Thursday 2 March 2023

PEMBANGUNAN DAN POLITIK PERTANIAN DI INDONESIA

PEMBANGUNAN DAN POLITIK PERTANIAN DI INDONESIA

oleh Prof. Sri Widodo (Guru Besar Fakultas Pertanian UGM)


 

Halo kawan-kawan, saya mau share publikasi dari Prof. Sri Widodo yang saya kira masih relevan untuk dibaca sampai sekarang tentang pembangunan dan politik pertanian. Selama dua tahun ini saya berkecimpung di tataran ekonomi mikro yang berkaitan dengan manajemen perusahaan yang menghasilkan produk F&B untuk menambah nilai (added value) produk pertanian melalui proses pasca panen dan pengolahan. Dan belum masuk ke tataran ekonomi makro pertanian yang berkaitan dengan kebijakan dan pemikiran-pemikiran pertanian jangka panjang. Apabila ada kesempatan untuk S2 (semoga diluluskan di SMUP ke S2 Ilmu Ekonomi Pertanian Faperta UNPAD dan dapat beasiswa. Aamiin..) saya sangat ingin mendalami topik yang dibahas di publikasi ini, dan bisa berkontribusi sebagai "pemikir ekonomi pertanian" terkemuka di Indonesia dan tataran global seperti yang dilakukan oleh Prof. Sri Widodo.

Izin tag Dosen Ekonomi Pertanian sekaligus pembimbing saya di Program Studi Rekayasa Pertanian SITH ITB  @rekayasapertanianitb @sithitb Ibu Mia Rosmiati @miarosmiati185 juga sarjana dan calon sarjana pertanian yang saya kenal, Kak Nanda @widnst , Kiki @mrizky_3 , Asya @auliaahasna , Esa @esrzqsryprtma , Ii @yesi.m.indira juga Ferrell @fr2l 

Mari berkontribusi untuk pertanian Indonesia :)

"Mestinya Perencanaan Perdesaan dan Pertanian Didukung Aspek Hukum" - Hastu Prabatmodjo (Dosen Planologi ITB)

 

Ingin membagikan salah satu tulisan dari Buku "Alumni Berbagi Membuka Cakrawala Takdir: Curah Pikiran dan Asa Para Alumni Planologi ITB tentang Kuliah dan Masa Depan Planner" yang diterbitkan oleh Alumni Planologi ITB (API) pada tahun 2010 yang saya beli setelah mengikuti salah satu acara HMP Pangripta Loka dengan tajuk dan judul tulisan "Mestinya Perencanaan Perdesaan dan Pertanian Didukung Aspek Hukum" dari narasumber Hastu Prabatmodjo (Dosen Planologi ITB) yang saya kira masih relevan sampai saat ini. Topik ini sengaja saya tulis karena berkaitan dengan bidang pertanian yang menjadi interest dan bidang keahlian yang ingin saya tekuni kedepannya. Selamat menyimak!

Mulai tahun 1985 saya bergabung di Planologi dibimbing Pak Bambang Bintoro, Ibu Zohara dan Pak Uton. Dari ketiga orang itulah saya belajar. Sejak awal saya diplot di bidang pengembangan pertanian, perdesaan, dan kadang-kadang menyerempet pengembangan wilayah. Bagaimanapun pengembangan wilayah merupakan bingkai dari keduanya. Pertanian adalah subset sektoral, dan perdesaan adalah subset spasial dari wilayah.

Dari studio-studio wilayah, saya juga membimbing Kuliah Kerja Nyata. Sekarang tidak ada lagi. KKN adalah kesempatan mengenal secara dekat tentang perdesaan. Di sana, realita perdesaan tampak nyata bukan saja teori. Jadi, ada lubang pengetahuan dan pengalaman yang hilang pada mahasiswa sekarang. Tapi itu adalah tuntutan perkembangan zaman.

Perencanaan perdesaan dan pertanian masih merupakan kebutuhan di Indonesia. Faktanya bahwa penduduk Indonesia masih banyak di perdesaan. Tugas planologi, mengantarkan agar bagian wilayah bernama perdesaan bisa menjalani transformasi dengan harmonis. Transformasi perdesaan merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Itu bagian dari perubahan besar sistem spasial kita. Perencanaan perdesaan perlu menghindari pendekatan konservatif. Kita tidak melakukan sesuatu yang mengembalikan desa kembali seperti zaman nenek moyang. Tetapi bagaimana caranya agar desa bisa menjalani perubahannya dengan manfaat yang maksimal dan efek negatif yang minimal. Paradigma itu penting sekali sehingga kita tidak terjebak dalam romantisme suasana perdesaan yang aman dan damai.

