Tuesday 9 January 2024

#22HBB Vol.3 Day 3 and Day 4 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata

 

Berikut ini rekap insight dan rangkuman dari Day 3 dan Day 4 #22HBB Vol. 3 Buku Pertanian Postmodern Karya Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M. Gunardi Judawinata. Selamat Menyimak!

Day 3 #22HBB Vol.3 (8 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 49-64/362

Insight/rangkuman/catatan:

IDENTITAS PERTANIAN

"Indonesia memiliki ragam komoditas unggul spesifik lokal yang potensial merajai pasar dalam era kompetesi berkelanjutan; namun metafor-metafor modernisme telah mereduksi rasa bangga bangsa atas identitas pertaniannya, sehingga lebih bangga dengan komoditas-komoditas yang serba didatangkan dari luar; lebih bangga dengan produk industri dan impor daripada produk bangsanya sendiri; bangsa ini lebih bangga dengan sawit daripada kelapa dan pala, lebih bangga dengan ayam Bangkok daripada ayam pelung Cianjur, lebih bangga dengan terigu daripada sagu dan labu, lebih bangga dengan apel California daripada apel Malang, lebih bangga dengan sankis daripada manggis, lebih bangga dengan sapi Australia daripada sapi Bali dan Madura, lebih bangga dengan industri manufacture daripada industri agriculture"

MENAWARKAN GAGASAN MEMBANGUN KESADARAN DAN KECERDASAN

..bedanya peradaban yang dibangun dengan kebenaran mutlak (agama Islam) dan kebenaran relatif (ilmu dunia) terletak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak (gerakan, amal); jika kebenaran mutlak gerakannya pembebasan (al-fath), maka kebenaran relatif gerakannya penaklukan; jika kebenaran mutlak menciptakan keteraturan, keseimbangan dan keadilan, maka kebenaran relatif menciptakan kesenjangan, ketimpangan dan penindasan...

Gagasan yang ditawarkan buku ini jelas tidak populer dalam iklim intelektual modernitas yang lahir dan lekat dengan warna kebenaran relatif seperti sekarang. Untuk sekedar menjadi oposan pun tidak akan banyak menegangkan, karena arus utama sedang dikendalikan dan didominasi kemodernan. Tetapi perlu ditegaskan bahwa kebenaran selalu diturunkan dalam kegelapan. Tujuan utama substansi buku ini bukan untuk menyerang kebenaran relatif dan modernitas, tetapi menyampaikan pesan antisipatif kepada calon-calon generasi emas NDK (termasuk Indonesia) yang akan meregenerasi peradaban dan menjadi aktor utama di era bonus demografi 2035, bahwa belajar dari pengalaman 50 tahun dalam awan hitam kebenaran relatif era modernitas, harapan NDK dapat sejajar dan berdaulat, tidak kunjung terwujud. Diskursus pembangunan sebagai bentuk kemodernan sengaja dikemukakan kepada pembaca (terutama generasi bangsa) supaya memahami bagaimana bekerjanya kekuasaan (imperium) dalam menjalankan imperialismenya. Tanpa memahami dan menganalisis diskursus pembangunan, kita tidak akan mampu memahami bagaimana imperium barat dan atau imperium global melanggengkan kontrol (dominasi) secara sistematik dan mensukseskan imperialsime secara berkelanjutan. Bagaimana skema modernitas diarus- utamakan melalui proyek-proyek dengan menciptakan abnormalitas, stereotype, kolonisasi metodologi, pembentukan agen-agen pembangunan dan desain-desain linear NDP untuk mengidentifikasi penyakit dan resep penyembuhan NDK

Pertanyaannya kemudian, mengapa imperialisme menjadi begitu dominan dalam pengantar atau pendahuluan buku ini? Secara historis empiris, imperialisme di Nusantara berpangkal dari perebutan sumberdaya alam, terutama komoditas pertanian. Sumberdaya inilah yang oleh berbagai sumber selalu dikabarkan menjadi pondasi peradaban dan ketika dilupakan menjadi penanda "senja" akan berakhirnya peradaban. Artinya, sampai kapan pun, pertanian tidak akan lepas dari peradaban dan akan selalu menjadi penciri imperialisme. Sampai zaman berakhir pun, pertanian akan selalu lekat dengan peradaban. Bagi generasi-generasi bangsa yang akan memulai dan membuka bangunan peradaban baru, pertanian menjadi hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Tidak ada kesepakatan sejarah, tetapi diakui secara alami maupun teori, baik oleh Ibnu Khaldun dalam siklus peradabannya, Alfin Tofler dalam gelombang ekonominya, W.W Rostow dalam tahapan pembangunannya maupun Lester Brown dalam tanda-tanda zamannya, bahwa pertanian selalu menjadi pondasi dan sekaligus titik balik peradaban.

Sebagai referensi ideal, Al-Qur'an mengabarkan dengan jelas bahwa peradaban-peradaban mapan masa silam tumbuh berlandaskan ekonomi pertanian dan runtuh karena melupakan pertanian. Fakta sekarang pun menunjukan bahwa untuk menjadi yang terdepan, imperium Eropa, Amerika, Cina dan Asia memulainya dengan membangun dan menguasai pertanian (melalui imperialisme). Untuk membangun imperiumnya, Romawi menaklukan dan menguasai pusat-pusat produksi pangan di Mediterania dan Mesopotamia. Untuk membangun imperium yang luasnya dua kali lipat Romawi, Gengis Khan memapankan kekuatan pangannya dengan telebih dahulu menaklukan dan menjarah gandum dari Korea. Untuk membangun peradaban modemnya, Eropa membangun kemapanan pangannya dengan menjarah pangan melalui praktik kolonialisme di negara-negara yang menjadi sumber pangan di Afrika, Asia dan Amerika. Untuk membangun peradaban Amerika Serikat, Abraham Lincoln memulainya dengan membangun pertanian. Fakta sekarang juga yang menunjukan bahwa keruntuhan kekuasaan di negara-negara yang berbasis pertanian (negara tropis) selalu diawali dari krisis pertanian, terutama krisis pangan.

