Monday 31 July 2023

FOOD SECURITY oleh Rhenald Kasali - Founder Rumah Perubahan. Sebuah Tulisan Arsip Lama dari LINE VOOM di Tahun 2017

Selain tulisan mengenai "petani yang terancam punah" yang sebelumnya saya post sebelum postan ini, salah satu tulisan yang ingin posting kembali dari arsip LINE VOOM saya di tahun 2017 adalah tulisan mengenai Food Security dari Pak Rhenald Kasali. Semoga menjadi tulisan ini jadi pengingat bahwa kita harus terus memperbaiki sektor pertanian di Indonesia dengan langkah-langkah kecil yang bisa kita lakukan. Selamat menyimak!


 FOOD SECURITY

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

 

 

Bila dua-tiga bulan lalu bangsa ini heboh membicarakan energy security, maka sebulan terakhir kita sibuk membicarakan pangan. Food dan energy adalah sebuah kesatuan, apalagi sekarang bahan-bahan  pangan mulai dijadikan pengganti energy.  CPO, kedelai, biji bunga matahari, jagung, tebu, ketela, gandum, dan sebagainya kini di dunia mulai dialihkan menjadi bioenergy yang harganya terus melonjak. Kalau harganya terus melonjak, dan sebagian besar tanaman itu bisa ditanam di sini, mengapa justru mengalami kerawanan? Kalau pertanian Indonesia ingin maju, maka berikanlah keuntungan yang positif dan harga jual yang bagus bagi produk-produk pertanian Indonesia. Ini berarti, batasi impor dan jangan manjakan konsumen. Tetapi kita sepertinya ingin mendapatkan keduanya: Pertanian maju, tetapi harganya harus murah dan konsumen harus senang.


Surplus Tetapi Miskin


Ketahanan pangan menjadi masalah besar justru di negara-negara Asia, yang menurut Bank Dunia mengalami pengurangan kemiskinan yang signifikan. Menurut FAO (2009), sepanjang 2003-2005 saja, terdapat 541,9 juta penduduk Asia yang kekurangan gizi. Mengapa pertumbuhan ekonomi disertai kerawanan pangan? Ambil contoh saja di Thailand dan Vietnam yang mati-matian mengembangkan konsep ketahanan pangan sejak 30 tahun lalu. Di kedua negara ini sektor pertanian mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang lahan-lahan pertaniannya beralih ke properti dan industri, di kedua negara itu lahan-lahan pertanian justru diperluas dan irigasi diperbaiki. Keduanya surplus pangan dalam jumlah besar. Pada tingkatan makro, pertaniannya maju pesat. Namun pada tingkatan rumah tangga para petani tetap kesulitan hidup dengan layak dari sektor pertanian. Mereka lebih menjadi net buyer yang hanya bisa membiayai sepersepuluh konsumsinya dari hasil pertanian (Isvilonanda & Bumyasiri, 2009).

Demikianlah, pangan adalah masalah yang sangat serius, semakin kompleks dan butuh perhatian lintas sektoral. Tidak cukup diatasi oleh penghapusan bea masuk seperti yang dilakukan pemerintah terhadap impor kedelai. Pangan adalah masalah ketahanan yang rumit. Konsep pertahanan-keamanan yang dulu berarti tentara dan senjata, kini bergeser ke pangan dan energi.  Dan lihatlah betapa kita kedodoran mengelola ketahanan pangan yang menyangkut apa saja.  Tahun lalu cabai saja sampai menjadi agenda  pembicaraan yang hangat di istana. Lalu dalam perekonomian kita muncul masalah daging sapi, gula, garam, ikan kembung, beras, bahkan bawang merah.  Kini kedelai.  Sebanyak 150.000 anggota koperasi tahu tempe hari-hari ini tengah melakukan aksi mogok ketika harga kedelai melonjak dari Rp5000 menjadi Rp8000 per kilogram.  Meski semalam saya masih bisa menikmati tahu-tempe, ada rasa was-was, bukan khawatir kehilangan keduanya, melainkan khawatir anak-anak kita kelak akan kesulitan makan karena negeri ini tak memiliki konsep ketahanan pangan yang jelas.

