Wednesday 18 September 2024

Etnoagrikultur: Integrasi Praktik Pertanian Berkelanjutan dan Budaya Kearifan Lokal; Studi Kasus Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat

Kampung Adat Cireundeu


Akbar Primasongko, Reza Raihandhany, dan Dzikra Yuhasyra

Pertanian berkelanjutan merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini berfokus pada menjaga keseimbangan antara produktivitas pertanian dan kelestarian lingkungan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi tanah, air, serta keanekaragaman hayati. Seiring dengan perkembangan zaman, praktik pertanian modern seringkali mengabaikan aspek keberlanjutan, sehingga mengakibatkan degradasi ekosistem. Oleh karena itu, upaya untuk mengintegrasikan kembali nilai-nilai berkelanjutan dalam pertanian menjadi semakin penting.

Di sisi lain, kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat adat seringkali mengandung pengetahuan dan praktik yang mendukung prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. Kearifan lokal ini diwariskan secara turun-temurun dan telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Banyak masyarakat memiliki praktik etnoagrikultur yang mengintegrasikan pertanian berkelanjutan dengan budaya lokal. Melalui studi kasus mengenai topik ini, kita dapat melihat bagaimana etnoagrikultur menjadi model yang relevan dalam konteks pertanian modern yang semakin terancam oleh perubahan iklim dan praktik agrikultur yang tidak ramah lingkungan.

Melalui turunan pendekatan multidisiplin ilmu etnobiologi yang memadukan keilmuan sains terapan dan sosial, etnoagrikultur hadir dalam perannya yang lebih mendalam pada ranah pertanian. Jadi, apakah itu etnoagrikultur? Sederhananya, etnoagrikultur terdiri dari dua kata, yakni etno yang berarti budaya dan agrikultur yang berarti pertanian, sehingga dapat dikorelasikan bahwasannya etnoagrikultur merupakan suatu integrasi praktik pertanian yang dipadukan dengan kebudayaan atau kepercayaan. Menurut Karnarajan & Natarajan (2019), etnoagrikultur merupakan suatu akumulasi informasi pengetahuan dan perilaku dalam praktik pertanian tanpa mengganggu sumberdaya alam serta lingkungan. Konsep etnoagrikultur menggabungkan identitas budaya suatu kelompok dengan praktik pertanian (Supiyati, 2016). Masyarakat biasanya menerapkan praktik-praktik etnoagrikultur di lingkungannya untuk meningkatkan kepercayaan sosial dan budaya. Dengan kata lain, etnoagrikultur merupakan suatu manajemen pertanian berbasis budaya maupun kearifan lokal. Selain itu, konsep etnoagrikultur memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah model pengelolaan sumber daya alam lokal secara berkelanjutan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia sebagai salah satu strategi dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Penerapan konsep etnoagrikultur sudah kerap dilakukan oleh sejumlah Masyarakat, khususnya masyarakat adat di Indonesia, salah satunya yang dekat berada sekitar kita, yaitu terdapat di Kampung Adat Cireundeu yang berlokasi di Kota Cimahi, Jawa Barat. Bentuk etnoagrikultur yang dipraktikan oleh komunitas tersebut adalah pemanfaatan singkong (Manihot esculenta) sebagai makanan pokok (Patriasih, Wigna, Widiaty, & Dewi, 2011). Praktik ini sudah dilakukan secara turun-temurun dalam kurun waktu 100 tahun. Singkong tersebut diolah menjadi “rasi” atau beras singkong yang memiliki tekstur dan rasa seperti beras padi. Selain rasi, masyarakat di Kampung Adat Cireundeu juga mengolah singkong menjadi bahan makanan lainnya seperti kue kering, kue basah, keripik, bubur, rujak, dan dendeng (Mu'min, 2020). Hingga saat ini, makanan pokok di Kampung Adat Cireundeu adalah singkong yang diolah menjadi rasi, bukan nasi sebagaimana kebanyakan di wilayah Indonesia lainnya.

Secara etimologi, penamaan Kampung Adat Cireundeu diambil dari suatu spesies tumbuhan reundeu (Staurogyne elongata), dikarenakan dahulu populasi tumbuhan tersebut ditemukan melimpah pada wilayah kampung adat ini. Kampung Adat Cireundeu memiliki slogan dalam Bahasa Sunda "teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat." yang dapat diartikan “tidak mempunyai sawah asalkan mempunyai beras, tidak mempunyai beras asalkan mempunyai nasi, tidak mempunyai nasi asalkan bisa makan, tidak bisa makan asalkan kuat”. Filosofi dari slogan tersebut adalah bersyukur atas apa yang dimiliki, di samping itu disarankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya dengan bijak. Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu mempertahankan dan memegang teguh kearifan lokal tersebut dari para leluhurnya sejak tahun 1920-an (Logayah, Ruhimat, & Mulyadi, 2021). Saat itu, kondisi tanah di Kampung Adat Cireundeu tidak bisa ditanami padi dan berpotensi menyebabkan krisis pangan sehingga para leluhur memutuskan untuk mengganti makanan pokok dengan singkong (Wigna & Khomsan, 2011; Sunaedi & Nuritsa, 2017).

Tumbuhan reundeu (Staurogyne elongata)

Dalam penerapan konsep etnoagrikultur, Kampung Adat Cireundeu membagi peruntukan wilayah spasialnya yang tersusun atas 20 ha sebagai lahan pertanian (leuweung baladahan), 20 ha adalah hutan larangan (leuweung larangan), 20 ha sebagai hutan cadangan (leuweung tutupan), dan 5 ha sisanya merupakan daerah pemukiman dengan luas total sebesar 65 ha (Sunaedi & Nuritsa, 2017; Primasongko, 2021; Tahnia, 2022). Penanaman singkong dilakukan di lahan pertanian (leuweung baladahan) yang pengelolaannya dipegang oleh setiap keluarga. Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu menerapkan pengelolaan pertanian yang unik dari wilayah kampung lainnya, yaitu dengan cara melakukan rotasi tanam pada sistem pertanian pada tanaman singkong dan komoditas lainnya. Rotasi tanam diterapkan dengan penentuan kapan waktu suatu petak tertentu di lahan pertanian ditanami singkong. Penerapan rotasi taman ini membuat Kampung Adat Cireundeu memungkinkan dapat melakukan panen singkong lebih dari satu kali setiap tahunnya (Putranto & Taofik, 2014; Primasongko, 2021) dengan implikasi tidak akan terjadinya panen raya (Gulfa & Saraswati, 2015).


Lahan Pertanian (Leuweung Baladahan) di Kampung Adat Cireundeu


Sebaliknya, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menerapkan suatu aturan bahwa tidak diperbolehkan untuk siapapun untuk memasuki hutan larangan (leuweung larangan) apalagi sampai memanfaatkan sumberdaya di dalamnya. Hal ini dilakukan supaya tetap berlangsungnya keseimbangan dalam proses ekosistem sehingga daur air tetap terjaga, mencegah erosi maupun longsor. Pada leuweung baladahan terdiri dari beberapa kebun antara lain kebun singkong (kebon sampeu), kebun talas (kebon taleus), kebun rumput gajah (kebon gajahan), dan kebun bambu (kebon awi). Kebun talas merupakan suatu lahan di mana ditumbuhi oleh tanaman talas. Talas dikonsumsi oleh Masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagai bahan pangan tambahan. Talas tumbuh di area yang tenaungi. Kebun talas juga dapat dijumpai di sekitar kebun bambu. Kebun bambu merupakan kebun dengan luas wilayah terluas yang ada di kawasan ini. Kebun bambu secara tidak langsung berperan sebagai konservasi air, selain batang bambu tersebut diambil untuk berbagai kebutuhan. Selanjutnya, kebun rumput gajah, dimanfaatkan sebagai persediaan bahan pakan bagi hewan-hewan ternak seperti kambing dan sapi. Tumbuhan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dapat tumbuh selalu meski dalam kondisi musim kemarau dan dapat dipanen setiap dua minggu sekali. Kebuthan bagi hewan terak dapat dipenuhi sepanjang tahun dengan adanya kebun rumput gajah ini (Tahnia, 2022).