Praktik memulainya ada yang mengembangkan secara mandiri, ada yang menguasai pasar pertanian dan ada yang melakukan ekspansi pertanian (imperialisme). Dalam kontek sekarang, penguasaan pangan dan pertanian yang dilakukan imperium global mulai bergeser ke investasi pertanian di negara-negara tropis yang memiliki keunggulan komparatif. Kecenderungannya, selama peradaban dibangun manusia di muka bumi, imperialisme tidak akan pernah berhenti. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa imperialisme selalu diawali dengan penguasaan pertanian, baik melalui imperialisme tanam paksa (cultuure stelsel), imperialisme inovasi pertanian (green revolution), imperialisme pasar (standardization) maupun atas nama investasi pangan asing. Setelah imperialisme pertanian, muncul imperialisme pendidikan, kesehatan, transportasi, pasar, keuangan, pelayanan, informasi, inovasi dan sebagainya. Salah satu bentuk kreasi dan inovasi imperialisme pertanian adalah modernisasi pertanian atau pertanian modern. Maknanya, jika imperialisme terhadap pertanian berhasil diganti dengan kemandirian, maka imperialisme secara nasional dapat ditinggalkan. Mengganti imperialisme pertanian berarti mengganti pertanian modern dengan pertanian baru yang beradab, yang mandiri, yang berdaulat, yang maslahat, yang spesifik lokal, yang semuanya berlandaskan pada kebenaran mutlak, bukan kebenaran relatif yang diproduksi peradaban luar.


Day 4 #22HBB Vol.3 (9 Januari 2024)

6 - 0 – Dzikra Yuhasyra ⚽

📚 Pertanian Postmodern: Jalan Tengah-Vertikal Generasi Era Bonus Demografi Membangkitkan Peradaban Nusantara -  Iwan Setiawan, Dika Supyandi, Siska Rasiska & M.Gunardi Judawinata – hlm. 65-96/362

Insight/rangkuman/catatan:

TITIK BALIK PERTANIAN MODERN

"menjerat negara dunia ke tiga: semula pertanian modern jilid 2 yang didesakan negara maju dan TNCs dalam skema green revolution begitu menjanjikan, inovasi luar yang dintroduksikan begitu meyakinkan akan melipatgandakan intensitas dan produktifitas pertanian, sehingga optimis akan menjamin pemenuhan kebutuhan pangan untuk penduduk yang terus tumbuh mengikuti deret ukur, lebih dari itu akan melompatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dunia ke tiga; namun lacur, green revolution ternyata bagian strategis dari puzzle besar kolonisasi lanjut, strategi menjejalkan inovasi (input) luar untuk penyeragaman, pengendalian dan penghancuran ragam sumberdaya lokal negara dunia ke tiga, kesejahteraan dan ketahanan pangan yang dijanjikan entitas neokolonial hanyalah patamorgana yang tidak akan pernah terwujudkan"

Secara historis-empiris, pertanian modern telah dimulai sejak perkebunan teh, tebu, kina, karet dan kakao dikembangkan penguasa kolonial di Nusantara. Proposisinya, perkebunan (estate, onderneming) merupakan produk revolusi industri yang dalam perspektif barat menjadi "motor utama" kemodernan (modernism). Pertanian modern didefinisikan oleh FAO (2006) sebagai "model pertanian skala luas atau sedang (large or intermediate scale) yang berorientasi pasar (commercial), yang padat modal (capital intensive), yang operasinya didukung dengan mechanised (traktor, drones agriculture, harvester, combines), yang intensif menggunakan input eksternal (pupuk kimia, pestisida sintetis, benih unggul, zat pengatur tumbuh dan teknologi canggih lainnya)" yang ditujukan untuk mengoptimalkan produksi, produk dan proses-proses agribisnis terkait dari hulu sampai hilir. Pertanian modern juga didukung dengan organisasi atau institusi yang bermanajemen profesional dan terintegrasi dengan pengolahan yang meningkatkan nilai tambah (value added). Bahkan, meminimalkan risiko di sepanjang rantai pasokan. Tegasnya, pertanian modern adalah pertanian yang dikendalikan oleh inovasi dan investasi global.