Semakin Kerdil

Selain data yang sudah banyak dipaparkan para ahli, mari kita membaca insight berikut. Menurut kamus, insight adalah a clear or deep perception of a situation.  Atau bisa juga perasaan subjekif yang bisa dibaca dari sebuah situasi.  Namanya juga subjektif, jadi bisa terbaca, bisa juga tidak. Bisa terbaca A, bisa juga terbaca B.  Tetapi mari kita renungkan baik-baik, dan coba lebih gunakan insight  untuk melihat peluang yang mungkin timbul dari masalah besar ini, daripada memperbesar masalah itu sendiri. Kata orang bijak, bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang bisa melihat kesempatan dari setiap kesulitan. Dan pemenangnya adalah bangsa yang berani berselancar dalam gelombang ketidakpastian. 

Sedangkan bangsa yang selalu kalah adalah bangsa pengeluh yang hanya mau menjelajahi dunia yang pasti-pasti saja, lalu menyalahkan orang lain atas masalah yang ia buat.  Bangsa yang demikian akan selalu kalah, dan pemimpinnya gemar melempar kesalahan pada orang lain.  Ketimbang mengatakan, "saya yang salah", mereka akan selalu mengatakan, "itu bukan kesalahan saya." Sudah salah dan menyangkal, mereka pun mengulangi kesalahan yang sama bekali-kali. Saya kira tulisan ini tidak dimaksudkan menghadirkan keluhan atau sikap pecundang. 

Insight dari Dapur Rumah Makan Sunda tempat saya biasa menikmati makan enak menunjukkan, ada sesuatu yang tak beres pada pangan-pangan kita.  Berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang berupaya keras menghadirkan buah-buahan dan sayuran yang lebih besar dan lebih manis,  saya justru menemukan pangan lokal yang sebaliknya.  Kedelai impor semakin hari semakin bagus, sedangkan kedelai lokal semakin kuntet.  Petai padi yang dulu besar-besar, kini semakin mengecil.

Demikian juga dengan ikan pepes (ikan peda) yang dulu besar-besar, kini hanya daun pembungkusnya saja (daun pisang) yang besar. Rasanya semua ini berlaku pada hampir semua panganan kita. Kue pisang juga semakin kerdil dan pisangnya sepet. Sekalipun makannya di hotel berbintang lima. Bakso yang di jajakan keliling juga semakin kecil, dan rasa dagingnya semakin tak terdeteksi lidah. Kata pemilik restoran bukan hanya ukuran yang mengecil, keharumannya juga berkurang.  

Saya berbicara dengan para petambak ikan, mereka pun mengaku alam dan pakan sekarang sudah tidak bersahabat.  Air dari sungai sudah rusak, pencemaran luar biasa ganas karena pabrik celana jeans yang beroperasi tidak jauh dari tambak sering membuang limbah pewarna ke sungai. Ikan-ikan sulit menjadi besar. Di Waduk Jangari-Cirata saja, yang menjadi pusat  ikan mas Jawa Barat, sudah dikepung oleh sampah.  Lebih mengerikan lagi, harga pakan ikan pun sudah terlalu mencekik. Maka supaya bisa tetap untung panen pun dipercepat.  Itu pulalah yang tampaknya dilakukan petani (termasuk petai dan cabai), memanen hasil tanaman lebih cepat dari yang seharusnya agar bisa meraih untung. Apalagi akibatnya kalau bukan kuntet?

Sementara di dunia internasional, perubahan iklim bisa merubah peta suplai secara tiba-tiba. Kalau sudah begini, bangsa yang menang hanyalah bangsa yang proaktif. Artinya menanam jauh-jauh hari. Bukan seperti sekarang, ribut menanam kedelai pada ribuan hektar saat harganya sedang mahal. Lalu apa akibatnya dua-tiga bulan lagi saat panen beramai-ramai? Insight ini menunjukkan bahwa pertanian sudah tidak lagi menjadi sektor yang gurem.

Pertanian justru akan menjadi sektor yang mengalahkan sektor-sektor lainnya. Apa artinya mempunyai emas kalau tak bisa mendapatkan makan? Tetapi dalam masa transisi jelaslah suatu bangsa harus bisa menciptakan kondisi hasil investasi (Internal Rate of Return) pada sektor pertanian yang positif. Saat ini saja dunia perbankan cenderung alergi pada sektor pertanian. Ini berarti diperlukan perubahan kebijakan agar petani mau kembali menjadi petani. Syaratnya, ya sederhana saja, berikan IRR yang positif dan besar. 