Selain singkong sebagai bahan makanan pokok, di Kampung Adat Cireundeu juga ditanami berbagai spesies komoditas tanaman pertanian. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menanam tanaman buah-buahan seperti pisang (Musa sp.), pepaya (Carica papaya), dan nangka (Artocarpus altlis) (Putranto & Taofik, 2014). Adapun komoditas tanaman pangan lainnya yang dibudidaya di wilayah Kampung Adat Cireundeu antara lain kacang tanah (Arachis hypogaea), bawang daun (Allium fistulosum), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga), dan kunyit (Curcuma longa). Tanaman-tanaman tersebut umumnya dimanfaatkan sebagai bahan masakan (Tahnia, 2022; Entri, 2022).

Kembali lagi pada aspek etnoagrikultur, produksi singkong pada lahan Kampung Adat Cireundeu masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok untuk semua anggota komunitas adat yang secara eksklusif mengkonsumsi beras singkong sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan adat (Priyanto & Desmafianti, 2022). Untuk memenuhi kebutuhan singkong tersebut, Masyarakat adat masih menerapkan aturan-aturan adat yang terbentuk melalui perkembangan kearifan lokal di wilayah tersebut. Salah satunya adalah penggunaan singkong lokal jenis “karihil” dan “garnawis” untuk bahan baku utama beras singkong. Singkong jenis ini merupakan singkong dengan karakteristik umbi yang cenderung keras dan pahit, serta memiliki kadar sianida yang lebih tinggi dari singkong lainnya, namun singkong tersebut dapat tumbuh secara subur pada lahan di wilayah Kampung Adat Cireundeu (Purike, 2020). Singkong tersebut diolah menjadi rasi melalui proses yang disebut “nyampeu” agar dapat dikonsumsi secara aman oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Selain itu, beras singkong memiliki rasa dan tekstur yang mendekati beras padi sehingga cocok digunakan sebagai bahan pangan pokok alternatif (Adiputra et al., 2021).

Aspek kearifan lokal lainnya kemudian ditunjukkan melalui manajemen pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Melalui pemberian hak pengelolaan lahan kepada setiap kepala keluarga (KK) melalui pembagian petak lahan, komunitas tersebut dapat melakukan rotasi tanaman singkong dengan menanam singkong pada petak yang berbeda melalui interval waktu tertentu. Metode ini memungkinkan masyakarat adat untuk melakukan panen lebih dari satu kali setiap tahunnya (Adiputra et al., 2021), sehingga stok singkong atau rasi akan tetap terjaga di sepanjang tahunnya. Dengan menerapkan konsep etnoagrikultur tersebut, masyarakat Kampung Adat Cireunden dapat bertahan beberapa dekade hingga saat ini dengan mengandalkan produksi pangan secara lokal. Konsep etnoagrikultur yang diterapkan juga memiliki aspek keberlanjutan karena pengelolaan sumber daya alam oleh komunitas adat tersebut dapat memastikan kebutuhan pangan tetap cukup dalam jangka waktu yang panjang sehingga ketersediaan sumber daya lokal masih tersedia dari generasi pendiri hingga generasi penerus yang ada saat ini (Kotob, 2011).

Sebagaimana adat-istiadat yang masih kental dan dipegang teguh di Kampung Adat Cireundeu, sejumlah kepercayaan dan ritual yang berhubungan dengan sistem serta aspek pertanian masih dilaksanakan. Pada lahan pertanian (leuweung baladahan) khususnya di kebun singkong, apabila ditemukan tumbuhan berduri, maka pertanda tanah jenuh atau tidak subur sehingga diperlukannya penanganan berupa penyuburan tanah atau hanya bahkan didiamkan saja. Tumbuhan tersebut diduga putri malu (Mimosa pudica). Apabila di kemudian waktu sudah muncul tumbuhan merambat, pertanda jika tanah akan kembali subur. Kemudian untuk memasuki wilayah lahan pertanian (leuweung baladahan) kebun singkong, alas kaki berupa sepatu maupun sandal harus dilepas. Menurut masyarakat adat di Kampung Cireundeu, filosofi dari melepas alas kaki tersebut adalah anggapan bahwa tanah adalah “ibu nu teu ngandung” atau “ibu yang tidak mengandung”. Filosofi ini memiliki arti bahwa kita perlu menghormati tanah layaknya kita menghormati ibu kita, dan memiliki makna pendekataan manusia dengan alam (Entri, 2022).

Untuk ritual pertanian, pelaksanaanya dilangsungkan sebelum memanen singkong. Sesajen yang disediakan dalam bentuk rujakan terdiri atas melati (Jasminum sambac), mawar (Rosa hybrida), kelapa (Cocos nucifera), pisang, kopi (Coffea arabica), asam (Tamarindus indica), dan sirih (Piper betle) dibawa ke kebun singkong dan dipersembahkan untuk Pwah Aci Sanghyang Asri atau Kersa Nyai. Sosok ini dipercayai sebagai ruh yang hidup dalam tumbuhan, baik yang dikonsumsi maupun tidak (Tahnia, 2022). Selebihnya, dalam kegiatan acara besar misalnya pada Upacara Adat Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura, hasil panen komoditas singkong harus selalu ditunjukkan dalam setiap rangkaian acara (Widyaputra, Novianti, & Bakti, 2019).

Kampung Adat Cireundeu menerapkan konsep etnoagrikultur yang masih mempertahankan adat-istiadat dan budaya yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh leluhurnya dan menerapkannya dengan pengetahuan dan kearifan lokal. Makanan pokok di kampung adat ini adalah singkong yang diolah sebagai beras dengan istilah rasi. Praktek dari pengetahuan dan kearifan lokal masih dilaksanakan dalam aspek pertanian, mulai dari pengelolaan lahan hingga pelaksanaan kepercayaan maupun ritual. Penerapan kearifan lokal tersebut merupakan salah satu bukti dari resiliensi masyarakat Kampung Adat Cireundeu untuk bertahan hidup menghadapi perubahan-perubahan sejak komunitas tersebut berdiri. Hal ini memastikan masyarakat Kampung Adat Cireundeu dapat bertahan beberapa dekade menghadapi keterbatasan ketersediaan bahan pangan dengan manajemen sumber daya alam lokal secara berkelanjutan.

Sagu bisa jadi jawaban ketahanan pangan, tapi masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara kesulitan memproduksi sagu secara ekonomis

Patta Hindi Asis, Universitas Muhammadiyah Kendari dan Sitti Rahma Ma'mun, Universitas Muhammadiyah Kendari


Jauh sebelum “hegemoni” beras, masyarakat Sulawesi Tenggara – khususnya suku Tolaki – mengenal tanaman sagu sebagai bahan pangan pokok. Sayangnya, politik pangan membuat sagu perlahan-lahan tersisihkan. Sebelum era 1980-an, sagu merupakan makanan utama masyarakat Tolaki – etnis terbesar yang mendiami Sulawesi Tenggara. Di sana, pati sagu diolah menjadi Sinonggi, makanan khas masyarakat Tolaki. Mereka kerap menyantap Sinonggi dengan campuran sayur bening dan ikan kuah kuning atau ayam kampung yang dimasak dengan daun kedondong hutan (tawaloho). Namun, keberhasilan swasembada beras di tahun 1980-an turut mengubah pola konsumsi masyarakat dari sagu menjadi penggila nasi. Sagu sebagai makanan pokok terpinggirkan dan hanya jadi sekedar pelengkap makanan setelah nasi. Secara potensi, jumlah sagu di Sulawesi Tenggara cukup besar untuk di pulau Sulawesi. Sebagai pembanding, data Kementerian Pertanian menunjukkan di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai penghasil sagu di daratan Sulawesi, volume produksi sagu mencapai 3.259 ton dengan luas lahan produksi mencapai 3.849 hektar. Sedangkan Sulawesi Tenggara dengan luas produksi 4.567 hektar, jumlah produksinya hanya mencapai 3.001 ton. Daratan Konawe masih sangat berpotensi menjadi pusat industri sagu. Menurut Kementerian Pertanian, sagu dapat diolah menjadi tepung sagu (termasuk produk makanan olahannya, seperti kue tradisional), dari bahan pembuatan obat di industri farmasi hingga sumber energi alternatif seperti bioetanol. Ampas sagu bahkan bisa diolah menjadi protein sel tunggal untuk pakan ternak. Ini tentunya bisa membantu meningkatkan perekonomian masyarakat di Sulawesi Tenggara. Terdapat potensi besar dari sagu tak hanya untuk menjaga diversifikasi dan ketahanan pangan, namun juga meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, terutama dalam dalam krisis pangan yang melanda dunia sekarang ini.

