Sunday 4 February 2024

Berjasa Turunkan Kemiskinan, Tapi Petani Tak Kunjung Sejahtera

Berjasa turunkan kemiskinan, tapi petani tak kunjung sejahtera

Petani di Yogyakarta tengah memanen padi saat musim kemarau. Fresh Stocks/shutterstock


Peningkatan produktivitas pertanian tidak hanya berdampak secara langsung pada kinerja sektor pertanian, tapi juga pada kesejahteraan petani dan angka kemiskinan di Indonesia.

Menurut laporan terbaru “Indonesia Poverty Assessment” dari Bank Dunia, sektor pertanian serta sektor jasa dengan nilai tambah rendah–seperti pekerja kios dan restoran, pekerja kebersihan, dan pedagang kaki lima–menjadi roda penggerak utama pengentasan kemiskinan.

Sayangnya, di tengah sumbangsih positif sektor pertanian terhadap angka kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi nasional, kesejahteraan petani masih menjadi tanda tanya.

Kegiatan pertanian yang cenderung bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja dengan upah rendah) juga memiliki produktivitas yang cenderung rendah. Produktivitas pekerja pertanian Indonesia (kontribusi pekerja terhadap keluaran hasil pertanian) hanya senilai US$3.419 (Rp 50,83 juta) per pekerja pada 2019. Ini lebih kecil dari Cina (US$5.281 per pekerja) dan Thailand (US$4.274), dan sedikit lebih tinggi dari Vietnam (US$3.074 per pekerja).

Bank Dunia menyebut, produktivitas yang rendah membuat 75% rumah tangga sektor pertanian dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan tidak mampu menyokong kebutuhan mereka dan keluar dari perangkap kemiskinan. Padahal, tenaga kerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor dengan tenaga kerja terbesar. Ada sekitar 28,6% angkatan kerja berkecimpung di sana.

Berbagai kendala yang dihadapi dalam peningkatan produktivitas pertanian antara lain adalah kurangnya kualitas penyuluhan pertanian, keterbatasan akses pasar, dan kesenjangan infrastruktur. Ada juga masalah seperti kepemilikan lahan yang semakin kecil, kesulitan akses kredit, hingga biaya logistik pangan yang tinggi.

Kontribusi maksimum, pemasukan minimum

Bank Dunia menguraikan, sektor pertanian berkontribusi sebesar 53% terhadap pengurangan kemiskinan di wilayah pedesaan di Indonesia. Kemiskinan di wilayah pedesaan memang masih mendominasi tingkat kemiskinan nasional dengan angka 12,36% per September 2022.

Selain itu, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang sebesar 13,3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2021.

Namun, kontribusi sektor pertanian terhadap penurunan angka kemiskinan serta PDB belum diiringi dengan peningkatan nilai tambah yang signifikan bagi para pelaku di dalamnya. Rata-rata pemasukan bersih pekerja di sektor pertanian berkisar di Rp 1,5 juta per bulan pada 2022.

Nilai ini memang tak termasuk dalam kategori miskin menurut standar garis kemiskinan di pedesaan versi BPS yang sebesar Rp 484.209 per bulan. Namun, pendapatan rata-rata tersebut masih paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.

Rendahnya kesejahteraan petani terlihat dari pengeluaran rumah rangga pertanian (RTP) yang masih didominasi oleh pengeluaran untuk makanan sebesar 57,66%, dibandingkan dengan pengeluaran untuk nonmakanan sebesar 42,34%. Hal ini mengindikasikan petani masih perlu berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan makanan.

Tingkat pendidikan penduduk usia lima tahun ke atas di rumah tangga usaha pertanian dan rumah tangga buruh tani pun masih rendah. Sekitar 29,57% dan 29,69% dari populasi masing-masing tergolong rumah tangga tidak sekolah, dan sebanyak 29,70% dan 31,01% hanya tamat sekolah dasar.

Produktivitas tak sebanding

Selama ini produktivitas dan kesejahteraan petani ditakar menggunakan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah perbandingan harga yang diterima petani dan harga yang harus dibayarkan oleh mereka.

Secara nasional, berdasarkan data BPS, angka NTP di subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, serta perikanan hanya naik sebesar 0,61% dari tahun 2021 ke tahun 2022. Sebagai perbandingan, NTP naik 4,93% pada tahun sebelumnya.

Namun, data BPS menunjukkan, meskipun indeks harga yang diterima petani melalui komoditas produksinya meningkat sebesar 5,92% pada 2022, indeks harga yang dibayar oleh petani untuk konsumsi rumah tangga juga naik hingga dengan jumlah yang hampir sebanding, yaitu mencapai 5,28%. Pembayaran konsumsi rumah tangga mencakup makanan, minuman, dan perlengkapan rutin rumah tangga.