Pertanian Modern 1.0

Pertanian modern 1.0 ini tidak dilabel pembangunan (developmentalism), karena praktiknya kental dengan aroma imperialisme (penjajahan) yang bertentangan dengan humanisme dan warna penjajahan yang eksplisit memiskinkan, memaksa dan mengeksploitasi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam Nusantara. Pada masa ini, teknologi pertanian modern (terutama alat mesin produksi, komoditi dan input kimia) yang dihasilkan industri merupakan sarana (mean) yang setara dengan senjata, alat untuk membunuh (fitrah, karakter, budaya, identitas, varietas, teknologi lokal), mengeksploitasi dan mengendalikan negara jajahan. Pertanian modern jilid 1 benar-benar dikuasai, dioperasikan dan dikendalikan oleh pihak pemerintah dan perusahaan kolonial. Tidak ada proses difusi dan adopsi inovasi kepada dan oleh pribumi. Kalaupun pribumi dilibatkan, praktiknya lebih bersifat tanam paksa (cultuurstelsel), menanam tetapi tidak pernah menikmati, karena seluruh hasil dibawa penjajah. Memproduksi, memanen dan mengolah (teh, kopi, kakao, tebu, kina dan lainnya) dilakukan, tetapi tidak pernah merasakan dan memasarkan. Proses ini berjalan berabad-abad, hingga ikut menghancurkan tatanan dan kebudayaan. Pasca kemerdekaan, bisnis pertanian modern 1.0 yang lama berada dalam genggaman penguasa kolonial tidak serta merta berpindah tangan, berbagai kesepakatan diciptakan agar pengusahaan dan penguasaan perkebunan dipegang generasi kolonial (neokolonial). Ironi, hingga zaman orde baru berlalu, tidak sedikit perkebunan yang masih dikuasai asing, yang penguasaan dan pengusahaannya "diwariskan dan dilegalkan" kepada generasi kolonial.

Pada masa pertanian modern 1.0, pertanian masyarakat yang didominasi sawah (terutama di pulau Jawa, Bali dan NTB) dan didominasi ladang di luar pulau Jawa, sengaja tidak digang- gu oleh penguasa kolonial. Bukan karena mempertahankan dualisme ekonomi sebagaimana dilukiskan ekonom Belanda J.H Boeke, tetapi sengaja diciptakan agar pertanian yang sudah menjadi tradisi tetap terjamin, sehingga pangan tercukupi dan sistem usaha kolonial tidak terganggu. Witzenburg (1936), Van der Giessen (1946) dan Van Zetten Vander Meer (1979) mene- gaskan bahwa jaringan irigasi teknis sengaja dibangun secara besar-besaran oleh penguasa kolonial untuk menciptakan kelancaran usahatani petani, sehingga tercipta kondisi petani nyaman berusaha, nyaman bekerja di perkebunan Belanda. Boleh dikatakan, dualisme ekonomi zaman kolonial tidak ber- sifat alami, tetapi sengaja diciptakan permanen agar "dengan kenyamanan", pencitraan Belanda tercipta, usaha ekonomi lokal tetap terjaga (stagnan) dan pasokan buruh murah untuk perkebunan berkelanjutan. Sebagai orang luar, J.H Boeke hanya melihat ekonomi Indonesia secara "apa adanya" tetapi tidak memikirkan (atau menyembunyikan) "ada apanya" dibalik real- itas tersebut dan dibalik metafor "teori dualismenya". Mirip seperti "fenomena buruh petik, buruh sadap, buruh sawit" yang difasilitasi dan dicukupi kebutuhannya (tinggal di bedeng-be- deng, pulang-pergi dijemput, diberi upah dan bahkan diberi sedikit lahan untuk usahatani), tetapi tujuh turunan kehidupan- nya diciptakan stagnan (permanen), sehingga dengan demiki- an, pasokan tenaga kerja untuk perkebunan terjamin secara berkelanjutan.

Menjelang era kemerdekaan, seiring dengan menyebarnya penentangan terhadap penjajahan (imperialisme) di seluruh dunia, praktik pertanian modern dalam bentuk tanam paksa pun turut ditentang, karena berbau penjajahan dan penindasan. Bersama itu, pasar internasional komoditi pertanian modern 1.0 mengalami kontraksi, bahkan turut memacu depresi ekonomi. Bagi negara-negara maju dan korporasi internasional, penentangan bangsa-bangsa di dunia atas penjajahan fisik, tanam paksa dan penjarahan sumberdaya alam, tidak lantas membuat mereka "berpangku tangan". Sejumlah kreasi dan pendekatan alternatif yang lebih halus (kamuflase) telah lebih awal disiapkan. Model penjajahan direvolusi dari yang bersifat fisik dan komoditi ke penjajahan ekonomi (utang), inovasi, teknologi, industri, informasi dan sebagainya. Melalui pendekatan revolutif, pertanian NDK dikendalikan dengan "bantuan" utang berbunga dan inovasi teknologi yang serba didatangkan dari NDP. Tentu prosesnya dilakukan secara halus dan dengan tangan terbungkus (invisible hand), sehingga praktiknya terlihat manusiawi, padahal pengendalian, penghisapan sumberdaya dan eksploitasi NDK terus berlangsung.

Melalui pendekatan revolutif, terminologi kolonisasi dieliminasi dan diganti dengan istilah yang lebih menjanjikan dan dicitrakan lebih berkemanusiaan, yakni pembangunan (developmentalism). Melalui isme-pembangunan, negara-negara industri dan korporasi-korporasi pertanian internasional yang menjadi pelaku imperialisme, berperilaku seolah-olah memiliki kepedulian, pemihakan dan balas budi kepada negara-negara bekas jajahan (dunia ketiga). Senjata api direduksi, diganti dengan teknologi, pinjaman dan tenaga ahli. Ironi, padahal sejatinya pembangunan merupakan bentuk neoimperialisme atau kolonisasi lanjut. Gayung bersambut, berbagai program (proyek) pembangunan didesakan neo kolonial ke negara dunia ketiga melalui berbagai skema dan mekanisme yang telah lebih dahulu dirancang negara-negara maju dan badan-badan dunia (sarana imperialisme baru). Untuk menjustifikasinya, berbagai paradigma, teori, model, metode dan strategi pembangunan ditumbuhkan berbagai pemikir dan institusi pendidikan tinggi. Salah satu program pertanian modern yang dioperasikan NDP di NDK adalah revolusi hijau (green revolution).

