Saturday 13 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 7 and Day 8 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata

 


Berikut ini rekap insight dan rangkuman dari Day 7 dan Day 8 #22HBB Vol. 3 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata. Selamat Menyimak!


Day 7 #22HBB Vol.3 (12 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 132-137/362

Insight/rangkuman/catatan:

PRESISI PERTANIAN POSTMODERN (STUDI KOMPARASI PERTANIAN JALAN TENGAH)

Metodologi Lokal: Mimpi Masyarakat Terjajah (Bangsa Maori di New Zealand) Lepas dari Penjajahan Pikiran

Substansi tulisan ini sejatinya tidak banyak terkait dengan praktik (teknis) pertanian postmodern, tetapi pemikiran radikal Linda Tuhiwai Smith lebih membongkar sisi dominasi metodologi luar (imperialism) atas metodologi, pengetahuan dan teknologi. Sebagai peneliti senior Maori di New Zealand, Smith membongkar kembali pandangan bangsa Barat terhadap bangsa Timur. Smith berkeyakinan, jika sejarah bangsa terjajah (Maori) dirangkai oleh penjajah (Barat), melalui penelitian beroda kolonialisme, maka bangsa Maori hanya menjadi pecundang. Perspektif penjajah (Barat) hanya menghimpun bangsa terjajah (Maori), mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala cara penjajah (Barat), lalu lewat kaca mata Barat dikembalikan lagi kepada bangsa terjajah. Sungguh sebuah proses kolonisasi lanjut yang menurut Edward Said hanya wacana Barat untuk mencabik berbagai pandangan lain tentang Timur (baik melalui konstruksi sekolahan maupun konstruksi 

Imajinatif terhadap ide-ide tentang Timur) dan mendeskripsikannya kembali lewat isme-isme untuk menjustifikasi dan menguasai Timur. Smith mengidentifikasi penelitian sebagai ajang pertarungan signifikan antara kepentingan (dan perspektif) Barat dengan kepentingan (dan perspektif) yang memberikan perlawanan (Timur). Termasuk di dalam pertarungan tersebut adalah "metode dan teknologi pertanian modern yang didesakan negara maju dan korporasi internasional (Barat) dengan pertanian spesifik lokal yang eksis dalam diversitas dan dipertahankan masyarakat lokal (Timur). Tanpa menyertakan analisis imperialisme, terlalu sulit untuk menganalisis secara diametral antara metodologi penelitian dan bangsa terjajah, karena "saking" mengakarnya isme-isme dan praktik kolonislisme.

Kolonialisme sebagai bentuk ekspresi dari imperialisme telah membutakan bangsa terjajah, sehingga melupakan makna makna yang tersembunyi dibalik metafor-metafor yang digunakan dan narasi-narasi yang diagungkan Barat. Bagi bangsa Barat, yang namanya Columbus, James Cook, Alfonso d'Albuquerque dan lainnya adalah pahlawan yang tertulis abadi dalam sejarah kemajuan peradabannya. Padahal, bagi bangsa Indian, Maori, Nusantara, mereka adalah momok yang menjijikan. Bagi Amerika Serikat, antropolog-antropolog (seperti Robert Chamber, James Scott, Clifford Geertz, Benjamin White dan lainnya) yang sering berwajah ganda (mengaku misionaris dan sebagainya), adalah aktor yang paling berjasa dalam membuka informasi dan investasi di Indonesia. Padahal, sejatinya mereka adalah antek-antek kolonial dan korporasi transnasional. Bahkan, bagi bangsa Maori, orang- orang penjelajah dari Barat yang dijadikan simbol (metafor) penemu pengetahuan dan yang menjejakan pengetahuan Barat ke Timur, tidak kalah menjanjikan. Bangsa Maori selama ini hanya dijadikan sebagai obyek penelitian untuk kepentingan kolonialisme dan imperialisme. Kata dan praktik penelitian menjadi momok bagi orang Maori, sehingga ketika berhadapan dengan peneliti-peneliti dari golongan akademis 

Barat dan atau agen-agen peneliti Barat, mereka selalu memasang muka paranoid. Sebuah kondisi yang mirip dengan apa yang dialami para petani dan masyarakat pedesaan di negara dunia ketiga, yang selalu dijadikan sebagai obyek penelitian para peneliti negara maju, perusahaan transnasional dan agen-agen penelitiannya (yang umumnya datang dari institusi penelitian dan pendidikan tinggi yang menjadi aktor-aktor dan perpanjangan tangan pertanian modern.