Di sisi lain, sudah banyak analisis yang menyebut NTP belum dapat menggambarkan kesejahteraan petani secara utuh. Sebab, NTP hanya mengukur harga tanpa mempertimbangkan penghasilan yang diterima para petani berdasarkan hasil panen dari luasan lahan garapannya masing-masing. Dengan luas lahan garapan yang relatif kecil, memang peran harga terhadap penerimaan petani bisa jadi tidak signifikan.

Risiko cuaca ekstrem serta bencana alam pun menambah risiko gagal panen. Hal tersebut semakin mengurangi nilai tambah kegiatan pertanian. Konteks geografis dan ekologis turut menjadi tantangan karena sistem budi daya dan strategi mata pencaharian (livelihoods) yang sangat dipengaruhi faktor bawaan, seperti ketinggian lahan, ketersediaan sumber air, dan kesuburan tanah.

Pemerintah mengalokasikan sekitar 2-3% dari PDB setiap tahunnya, atau sekitar Rp 15,31 triliun dari APBN 2023 untuk sektor pertanian. Subsidi pupuk juga merupakan anggaran subsidi non-energi terbesar, yakni 25-30% dari anggaran per tahun.

Kementerian Pertanian juga mengguyur anggaran peningkatan produktivitas, seperti bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian), pembangunan jaringan irigasi, dan pengembangan keahlian petani. Jumlahnya sekitar 10% dari anggaran institusi per tahunnya.

Sayangnya, kebijakan pertanian tersebut tampak belum memprioritaskan peningkatan produktivitas. Anggaran subsidi pupuk, misalnya, berisiko memicu petani untuk fokus memproduksi tanaman bernilai rendah, namun justru mendapatkan anggaran jauh lebih tinggi dibandingkan pos anggaran Kementerian Pertanian lainnya. Lahan panen padi yang luas serta kebutuhan pupuk yang cukup intensif dari pertanian padi menyebabkan sekitar 60% permintaan pupuk oleh petani diserap oleh pertanian padi.

Kondisi ini memunculkan urgensi pentingnya pendekatan baru untuk pembangunan pertanian: dari yang bertumpu pada dukungan harga (market price support) ke peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Caranya bisa melalui modernisasi, penggunaan teknologi, dan dukungan pembiayaan serta akses pasar.

Apa yang bisa dilakukan?

Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas. Pertama, perlunya peningkatan upaya untuk mengembangkan dan menggalakkan penggunaan benih unggul.

Pengembangan benih semestinya tidak hanya digalakkan untuk lembaga riset negara, tetapi juga perusahaan swasta. Untuk itu, regulasi yang merangsang usaha-usaha penangkaran dan perbanyakan benih sangatlah krusial.

Pada akhirnya, benih merupakan barang modal yang menentukan kualitas dan nilai produk petani. Usaha untuk memastikan efisiensi dalam produksi dan distribusinya amat penting.

Kedua, akses petani pada infrastruktur irigasi masih perlu ditingkatkan. Saat ini masih ada ketimpangan: hanya sekitar 50% dari petani di luar Jawa yang memiliki akses irigasi.

Di sisi lain, pembangunan irigasi di luar Jawa juga perlu memperhatikan faktor geografis, seperti kemiringan lahan.

Ketiga, perlu perubahan paradigma dalam memperlakukan pelaku usaha di sepanjang rantai pertanian (seperti pedagang pengumpul dan penggilingan) sebagai aktor penting yang turut menentukan nilai tambah produk petani. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, dengan memberi insentif bagi mereka untuk berinvestasi pada fasilitas pengolahan pascapanen.

Keempat, upaya peningkatan produktivitas pertanian memerlukan sokongan investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI), terutama mengingat rendahnya realisasi FDI di sektor pertanian. Jumlahnya hanya mencapai 3%-7% dari total realisasi FDI di Indonesia selama 2015-2019.

Relaksasi kebijakan penanaman modal di sektor pertanian penting untuk mendorong investasi di bidang pengembangan teknologi, transfer pengetahuan, hingga integrasi yang lebih dalam pada rantai nilai global.

Pada akhirnya, keterbukaan ekonomi serta kepastian iklim investasi sektor pertanian dapat meningkatkan aspek keterjangkauan serta aksesibilitas pangan masyarakat.

Terakhir, seiring pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural, peran sektor pertanian dan ekonomi perdesaan memang normal mengalami penurunan. Hal ini merupakan tren yang terjadi di mana-mana seiring dengan industrialisasi dan pembangunan perkotaan.