Saya ingin menutup dengan insight lain dari para pedagang pangan. Bagi mereka kenaikan harga adalah wajar, tetapi khusus mulai 2012, kenaikan pangan yang biasa terjadi di bulan Ramadhan kini bergerak jauh lebih cepat 1-2 bulan sebelumnya. Lebih jauh lagi, bila sebelum 2005 dari 365 hari berdagang mereka kalah sebanyak 80 hari (karena cost lebih besar dari price), maka sejak 2005 ke sini, hari kekalahan terus membesar dan membesar. Tahun ini telah menjadi 150 hari kalah. Masih positif sih. Tetapi itu lampu kuning yang sebentar lagi menjadi merah. Artinya, ada masalah yang harus kita benahi bersama. Artinya food kita sedang tidak secure. Artinya selain banyak masalah, ya banyak peluang.

PETANI, SEBUAH PROFESI YANG (MUNGKIN) AKAN PUNAH (?) oleh djodjobedjodirodjo - Kompasiana. Sebuah Tulisan Arsip Lama dari LINE VOOM di Tahun 2017

Saya teringat dan ingin menuliskan kembali salah satu tulisan arsip lama yang saya tulis di Timeline LINE atau yang sekarang disebut LINE VOOM. By the way, pada saat menjadi mahasiswa sarjana dan berkuliah, saya lebih sering menggunakan aplikasi LINE dibandingkan aplikasi yang lain dan seringkali menulis di sana, termasuk menulis tentang topik pertanian. Tulisan mengenai petani ini saya ambil dari Kompasiana. Jadi mari kita simak bersama tulisan yang menurut saya menggelitik ini. Selamat menyimak!

Menjadi Petani? Menarik. Sulit. Jadi?
 

PETANI, SEBUAH PROFESI YANG (MUNGKIN) AKAN PUNAH (?)

djodjobedjodirodjo - Kompasiana

 


Lebay? Mungkin bisa dikatakan ya, tapi inilah pembuka yang hangat yang memantik kenyamanan kita untuk sedikit gundah memperhatikan nasib petani, dalam konteks di sini petani yang menggarap sawah. Penulis bertanya, petani itu apakah suatu pekerjaan yang enak? Kalau para pembaca menjawab “iya”, berarti Anda sudah siap untuk merasakan ‘enaknya’ menjadi petani. Proses ‘olah raga’ itu dimulai ketika petani menyiapkan lahan dengan membajak sawah, menabur bibit padi, menyemai, dan memanam satu per satu benih. Setelah tumbuh, petani harus menyiangi rumput yang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya benih, kemudian ngrabuk (yang konon pupuk bersubsidi tetapi tetap saja harganya mahal) supaya tanaman subur dan menghasilkan banyak buliran padi. Belum lagi kalau hama menyerang, entah itu wereng lah, keong lah, burung emprit lah, tikus lah, ah sudahlah. Petani mau gak mau membutuhkan obat pestisida untuk menyemprot padinya supaya terbebas dari hama wereng, butuh membuat orang-orangan sawah dan setia menunggui padi dari ‘pencurian’ yang dilakukan oleh burung pipit. Dan juga, harus rajin gropyokan apabila ada hama tikus mengganas.

Ibarat sekolah, petani ini mengalami banyak sekali ‘pekerjaan rumah’, ‘les tambahan’, dan juga ‘tes’ supaya dapat lulus sampai tiba waktu panen. Pada waktu panen tiba pun, biasanya yang punya gawe akan dikerubungi buruh dadakan yang ikut “membantu” dan mau tidak mau petani mengeluarkan upah bawon. Sudah selesai? Ternyata belum. Petani harus menjamin gabah setelah dirontokkan harus kering benar supaya laku dan dihargai oleh para tengkulak. Berakhir? Belum juga. Petani harus menghadapi final examination, yaitu: harga gabah. Hal yang menyayat hati adalah apabila dengan pengorbanan yang demikian besar tersebut, harga gabah ternyata jatuh dan pada akhirnya malah tidak menutupi ongkos produksi. 