Metode-metode penelitian ilmiah yang digunakan peneliti Barat dan diadopsi agen-agen peneliti lokal sejatinya berkontribusi terhadap proses dan keberlanjutan imperialisme atas NDK. Peneliti dan intelektual Barat "so tahu tentang segala hal bangsa terjajah dengan hanya dari perjumpaannya dengan seorang bangsa terjajah. Bahkan, jauh sebelum meneliti, mereka sudah melabel pengetahuan dan teknologi lokal tidak lebih baik dari teknologi Barat. Paradoks dengan itu, diam-diam mereka mengklaim (jika tidak disebut menjarah) metode, kekayaan dan teknologi lokal untuk kemudian menghapus orang-orang atau komunitas lokal yang menciptakannya. Melalui hegemoni, imperialisme menolak "kedigdayaan" bangsa NDK dapat menciptakan budaya dan kemandirian bangsa. Hal inilah yang menjadi proposisi pentingnya membangun NDK dan mendorong Barat menerapkan pogram pembangunan (developmentalism). Deduksi peneliti Barat untuk bangsa terjajah memiliki cerita sendiri dan cerita tandingan tetap berkembang dalam bangsa terjajah sebagai bentuk perlawanan. Foucault mengatakan bahwa efek dari kisah para penjelajah berkontribusi besar bagi pengetahuan Barat. Kontribusi tersebut setara dengan data hasil penelitian yang sistematis. Dengan demikian, tidak ada bedanya antara hasil penelitian sungguhan dan hasil kunjungan penjelajah asing yang tamak. Ironinya, banyak peneliti "penjajah" yang sangat dihormati dan disukai komunitas bangsa terjajah.

Sebuah pertanyaan pernah penulis lontarkan kepada Dr. Van Den Ban yang seorang pakar penyuluhan Belanda yang sedang melakukan penelitian di Maroko Afrika. Mengapa hasil-hasil penelitian tentang penyuluhan di negara maju sulit ditemukan? Sampai diskusi berakhir tidak mendapat jawaban. Boleh jadi thesis Smith benar bahwa "bangsa terjajah merupakan bangsa yang paling sering diteliti di seluruh dunia". Terlepas dari semua itu dan juga sinisme terhadap metodologi Barat, Smith memandang pentingnya dekonstruksi. Dalam kerangka dekolonisasi, dekonstruksi adalah niatan yang jauh lebih besar. Membongkar cerita, mengungkap makna-makna yang tersembunyi dibalik teks-teks yang melandasinya, dan menyuarakan hal-hal yang kerapkali diketahui lewat intuisi tetapi tidak dapat menolong orang untuk memperbaiki kondisi kekiniannya. Ketika berbagai komunitas bangsa terjajah sedang ditikam kecemasan akan hilangnya kearifan, pengetahuan lokal, teknologi lokal, kebudayaan setempat, kecintaan dan relasi dengan alam (tanah, air, sungai, gunung) dan erosi sumberdaya alam, mereka bekerja keras merebut perhatian dunia internasional dan mencari perlindungan melalui berbagai konvensi, namun ternyata masih banyak komunitas bangsa terjajah, lembaga swadaya, akademisi dan lembaga internasional yang merasa nyaman hidup dalam kreasi post-kolonial dan kondisi tekanan sosial ekonomi politik yang melanggengkan parahnya penjajahan, kemiskinan, kelaparan, gawat dan buruknya kesehatan, rusaknya lingkungan, tingginya pencemaran, maraknya kejahatan, melembaganya narkoba pada generasi muda, pendidikan menyedihkan dan kesenjangan (antar kelas, antar daerah, antara wilayah) yang semakin melebar.