Sagu kurang mendapat perhatian

Sagu masih ditemui dalam keseharian masyarakat Tolaki. Sayangnya, kurangnya perhatian dan pengetahuan membuat produksi sagu hanya mengikuti dinamika pasar tanpa dikembangkan lebih jauh untuk meraih potensi maksimalnya. Kami melakukan penelitan lapangan dan diskusi kelompok terpumpun (FGD) dengan petani sagu di daratan Konawe (hasilnya dalam proses penulisan). Diskusi menghadirkan dua kelompok tani sagu di waktu dan tempat berbeda di pertengahan tahun 2022. Tiap kelompok berjumlah tidak lebih dari 10 orang yang dipilih secara sengaja. Hasilnya, kami menemukan bahwa pengolahan sagu hanya dilakukan secara subsisten, penggunaan mesin otomatisasi yang tak berjalan dengan baik, serta kurangnya perhatian pemerintah daerah membuat produksi sagu berhenti total. Bergesernya konsumsi masyarakat ke nasi membuat sagu hanya diolah secara alami, yang membatasi peluang ekonomi dan membuat petani memproduksi sagu berdasarkan permintaan pasar saja, umumnya digunakan sekedar pelengkap. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pernah memberikan bantuan dengan mendirikan pabrik percontohan di Desa Labela (Kabupaten Konawe) dan Desa Kosebo (Kabupaten Konawe Selatan) pada akhir 2017. Namun, spesifikasi yang tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mahalnya biaya perawatan membuat pabrik berhenti bekerja. Selain kendala teknis, sagu juga merupakan komoditas termurah dibanding komoditas lainnya. Tinjauan kami menunjukkan bahwa harga sagu hanya berkisar Rp 2.200 per kilogram di tingkat petani dan 5.000 per kilogram di pasaran. Sementara, harga beras di tingkat pasar lokal mencapai Rp 9.000-10.000 per kilogram. Ini menjadi salah satu alasan juga mengapa budidaya sagu tidak ekonomis dan jalan di tempat. Hasil diskusi kami dengan petani menemukan bahwa pemerintah daerah dan kota yang selalu menggaungkan cinta produk lokal dengan istilah sikato (singkatan dari Sinoggi, Kasuami, Kambose, Kabuto) nyatanya tak pernah memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan petani sagu. Keadaan ini yang memaksa petani mengolah sagu hanya sebagai sampingan atau sebagai tanaman ‘penjaga nilai budaya’.

Sagu masih bertahan sebagai tanaman adat

Di tengah dominasi beras, rendahnya harga, sulitnya produksi, dan kurangnya perhatian pemerintah daerah, mengapa masyarakat masih tetap mengolah sagu? Padahal, cara mengolah sagu tidaklah mudah. Dibutuhkan setidaknya 10 tahun agar sagu siap panen. Untuk menghasilkan 250 kilogram olahan sagu dibutuhkan 3-5 hari kerja. Kami mendiskusikan pertanyaan ini dengan masyarakat. Jawaban mereka sederhana, ada keterkaitan antara sagu dan budaya masyarakat sehingga tanaman ini tetap dilestarikan. Tradisi makan sagu terus bertahan di tengah dominasi nasi karena keterikatannya budaya dan sudah menjadi bagian dari cara hidup (way of life) masyarakat Tolaki. Setiap rumah tangga setiap harinya menyiapkan sagu yang disebut dengan tradisi Masoggi atau Sinonggi, sagu yang sudah diolah dan ditutup dengan makan nasi.

Olahan sagu
Sinonggi, makanan lokal masyarakat Tolaki. Dokumentasi penulis, Fourni par l'auteur


Menghidupkan tradisi juga terlihat di acara perkawinan. Jika seorang laki-laki mempersunting gadis Tolaki, mereka wajib membawa anakan sagu dan peralatan dapur lainnya. Sebab, bagi masyarakat Tolaki, sagu merupakan simbol kehidupan dan kesejahteraan. Selain itu, sagu juga telah melengkapi perjalanan kehidupan leluhur mereka. Masyarakat Tolaki memanfaatkan hampir semua bagian dari tanaman sagu, seperti daun sagu yang dirajut menjadi atap, pelepahnya dibuat menjadi pagar, dan ulat sagu dan pucuk sagu menjadi panganan. Ini semua masih bertahan hingga sekarang. Namun, di era krisis pangan dan krisis ekonomi pascapandemi, petani sagu tentu berharap produksi mereka tidak sekadar menjaga tradisi namun juga menghasilkan nilai ekonomi.

Ketahanan pangan dan upaya meningkatkan ekonomi

Diskusi kami menemukan bahwa para peserta memiliki persepsi bahwa Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan tidak tahan pangan akibat ketidaktersediaan pasokan dan variasi pangan. Ini seperti mengkonfirmasi pendapat Profesor Drajat Martianto dari Institut Pertanian Bogor bahwa 50% masyarakat di Indonesia berada dalam kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Pola konsumsi yang berubah dari sagu ke nasi bisa menjadi alasan mengapa masyarakat tidak merasa memiliki ketahanan pangan dan meminggirkan pengolahan sagu. Ahmad Arif, wartawan Kompas dalam bukunya “Sagu Papua untuk Dunia”, menekankan tentang kerentanan pangan bukan karena keterbatasan pangan dan kekurangan bahan baku namun juga terbatasnya pengetahuan mengembangkan dan membudidayakan sagu dengan lebih efektif. Kendala pengembangan sagu yang terbentur dengan ketersediaan infrastruktur. Di dalam kondisi ini, ajakan Menteri Pertanian, untuk makan sagu jika harga beras mahal terdengar ironis mengingat posisi sagu yang sebelumnya merupakan makanan pokok di beberapa wilayah Indonesia, kini tergeser oleh nasi. Kembali ke konsumsi sagu sebagai makanan pokok di masyarakat Tolaki tidak semudah membalikkan tangan. Di tengah masifnya alih fungsi lahan pertanian dan eksploitasi lahan menjadi tambang nikel di Sulawesi Tenggara, agaknya pemerintah daerah perlu menengok kondisi pangan lokal dan memperhatikan sagu yang kian hari semakin memprihatinkan keberlanjutannya. Sudah saatnya pemerintah daerah memikirkan ulang kebijakan politik pangan. Jika saja sagu dikembangkan secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin sagu menjadi produk lokal yang dapat diandalkan untuk ketahanan dan kedaulatan pangan, serta meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Kearifan masyarakat di Indonesia tentang ketahanan pangan banyak dijumpai di masyarakat lokal. Tinggal menunggu kebijakan politik pangan yang berpihak pada petani.The Conversation

Patta Hindi Asis, Dosen, Universitas Muhammadiyah Kendari dan Sitti Rahma Ma'mun, Dosen, Universitas Muhammadiyah Kendari

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Usai bergulat dengan pandemi, petani kopi kehilangan produksi akibat perubahan iklim


Ary Widiyanto, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Kopi merupakan salah satu jenis tanaman primadona di Indonesia. Sebagai negara pengekspor terbesar ke-4 di dunia–setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia–biji kopi asal Indonesia menjangkau negara-negara Eropa, negara-negara Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Minum kopi pun menjadi bagian gaya hidup masyarakat Indonesia, ditandai dengan tumbuhnya kafe-kafe baru di berbagai daerah. Bermacam fakta di atas seharusnya berdampak positif pada petani sebagai salah satu aktor utama dalam mata rantai penjualan kopi. Namun, penelitian kami di Jawa Barat nyatanya menunjukkan hasil yang miris. Usai bergulat dengan penurunan permintaan di masa pandemi, para petani langsung disambut dengan dampak perubahan iklim yang kian nyata. Produksi mereka kemudian turun drastis.