Pertanian Modern 2.0

Bermodal pinjaman (baca: utang) dan inovasi benih "ajaib", pupuk kimia, pestisida sintetis, kredit, irigasi, alat mesin pertanian modern dan kelembagaan pendukung (penyuluh, kelompok tani), revolusi hijau disambut antusias oleh negara-negara dunia ketiga dan negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia yang pada waktu itu sedang dihadapkan pada persoalan krisis pangan dan krisis politik Kabar keberhasilan revolusi hijau di India, Filipina, Pakistan, Bangladesh, Tiongkok dan Meksiko pada tahun 1967-1970 telah "memukau" banyak negara "miskin pangan" untuk segera mengadopsinya. Melihat banyak yang terperangkap, maka sesaat setelah itu, negara-negara maju dan korporasi internasional (TNCs, MNCs) mulai melebarkan dan melembagakan "hegemoninya melalui pembentukan Consultative Group for International Agriculture Research (CGIAR). Melalui CGIAR, erbagai bantuan dan utang dikucurkan kepada berbagai pusat penelitian internasional, seperti International Rice Research Institute di Filipina dan International Maize Wheat Improvement Centre (IMWIC) di Meksiko. Lembaga dunia lainnya yang dijadikan kendaraan oleh entitas hegemony adalah Food and Agriculture Organization (FAO). Ironi, hampir dipastikan, semua negara adopter tidak menyadari modus dibalik revolusi hijau, modus dibalik riset-riset, modus dibalik kucuran-kucuran pinjaman (utang) dan komuflase-komuflase korporasi internasional yang menjadi produsen berbagai input modern. Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam perangkap revolusi hijau atau "pertanian modern 2.0". TNCs atau MNCs yang beroperasi di Indonesia sejatinya merupakan metamorfosis (jika tidak disebut reinkarnasi) dari VOC.

Berbeda dengan pertanian modern 1.0 yang lama dioperasikan penjajah kolonial di Nusantara, pertanian modern 2.0 yang diadopsi Indonesia sejak awal 1970an lebih fokus pada modernisasi produksi pertanian non komoditas perkebunan, terutama pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu), hortikultura (terutama sayuran datarang tinggi dan buah-buahan), peternakan (terutama ayam ras), perikanan (terutama tambak) dan kehutanan. Sawit yang mulai diuji coba penguasa kolonial pada tahun 1916 dan dilembagakan sebagai komoditas perkebunan pada tahun 1923, menjadi senjata utama yang dilindungi sistem pembangunan modern di Indonesia. Meskipun perkebunan sawit tumbuh subur sesaat setelah Indonesia mengadopsi revolusi hijau, namun sengaja dibiaskan dengan komoditas pangan dan hortikultura yang dikendalikan korporasi. Meskipun perkebunan sawit semakin masif dan menjadi mode neoimperialisme juga, namun menjadi pengecualian, karena eksitensinya lebih dikendalikan oleh "cukong-cukong" Singapura dan Malaysia yang eksis di luar dominasi "entitas korporasi (TNCs, MNCs)" yang menjadi sutradara program revolusi hijau. Seperti halnya pertanian modern 1.0 (perkebunan), pertanian modern 2.0 ini telah membawa banyak perubahan di Indonesia. Harus diakui bahwa dalam setengah abad implementasi pertanian modern 2.0 di Indonesia, kemajuan "semu" pembangunan pertanian terlihat pada berbagai aspek, terutama pada sisi inovasi teknologi pertanian yang menjadi muatan utama modernisasi (baca: industrialisasi) pertanian. Inovasi teknik olah tanah, teknik budidaya, benih unggul, pupuk kimia, pestisida sintetis, alat mesin produksi, alat mesin pengolahan, kredit, jaringan irigasi, kelompok tani, lembaga penyuluhan, agroindustri, koperasi dan pasar, telah terbukti mampu meningkatkan produktifitas pertanian Indonesia hingga beberapa kali lipat. Jika pada periode 1970-1985 pertanian modern 2.0 fokus pada padi dan kedelai, maka memasuki periode 1980-1995 lebih fokus pada komoditas hortikultura dan palawija.

Pada sisi produksi tanaman pangan, revolusi hijau telah berhasil meningkatkan luas areal tanam, jumlah petani, lokasi pengembangan dan produktifitas padi dari hanya 2 ton/ha menjadi 5-6 ton/ha, sehingga pada tahun 1985-1989 sukses mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras. Tidak hanya itu, sejak tahun 1980 produktifitas dan produksi jagung dan kedelai juga meningkat signifikan, sehingga antara periode 1980-1997 Indonesia net impor jagung dan kedelai. Bersamaan dengan itu, sektor peternakan (poultryshop) dan ragam industri berbasis jagung dan kedelai turut terdongkrak. Memasuki era 1990an, revolusi hijau mulai mewarnai dataran tinggi, sehingga produksi, luas tanam dan sentra pengembangan sayuran mengalami peningkatan yang signifikan. Perkebunan dan lahan hutan di dataran tinggi banyak yang dikonversi atau diganti dengan sayuran. Berbagai macam sayuran didatangkan dari luar, sehingga menyisihkan sayuran-sayuran lokal yang telah lebih awal berkembang. Kemajuan teknologi rekayasa sayuran telah mendorong berkembangnya sayuran dataran medium dan dataran rendah. Sayuran tidak hanya dikembangkan di Pulau Jawa tetapi juga di Sumatera (Sumut, Lampung), Pulau Bali, NTB, Sulawesi (Makasar), Kalimantan dan di wilayah timur Indonesia.