Pesan yang hendak disampaikan dari tulisan ini adalah "para peneliti dan akademisi bangsa terjajah yang semakin membengkak jumlah dan keahliannya diharapkan memulai menggarap isu-isu sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan kelembagaan dalam kerangka penentuan nasib sendiri (self-determination), dekolonisasi dan keadilan sosial yang lebih luas. Termasuk di dalamnya adalah protokol, metodologi dan strategi penelitian lokal yang terkait dengan pengetahuan, teknologi, institusi, etika dan estetika pertanian lokal NDK. Hal yang paling mendapat penekanan adalah "pemihakan" para peneliti dan akademisi lokal atas formasi baru (kreasi-kreasi) kolonisasi. Idealnya, peneliti dan akademisi lokal berperan sebagai orang dalam (insider) dalam penelitian maupun dalam posisinya sebagai bangsa terjajah. Pahit-pahitnya, mereka menjadi outsider dalam posisinya sebagai peneliti dalam institusi yang mengagungkan paradigma dan metodologi penelitian Barat. Semua pesan itu menegaskan bahwa "dekolonisasi metodologi" tidak dikhususkan pada metode penelitian, tetapi lebih meletakan penelitian dalam konteks historis, politis dan kulturalis. Penekanan aspek kulturalis ditujukan untuk mensterilkan terminologi, simbol dan metafor yang bias kolonisasi, seperti indigenous (padanan exogenous: bangsa pendatang, bangsa Barat) yang melabel, merangkum atau menyeragamkan berbagai istilah komunitas lokal. Sebuah label yang merepresentasikan bahwa urusan dekolonisasi belum tuntas. Kata yang relatif identik adalah ulayat, tradisional, pranata-pranata dan kode-kode yang sengaja dikreasi dan dikelola untuk melanggengkan kolonisasi.

Smith mengkritisi, bahwa implikasi disiplin dan metodologi Barat sama kadamya dengan implikasi imperialismenya. Pernyataan tersebut menegaskan perlunya kehati-hatian dan kecermatan dalam merespon segala bentuk metode dari Barat, karena boleh jadi itu jebakan kolonialisme, minimal memahami peta-peta kreasi kapitalisme dan imperialisme. Oleh karena itu, untuk merealisasikan jalan tengah butuh upaya keras dan cerdas, butuh ruang dan jaringan internalisasi, butuh mengembangkan kepercayaan dan mengokohkan keanggotaan, kredibilitas dan reputasi dalam komunitas. Intelektual lokal harus bermental insider komunitas bangsanya dan outsider institusi yang menaunginya. Disiplin Barat memandang penelitian sebagai berbagi informasi dan berakhir ketika laporan terwujudkan. Padahal, penelitian adalah berbagi teori, pengetahuan, metodologi, analisis dan pendekatan. Ketidakseimbangan dalam berbagi telah menciptakan kejenuhan pada bangsa yang diteliti. Alih-alih disikapi secara arif dan bijaksana, para peneliti yang mewakili NDP atau korporasi malah mengkreasi nomenklatur yang lepas dari peneliti, seperti konsultan, pekerja proyek, aktifis, fasilitator dan sebagainya. Bahkan, ditemukan juga peneliti yang mengaku petugas pemerintah, wartawan media dan utusan wakil rakyat. Bentuk konkrit metodologi peneltian postmodern adalah Kaupapa Maori (semacam lembaga riset lokal), yang identik dengan Pusat Penelitian Swadaya (PPS) di Indonesia atau Lembaga Penelitian Komunitas Adat (LPKA) yang berparadigma dan bermetodologi lokal, yang menyertakan intelektual adat.



Day 8 #22HBB Vol.3 (13 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 137-143/362

Insight/rangkuman/catatan:

PRESISI PERTANIAN POSTMODERN (STUDI KOMPARASI PERTANIAN JALAN TENGAH)

Berkaca Pada Pertanian Kuba: Berharap Indonesia Modern Diembargo Barat (Amerika-Eropa) dan Lepas dari Perangkap Cina