Lepas pandemi, diterjang anomali cuaca

Kami melaksanakan wawancara terstruktur dan mendalam dengan 219 responden petani kopi di Jawa Barat pada 2022. Provinsi ini banyak menerapkan kegiatan perhutanan sosial berbasis kopi. Menurut para responden kami, pandemi tidak menghalangi aktivitas petani dalam kegiatan budidaya sampai pemanenan. Namun, pembatasan aktivitas masyarakat membuat permintaan kopi menurun khususnya oleh kafe-kafe sebagai salah satu pembeli kopi mentah dari petani. Dampaknya: harga jual kopi menurun, pun pendapatan petani. Di puncak pandemi pada 2021, misalnya, ceri kopi para petani yang biasanya dihargai hingga Rp 9.500/kg hanya laku di kisaran Rp 5.000/kilogram. Meredanya pandemi pada 2022 tak terlalu mengubah keadaan. Pasalnya, pertanian kopi mulai terimbas perubahan iklim. Studi memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menurunkan produktivitas pertanian di negara berkembang sebesar 10-20% selama 40 tahun ke depan. Menurut kajian tim peneliti BRIN, salah satu dampak perubahan iklim di Indonesia adalah durasi musim hujan lebih panjang. Lamanya bisa mencapai 49 hari di Indonesia bagian selatan. Kondisi cuaca yang tidak menentu, misalnya hujan ekstrem di musim kemarau, menyebabkan sebagian kopi gagal berbunga. Imbasnya, kopi gagal berbuah sehingga angka produksi menurun drastis. Meskipun secara nasional jumlah produksi kopi meningkat, para petani yang kami wawancarai di Jawa Barat (seperti di Kabupaten Garut, Bandung, dan Ciamis) menyatakan bahwa produksi mereka menurun antara 20%-80%. Pertumbuhan produksi nasional didominasi oleh produksi kopi dari Sumatra. Daerah tersebut bisa jadi memiliki perbedaan iklim mikro dengan petani di Jawa Barat. Penurunan produksi sebenarnya membuat suplai menipis di pasar sehingga mengerek naik harga produk kopi. Sayangnya, banyak petani yang tidak menikmati kenaikan harga. Anjloknya hasil panen karena perubahan iklim sulit diperbaiki karena akses mereka ke pupuk masih terbatas. Pada saat pandemi, pupuk tersedia dengan harga normal. Namun, pupuk tidak terjangkau karena pendapatan petani menurun sehingga belanja lebih difokuskan untuk konsumsi rumah tangga. Sebaliknya, pascapandemi pupuk menjadi susah diperoleh. Kalaupun ada, harganya lebih mahal. Pupuk yang paling banyak dibutuhkan oleh petani kopi berjenis urea dan NPK. Ada beberapa masalah yang jadi biang keladi. Dunia memang tengah mengalami krisis pupuk akibat Perang Rusia-Ukraina. Sebab, Rusia merupakan penyuplai 30% fosfor dan kalium yang menjadi bahan baku NPK. Wawancara kami juga menemukan masalah distribusi pupuk subsidi yang diduga tidak tepat sasaran. Ini terlihat dari bagaimana petani yang berhak menerima pupuk dengan harga subsidi harus membayar dengan harga normal karena pupuk subsidi tidak tersedia. Sementara, suplai justru tersedia bagi kelompok tani lain di daerah yang sama yang tak membeli pupuk.


Pekerjaan rumah untuk pemerintah

Permasalahan budi daya yang dihadapi petani selama dan pascapandemi, ditambah dengan dampak perubahan iklim, membuat petani kopi kelimpungan. Studi pun mengamini petani swadaya di negara berkembang kerap kesulitan mengatasi dampak perubahan iklim karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mencari pemasukan tambahan demi menjamin kesejahteraan keluarga mereka. Oleh karena itu, perlu campur tangan pemerintah mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Pemerintah, misalnya, perlu memperkuat pengawasan untuk memastikan distribusi pupuk yang tepat sasaran. Titik-titik kerawanan penyimpangan perlu diberantas. Perlu ada sanksi tegas terhadap penyalahgunaan penyaluran pupuk bersubsidi. Di sisi lain, kelembagaan petani juga perlu penguatan. Berdasarkan wawancara, saat ini posisi tawar petani dalam penentuan harga jual kopi sangat rendah. Pembeli, yang mayoritas adalah pedagang besar, memiliki kuasa yang besar dalam menentukan harga. Lantaran margin yang kecil, petani hanya sedikit merasakan manfaat kenaikan harga kopi. Sebaliknya, adanya penurunan harga akan langsung menghantam perekonomian mereka karena minimnya modal usaha untuk memupuki tanaman. Oleh sebab itu, perlu dibentuk lembaga yang berfungsi menstabilkan harga kopi di tingkat petani, misalnya dengan menampung produk pada saat panen raya. Meski demikian, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan instabilitas harga jual dan harga sarana produksi pertanian tidak selamanya dapat bergantung pada pemerintah. Petani harus didorong untuk meningkatkan nilai tambah produk kopi mereka dengan pengolahan lanjutan. Pengolahan produk memberikan dua keuntungan sekaligus. Pertama, meningkatkan harga jual dan margin keuntungan yang lebih besar. Kedua, adanya penyerapan tenaga kerja selama proses pengolahan kopi meliputi proses pengupasan, pengeringan, pembuatan bubuk kopi, bahkan penjual produk kopi siap saji. Pemerintah dan swasta dapat membantu penyediaan mesin pengolah kopi dengan skema hibah atau pinjaman berbunga rendah. Perlu bantuan lembaga keuangan resmi pemerintah selama proses ini. Soalnya, petani cenderung langsung menjual kopi setelah panen untuk mendapatkan uang tunai. Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan. Bukan tidak mungkin hal yang sama bisa menimpa petani-petani kopi lain di Indonesia. Yang dapat kita lakukan adalah beradaptasi dan meredam dampaknya, serta meningkatkan ketangguhan petani kecil kita.

Penulis berterimakasih kepada Dr. Sanudin dan Eva Fauziyah, M.Sc. (peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN) yang telah berkontribusi terhadap tulisan ini.The Conversation

Ary Widiyanto, Peneliti Ahli Madya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
 

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Apa untung-rugi jika sawit ditetapkan menjadi tanaman hutan?

FB Anggoro/Antara

Hero Marhaento, Universitas Gadjah Mada

Wacana sejumlah pihak untuk menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan semakin riuh. Hal ini ditandai dengan rampungnya naskah akademik yang disusun sejumlah akademikus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Naskah tersebut, yang mencuat ke publik pekan lalu, menghasilkan rekomendasi peralihan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan. Berdasarkan dokumen naskah akademik yang saya terima, peralihan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan dianggap menjadi solusi pemulihan hutan yang terdegradasi. Dokumen juga diharapkan menjadi basis ilmiah untuk menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan. Alasan tersebut sangat disayangkan. Sebab, masih ada cara-cara lain untuk memulihkan hutan yang lebih bermanfaat bagi ekosistem dan para petani sawit. Alih-alih bermanfaat, peralihan status ini justru berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian bagi Indonesia.

Peralihan status untuk siapa?