Dengan bercermin kondisi yang demikian, penulis kadang berpikir, jika generasi penerus lebih memilih untuk mencari profesi baru yang lebih menjanjikan, lalu, apa yang terjadi kemudian dengan kelangsungan hidup profesi petani? Pakdhe Ngatimin dan Paklik Sagiman adalah ‘sisa-sisa’ penduduk yang berkutat mempertahankan ‘tradisi’ di luar kebanyakan orang yang setelah lulus sekolah kemudian merantau ke kota. Mereka adalah ‘pewaris’ status agraris yang konon masih melekat identitasnya atas negeri ini. Mereka adalah generasi penerus pendekar pangan di saat orang-orang lain yang ‘lebih pintar dan terpelajar’, yang karena entah punya kesempatan atau memang karena tidak punya lahan lagi, akhirnya, meninggalkan lumpur dan aroma harum busuknya jerami untuk mendapatkan jalan hidup yang ‘lebih mapan’ dengan mencari pekerjaan ‘terhormat’ di tempat yang lebih modern sebagai seorang: Buruh! Dengan profesi itulah, mereka menikmati ‘kenyamanan hidup’ berupa penghasilan teratur yang mereka terima setiap bulan, tanpa harus terpanggang sengatan matahari dan guyuran hujan. 

Fenomena yang jamak terjadi ini sebenarnya tidak bisa lepas dari stigma yang melekat pada diri petani dan kondisi yang menyebabkan profesi ini sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan hal yang melelahkan, memprihatinkan, dan kurang menjanjikan. Walaupun tidak semua demikian, penulis yakin lebih banyak yang beranggapan seperti itu. Bahkan, kakek penulis pun ketika masih sugeng dengan berapi-api menceritakan perjuangannya ketika masih muda dalam membesarkan anak-anaknya, bercita-cita supaya mereka, anak-anaknya dan kelak cucu-cucunya (termasuk penulis), jangan sampai mengalami dan merasakan kesusahan hidup seperti dirinya melainkan menggapai hidup yang ‘lebih mulia’ dan menjadi ‘orang’. 

Dan benar saja, kegigihan kakek sebagai petani membiayai 7 anaknya meniti jalur sekolah sampai SLTA, sukses membawa mereka menjadi ‘orang’, dan satu dari antara mereka mungkin yang paling ‘rendah derajatnya’ adalah bapak penulis yang ‘hanya’ berprofesi sebagai seorang: Guru SD! Penulispun, karena ingin mencari jalan pintas, maka memilih untuk ikut pendidikan kedinasan yang mewajibkan bekerja pada institusi tertentu setelah lulus. Dan, jadilah kini penulis sebagai ‘buruh’ negara. Baik. 

Mari kita tinggalkan cerita kakek saya, berganti ke hal yang menggelisahkan. Kegalauan penulis dimulai tatkala menelisik fakta yang sangat memprihatinkan ketika: generasi penerus terus-menerus berbondong-bondong ke kota; sawah-sawah terkonversi menjadi pabrik dan perumahan ibarat sawah thukul omah, bukan padi atau tanaman hijau lainnya; adanya permainan harga pupuk dan harga gabah panen, dan juga faktor alam yang tidak bisa dihindari karena musim yang tidak jelas. Tidak bisa dipungkiri bahwa akibat industrialisasi, terjadi pergeseran pola kependudukan. Pabrik-pabrik dan perkantoran yang bermunculan luar biasa banyaknya karena ‘undangan’ investasi dari pemerintah seakan melambai-lambaikan tangannya dan memberi harapan yang lebih kepada generasi muda akan hidup yang lebih mapan. Di sisi lain, pertumbuhan jumlah penduduk juga membuat lahan garapan semakin sempit. Sejurus, mulailah generasi penerus ini mengubah arah hidupnya, dan tragisnya, berbondong-bondong meninggalkan sawah. Yang tidak ikut arus ini, tentu tersisa dengan tetap setia menggarap sawah, bagi yang punya; atau menggarap sawah orang lain dan bekerja serabutan di desa supaya asap dapur tetap terjaga. 

Berkurangnya generasi petani ini, entah di luar dugaan atau diperkirakan sebelumnya, ternyata sangat mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari hasil sensus yang dilakukan oleh BPS (Tempo, 2013) yang mengungkapkan data bahwa terjadi penurunan jumlah rumah tangga petani dari 31,17 juta rumah tangga pada tahun 2003 menjadi sekitar 26,13 juta rumah tangga pada tahun 2013. BPS menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani. (Menghela nafas). Bagaimana dengan 10 tahun ke depan, apakah kita dapat memprediksinya, ataukah nanti petani itu hanyalah tinggal sebagai ‘makhluk langka’ yang perlu dilestarikan di suatu ‘cagar alam’? Patut diingat bahwa hal ini sangat berbanding terbalik dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang dari tahun 2003 sampai 2013 saja tumbuh dari sekitar 215 juta jiwa menjadi lebih dari 250 juta jiwa. 