Sulitnya menemukan referensi yang mendekati pertanian postmodern sangatlah wajar, karena hampir di setiap belahan benua, negara dunia ketiga hanya memiliki dua pilihan metodologi dan idiologi, memihak ke kanan (Amerika Serikat dan sekutunya) atau merapat ke kiri (Rusia dan Cina). Polarisasi yang terbelah sejak era perang dingin, era perebutan kekuasaan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Paradoks dengan kecenderungan pada umumnya, Kuba (sebuah negara di Karibia) tampil sebagai satu-satunya negara yang berani menghadapi embargo Amerika Serikat dan lepas dari jerat Uni Soviet. Rakyat Kuba berani meninggalkan predikat "negara paling modern di daratan Amerika Latin pada waktu itu". Bukan hanya idiologi dan metodologi kapitalisme dan komunisme yang ditinggalkan, disterilisasi dan diganti rakyat Kuba, tetapi juga isme pembangunan dan metafor modernisasi pertanian. Kuba bukan hanya membongkar secara radikal, tetapi dengan gagah berani mengganti revolusi hijau (green revolution) dengan pertanian yang berdaulat, yang mandiri, yang lestari dan yang berdiri tegak diatas solidaritas rakyat dan komitmen pemerintah revolusioner yang impresif. Peter Rosset dan Medea Benyamin (2005) memaparkan secara detil dan menyeluruh, bagaimana rakyat Kuba mengambil jalan sendiri, jalan yang meloloskannya dari metafor kemajuan semu modernisasi dan meninggalkan masa-masa ketergantungan hebat pada Uni Soviet.

Melawan revolusi hijau telah membuat Kuba nyaris ambruk, bukan hanya dihadapkan pada krisis pangan dan energi, tetapi juga lapangan kerja. Pasokan berbagai kebutuhan pokok dari Amerika Serikat dan Soviet dihentikan. Hasil pertanian sama tidak berharganya dengan mata uang. Kerawanan pangan, malprotein, malnutrisi dan kemiskinan bagai datang lebih awal, menjemput dipenghujung musim gugur. Namun, sebelum lonceng kematian berdenting, rakyat dan pemerintah revolusioner Kuba bergerak lebih cepat, mengerahkan prakarsa, cipta dan kemandirian bangsa untuk mengkreasi dan memenuhi kebutuhan sendiri. Reforma agraria ditempatkan sebagai titik pijak. Pertanian dan peternakan monokultur yang semula dikuasai korporasi diambil alih oleh negara dan 70 persen diserahkan kepada rakayat. Badan dunia dan LSM-LSM tidak diberi ruang, karena dinilai merusak nilai-nilai sejati rakyat. Energi yang semula berbasis minyak diganti dengan energi matahari, biomassa, biogas, tenaga mikro-hidro, angin dan lainnya. Ampas tebu dari pabrik gula, daun dan tangkainya dijadikan bahan bakar untuk menghasilkan energi. Penghematan energi dan konsumsi pangan dilakukan secara menyeluruh oleh rakyat Kuba. Berbekal Iptek dan solidaritas, intelektual muda Kuba bekerja keras meneliti (dengan peralatan laboratorium seadanya) untuk menghasilkan berbagai kreasi dan inovasi.

Budidaya tanaman yang modern, yang padat input luar (pupuk kimia, pestisida sintetis dan benih hibrida), yang intensif dan ekstensif monokultur yang inputnya serba didatangkan dari luar (berbahan baku impor), diganti dengan pertanian organik, pertanian biologis dan pertanian ekologis. Ekspor komoditas unggulan (tebu) dipertahankan dan bahkan terus ditingkatkan, sementara produksi dalam negeri semula ketergantungan pada impor diganti dan dipenuhi dengan komoditas spesifik lokal dan pendekatan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Model ekologis ini mengalihkan mekanisasi dan kimiawi ke model rotasi, multi fungsi, perbaikan dan pelestarian tanah organik, kontrol atas hama biologis, pengembangan pupuk organik (biofertilizer) dan pengendalian mikrobial yang ramah lingkungan (Rosset dan Benyamin, 2005). Prosesnya dilakukan dengan integrasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi global (hasil riset para intelektual muda) dengan pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari lokal (hasil riset para petani yang beragam dan tersebar di berbagai daerah). Komunitas merupakan basis produksi input internal, namun kelemahan yang dikritik dari cara ekologis Kuba adalah tidak membangun industri input lokal, sehingga tidak dapat menjamin lompatan dan kejutan permintaan dari masyarakat.