Hingga saat ini, Indonesia masih berjuang untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Pada 2019, lembaga nirlaba yang berfokus pada pelestarian lingkungan, Yayasan Kehati, mengemukakan ada 3,4 juta hektare (ha) kebun sawit dalam kawasan hutan. Dari angka tersebut, hanya sekitar 700 ribu ha yang dikelola oleh petani skala kecil (smallholders). Sisanya diduga dikuasai oleh korporasi maupun pelaku usaha individu dengan kapasitas finansial yang besar. Pembukaan perkebunan juga diduga tak melalui jalur legal, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ataupun skema lainnya. Selain di kawasan hutan, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 menyebutkan, kawasan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit juga tumpang tindih dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam maupun hutan tanaman industri. Luasnya masing-masing 349 ribu ha dan 534 ribu ha. Kalimantan Timur dan Utara menjadi provinsi dengan tumpang tindih sawit dengan sektor usaha kehutanan terluas. Hal ini juga belum dihitung dengan kebun sawit yang ‘tiba-tiba muncul’ di konsesi perusahaan sektor kehutanan karena ada sebagian kawasannya yang ditelantarkan. Nah, jika pemerintah mengesahkan peralihan status sawit menjadi tanaman hutan, maka keberadaan sawit di konsesi perusahaan tersebut kemungkinan bakal menjadi legal. Hal tersebut diprediksi menciptakan peluang bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan sektor kehutanan. Sebagian konsesi sektor kehutanan yang belum dirambah juga berkesempatan untuk ditanami sawit baru. Hal ini berisiko melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Studi bahkan menyebutkan jumlah emisi yang terlepas akibat penanaman sawit baru, khususnya di lahan gambut, bisa mencapai dua kali lipat dibanding kebun sawit lama. Bukan hanya itu, dalam segi perekonomian, upaya perluasan kebun sawit korporasi juga berpotensi mematikan petani kecil. Sebab, harga akan rawan anjlok apabila terjadi kelebihan pasokan (oversupply) tandan buah segar/TBS sawit. Hal ini membuat petani kecil semakin rentan. Bagi petani kecil, usulan ini sama sekali tidak memberikan keuntungan. Sebab, persoalan bagi sebagian besar petani sawit skala kecil adalah aspek legalitas – yang sudah ada skema jalan keluarnya melalui Perhutanan Sosial. Dengan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau tidak, jika aspek legalitas lahan tidak diperhatikan, maka petani tetap akan kesulitan menjual hasil kebunnya kepada pabrik-pabrik besar yang mensyaratkan pembelian tandan sawit dari perkebunan yang legal.

Mengganggu upaya perbaikan tata kelola

Pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk perbaikan tata kelola sawit. Misalnya, kebijakan moratorium penerbitan izin sawit baru yang berlaku sejak 2018 hingga September 2021. Tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Aturan tersebut mengatur penyelesaian tumpang tindih sawit sebagai kawasan hutan. Petani sawit dapat melegalkan perkebunannya dengan cara mengajukan skema perhutanan sosial kepada pemerintah. Perhutanan sosial adalah pemberian hak pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari negara kepada masyarakat (desa, masyarakat adat, ataupun kelompok tani). Setelah memperoleh hak pengelolaan tersebut, petani diwajibkan menerapkan strategi jangka benah. Skema ini mensyaratkan pemulihan ekosistem hutan yang terlanjur ditanami sawit harus ditanami tanaman lainnya dengan cara wanatani (agroforestry) selama waktu tertentu. Pohon yang ditanam juga harus memenuhi beragam kriteria seperti berakar dalam untuk mengembalikan fungsi hidrologis (tata air) suatu kawasan, serta fungsi dan struktur ekosistem hutan. Aspek lainnya adalah, pohon mesti berumur panjang, mudah dibudidayakan, dan bernilai ekonomi tinggi. Faktor asal pohon yang berasal dari jenis endemik setempat juga harus masuk dalam pertimbangan. Beberapa pohon yang memenuhi kriteria tersebut misalnya: jengkol, cempedak, petai, durian, ataupun meranti. Didukung sejumlah bukti ilmiah, strategi jangka benah dapat menjaga kelangsungan budi daya kelapa sawit sekaligus memulihkan fungsi kawasan hutan yang terdegradasi akibat perkebunan monokultur (sejenis). Sebaliknya, jika usulan sawit menjadi tanaman hutan disetujui, maka pemilik kebun sawit yang tumpang tindih berisiko terbebas dari kewajibannya memulihkan kondisi hutan. Akibatnya degradasi lingkungan akibat perkebunan sawit monokultur terus berlangsung tanpa pertanggungjawaban yang sepadan. Kerusakan juga bisa terus meluas. Dampak lainnya adalah, aturan perbaikan yang sudah diinisiasi pemerintah untuk menengahi persoalan kesejahteraan petani sawit dan lingkungan berisiko jalan di tempat.

Perlu mengutamakan kepentingan lingkungan

Sawit memiliki banyak nilai tambah yang bermanfaat bukan hanya bagi petani, tapi juga masyarakat sebagai pengguna. Kontribusi komoditas ini terhadap penerimaan negara, langsung maupun tak langsung, juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Namun, hal itu bukan menjadi alasan untuk menafikan persoalan tata kelola perkebunan sawit yang berdampak pada kelangsungan lingkungan. Butuh langkah yang harmonis dari pemerintah, petani sawit, dan perusahaan untuk menyelaraskan aktivitas perkebunan kelapa sawit dengan kelestarian ekosistem. Patut diingat bahwa Indonesia juga termasuk sebagai negara yang berkomitmen menekan angka deforestasi pada 2030 mendatang. Tentunya, segala upaya termasuk melalui penerbitan kebijakan terkait sawit, harus sejalan dengan komitmen tersebut. Persetujuan sawit menjadi tanaman hutan akan membuat dunia internasional mempertanyakan komitmen Indonesia untuk menjaga ekosistem dan mengembalikan kekayaan biodiversitas. Karena itu, perlu ada keputusan yang berbasis temuan-temuan ilmiah serta dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.The Conversation

Hero Marhaento
, Forest Resources Conservation Researcher, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Produksi beras juga bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, syaratnya riset iklim harus diperbanyak

Feny selly/Antara

Andrianto Ansari, Universitas Gadjah Mada

Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan curah hujan yang berdampak pada kekeringan di suatu wilayah, dan banjir di wilayah lainnya, serta peningkatan suhu yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kondisi tersebut berisiko mempengaruhi produksi sekaligus kualitas beras – makanan pokok yang dikonsumsi 90% masyarakat Indonesia. Pasalnya, padi merupakan tanaman yang sensitif terhadap perubahan suhu dan pasokan air. Padi membutuhkan debit air sebesar 450-700 milimeter (mm) selama musim tanamnya atau sekitar 1,9 - 2,25 mm/hari. Jika padi kekurangan air, terutama selama tahap tanam dan reproduksi, maka pertumbuhannya akan memburuk. Serangan hama penyakit tanaman juga berisiko lebih intens. Pertumbuhan tanaman padi pun rentan terhadap perubahan suhu. Kondisi ideal untuk tanaman padi berkisar 25 - 28 °C dan tidak lebih dari 35 °C. Jika suhu melebihi angka itu, maka kualitas maupun kuantitas produksi beras dari padi akan terganggu. Studi yang saya lakukan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap produksi beras di Wonogiri, salah satu sentra pangan Jawa Tengah. Hasilnya, pada 2050, temperatur di kawasan tersebut akan naik 1.3 - 2.0 °C. Pada waktu yang sama, kenaikan suhu akan mengubah pola hujan secara spasial (wilayah) dan temporal (waktu). Akibatnya, produksi beras kawasan tersebut akan berkurang sekitar 2,56 - 11,77 persen pada 2050 . Penelitian yang saya lakukan menjadi asesmen pertama ihwal dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman di lokasi tertentu. Kita perlu lebih banyak membuat pemodelan iklim dan tanaman di masa depan berbasis suatu lokasi, terutama lumbung pangan nasional. Pemodelan diperlukan karena efek iklim regional bisa saja berbeda satu sama lain.

Pentingnya membuat model iklim dan tanaman berbasis daerah

Model iklim akan memprediksi iklim di masa depan. Sedangkan model tanaman mensimulasikan pertumbuhan dan hasil tanaman berbasis data iklim masa depan serta data lainnya seperti data sifat tanah, praktik pengelolaan, dan karakteristik agronomi. Dalam hal ini, penggunaan model iklim sebagai input pada model tanaman dilakukan melalui beberapa skenario yang disusun para ilmuwan dari Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, atau IPCC), yakni Representative Concentration Pathway (RCP) 2.6 (risiko rendah), RCP 4.5 (risiko menengah), RCP 6.0 (risiko cukup berat), dan RCP 8.5 (risiko amat berat). Skenario tersebut akan menghasilkan data iklim yang berbeda-beda baik suhu maksimum, suhu minimum, curah hujan, intensitas matahari serta konsentrasi karbon dioksida. Perbedaan data iklim tersebut berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi beras karena padi memiliki respons yang berbeda terhadap suhu, ketersediaan air, ataupun intensitas sinar matahari. Pemodelan akan menjadi bekal bagi petani untuk menyusun langkah - langkah antisipasi dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi beras di sawahnya.