Oleh karena itu, tetap akan ada pihak-pihak yang rentan tertinggal, misalnya buruh tani dan petani penggarap. Keterbatasan aset dan sumber daya yang dimiliki kelompok rentan ini juga menyulitkan upaya peningkatan produktivitas.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dapat merumuskan strategi peningkatan kesejahteraan yang bertumpu pada pembangunan perdesaan dan kota-kota satelit demi meningkatkan kesempatan ekonomi, serta bantuan sosial secara terarah sebagai jaring pengaman.The Conversation

Aditya Alta, Researcher, Center for Indonesian Policy Studies dan Maria Dominika Mediana R B, Research Trainee at Center for Indonesian Policy Studies

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Cek Fakta: Benarkah Kita Kekurangan Lahan Pertanian dan Terancam Krisis Pangan?

Cek Fakta: Benarkah kita kekurangan lahan pertanian dan terancam krisis pangan?


Anggi M. Lubis, The Conversation dan Robby Irfany Maqoma, The Conversation

Penduduk tiap tahun nambah 3 juta orang per orang, butuh 120 kilogram beras per tahun. Lahan berkurang 100 ribu hektare (ha) per tahun. Jadi, kita cepat atau lambat kalau enggak menambah secara masif atau membuat lumbung pangan, kita pasti akan krisis pangan.

– Grace Natalie, Wakil Ketua Umum Tim Kampanye Nasional pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam acara Catatan Demokrasi yang ditayangkan di kanal YouTube TVOneNews pada 23 Januari 2024.


Grace Natalie
Grace Natalie berinteraksi dengan pendukung pasangan calon nomor urut 2 dalam kampanye akbar di Semarang, Minggu, 28 Januari 2024. Tangkapan layar akun Instagram @gracenat


The Conversation Indonesia
menghubungi Riska Ayu Purnamasari, peneliti Innovation Center for Tropical Sciences (ICTS) untuk memverifikasi klaim Grace tersebut.

Analisis:

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertambahan penduduk setiap tahun memang mencapai 3 juta jiwa dengan rincian jumlah penduduk dari tahun ke tahun adalah: 2020 sebanyak 270 juta jiwa, 2021 sebanyak 272 juta, 2022 sebanyak 275 juta, dan 2023 mencapai 278 juta jiwa.

Sementara, luas panen padi pada 2022 mencapai sekitar 10,45 juta ha, naik 40,87 ribu ha atau 0,39% dibandingkan luas panen padi di 2021 yang sebesar 10,41 juta ha.

Kenaikan menyebabkan produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk pada 2022 mencapai 31,54 juta ton, bertambah 184,50 ribu ton atau 0,59% dibandingkan produksi beras pada 2021 yang sebesar 31,36 juta ton.

Jika dikaitkan dengan konsumsi beras di tahun yang sama, menurut data Kementerian Pertanian,konsumsi beras di tahun 2022 sekitar 30.6 juta ton. Ini lebih besar dibanding konsumsi di tahun 2021 yang berkisar 30.04 juta ton. Namun hal ini masih setara dengan kenaikan produksi beras di tahun 2022. Jadi dapat disimpulkan bahwa produksi dan konsumsi beras sampai tahun 2022 masih mencukupi kebutuhan konsumsi Masyarakat.

Adapun luas panen padi pada 2023 menjadi 10,20 juta hektare, menurun sebanyak 255,79 ribu ha atau 2,45% dibandingkan 2022 sebesar 10,45 juta ha. Akibatnya, produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk menurun sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05% menjadi 30,90 juta ton, dibandingkan produksi tahun 2022 sebesar 31,54 juta ton. Fenomena cuaca kering El Nino diduga menyebabkan penurunan ini.

Hasil analisis:

Benar bahwa setiap tahun pertambahan penduduk mencapai 3 juta jiwa, tapi luasan panen padi juga bertambah—kecuali pada 2023, yang mungkin menurun karena El Nino. Data-data di atas juga menunjukkan bahwa produksi dan konsumsi beras sampai tahun 2022 masih mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.

Walaupun begitu, mengatasi krisis pangan bukan hanya dengan menambah produksi dan menambah luas lahan pertanian, tetapi juga meningkatkan akses masyarakat pada pangan yang sudah tersedia.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).The Conversation

Anggi M. Lubis, Business + Economy Editor, The Conversation dan Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Cek Fakta: Ganjar Klaim Indonesia Kekurangan Petani Muda Karena Tak Ada Insentif. Benarkah?

Cek Fakta: Ganjar klaim Indonesia kekurangan petani muda karena tak ada insentif. Benarkah?