Pola makan atau pola konsumsi masyarakat dididik untuk lebih mengedepankan konteks tradisi (lokalitas), hemat (efisien) dan berbudaya, dengan perhatian, kecermatan dan ketelitian untuk lebih realistik. Agroindustri dibangun tetapi dengan sumberdaya, input, alat mesin, energi, bahan bakar dan bahan baku yang serba didatangkan atau bersumber dari lokal (internal). Paradigma pembangunan pertanian modern (green revolution) diganti dengan tradisi lokal petani, tumpang sari, tenaga hewan, pengendalian hayati (biologis) dan komoditas spesifik lokal. Perilaku petani dan bangsa Kuba yang sangat membanggakan kemodeman dan ketergantungan atas produk-produk impor diganti secara radikal oleh kesadaran dan solidaritas rakyat. Perilaku konsumtif atas pangan, bahan bakar dan energi dieliminasi dengan efisiensi pola konsumsi, seperti diversifikasi, pengurangan jumlah bahan konsumsi dan mengganti pangan impor dengan pangan lokal. Aksi radikal, kerja keras, kerja cerdas, kemandirian, solidaritas dan partisipasi rakyat Kuba telah menciptakan pertanian yang murah, ramah, bebas polutan, sehat dan membebaskan petani dari kolonisasi modernisasi. Suatu gerakan yang bertolak belakang dengan hampir seluruh negara dunia ketiga "yang pemerintahnya selalu menjadi kaki tangan imperialisme".

Gerakan radikal Kuba dalam mengantisipasi krisis pangan (pertanian) dilakukan melalui pembentukan aliansi rakyat (community), pemerintah, lembaga penelitian (tanah dan pupuk, ekologi dan taksonomi, bioagrikultur) dan perguruan tinggi untuk mengkreasi model pertanian adaptif dan inovatif. Pemusatan penduduk diperkotaan telah berdampak pada krisis pertanian dan pedesaan. Untuk itu, pemerintah Kuba membangun pemukiman di pedesaan dan membalik SDM-SDM muda terdidik dan terlatih dari perkotaan ke pedesaan (internal brain gain). Rakyat kota-kota (terutama pemuda yang selesai latihan wajib militer) dimobilisasi ke pedesaan (remigrasi) untuk menyumbangkan tenaganya (sampai dua tahun). Mereka menjadi buruh jangka pendek dengan meninggalkan pekerjaan atau sekolah selama 15 hari perbulan untuk bekerja di pedesaan secara sukarela dan hidup dalam asrama di pedesaan. Pertanian modern model developmentalism mereka ganti dengan pertanian organik, lestari, inovatif dan spesifik lokal. Sebuah kebijakan resmi pemerintah yang total, tidak setengah hati seperti ditemukan dibanyak negara dunia ketiga. Pendekatan kemandirian dan kedaulatan pangan lainnya dilakukan Kuba melalui "Taman Kemenangan (Vitory Garden), suatu program aksi yang mirip dengan "urban farming" sekarang. Tentu tujuannya bukan untuk sekedar estetika dalam konteks ekonomi kreatif, tetapi membangun relasi masyarakat dengan tanah, memangkas ketergantungan perkotaan atas pasokan beberapa jenis produk pertanian "sensitif" dari pedesaan, disamping menghemat rantai dan proses distribusi yang boros bahan bakar.

Gerakan pertanian radikal lainnya adalah mengganti ketergantungan rakyat Kuba pada ayam, anak ayam dan pakan ayam impor. Bahkan, perusahaan ayam (petelur maupun daging), anak ayam dan pakan ayam semuanya dikendalikan oleh korporasi eksternal. Sebuah kondisi "perunggasan" yang mirip sekali dengan di Indonesia sekarang. Upaya Kuba untuk membangun kemandirian protein dilakukan dengan mengembangkan ayam lokal dan membagi-bagikan bibit dan anak ayam kepada masyarakat agar beternak ayam sendiri di halaman belakang rumahnya. Pendekatan ini berhasil menyelesaikan krisis protein (daging dan telur) serta membangun kemandirian protein. Ketergantungan masyarakat pada gandung yang diimpor dari Rusia, Kuba selesaikan dengan mengembangkan pangan lokal. Penghematan jumlah konsumsi dan pengaturan pola konsumsi pangan masyarakat diikuti dengan melembagakan usahatani pangan lokal (ubi jalar, beras dan tepung) yang sudah lama membudaya pada masyarakat Kuba Pada saat yang bersamaan, roti telah tergantikan oleh sejenis roti lokal berbahan umbi rambat (viandas) atau roti viandas tradisional yang sesuai dengan tanah dan iklim Kuba. Gerak solidaritas rakyat dikompensasi oleh pemerintah melalui program layanan publik gratis, baik sekolah (dari SD sampai PT), pelayanan kesehatan (dari pos desa sampai rumah sakit) dan sebagainya.