Secara sosial ekonomi, lompatan-lompatan sebagaimana diuraikan pada paragraf di atas dipengaruhi juga oleh perkembangan berbagai jenis pasar (termasuk supermarket), tingginya permintaan pasar dan efek perkembangan masyarakat (baik jumlah, tingkat konsumsi maupun gaya hidup). Bahkan, permintaan terhadap beras mengalami peningkatan setiap tahun sebagai akibat terus naiknya grafik permintaan pasar dan bergesernya konsumsi masyarakat di daerah-daerah yang semula memiliki pangan spesifik non beras. Selain itu, konsumsi sayuran dan kacang-kacangan meningkat seiring dengan berkembanganya tren gaya hidup sehat. Sangat menakjubkan, hanya dalam hitungan 30 tahun, revolusi hijau telah menyebar dan menciptakan keseragaman di seluruh Indonesia. Padi hasil produksi IRRI telah menggeser jagung, sukun, pisang, keladi, singkong dan sagu sebagai pangan lokal. Begitu juga sayuran dan buah-buahan varietas unggul luar negeri yang berhasil menggeser varietas spesifik lokal.

ersoalannya, sejak tahun 1990 Indonesia kembali mengimpor beras dan sejak tahun 1998 Indonesia kembali mengimpor jagung, kedelai, sayuran, buah-buahan, gula, garam, daging dan sebagainya. Memasuki abad 21, lengkap sudah, hampir semua jenis kebutuhan pangan bangsa Indonesia, baik beras, jagung, kedelai, sayuran, buah- buahan dan bahkan komoditas yang berlimpah (seperti ikan, gula, garam, daging, teh, tapioka, telur) didatangkan dari luar (impor). Teknologi pertanian modern 2.0 dipacu, tetapi produktifitas lahan, tanaman dan petani seperti terhenti. Kejenuhan menghinggapi seluruh sumberdaya pertanian dan kerusakan lingkungan (degradasi lahan, air, udara, hutan, biodiversitas) tidak terhindarkan. Secara sosial, ketimpangan ekonomi melebar dan kesejahteraan yang dicita-citakan tidak terwujudkan. Regenerasi pelaku pertanian terhenti, sehingga menyisakan sumberdaya manusia pertanian yang sebagian besar tua (aging agriculture). Ironi, setelah hampir 50 tahun pertanian modern 2.0 dioperasikan, kecacatan dan kekeliruan dari praktik-praktik dan komuflase-komuflase neoimperialisme tidak dapat lagi dikoreksi sendiri (self-correction). Paradigma pertanian modern 2.0 mulai dihadapkan pada krisis-krisis yang sulit untuk disembuhkan secara sendiri (self-correction). Karakter kemajuan yang diraih ternyata hanya sesaat, mirip seperti paradigma positivistik yang dianutnya, reduksionis, parsial, ekploitatif, menciptakan 3R (rusak, renggut, resah), deduktif, anti diversifikasi dan lainnya. Ketahanan, kedaulatan dan kemandirian pangan yang dijanjikan revolusi hijau berakhir tragis. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hanya dinikmati petani elit (capitalism/entrepreneurial farm), sulit digapai mayoritas petani kecil (peasant) karena biaya produksi dan utang petani bertambah tinggi. Petani komersial terbangun, tetapi semu, karena mempercepat penghisapan hasil tani oleh perkotaan, menjatuhkan nilai tukar dan melemahkan ketahanan pangan rumah tangga pedesaan. Ketimpangan antar kelas pelaku dan wilayah melebar, sehingga mempercepat laju migrasi.

Jelas sudah bahwa pertanian modern 2.0 didesain hanya untuk menjadikan Indonesia dan negara-negara dunia ketiga sebagai produsen sempurna (pangsa dan mangsa), negara yang hanya berperan dalam produksi pertanian primer, negara yang hanya menerima atau hanya menjadi konsumen berbagai teknologi yang dihasilkan negara industri. Indonesia hanya menjadi pengadopsi benih, alat mesin pertanian, pupuk kimia, pestisida sintetis dan input luar lainnya yang dihasilkan oleh korporasi transnasional (TNCs).

Sukses korporasi juga dibantu oleh "agen-agen" yang mereduksi, menjauhkan dan mematikan budaya dan komoditas lokal. Jika demikian, lantas dimana kedaulatan dan kemandirian pertanian Indonesia? Sekali lagi, kolonisasi lanjut telah berhasil mendesain (baca: merekayasa) Indonesia menjadi negara "total" produsen bahan mentah, "total" konsumen input luar dan "total" konsumen produk agro impor. Itulah buah dari kesuksesan negara maju, lembaga riset dunia dan korporasi agribisnis internasional dalam melakukan imperialisme inovasi (melalui pembangunan pertanian 2.0), penyeragaman komoditas agro dan mereduksi keragaman komoditas spesifik lokal.