Kedepan, wilayah perdesaan akan berkurang. Ciri-ciri perdesaan lama-lama akan hilang berubah menjadi lebih well-organized. Urbanisasi merupakan mekanisme permukaan yang menandai transformasi perdesaan. Tapi bukan berarti desa akan hilang. Fungsi perdesaan sebagai tempat produksi pangan, keseimbangan ekologi, rekreasi, dan cadangan air harus tetap dipertahankan. Kalau fungsi tersebut hilang justru berbahaya. Yang berkurang adalah ciri komunitas perdesaan saja. Perencanaan perdesaan dikatakan sukses jika berhasil mengurangi ciri-ciri fisik perdesaan tanpa mengubah fungsinya.

Komunitas perdesaan saat ini sudah berubah. Perangkat modernisasi seperti televisi, teknologi komunikasi, dan internet nyata-nyata sangat mempengaruhi masyarakat desa. Dan faktanya perubahan  yang terjadi di perdesaan di Indonesia menuju arah yang kurang baik. Karakteristik perubahan yang terjadi lebih spontan, unplanned, mengikuti tren pasar. Intinya tidak mengikuti pedoman tertentu. Perencanaan bagian dari panduan itu dan tidak dihiraukan. Kalau tidak mengikuti perencanaan, akhirnya yang berlaku adalah hukum efisiensi, produktivitas. Ada hukum perdesaan yang tak bisa diserahkan pada pasar. Jangan sampai terjadi perubahan fungsi perdesaan yang ekstrem dan degradasi lingkungan yang mengancam ekologi.

Mestinya perencanaan pertanian didukung oleh aspek hukum, jadi perlu ada asas pemaksaan untuk menjaga keseimbangan. Namun faktanya masyarakat kita belum mengerti tentang hukum. Masyarakat kita masih mabuk demokrasi dan kebebasan. Literatur tentang perencanaan untuk masyarakat demokrasi sudah banyak. Tapi, persoalannya yang berdemokrasi di Indonesia adalah masyarakat yang belum berpengetahuan. Pelaksanaannya masih transaksional. Akhirnya keputusan yang terjadi bukan yang terbaik. Tapi, memang demokrasi tidak menghasilkan wisdom. Demokrasi merupakan suara terbanyak. Kalau banyak yang setuju, jadi keputusan meskipun bukan yang terbaik.

Wujud perencanaan perdesaan di Indonesia berupa program ad hoc yang merespon kebutuhan tertentu. Sekarang ada, ganti presiden bisa hilang. Selain itu juga aktivitas pengembangan sektoral: pertanian, pekerjaan umum dan lain-lainnya. Selain itu juga pengembangan kawasan seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET), yang sebagian berbasis pengembangan perdesaan. Namun demikian, program-program tersebut tidak mengikuti perencanaan tertentu yang terpadu. Konsep yang dijalankan adalah bagaimana memperbaiki keterkaitan antara desa dan kota yang termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

Bagaimana mengubah desa agar lebih maju, tidak ketinggalan dari kota? Kuncinya adalah agrobisnis. Bagaimana membangun pertanian yang sensitif dengan kebutuhan pasar. Produk pertanian harus memperhatikan kebutuhan pasar dan dikelola dengan manajemen bisnis modern. Namun demikian untuk bergerak ke arah sana perlu banyak usaha. Banyak petani yang belum mampu. Meskipun sekarang petani dipaksa untuk bertarung sendiri menghadapi pasar. Belum lagi tantangan perubahan iklim. Pertanian perlu mengikuti permintaan pasar yang lebih modern dan dinamis. Kalau pertanian kita tak bisa menjawab kebutuhan pasar, maka sudah pasti akan diisi oleh perusahaan asing. Misalkan, orang saat ini ingin makan kentang goreng rasa pizza. Padahal bahan dasarnya singkong, melimpah di Indonesia. Kalau pertanian kita tak bisa mengolah lebih modern sudah pasti akan diambil oleh perusahaan asing.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah, jangan sampai pemilik agrobisnis adalah pemilik modal besar, apalagi dari luar. Percuma saja, jika yang beragrobisnis adalah pemodal luar, keuntungannya sebagian besar lari ke mereka. Kalau bisa berasal dari petani itu sendiri melalui koperasi-koperasi dan kelompok tani. Sehingga petani sendiri yang akan menikmati hasilnya.

Kebijakan pemerintah saat ini masih menganut rezim neolib. Pertanian kita dibiarkan lepas berhadapan langsung dengan pasar. Sementara kondisi pertanian di Indonesia sangat beragam. Ada pertanian yang modern dan lebih banyak yang masih tradisional. Karena itu perlu ada diferensiasi kebijakan, tidak disamaratakan. Kalau semua berbasis pasar, maka petani tradisional akan tergilas. Karena pasar itu kejam, yang efisien yang menang dan yang tidak efisien akan kalah.