Strategi berbasis pemodelan

Pemodelan iklim dan tanaman berbasis lokasi dapat dimanfaatkan petani secara langsung. Misalnya, berbasis data tersebut, petani dapat mengubah tanggal tanam yang akan membantu mencegah banjir di musim hujan dan potensi kekurangan air di musim kemarau. Strategi ini bertujuan untuk mencegah gagal panen yang mempengaruhi produksi beras. Strategi pindah tanam (transplanting) – teknik memindahkan suatu tanaman ke tempat lain – juga dapat diberlakukan untuk menyiasati efek iklim regional yang bervariasi. Selain itu, penerapan praktik pengelolaan pupuk yang tepat, seperti meningkatkan frekuensi dan dosis aplikasi pupuk, jumlah pupuk yang diterapkan setiap aplikasinya, dan penggunaan bagan warna (alat bantu pemupukan berdasarkan warna daun padi), menjadi faktor penting dalam meningkatkan produksi padi. Misalnya, penggunaan pupuk nitrogen (N) yang tidak dapat menyeimbangkan kadar fosfor (P) dan kalium (K) akan berdampak negatif terhadap hasil padi, kualitas tanah, dan lingkungan sekitarnya. Risiko lainnya adalah rubuhnya tanaman, persaingan gulma, dan serangan hama. Petani juga mesti menerapkan manajemen terpadu nutrisi tanaman (IPNM) agar meningkatkan efisiensi nutrisi secara bijaksana untuk meningkatkan kesuburan dan kelestarian tanah. Contohnya adalah penggunaan nutrisi pupuk dari sumber organik yang tersedia di lahan pertanian. Hal lainnya yang patut diterapkan adalah pengembangan asuransi tanaman. Ini penting untuk melindungi ekonomi petani dari risiko ketidakpastian terkait iklim. Bagi pemerintah, pemodelan iklim dan tanaman dapat diprioritaskan di kawasan lumbung pangan nasional. Strategi-strategi adaptasi yang tepat berbasis data iklim juga mesti disosialisasikan secara masif kepada kelompok tani. Hal lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperbaiki pengelolaan irigasi, mengembangkan area pertanian baru, dan mengembangkan varietas tanaman tahan panas.The Conversation

Andrianto Ansari
, Lecturer, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia

Kiagus M. Iqbal, Sajogyo Institute dan Moh Ali Rahangiar, Sajogyo Institute

Reforma Agraria di Indonesia selalu mendatangkan konflik. Sejak pertama kali dicetuskan semasa pemerintahan Soekarno hingga saat ini, cita-cita Reforma Agraria untuk merombak struktur penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia kepada warga negara yang berhak, khususnya kepada petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani masih jauh dari harapan. Upaya baru setelah Reformasi pun masih menyisakan masalah. Catatan Sajogyo Institute yang meneliti masalah agraria di Indonesia menunjukkan struktur penguasaan tanah di Indonesia masih tidak adil hingga tahun 2013. Hampir 90% petani tunakisma (petani tanpa tanah), gurem, dan kecil hanya menguasai 45,71% lahan dengan rata-rata luas lahan 0,45 hektar per orang. Idealnya luas pemilikan tanah di Jawa Tengah, Yogyakarta, beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, sebaiknya berkisar antara 0,5 hingga 1 hektar per orang. Sementara, 12.04% petani golongan lebih mampu menguasai tanah rata-rata 3,87 hektar per orang. Konflik agraria pun masih sering terjadi. Lembaga swadaya masyarakat Konsorium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi 2.047 konflik agraria dalam kurun 2015-2019, naik dari 1.308 konflik pada periode lima tahun sebelumnya (2010-2014). Masalah-masalah dalam implementasi kebijakan Reforma Agraria bermuara dari masih dominannya kuasa negara atas tanah yang mendorong kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan lewat kebijakan-kebijakan sektoral yang menghambat distribusi kepemilikan tanah yang adil.

Logika sektoral yang kuat

Asas domein dan kebijakan sektoral adalah dua masalah utama dari upaya Reforma Agraria sejak masa Soekarno hingga pasca reformasi. Lewat asas domein, negara bisa mengklaim sebidang tanah apabila satu pihak tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan secara hukum. Asas ini berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet dan aturan pelaksanaannya Agrarische Besluit) pada 1870 di masa kolonial Belanda. Pemerintahan Soekarno sempat berusaha melakukan menafsirkan ulang asas domein untuk membagikan tanah kepada para petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani. Namun, rezim Orde Baru di bawah Soeharto kembali menggunakan kuasa negara atas tanah untuk mendukung kepemilikan lahan oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan. Sejak saat itu, kebijakan agraria mengutamakan sektor-sektor tertentu untuk dapat menguasai tanah secara cepat dan besar-besaran. Kebijakan agraria pun dibuat selaras dengan aturan pengembangan sektor tertentu seperti Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU Pertambangan, UU Sumber Daya Air dan lain-lain. Kebijakan Reforma Agraria pada era Reformasi pun masih mengutamakan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Di sektor perkebunan, tercatat tanah yang dikuasai korporasi mencapai 15 juta hektar; sedangkan di sektor pertambangan, korporasi memegang kuasa lahan seluas 13,75 juta hektar. Logika sektoral ini mengakibatkan ketimpangan alokasi lahan antara pihak korporasi dan masyarakat tercatat cukup tinggi pada 2019. Untuk kawasan hutan, hingga tahun 2018, pemerintah telah memberikan izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Penguasaan Hutan (HPH), dan Izin Pinjam Pakai untuk Usaha Pertambangan seluas 40,46 juta hektar kepada korporasi. Ini berbanding terbalik dengan luasan alokasi tanah untuk masyarakat yang hanya berjumlah 1,46 juta hektar.

Tanah untuk swasta

Pendekatan sektoral di atas menunjukkan bahwa kebijakan Reforma Agraria di Indonesia masih mengutamakan kepentingan swasta. Ini bisa dilihat lewat program sertifikasi tanah pemerintah. Melalui program ini, pemerintah membagikan 4,5 juta sertifikat tanah sebagai tanda kepemilikan. Tapi kebijakan ini memiliki beberapa masalah. Pertama, legalisasi aset tidak menciptakan hak baru untuk rakyat, justru sebaliknya memperkuat konsentrasi penguasaan lahan oleh korporasi dan petani kaya. Hal ini terjadi karena tanah terbuka untuk berpindah tangan, dan karena tidak adanya aturan tegas yang melarang penjualan dan pengalihan pemilikan lahan kepada pihak lain. Sebuah penelitian pada 2019, misalnya, menemukan adanya transfer tanah di desa penelitian Pasawahan, Ciamis, Jawa Barat, melalui mekanisme jual beli, gadai, maupun waris. Akibatnya, hanya sekitar setengah penggarap di sana yang masih memiliki tanah. Kedua, tidak adanya aturan tegas tentang pembatasan luas lahan untuk memastikan semua orang memiliki akses kepemilikan tanah yang adil. Indonesia sebenarnya telah memiliki UU Pembatasan Lahan Pertanian yang dikeluarkan pada masa Soekarno. Aturan ini mengatur luas lahan pertanian minimal dan maksimal yang bisa dimiliki petani dan keluarganya, tergantung jenis tanah dan kepadatan penduduk. UU tersebut masih berlaku, namun tidak berjalan efektif. Lemah dan kurangnya mekanisme pengawasan membuat peraturan pembatasan luas maksimum tanah tidak efektif. Akibatnya program sertifikasi tanah hanya mendorong penguasaan tanah berskala besar di tangan segelintir orang yang berkuasa saja. Lagi-lagi, kebijakan agraria pemerintah hanya mendukung kepentingan pasar dan penguasaan tanah di tangan pemodal. Keempat, data tentang kepemilikan tanah yang masih belum transparan. Saat ini, publik sulit mengakses data tentang Hak Guna Usaha (HGU). HGU adalah hak khusus untuk mengelola tanah negara yang diberikan pada perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Pemerintah menutup akses data ini meskipun putusan Mahkamah Agung pada 2017 menyebutkan bahwa data dan informasi HGU adalah bagian dari informasi publik sehingga aksesnya harus terbuka untuk umum.