Hal yang paling mengesankan sebagai sebuah pelajaran adalah "antusiasme rakyat, khususnya kader-kader intelektual muda dari ilmuwan budidaya tanaman dan pemikiran-pemikiran sains mereka, sungguh merupakan fenomena militansi dari kader-kader ilmuwan yang menjadi motor atas keberpihakan yang tinggi kepada rakyat (red and expert). Sehingga tidak sia-sia kalau kecanggihan penelitian dan penerapan perlindungan tanaman di Kuba berkembangan pesat sampai mendekati tingkat yang mereka capai pada obat manusia dan hewan. Sebagai sebuah negara dunia ketiga dan berhaluan sosialis murni, Kuba tampil bukan sebagai utopia. Ia adalah inspirasi tentang kohesifitas kekuatan rakyat, solidaritas, kerja keras, kerja cerdas, keringat, kemandirian, kedaulatan dan jalan sosialisme murni yang memiliki masa depan (Rahardjo dan Prabowo, 2005). Meskipun gerakan dan pertanian radikal Kuba tidak dilabel secara eksplisit sebagai pertanian postmodern, namun karena jalan sosialisnya tidak sejalan dengan Rusia maupun Cina, maka oleh penulis dikategorikan sebagai jalan tengah yang horizontal. Konsistensi dan kemandirian Kuba dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi spesifik yang ramah lingkungan (organik, lestari dan berkelanjutan), menjadikannya diakui oleh dunia sebagai sentral Iptek dan riset LEISA. Pada perkembangannya, peneliti di Kuba menjadi mandiri dan bahkan menumbuhkan peneliti-peneliti biologi dan organik lokal (seperti penangkar, pengendali OPT, biofertilizer dan spesifik lokal lainnya) di daerah-daerah. Penulis masih berharap menemukan model pertanian postmodern yang jalan tengahnya horizontal dan vertikal. Pertanian postmodern yang berlandaskan kebenaran mutlak, yang steril dari isme-isme dan metafor-metafor kiri- kanan, sosialis-kapitais (developmentalism).

Menyimak dan mencermati gerakan radikal di Kuba, penulis membayangkan hal yang sama terjadi di Indonesia. Jika Indonesia pernah dijajah Belanda, maka Kuba dijajah Spanyol. Kondisi Indonesia saat ini hampir sama dengan Kuba disaat revolusi, sekitar 15% pengusaha menguasai 85% lahan pertanian. Penulis berharap Indonesia tidak ketergantungan pada Amerika Serikat, Negara-negara Eropa maupun Jepang dan Cina. Penulis berharap Indonesia diembargo dan lepas dengan tegak dari dominasi imperium global dan tidak terjebak dalam perangkap Cina Modern. Melalui itu, penulis yakin bahwa rakyat dan negeri ini akan lebih mandiri dan berdaulat, setara dengan dampak restorasi Meizi, politik tirai bambu Cina dan pembaharuan Erdogan di Turki. Bahkan penulis yakin, Indonesia akan lebih dari Kuba, karena daya dukung sumberdaya alam, lingkungan dan manusia Indonesia lebih baik dari Kuba. Tentu dengan prasyarat, masyarakat memiliki solidaritas dan pemimpin berkomitmen. Dikatakan demikian, karena dengan sumberdaya alam yang berlimpah, perkebunan kelapa dan sawit nomor satu di dunia, sumber energi sudah pasti akan tercukupi tanpa harus mengurangi ekspor minyak dan bahan baku nabati. Indonesia yang memiliki flora-fauna daratan nomor dua di dunia dan flora-fauna lautan nomor satu di dunia mumpuni menjadi negeri yang mandiri pangan, energi, protein, dan lainnya. Suasana Indonesia modern hari ini sudah serba mendukung untuk menjadi mandiri, untuk lepas dari dominasi dan ketergantungan pada luar (impor). Sejatinya, model alternatif, model pertanian ekologis, terdiversifikasi dan multifungsional yang mengedepankan sumberdaya lokal lebih menjanjikan dan lebih menjamin kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia ke depan.