Meminjam istilah Dale Carnegie dan Muhammad Al-Ghazali, desainer imperialisme global telah berhasil merekayasa pertanian Indonesia, menelanjangi identitas fitrahnya dan membuang kepribadiannya, lalu menggantinya dengan identitas palsu yang sesuai dengan keinginan para desainer, identitas yang sejatinya tidak sesuai dengan fitrah alami dan kepribadian bangsa Indonesia. Pertanian modern hanyalah sebuah reflika, hanya plagiasi, yang secara filsafat menegaskan sebuah kecacatan berpikir yang sangat membahayakan. Kecacatan yang akan mewarnai tindakan para adopternya untuk selalu mengekor dan menjilat. Padahal, kebenaran dan fitrah Indonesia sudah ditentukan oleh Yang Maha Pencipta, dengan spesifik lokal sebagai faktanya. Alloh SWT berfirman "dan kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran (QS. AI Hijr: 19); "dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS. Al Hijr: 21); "dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik (QS. Asy Syu'araa: 7)". Validasi ideal tersebut menegaskan bahwa komoditas dan pertanian Indonesia sudah tertentu, memiliki fitrah yang berbeda dengan Eropa, Amerika, Afrika dan bahkan dengan sesama negara tetangga di Asia. Ketika pertanian Indonesia keluar dari fitrah dan karakter alaminya, maka dapat dipastikan akan rusak, labil dan sulit bersaing. Semua itu menegaskan bahwa "pertanian kita harus dibangun sesuai potensi, sifat dan fitrah alami Indonesia, harus dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya yang sangat beragam", karena sejak diciptakan tidak pernah ada wilayah dan komoditas lain di dunia yang sama persis dengan fitrah Indonesia. Keunikan dan spesifik lokal inilah yang akan berdaya saing berkelanjutan (sustainable competitiveness), yang akan menjadi pemenang dalam era keterbukaan.

Kini semua pihak mengakui bahwa pertanian modern 2.0 telah membawa "kemunduran" pertanian dalam berbagai apsek, terutama degradasi keragaman hayati di daratan dan perairan, kejenuhan sumberdaya lahan, pencemaran air dan udara, kerusakan lingkungan, penggundulan hutan, kejenuhan sumberdaya manusia, melandainya regenerasi petani, tereduksinya diversifikasi, hilangnya kearifan dan budaya lokal. Boleh jadi, telah juga turut memiskinkan petani, meningkatkan penyakit dari kontaminan-kontaminan pertanian dan mematikan lapangan kerja/wirausaha di pedesaan. Jika diperbandingkan dinamikanya, maka grafik kemunduran pertanian modern 2.0 kian hari kian menyisihkan kemajuannya, ketimpangannya kian meninggalkan keseimbangannya, keseragamannya semakin mengalahkan keberagamannya. Kemunduran itu semakin kentara tatkala mode pembangunan bergeser ke daya saing berkelanjutan (sustainable competitiveness) dan perdagangan bebas komoditas pertanian dibuka lebar-lebar, baik pada tingkat ASEAN (AEC), tingkat Asia Pasifik (APEC) maupun tingkat dunia (WTO). Kini pertanian Indonesia tersisih di dua sisi, baik di pasar dalam negeri maupun manca negara. Ironi, baru saja pasar terbuka ASEAN dan ASIA dibuka, berbagai produk pertanian impor sudah langsung menjadi raja di Indonesia. Hal ini terjadi karena jauh sebelum pasar terbuka diberlakukan, fitrah (lokalitas) Indonesia sudah dikalahkan, fasilitas impor (terutama supermarket, hypermarket) sudah dibangun lebih awal dan "kegandrungan" pada komoditas impor sudah dilembagakan pada seluruh kelas sosial.

Pertanian Modern 3.0

Kemunduran pertanian modern 2.0 yang terus meninggi di penghujung abad 20, sejatinya mencerminkan kemunduran paradigmanya. Meminjam istilah Thomas Kuhn, akar sejati krisis pertanian modern 2.0 bersumber dari krisis paradigmanya yang positivistik. Persoalannya, bagi sebagian besar masyarakat, krisis-krisis dan implikasi-implikasi yang ditimbulkannya lebih menarik dan menjadi fokus perhatian, sehingga abai terhadap akar persoalan sejatinya. Paradoks dengan itu, para penganut paradigma pertanian modern justru sudah mendeteksi kemunduran lebih awal, sehingga mereka berupaya menutupi kekeliruan dengan riset dan pengembangan. Mereka berupaya mencari solusi, klaim-klaim kesahihan dan alternatif pembangunan untuk mengoreksi kekeliruan pertanian modern 2.0, terutama dengan semakin nyatanya dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, pupuk kimia dan benih hasil rekayasa genetik. Salah satu pendekatan korektif yang digulirkan oleh aktor pertanian modern 2.0 adalah pembangunan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture development) yang oleh NDP dimplementasikan dalam wujud pertanian organik (organic farming). Konsep ini diadopsi sesaat setelah pembangunan berkelanjutan diadaptasi dari konsep "our comman future" hasil konferensi PBB di Stockholm tahun 1987, kemudian diarusutamakan dalam KTT Bumi di Rio Jeneiro tahun 1992 yang menghasilkan "Agenda 21" dan dikuatkan dalam pertemuan PBB di Johannesburg tahun 2000 dan KTT Dunia tahun 2002 yang menghasilkan Millenium Development Goal's (MDGs). Tahun 2015, setelah berbagai riset menyimpulkan bahwa MDGs gagal total, maka PPB mengganti MDG's dengan konsep baru yang lebih menjanjikan, yakni sustainable development goal's (SDG's). Tahun 2015, SDGs resmi diarusutamakan dan diadopsi sebagai mode baru pembangunan global.

