataupun migrasi tenaga kerja ke sektor nonpertanian di Kabupaten Minahasa Utara.

Evaluasi besar-besaran

Pemerintah perlu melakukan evaluasi sistem pertanian Indonesia besar-besaran untuk mengakomodasi upaya-upaya petani beradaptasi dengan perubahan iklim. Evaluasi harus mencakup telaah ketahanan sistem pertanian dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, ketahanan sistem dapat kita amati dalam waktu hitungan pekan maupun bulan, seperti dampak temperatur, curah hujan, pilihan tanaman, dan kegiatan bertani baik on farm (langsung di sawah maupun kebun) maupun off farm (di luar sawah maupun kebun, seperti di pabrik industri agro, fasilitas pengolahan, dan sebagainya). Perbaikan dapat dilakukan dengan membangun sistem penyebaran informasi cuaca dan iklim yang mudah diakses dan dipahami petani setiap waktu. Langkah lainnya adalah mengakomodasi petani untuk mengembangkan benih secara mandiri—agar lebih sesuai dengan kondisi lokal dan tahan iklim. Adapun jangka menengah meliputi skala waktu tahun yang mengamati perubahan metode produksi pertanian, perubahan kepemilikan lahan pertanian, maupun keterlibatan dalam komunitas sosial. Terakhir, jangka panjang meliputi hitungan waktu dalam lingkup tahun hingga dekade. Ini terkait kondisi lahan organik, erosi tanah, degradasi struktur tanah, dan berubahnya pola penghidupan bertani. Penguatan ketahanan sistem pertanian jangka menengah dan panjang tidak bisa dilakukan dalam semalam. Indonesia membutuhkan investasi untuk pengembangan riset dan teknologi. Misalnya, penelitian dan pengembangan lebih banyak benih-benih yang tahan terhadap cuaca ekstrem dan serangan hama. Terakhir, pemerintah juga dapat menggalakkan pertanian organik untuk menyehatkan praktik pertanian kita sekaligus ketahanan dalam jangka panjang.The Conversation  

Ica Wulansari, Lecturer of International Relations, Paramadina University  

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Lestari dalam tradisi: menyelami aksi perempuan Kulon Progo merawat alam dan pangan dengan bertani

Zulfa Sakhiyya, Universitas Negeri Semarang; Agung Ginanjar anjaniputra; Girindra Putri Dewi Saraswati, Universitas Negeri Semarang; Rini Astuti, Australian National University; Sri Sumaryani, dan Zuhrul Anam, Universitas Negeri Semarang

Pengetahuan perempuan atas bahan makanan, termasuk cara mendapatkan dan mengolahnya, berkontribusi pada tercukupinya pangan keluarga. Namun, Revolusi Hijau sejak 1960-an yang mendewakan produktivitas pertanian justru mengabaikan peran penting ini, termasuk praktik pertanian oleh perempuan. Alih-alih meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, Revolusi Hijau berdampak negatif secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Petani laki-laki mendominasi kepemilikan, pengolahan tanah, dan pengambilan keputusan terkait sawah. Sementara itu, perempuan hanya ditempatkan menjadi pendukung aktivitas pertanian. Kini, di tengah iklim yang berubah, peran perempuan sebenarnya dapat menjadi solusi untuk menjamin ketersediaan pangan. Melalui penerapan pertanian lestari, misalnya, perempuan bisa memastikan anggota keluarga mendapatkan asupan makanan sehat tanpa mencederai alam sebagai sumber penyedianya. Kami bekerja sama dengan Solidaritas Perempuan Kinasih mempelajari aktivitas Karisma, kelompok petani perempuan yang berbasis di Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 2006. Dengan pendekatan feminist participatory action research (FPAR), kami mengidentifikasi langkah petani perempuan dalam melakukan praktik-praktik pertanian lestari sebagai bentuk kritik terhadap sistem pertanian konvensional sekaligus usaha untuk mewujudkan pertanian yang adil. Sejauh ini, kami menemukan petani Karisma menerapkan praktik pertanian lestari melalui penggunaan bibit lokal, pupuk organik, dan sistem pranata mangsa (kalender tanam tradisional masyarakat Jawa). Ketiganya merupakan praktik tradisional yang telah dilakukan secara turun-temurun dan ramah lingkungan. Penerapannya menyesuaikan dengan kondisi alam dan situasi masyarakat sekitar. Implementasi dari ketiga metode tersebut juga turut meningkatkan perekonomian dan relasi sosial para petani perempuan.