Yang harus dilakukan

Pelaksanaan Reforma Agraria bisa berhasil jika menyentuh beberapa hal. Pertama, memperkuat kedudukan dan hak masyarakat adat terhadap tanah adatnya. Untuk itu, pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan UU Masyarakat Adat, dan memperkuat posisi masyarakat hukum adat sesuai putusan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Kedua, sertifikasi tanah wajib memperhatikan fungsi sosial tanah untuk mata pencaharian berkelanjutan masyarakat, kesatuan ekologi, hingga pelestarian dan pengembangan budaya. Hal tersebut bisa diatur dalam regulasi pembatasan luas tanah dan pembatasan alih fungsi lahan (khususnya tanah pertanian dan sumber air). Program pemberian sertifikat juga perlu diprioritaskan bagi petani gurem dan buruh tani. Terakhir, pemerintah harus membuka informasi HGU untuk kepentingan Reforma Agraria. Baik Mahkamah Agung maupun gerakan masyarakat sipil perlu mendorong pemerintah untuk membuka informasi HGU sesuai dengan keputusan hukum yang telah dikeluarkan. Lewat data yang transparan, pemerintah bisa memberi jalan awal untuk mengakhiri konflik agraria yang berkepanjangan dan berlarut.

Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Kiagus M. Iqbal, , Sajogyo Institute dan Moh Ali Rahangiar, Peneliti, Sajogyo Institute
 

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Peneliti temukan cara akurat mengukur luasan padi dengan teknologi digital

Pemandangan persawahan dari atas di Bandung, Jawa Barat. Akhmad Dody Firmansyah/Shutterstock


Budiman Minasny, University of Sydney dan Rudiyanto, Universiti Malaysia Terengganu

Mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi beras. Angka konsumsi beras nasional pada 2017, menurut Badan Pusat Statistik, sekitar 111 kilogram per kapita. Indonesia adalah negara ketiga paling tinggi dalam konsumsi beras di dunia. Total konsumsi beras hampir 30 juta ton per tahun, sedangkan produksi beras dalam negeri sekitar 32 juta ton. Masalahnya adalah data produksi beras dan luasan sawah selama 20 tahun terakhir ini tidak pasti. Ada perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik karena metode pengukuran yang tidak sama. Padahal, informasi yang akurat dan mutakhir tentang luasnya sawah penting untuk membantu mengelola ketahanan pangan dan air. Penelitian kami yang dipublikasi di jurnal teknologi Remote Sensing baru-baru ini memaparkan cara untuk mengetahui luasan padi secara akurat. Kami “mengajari” komputer untuk mengenali berbagai tahap pertumbuhan padi dari citra satelit radar. Teknologi ini telah kami uji cobakan di Malaysia (dengan sampel lebih dari 1 juta hektare) dan Indonesia (sampel 0,75 juta hektare) pada September 2016 hingga Oktober 2018. Di Indonesia kami memetakan daerah pusat produksi beras di Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu di provinsi Jawa Barat yang luasnya lebih dari 350.000 hektare. Informasi terperinci mengenai tahap pertumbuhan padi di setiap luasan lahan 10 meter dapat diketahui secara langsung setiap bulan. Untuk memastikan kebenaran hasil prediksi kecerdasan buatan tersebut, kami membandingkannya dengan data survei lapangan, dan metode kami memiliki akurasi 96,5%. Kami juga bisa menggunakan kecerdasan buatan untuk meramalkan luasan pemanenan padi hingga dua bulan ke depan. Metode ini lebih hemat biaya dibanding metode survei lapangan.

Citra satelit radar

Ketergantungan kita yang tinggi pada beras sebagai makanan pokok mendorong perhatian pemerintah nasional untuk mengetahui berapa luasan padi yang ditanam, di mana padi ditanam, dan berapa yang dapat dipanen untuk memastikan ketahanan pangan. Untuk mendapatkan informasi ini, saat ini kita masih bergantung pada survei lapangan yang memakan waktu dan mahal. Transformasi digital yang kita namakan Soil 4.0 bisa menyediakan data yang mendukung pemantauan yang lebih cepat, dapat diandalkan, dan reguler untuk menilai produksi beras. Tantangan ini dapat diatasi sekarang dengan menggunakan satelit radar resolusi tinggi. Ketersediaan teknologi terbaru memberikan kita data satelit radar Sentinel 1 yang dianalisis melalui komputasi awan (cloud computing) dengan algoritme kecerdasan buatan (artificial intelligence). Dengan metode riset kami, kita bisa dengan akurat mengetahui daerah-daerah mana yang sedang ditanami padi dan tahap pertumbuhannya. Kami memperkirakan bahwa informasi ini akan tersedia dalam satu aplikasi yang bisa diakses dengan ponsel pintar. Saat ini, di beberapa daerah di Indonesia, petak-petak sawah sedang dipetakan sehingga kepemilikan setiap petak tanah terdaftar. Digabungkan dengan data satelit, kita bisa menentukan produksi, akses kredit petani dan perbankan. Semua informasi pada level petakan sawah dapat memberikan model bisnis yang ke depan. Tak hanya di Indonesia, metode sederhana dan kuat ini dapat dipakai di seluruh Asia Tenggara, dan dapat digunakan sebagai alternatif selain survei lapangan yang memakan waktu dan ongkos mahal.

Data terintegrasi

Dengan tersedianya teknologi ini di aplikasi ponsel pintar, pada masa depan, data ini akan terintegasi dengan kebutuhan pasar. Para petani juga dapat mengunggah informasi ke sistem aplikasi bila ada serangan hama atau penyakit, semuanya dapat dibagikan untuk diteruskan ke petani petani lain. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan teknologi digital yang berfokus pada informasi tanah untuk mendukung petani. Sensor cerdas dapat memperkirakan kesuburan tanah secara cepat. Para petani dapat membawa tanah mereka ke pusat kelompok tani untuk mendapatkan uji tanah cerdas. Sekali disinari, sensor cerdas akan langsung memberikan informasi nutrisi yang diperlukan oleh tanah untuk pertanian. Teknologi ini memungkinkan para kelompok tani untuk memberikan rekomendasi pupuk yang tepat dan informasi untuk kebutuhan benih, dan informasi lainnya. Data ini bisa digunakan untuk menentukan asuransi usaha tani padi, yakni para petani bisa mendapatkan bayaran jika terjadi kegagalan panen karena banjir, kekeringan, serangan hama dan organisme pengganggu tanaman. Perusahaan asuransi pelaksana hanya perlu mengecek data satelit untuk mengetahui kebenaran daerah yang gagal panen. Informasi ini juga bisa membantu dalam penentuan kebutuhan subsidi pupuk, dan keputusan pertanian lainnya.

Pertanian digital

Salah satu pameran permanen di Museum Pertanian Indonesia di Kota Bogor, Jawa Barat, menampilkan visi pertanian masa depan di negara ini. Visi tersebut menampilkan: Otomatisasi yang didukung oleh robot dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) di semua tingkat produksi pertanian, Pertanian Presisi (Digital Farming) yang mengelola usaha tani secara tepat berdasarkan informasi akurat dan tepat waktu, dan Sistem Informasi Manajemen yang mengelola data besar (big data) dan semua terintegasi dalam satu aplikasi di ponsel pintar.