Sebagai produk turunan (atau varian) paradigma pembangunan berkelanjutan, pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) ditawarkan sebagai alternatif pertanian modern 2.0. Secara substantif, pertanian berkelanjutan yang diarus-utamakan di penghujung abad 20 menawarkan keberlanjutan secara sosial, ekonomi dan ekologi. Sebuah kreasi kapitalisme yang sepintas tampak menawarkan keramahan dan keberlanjutan, padahal isme sejatinya tetap pembangunan. Warna pembangunannya terlihat jelas dalam praktiknya. Selain masih tetap didominasi penggunaan input luar (external input) yang diproduksi industri, juga proses, praktik dan hasilnya menjadi lebih mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kaum lemah (peasant). Input internal (benih, pupuk, pestisida) yang seharusnya terpenuhi secara mandiri dari implementasi pertanian terpadu (integrated farming), dalam praktiknya tetap dominan didatangkan dari luar. Mahalnya input internal terjadi budaya lokal, baik budaya beternak, bertanam tanaman bahan pestisida hayati dan teknologi lokal. Kecenderungannya, pertanian berkelanjutan diterapkan secara parsial, bias keberlanjutan ekologis dan abai terhadap keberlanjutan ekonomi, sosial dan politik. Implikasinya, alih fungsi lahan tidak terkendali, regenerasi tidak terjadi, urbanisasi tetap tinggi dan ketimpangan ekonomi semakin menjadi. Pertanian berkelanjutan dioperasikan, tetapi kebutuhan generasi sekarang tetap tidak tercukupi, impor semakin tinggi, kebutuhan generasi yang akan datang terlupakan dan lapangan kerja atau wirausaha pedesaan tetap tidak tercipta. Meskipun dipandang ramah lingkungan, namun karena masih kental dengan isme pembangunan, maka pembangunan pertanian berkelanjutan layak dilabel sebagai pertanian modern 3.0.

Sepintas ekonomi hijau yang diarus-utamakan imperialisme global (negara industri dan korporasi internasional) menawarkan banyak peluang bagi negara-negara sedang berkembang untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagian berkelanjutan, namun faktanya gelombang ekonomi hijau tidak bebas dari hegemoni skenario eksploitasi lingkungan dan kreasi kapitlisme (termasuk modus pengendalian mekanisme dan institusi hijau oleh TNCs). Pada ujung- ujungnya, ekonomi hijau menggunakan isu lingkungan sebagai senjata baru imperialisme global untuk melakukan penghisapan, pengendalian dan eksploitasi NDP. Sudah sejak awal Greer dan Bruno (1999) mengingatkan bahwa hijau (green) tidak steril dari kreasi- kreasi kapitalisme (creative capitalism), tidak steril dari manipulasi environmentalism atau komuflase hijau (green compuflage). Gunter Pauli (2010) menegaskan bahwa implementasi ekonomi hijau dengan konsep green products and services, ternyata tidak sesuai harapan. Hal ini terjadi karena produk keduanya harus dibeli dengan harga yang sangat mahal, sehingga tidak dapat dijangkau oleh masyarakat miskin. Karena diperlukan nilai investasi yang lebih besar, maka investor harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk berproduksi, dan tambahan biaya ini pada akhimya dibebankan kepada produsen skala kecil dan konsumen. Industrialisasi hijau juga menuntut bahan baku yang tinggi dan kontinyu, sehingga menyedot stok kebutuhan manusia dan memaksa perluasan areal produksi. Implikasinya, jatah orang miskin dirampas dan harga komoditas melambung, sehingga melemahkan akses kaum miskin.

Pertanian Modern 4.0

Pertanian modern 4.0 adalah pertanian modern masa depan yang digerakan oleh petani postgenomik. Pertanian yang segala sesuatunya berbasiskan teknologi super canggih (hyper technology). Pertanian yang serba instan, serba direkayasa (hyper biotechnology), serba digerakan oleh robot, serba terkontrol, serba kimia, serba buatan (artificial), serba media non tanah, serba vertikal (dalam gedung bertingkat), serba cyber, serba energi alternatif (bioenergi, solar energy, blue energy, green energy), serba kloning, serba nanobiology, serba komputer dan seba-serba lainnya. Pertanian yang ekstrim, yang lahir dari ketakutan (paranoia) manusia masa depan yang sebagian hidup di luar angkasa. Pertanian yang akan menerapkan dan menghalalkan segala cara. Meminjam istilah James Canton (2010), pertanian 4.0 adalah pertanian yang menggabungkan gen-gen dan sel-sel dari berbagai verietas dan ras unggul di seluruh dunia. Pertanian yang akan mencuri dan menginfiltrasi varietas-varietas di seluruh dunia. Pertanian yang mengintegrasikan dan mengkombinasikan gen-gen yang bersumber dari DNA virtual. Pertanian yang memproduksi virus, bakteri, jamur, ganggang dan tanaman yang dapat menjadi senjata biologi masa depan yang dapat dikontrol dari gen-gen yang terkontaminan. Pertanian yang menghasilkan produk yang daya tariknya ke konsumen dapat direkayasa dengan DEPs (Digitally Engineered Personalities). Sebuah pertanian yang mengintegrasikan biomolekular dan selular dengan bantuan nano teknologi dan biomimetik.

Pertanian di planet lain atau di luar angkasa (seperti di bulan, di mars, di jupiter dan lainnya), pertanian dan peternakan hyper abnormal dan hyper instan (memproduksi pangan dan daging tanpa bertani dan beternak, tetapi melalui rekayasa sel tanaman dan sel ternak). Model produksi pangan dan daging yang mirip dengan abnormalitas pertumbuhan sel kanker. Pengetahuan terlarang, menyimpang dan abnormal akan diaplikasikan dalam berbagai bidang pertanian. Pertanian yang ekstrim, yang perlahan akan mengadakan perlawanan kepada manusia, yang akan menjadi bumerang kepada manusia, yang akan memicu ketidak-seimbangan dalam berbagai ekosistem. Pertanian 4.0 pertanian yang dikembangkan di atas lautan, di gurun, di gedung-gedung, di bawah tanah dan di luar angkasa. Pertanian 4.0 merupakan pertanian yang sudah tidak lagi dipengaruhi oleh iklim, karena serba tertutup dan direkayasa (climate artificial). Pertanian yang kebutuhan haranya dipasok dari pupuk super nano (nanofertilizer) dan energi nano (nanoenergy).