1. Benih lokal

Perempuan petani Karisma menggunakan benih lokal untuk semua tanaman yang mereka tanam seperti padi, ketela, pisang, dan kacang. Pemilihan benih lokal sesuai dengan kekhasan komposisi tanah, kelembapan, suhu, dan kekuatannya terhadap hama di setiap daerah. Petani Karisma sempat mencoba menggunakan benih impor yang dijual di toko. Namun, benih tersebut ternyata tidak memiliki hasil maksimal karena tidak bisa beradaptasi dengan perubahan suhu, cuaca dan serangan hama. Ketergantungan pada pupuk kimia juga menyebabkan daya tahan tanaman terhadap hama jadi lemah. Bibit lokal pun digunakan upaya petani Karisma untuk berdaulat tanpa ketergantungan terhadap benih asing. Dalam anggapan mereka, pertanian lestari perlu menonjolkan keunikan benih lokal. Harapannya, benih ini tumbuh lalu memiliki hasil panen yang unik dan karakternya sesuai dengan kondisi lingkungan di Kalibawang. Petani Karisma juga menyaksikan bahwa, secara turun temurun, benih yang berasal dari tanaman yang dipanen sebelumnya menghasilkan panen berkualitas. Sebab, benih tersebut sudah beradaptasi dengan iklim dan cuaca di Kalibawang. Sekalipun begitu, banyak benih lokal yang sudah hilang sejak Revolusi Hijau karena digantikan oleh benih impor. Misalnya, benih padi makmur—yang menjadi unggulan di Kalibawang sebelum Revolusi Hijau—sudah tidak pernah terlihat lagi saat ini. Petani Karisma mengenang padi ini tumbuh tinggi dan berumur panjang. Saking tingginya, orang yang sedang memanen padi di tengah sawah bisa tidak terlihat. Kelompok petani Karisma kemudian mencoba menghidupkan dan menanam bibit lokal kembali. Dalam praktiknya, petani karisma mendistribusikan benih dan bibit dalam kelompok dengan saling berbagi dan bertukar benih dan bibit untuk melestarikan kearifan lokal. Padi menjadi komoditas utama yang dilestarikan oleh petani Karisma. Saat ini terdapat lima jenis benih unggulan lokal yang masih ditemukan dan ditanam oleh para petani, yaitu padi merah, pandan wangi, berong, mentik susu, dan rojolele. Dari ragam benih tersebut, mentik susu dan rojolele adalah bibit yang dianggap paling unggul. Komoditas lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah pisang. Jenis pisang yang dibudidaya jumlahnya juga lebih beragam daripada padi. Beberapa di antaranya adalah pisang ambon, kepok, susu, uli, raja sereh, nangka, dan agung. Petani Karisma juga mengolahnya menjadi produk makanan untuk meningkatkan nilai jualnya, misalnya menjadi salai pisang.

2. Pupuk organik

Pertanian lestari oleh kelompok Karisma bertumpu pada penggunaan pupuk organik. Untuk menyuburkan tanah dan memacu pertumbuhan tanaman, mereka menggunakan pupuk organik padat maupun cair secara getok-tular, alias belajar bersama antarpetani Karisma. Mereka membuat pupuk padat dari kompos, abu dapur, dan kotoran hewan. Pupuk ini baru bisa mereka gunakan setelah difermentasi selama sepekan. Selain itu, petani juga menggunakan bahan-bahan alami seperti gula jawa, buah-buahan, dedaunan, batang tanaman atau pohon dan berbagai jenis bunga untuk menyuburkan tanah. Sementara itu, petani menggunakan pupuk cair berupa ekoenzim. Kelompok Karisma buat enzim organik sendiri dengan tetes tebu, buah-buahan, dan sayuran yang dicampur dan difermentasi selama tiga bulan. Penggunaan ekoenzim dan pupuk organik ini membuat pohon menjadi subur dan dapat berbuah dengan kualitas yang baik. Pupuk ini juga tidak mencemari air, udara, dan tidak mematikan rantai makanan seperti efek pupuk kimia.

3. Pranata mangsa

Masyarakat Jawa dan petani Karisma tak hanya menggunakan Pranata mangsa untuk menentukan waktu tanam yang tepat. Mereka juga memakai kalender tanam tradisional ini untuk melihat cuaca, ketersediaan air, kelembaban tanah, hama, dan jenis tanaman yang cocok. Petani Karisma memiliki tiga musim tanam dalam setahun. Ini terdiri dari dua masa tanam (September-Januari dan Februari-Juni) untuk menanam padi, dan satu masa tanam (Juli-Agustus) untuk menanam palawija maupun sayuran seperti jagung, cabai, sawi, pisang, dan mentimun. Ini sejalan dengan Peraturan Bupati Kulon Progo No. 39 Tahun 2021 tentang Tata Tanam Tahunan Periode 2021-2022. Dalam praktiknya, Kelompok Karisma sering mengistirahatkan ladang mereka pada masa tanam ketiga agar tanah kembali subur dan lestari untuk masa tanam berikutnya.

Merawat Karisma di tengah krisis iklim

Inisiatif berkelanjutan petani Karisma memang berkontribusi terhadap kelestarian pangan lokal dan lingkungan di sekitarnya. Namun, praktik baik ini berisiko terganggu akibat perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, serta ketidakpastian musim hujan dan kemarau. Populasi hama juga menjadi tak terkendali. Situasi tersebut diperparah oleh persoalan pertanian seperti kemiskinan petani akibat gagal panen, harga jual panen yang rendah, dan subdisi pupuk kimia bagi petani. Kebijakan dan program pemerintah sepatutnya dapat memastikan keberlangsungan kehidupan petani, khususnya skala kecil, seperti petani Karisma. Pemerintah perlu memperkuat pengetahuan dan keterampilan petani dalam menghadapi krisis iklim. Selain itu, kita juga perlu program secara sistemik untuk berhenti menggunakan pupuk kimiawi yang menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca sehingga memperparah krisis iklim. Pemerintah juga dapat merumuskan inisiatif untuk mengembalikan varian benih lokal yang beragam, merumuskan kebijakan susbidi petani yang memadai, serta memberikan reward kepada para petani lestari yang konsisten melestarikan Bumi.  

Sana Ullaili, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Kinasih berkontribusi dalam penelitian dan penulisan artikel ini.The Conversation Zulfa Sakhiyya, Communication Director of ALMI, and Associate Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang; Agung Ginanjar anjaniputra, Lecturer and researcher at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang; Girindra Putri Dewi Saraswati, Lecturer in English Education, Universitas Negeri Semarang; Rini Astuti, Research Fellow, Australian National University; Sri Sumaryani, Lecturer at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang, dan Zuhrul Anam, Lecturer in English Language and Literature, Universitas Negeri Semarang

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.