Gambar di Museum Pertanian Bogor. Author provided


Tantangan bagi kita adalah bagaimana menerapkan aspirasi ini, sementara sebagian besar pertanian di Indonesia diusahakan oleh petani kecil, yang menyediakan 90% produksi beras. Masing-masing petani memiliki lahan yang kurang dari 1 hektare. Karena itu, kita perlu mendorong Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang sedang mengalami transformasi digital tidak hanya terbatas pada penggunaan telepon pintar dan pembelanjaan internet. Banyak yang optimis bahwa teknologi digital akan menggerakkan revolusi industri berikutnya dan menyaingi negara-negara Barat. Revolusi Industri 4.0 dipromosikan di kawasan ini sebagai penggunaan strategis teknologi canggih yang dihubungkan oleh internet dan internet of things (IoT). Revolusi digital menjanjikan cara hidup, bekerja, bermain, dan berkomunikasi yang baru. Bagian integral dari revolusi ini adalah Pertanian Digital (Digital Agriculture), yang merupakan pertanian masa depan di negara negara berkembang. Pertanian Digital juga memiliki potensi yang kuat untuk diterapkan pada pertanian skala kecil di Indonesia. Digital Soil 4.0, IoT, dan teknologi digital sekarang sudah tersedia, dan ketersediaannya bagi petani di Indonesia akan terus tumbuh. Penggerak revolusi digital perlu melibatkan petani kecil untuk membangun ketahanan pangan dan mengurangi kerentanan usaha tani terhadap tantangan perubahan iklim. Kita harus membangun teknologi digital sekarang dan menjadikannya bagian dari usaha pertanian.The Conversation

Budiman Minasny
, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of Sydney dan Rudiyanto, Lecturer Crop Science, Universiti Malaysia Terengganu

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Petani dan nelayan tak bisa menghadapi pemanasan global sendirian, harus berkelompok

Petani di Sikka, NTT. Wahana Tani Mandiri

Venticia Hukom, Yayasan Inobu

Petani skala kecil dan nelayan merupakan kelompok yang rentan terhadap perubahan iklim. Pasalnya, petani kecil kerap bercocok tanam di kawasan yang rentan, misalnya karena curah hujan yang rendah atau kualitas tanah yang menurun. Nelayan pun bernasib hampir sama seiring dengan menurunnya keragaman biota laut akibat pemanasan global. Kendati demikian, dua kelompok ini sebenarnya memiliki sistem kerja dan berbagai metode yang meningkatkan peluang adaptasi di tengah iklim yang berubah. Peluang tersebut dapat semakin tinggi jika mereka giat bekerja sama dan mengorganisasi diri untuk menyusun strategi menghadapi pemanasan global.

Dampak bervariasi bagi nelayan dan petani

Di Amerika bagian tengah dan Madagaskar, pemanasan global mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem yang menurunkan produktivitas pertanian. Kondisi akhirnya mengganggu ketahanan pangan bagi petani kecil. Sementara, sejumlah studi) juga menaksir perubahan cuaca dan temperatur akan terjadi di Indonesia setiap beberapa tahun pada 2010, 2030, dan 2050. Cuaca yang berubah-ubah akan mempengaruhi produksi beras secara drastis di pulau Jawa dan Bali. Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara, lembaga nirlaba di sektor pertanian, Wahana Tani Mandiri/WTM, melaporkan kekeringan yang berkepanjangan, penurunan kesuburan tanah, dan serangan penyakit tanaman yang memperburuk kualitas panen. Akibat kejadian-kejadian tersebut, petani kerap menunda aktivitas penananaman sehingga pendapatan mereka jauh berkurang. Sementara, dalam wawancara yang dilakukan lembaga riset Yayasan Inobu, nelayan di Fakfak menyatakan harus menempuh pelayaran lebih jauh guna mempertahankan jumlah hasil tangkapan mereka.

Strategi khusus kian dibutuhkan

Bimbingan teknis penanaman padi di kelompok tani Sinar Tani. Wahana Tani Mandiri

Di tengah kondisi yang semakin menantang, nelayan maupun petani sudah memiliki beragam strategi. Berikut ini adalah ragamnya. 1. Reorganisasi pekerja Reorganisasi pekerja terjadi ketika petani melibatkan anggota keluarganya untuk bercocok tanam. Metode ini sudah jamak diterapkan petani kecil di banyak negara dalam pekerjaan yang membutuhkan lebih banyak orang. Misalnya pekerjaan perawatan tanah dan air maupun diversifikasi tanaman. Petani di Etiopia merawat tanah dan air dilakukan melalui rotasi penanaman jagung dengan kacang-kacangan. Petani setempat pun terbiasa membiarkan sisa-sisa panen di ladang mereka untuk menjaga kemampuan tanah menyerap air/. Nah, penerapan pekerjaan semacam ini biasanya ditentukan oleh faktor jumlah laki-laki dalam suatu keluarga. Sebab, aktivitas rotasi tanaman maupun perawatan tanah dan air lebih membutuhkan banyak pekerja. 2. Alternatif sumber pendapatan Petani yang memiliki sumber pendapatan alternatif di luar pemasukan hasil panen mereka akan beradaptasi lebih baik terhadap perubahan iklim. Di Ghana, beragam sumber pendapatan yang dimiliki petani mampu mengurangi risiko keuangan dari gangguan panen akibat kekeringan, banjir, hujan ekstrem, maupun badai. Pendapatan dari sumber non-pertanian juga dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak jenis tanaman yang dikembangkan, ataupun pembelian pupuk agar produktivitas ladangnya meningkat. Selain diversifikasi sumber pendapatan, upaya mengkombinasikan berbagai jenis tanaman juga menjadi strategi adaptasi yang efektif. Di Nusa Tenggara Timur, para petani coklat–dalam wawancara kepada Wahana Tani Indonesia–menyatakan turut menanam vanili, pala, dan salak untuk menambah variasi hasil pertanian mereka. Tak seperti coklat, vanili dan salak dikenal sebagai tanaman yang tahan terhadap cuaca panas dan kering. Sisa hasil panen [salak] pun (http://edepot.wur.nl/192242) dapat bermanfaat untuk pupuk organik. Sedangkan tanaman pala yang dapat tumbuh tinggi mampu melindungi pohon coklat dari sinar matahari yang menyengat. Pada akhirnya, kombinasi keempat tanaman ini dapat mengisi pundi-pundi keuangan petani. 3. Kearifan lokal

Warga Desa Patimburak, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak ) memproses hasil tangkapannya. Yayasan Inobu

Para nelayan telah menggunakan kearifan lokal untuk melestarikan ikan-ikan laut. Di Papua, para nelayan diajarkan secara turun-temurun untuk memberi jeda dalam menjala ikan agar laut dapat “beristirahat.” Praktik pemulihan sumber daya perikanan (stock recovery) ini dikenal sebagai Sasi Laut. Tak hanya bagi aktivitas perikanan, Sasi Laut juga diterapkan ke pengelolaan pariwisata. Guna menghadapi perubahan iklim, sektor perikanan tradisional juga dapat menerapkan upaya peningkatan stok(stock enhancement). Langkah lainnya adalah penambahan (restocking) dan pengembangan stok, hingga pelepasan ikan kembali ke laut–yang dikenal sebagai restorative aquaculture.

Relasi antar-nelayan menjadi vital

Kelompok Tani di desa Korobhera di Kabupaten Sikka, NTT. Wahana Tani Mandiri
Perubahan iklim bukan hanya persoalan yang melanda petani secara individu, tapi juga komunitasnya. Karena itu, kelompok-kelompok tani harus menyusun strategi untuk menghadapinya bersama-sama. Hal yang sama juga berlaku bagi komunitas nelayan. Riset menunjukkan ikatan sosial yang kuat di kalangan nelayan di pesisir Asia, Eropa, dan Afrika, mampu meningkatkan kemampuan mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim. Tak hanya ikatan sosial: kemampuan berjejaring, tingkat kepercayaan dan norma-norma sosial, juga turut mempengaruhi pilihan-pilihan tindakan yang diambil para petani. Di Nusa Tenggara Timur, para petani juga menganggap kelompok tani sebagai sarana utama untuk menghadapi beragam fenomena dalam perubahan iklim. Hal ini terjadi karena rasa tolong-menolong di antara sesama anggota. Sebaliknya, kegiatan budi daya perikanan yang berkelanjutan (restorative aquaculture) yang dilakukan nelayan di Fakfak secara individu terbukti belum optimal. Sebab, pendekatan ini dapat efektif jika terdapat keterlibatan warga dalam kelompok dan kepala desa setempat. Pendekatan kelompok memang bukanlah satu-satunya andalan bagi petani dan nelayan untuk menghadapi perubahan iklim. Aspek ini harus dibarengi dengan akses informasi yang memadai, peningkatan kualitas bagi para pemimpin di tingkat komunitas, dan kesediaan para nelayan serta petani untuk menggunakan pendekatan baru.The Conversation

Venticia Hukom
, Research Manager, Yayasan Inobu

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.