Tidak pernah ada insentif yang diberikan kepada anak muda untuk menjadi petani, modernisasi jadi pilihan dengan digitalisasi pertanian. Lahan sempit dilakukan pola konsolidasi, lahan kan pernah punya uji coba waktu itu di Sukoharjo.

Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, dalam Dialog Capres Bersama Kadin Indonesia: Menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Kamis, 11 Januari 2024.

The Conversation Indonesia menghubungi M. Rizki Pratama, dosen Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, dan Riska Ayu Purnamasari, peneliti Innovation Center for Tropical Sciences (ICTS) untuk mengecek klaim Ganjar tersebut.

Analisis 1: Jumlah petani terus menurun

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian terus menurun, dari 20,79% pada 2017 menjadi 18% pada 2022. Di sisi lain, persentase pemuda yang bekerja di sektor jasa terus naik, yakni dari 52,86% pada 2017 menjadi 56,82% pada 2022.

Data BPS juga menunjukkan, pada 2023, jumlah petani dari generasi milennial (kelahiran 1980-1996) hanya 21,93% dari jumlah seluruh petani. Penyebarannya pun tak merata. Sekitar 15,71% di antaranya berpusat di Jawa Timur.

Riset lembaga analisis sosial Akatiga pada 2020 menunjukkan bahwa orang muda terkendala menjadi petani karena menghadapi beberapa tantangan. Beberapa di antaranya yaitu lamanya waktu menunggu untuk dapat mengakses tanah milik orang tua, tingginya harga sewa/beli lahan untuk bertani, harga produk pertanian di tingkat petani yang fluktuatif bahkan cenderung rendah sehingga keuntungan bertani tidak sebesar sektor lain, dan kurangnya informasi seputar praktik pertanian inovatif.

Bahkan mahasiswa pertanian juga enggan bertani. Riset tahun 2022 pada 577 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa lulusan pertanian memiliki minat yang rendah untuk bergelut di sektor ini. Alasannya antara lain karena kekurangan pengetahuan, rendahnya kepercayaan diri, stigma, hingga ketiadaan dukungan dari orang tua dan pendidik.

Sementara, program insentif untuk petani muda memang belum ada di skala nasional. Sejauh ini, program petani milenial ada di skala lokal, misal dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Program tersebut memberikan pelatihan, pemagangan, pemberian akses pasar, akses teknologi, akses kelembagaan, akses sarana dan prasarana produksi/pascaproduksi, asuransi, akses lahan serta sertifikasi/legalitas usaha dan produk.

Hasil analisis 1:

Benar bahwa sektor pertanian tidak menarik bagi sebagian besar generasi muda. Ini terlihat dari jumlah petani muda yang terus menurun. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa banyak pemuda enggan bergelut di sektor pertanian karena faktor yang kompleks seperti stigma petani, minimnya akses modal dan lahan hingga keuntungan yang tipis.

Persoalan makin rumit karena belum adanya kebijakan nasional yang mampu mendorong para pemuda untuk dapat berkontribusi dalam sektor pertanian. Pemerintah harus mampu mereduksi berbagai faktor yang membuat enggan para pemuda untuk aktif di sektor pertanian baik dari sisi penguatan sumber daya manusia, aset maupun modal.

Program insentif untuk petani muda dapat dilakukan melalui berbagai hal seperti program pemotongan pajak, program pelatihan, program pinjaman dengan bunga rendah, program bantuan pendanaan hingga program pensiun dini untuk beralih ke sektor pertanian.

Analisis 2: Petani didominasi penduduk berusia tua

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I BPS, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani Indonesia menurun sebanyak 7,42%, dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2023.

Data lain menyebutkan bahwa profil petani didominasi oleh petani yang berusia tua. Sebanyak 42% (7,9 juta) petani Indonesia merupakan generasi X yang berusia 45–54 tahun. Jumlah petani berusia 55–64 tahun mengalami peningkatan 3,29% (6,8 juta) dan petani berusia di atas 65 tahun meningkat 3,4% (4,7 juta) dalam sepuluh tahun terakhir.

Bertolak belakang dengan data di atas, jumlah petani milenial (usia 25–44 tahun) justru cenderung menurun. Dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi petani berusia 25–34 tahun turun sebanyak 1,73% menjadi 10,24%, atau berjumlah 3 juta. Proporsi petani berusia 35–44 tahun turun sebanyak 4,34% menjadi 22,0% atau berjumlah 6,4 juta.

Hasil analisis 2:

Pernyataan capres tersebut benar. Kurangnya insentif untuk anak muda untuk menjadi petani berakibat pada berkurangnya jumlah angka petani milenial.


Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).The Conversation

Anggi M. Lubis, Business + Economy Editor, The Conversation dan Robby Irfany Maqoma, Environment Editor, The Conversation

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.