Kunci lain untuk menyelamatkan petani adalah organisasi petani. Kalau petani sendiri-sendiri akan menjadi makanan empuk bagi para pemilik modal. Jika berkelompok mereka akan lebih kuat bersama-sama menghadapi pihak luar. Petani biasanya terjebak pada kebutuhan mendesak dan pemilik modal punya uang banyak. Di situlah jeratan tengkulak mengancam. Namund demikian, mengorganisasikan petani adalah pekerjaan melawan arus modernisasi. Tren masyarakat modern justru individual. Karena itu, diperlukan pioneer yang bisa kuat menghadapi itu.

Potret lainnya adalah perbedaan karakter antara Jawa dan luar Jawa. Pertanian di Jawa pada umumnya sawah, sedangkan di luar Jawa banyak ladang dan perkebunan. Namun demikian, ada juga pertanian sawah di luar Jawa. Kalau perkebunan, tantangan yang dihadapi adalah kapitalis. Sejak dulu perkebunan dikuasai oleh pemilik modal bukan oleh masyarakat pertanian. Di sana yang ada bukan petani tapi buruh perkebunan.

Terkait dengan persoalan petani dan buruh perkebunan, penguasaan lahan yang jadi pangkal persoalan. Makanya ada gagasan Reforma Agraria (Land Reform) yaitu perubahan kepemilikan lahan. Supaya tidak ada seseorang atau korporasi yang menguasai lahan terlalu dominan. Tetapi ini sangat sulit dilakukan.

Investasi untuk Desa

Apa yang harus diinvestasikan pemerintah untuk mengkondisikan desa bisa menjalani transformasi dengan harmonis dan menjawab tantangan modernisasi yang arusnya kuat menghanyutkan? Investasi jangka panjang yang diperlukan adalah pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.

Pendidikan merupakan kunci utama. Masyarakat desa harus lebih berpendidikan. Jangan lagi ada kisah keluarga petani mengadu nasib ke luar negeri dan pulang dengan tubuh penuh siksaan. Masyarakat desa harus lebih terampil mendayagunakan potensi lokal agar mampu memanfaatkan arus modernisasi untuk kemajuan. Selama ini pendidikan Indonesia masih generik dan baru mengantarkan pada modernisasi. Kedepan, perlu ada perkawinan antara pendidikan yang berorientasi pada modernitas dan pendidikan untuk mendayagunakan potensi desa.

Perangkat modernisasi harus juga memberi keuntungan pada desa. Teknologi komunikasi dan internet merupakan salah satu modal yang bisa dimanfaatkan untuk memperluas pasar bagi produk desa. Justru, orang tidak perlu datang ke kota untuk mendapatkan berbagai akses informasi dan berhubungan dengan dunia luar. Keduanya bisa membuka pintu dunia yang selama ini menciptakan kesenjangan. Karena itu, kesempatan mendapatkan pendidikan di desa harus sama dengan masyarakat kota.

Investasi kedua adalah kesehatan. Pelayanan kesehatan harus sampai pada tingkat keluarga. Adanya Posyandu dan PKK merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat desa. Jangan sampai kesehatan menjadi penyebab kemiskinan petani. Infrastruktur perdesaan juga penting untuk menjamin kebutuhan dasar; air, energi, jalan, dan sanitasi. Kebutuhan infrastruktur dasar di kota sama dengan desa.      
       

Buku "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe" karya Ir. Haryoto Kunto Tahun 1984


"Bandoeng is het paradijs der aardsche schoonen. Daarom is het goed daar te wonen."

"Bandung adalah sorga permai di atas dunia. Itulah sebabnya, baik untuk bermukim di sana!"

Baru saja membaca ulang Buku "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe" karya Ir. Haryoto Kunto, sarjana Planologi ITB, yang diterbitkan pada tahun 1984. Buku ini merupakan hadiah dari Pak Angga Dwiartama saat saya mengerjakan project penulisan dengan bellau.

Buku ini mengulas sejarah Kota Bandung yang tidak lepas dengan pesatnya perkebunan kopi, teh, dan kina di kawasan pegunungan yang mengelilingi Kota Bandung oleh para Orang Belanda di perkebunan Priangan yang lebih terkenal dengan sebutan "Preangerplanters". Para "Toean Tanah" ini melakukan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel yang tentu menyebabkan penderitaan dan duka bagi rakyat pribumi Priangan tapi juga memberikan "hikmah" yang cukup berarti seperti:

(1) Rakyat Priangan menjadi kenal, terbiasa, dan menguasai teknik, tata cara dari sistem pertanian, bagi jenis tanaman perkebunan. Pada umumnya hasil perkebunan lebih banyak mendatangkan keuntungan ketimbang hasil pertanian tanaman pangan.