Ironis memang, di tengah adanya peningkatan jumlah penduduk yang demikian besar dan membutuhkan ketersediaan pasokan pangan yang memadai, tidak diimbangi dengan pertumbuhan jumlah petani yang memproduksi pangan. Penulis, atau siapapun yang peduli akan nasib petani dan ketahanan pangan harus menahan napas dalam-dalam karena kondisi seperti ini cukup menyesakkan dada. 

Berbekal pengalaman hidup selama 2 tahun tinggal di negeri ‘Saudara Tua’, penulis dapat menggambarkan bahwa betapa enaknya menjadi petani di sana. Salah satu petani yang penulis kenal, Satoshi Wada, bahkan memiliki 2 mobil yang di sini pegawai pajak pun harus berpikir ulang untuk membeli Honda All New Jazz, dan satu lagi mobil mewah! Penulis hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Apa rahasianya? Ternyata profesi petani dan hasil pertanian sangat dilindungi oleh pemerintah Jepang. Harga beras dijamin tinggi oleh pemerintah, sehingga mereka memperoleh hasil yang memuaskan walaupun di beberapa daerah tertentu karena keterbatasan musim tanam, mereka hanya panen sekali dalam setahun. Para petani, yang rata-rata juga usia tua pun, menikmati profesi ini karena tidak melelahkan. Satu-dua hektar untuk menanam atau memanen hanya butuh hitungan kurang dari tiga jam, tidak lebih, dilakukan seorang diri atau dua orang. Pula, proses penanaman sampai panen pun dilakukan secara mekanik. Petani tinggal duduk manis di atas mesin, menyetting bibit padi muda, mesin dijalankan dan, tatdaaaa, benih akan ditanam secara otomatis. Panen pun demikian, petani tinggal naik traktor, menjalankan mesin, dan buliran padi pun akan tertampung di bagian traktor, dan jerami akan sendirinya tersisih dengan berhamburan keluar ditebas mesin. Menakjubkan sekali! 

Sementara itu, di pelosok desa, menanam padi bisa membutuhkan 5 – 10 orang. Dengan berjajar, mereka bergerak menanam satu per satu benih semaian dengan jarak teratur. Demikian pula waktu panen. Bermodalkan alat tradisional berupa sabit, para pekerja memotong padi, mengumpulkan menjadi berkas-berkas, lalu dirontokkan secara manual untuk memisahkan buliran padi dari jerami. Hal ini biasa dilakukan dari pagi hari sampai sore hari. Demikianlah proses ini berlangsung, dari sejak jaman Majapahit belum ada perubahan yang berarti. Menyedihkan sekali! Penulis berpikir, apakah tidak ada usaha pemerintah untuk mengubah situasi ini menjadi lebih baik? Penulis yakin ada, namun belumlah signifikan. Program yang sering terdengar adalah penemuan dan penggunaan secara massal bibit baru yang terkenal tahan hama dan menghasilkan bulir yang banyak. Tujuannya adalah tidak lain dan tidak bukan: untuk meningkatkan produksi. Namun, bagaimana dengan permasalahan sumber daya manusianya, apakah akan menutup mata apabila petani dalam kurun waktu satu periode mendatang akan habis? Atau bahkan kita juga latah dengan membuka kran impor tenaga petani dari negara-negara miskin untuk mengerjakan tanah kita? Ataukah terus-menerus mengimpor beras dengan dalih bahwa beras impor lebih murah dari pada beras lokal? Mengerikan sekali! 

Pemerintah harus lebih peka terhadap nasib petani. Patut dicamkan bahwa para petani ini adalah ‘makhluk’ yang paling sabar dalam menjalani profesinya. Walaupun gagal panen berkali-kali, pukulan harga gabah yang anjlok, lelahnya mengolah sawah, mereka tetap menjalani proses dan terus berkarya. Jika saja mereka seperti buruh manja yang banyak demo, mogok, dan menuntut, maka dapat dibayangkan apabila petani ini ‘ngambeg’. Stok pangan habis, harga makanan pokok mahal, devisa negara jebol, dan lain-lain, dan pada akhirnya, adalah suatu keniscayaan kalau bangsa ini bakal runtuh, hanya karena tidak punya ketahanan produksi pangan. Ah, semoga tidak, karena ini adalah kegalauan hati penulis.