Akhir Pertanian Modern

Perlahan namun pasti, teknologi-teknologi canggih yang bersifat massal dan global akan mengalami kehancuran, termasuk teknologi pertanian 2.0, 3.0 dan 4.0. Faktanya, produk yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika, pada akhimya akan kembali ke sifat fitrahnya (heredity). Alat mesin, terutama yang digerakan oleh energi buatan (bahan bakar fosil, bioenergi, listrik, solar cell dan lainnya) pada saatnya akan berakhir, akan menjadi tidak berfungsi, terutama ketika sumber energi tidak lagi menghasilkan (mati, berakhir). Suatu saat, teknologi canggih yang serba didatangkan dari luar (impor) tidak akan lagi berguna dan tidak akan lagi tersedia, terutama ketika kejutan terjadi, baik karena bencana, embargo, terhentinya rantai pasokan, tidak adanya fasilitas pendistribusian maupun peperangan. Pada akhirnya, semuanya akan kembali kepada karakter dasar orisinalitas, kepribadian, identitas dan fitrah alaminya yang sudah dari awal ditentukan oleh Alloh SWT.

Paradoks dengan industri besar, industri pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan skala mikro, kecil dan menengah dominan dikuasai anak negeri. Tetapi ironi, kondisinya semakin terhimpit di dua sisi, dalam dan luar negeri. Bahkan, kini terancam globalisasi, terutama impor produk dan investasi asing bidang usaha kecil. Implikasinya, alih-alih naik kelas menjadi industri besar, UMKM yang ada pun berguguran. Semua itu menegaskan cacat-cacat pertanian modern. Jika realitas sudah sedemikian jelas, lantas akankah kita bertahan dengan Pertanian Modern 2.0, 3.0 dan 4.0?

Semua itu menegaskan bahwa secara paradigmatis, pertanian modern 2.0, 3.0 dan 4.0 sudah lebih dari krisis, sehingga sulit direkonstruksi. Jika demikian, maka harus diganti dengan paradigma baru yang steril dari kreasi kapitalisme global, yang bervalidasi kebenaran ideal, yang sesuai dengan fitrah alam yang ditetapkan Tuhan, yang menghargai keunikan dan spesifik lokal. Paradigma yang adaptif dan antisipatif, yang menghendaki hadirnya pertanian yang berbeda dengan pertanian primitif dan tradisional, yang lebih dari sekedar modern (postmodern). Pertanian yang teratur, yang ketersediaan input produksi, produksi input, peningkatan nilai tambah output dan kelembagaannya dikreasi dan diinovasi dalam lingkungan internal (internalize). Pertanian yang proses produksinya bukan didasarkan atas lompatan permintaan pasar, tetapi didesain berdasarkan proyeksi konsumsi yang hemat dan pola konsumsi yang semakin ramah. Pertanian yang digerakan oleh petani-petani yang beretika dan konsumen-konsumen yang jauh dari konsumtif. Produsen dan konsumen yang memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. Pertanian postmodern adalah pertanian yang divalidasi kitab suci (Al-Qur'an), pertanian yang beradab, maslahat, adaptif, antisipatif, divergen, kreatif, halalan toyyiban, bersih dari isme pembangunan dan imperialisme lanjut, humanis dan membahagiakan, menghargai keunikan dan kearifan lokal, serta sesuai fitrah dan karakter spesifik lokal yang dianugerahkan Alloh SWT.

Seperti hidup yang bersifat linear (tidak kembali ke titik nol), pertanian juga berkembang liniear dari Pertanian Primitif yang karena Mengalami Krisis paradigmatis, Kemudian Dikoreksi dan berkembang Pertanian Tradisional; Pertanian Tradisional yang karena Mengalami Krisis paradigmatis, Kemudian dikoreksi dan Lahirlah Pertanian Modern (Postradisional), dan Pertanian Modern pun pada akhirnya Mengalami Krisis paradigmatis, maka Lahirlah pertanian Postmodern.

Pertanian postmodern adalah pertanian pasca modern, pertanian masa depan, pertanian harmoni (diversitas) dan pertanian berdaulat. Pertanian yang ramah dan arif secara sosial budaya, ekonomi, ekologi dan politik, baik dalam produksi usahatani, pengolahan (agroindustri) dan pemasaran. Pertanian yang memperhatikan sosiosistem, ekosistem dan geosistem. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa diperlukan pertanian postmodern? Apa dasar dan harapan yang dapat kita peroleh dari pertanian postmodern? Indonesia ini sangat kaya dengan berbagai sumberdaya alam, flora dan fauna. Apa yang dibutuhkan oleh negara lain, serba ada di Indonesia. Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa dan pertanian Indonesia merdeka dan berdaulat, lepas dari kendali imperialisme. Sudah waktunya kita mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap inovasi dan investasi pertanian yang serba didatangkan dari luar (impor), yang serba diproduksi dan dikuasai korporasi asing. Sudah saatnya kita meninggalkan perangkap keseragaman pangan dan homogentias komoditas yang lama dijejalkan entitas global. Sudah saatnya kita sadar diri untuk melepaskan dan membebaskan bangsa dari kendali imperialisme.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)".

(QS Ar Ruum:41)

No comments:

Post a Comment