(2) Selama Tanam Paksa dijalankan, banyak dibangun jalan-jalan "Kontrak" (Onderneming) untuk memudahkan pengangkutan hasil perkebunan ke kota. Jalur jalan perkebunan inilah kemudian, yang banyak membantu membuka "isolasi" daerah pedalaman Jawa Barat.

(3) Untuk menjaga kesuburan tanah, sistem pengairan, dan irigasi mulai dilaksanakan dengan teratur dan lebih intensif. Tentu saja upaya itu tidak terlepas untuk melipatgandakan hasil perkebunan.

(4) Beberapa "Lembaga Penyelidikan" tanaman perkebunan (kopi, teh, kina) didirikan di Wilayah Priangan. 

Beberapa "berkah" dari pelaksanaan Tanam Paksa tersebut merupakan faktor pendorong bagi intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan di Jawa Barat, khususnya di Priangan.

Buku ini juga mengulas asal usul mengenai julukan Kota Bandung sebagai "Kota Kembang" dan "Parijs van Java" dan bagaimana "Vereeniging tot nut van Bandoeng em Omstreken" (Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya), yang menunjukkan bahwa sejak zaman dulu pihak swasta dan keterlibatan masyarakat sangat berpengaruh pada kota.

Saya juga ingin menuliskan Bab 18 Buku ini yang menjadi refleksi penulis nya mengenai "Bandung Antara Harapan dan Kenyataan" pada era tahun 1984 yang saya kira masih relevan hingga saat ini. 

Selamat menyimak!

 

BAB XVIII  
BANDUNG ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN


Ada sebagian warga kota yang nyengir sinis dan agak alergis mendengar ungkapan Bandung "Parijs van Java".


Memang benar, kalau orang mengatakan, bahwa "Parijs van Java" adalah "cerita lama". "syahibul hikayat", "bagaikan langit dan bumi", beda kenyataannya dengan Kota Bandung sekarang.


Kejayaan Bandung "Parijs van Java" telah lama berlalu, sebab gelar sanjungan itu lahir di jaman (maaf!) "tai kotok dilebuan" kata orang Sunda atau "jaman sepur lempung" kata orang Jawa.


Jadi dalam pembangunan Kota Bandung, mustahil bisa dikembalikan lagi ke jaman lampau. "de goede oude tijd" itu. Apalagi kenyataan sekarang menunjukkan, bahwa Kota Bandung yang sering dilanda banjir pada musim hujan, tidak layak lagi disebut "Paris", tapi lebih sesuai disebut "Venezia", Venezia adalah sebuah kota di Italia yang penduduknya hidup di atas air.


Ada lagi "usul" yang "tidak lucu" konon sebutan "Paris" harus disesuaikan dengan lirik "aa" versi baru lagu "Hallo Hallo Bandung", yang bait akhirnya diubah menjadi "Sekarang telah menjadi lautan cai" (bukan lautan Api!), maka Bandungpun jadi "Parit" van Java, alias "Selokan" van Java masya Allah!


Biarlah - Sekarang telah menjadi lautan cai, asalkan - Mari Bung Bangun kembali! Ditata kembali - bangunan fisik kotanya, kehidupan masyarakatnya, alam-lingkungan sekitarnya, dan sistem komunikasi dan aktivitas penduduk kotanya.


Dalam kaitannya dengan "penataan kembali" Kota Bandung inilah, suatu "Program Konservasi Bangunan dan Lingkungan Kota" sangat diperlukan.


Apa yang dimaksud dengan "konservasi", bukanlah upaya "proservasi" yang ditujukan untuk menjaga mengawetkan dan mempertahankan bangunan-bangunan lama dan alam lingkungan kota, agar masih tetap utuh bentuk dan wujudnya sebagaimana mula terjadi.


Bilapun di Kota Bandung nanti, ada usaha untuk memugar kembali bangunan - monumen dan obyek bersejarah, hal itu bukanlah upaya untuk mengembalikan sebagai "Parijs van Java" -- bukan itu yang dimaksud.


Jadi apakah yang dimaksud dengan "konservasi" itu? Sementara pihak ada yang mengatakan bahwa "konservasi", ialah pemanfaatan yang arif akan sumber daya alam dan mencegah kerusakan dan kemunduran mutunya (Wildan Yatim -"PR", 7 April 1983).


Sedangkan arti "konservasi" dalam "Proses Perancangan Kota" yang selalu berubah terus menerus dan berkembang secara dinamis adalah upaya untuk menjaga keberlangsungan proses perubahan alami secara wajar.


Dengan begitu, apa yang harus dikonservasi dan dilestarikan adalah - "proses perubahan alamiahnya".


Pendapat ini tentu agak kontraversil dan sedikit melawan arus. Namun bila kita berpijak kepada kenyataan bahwa di alam semesta ini tidak ada satu benda atau makhluk pun yang akan tetap langgeng dan abadi, maka upaya untuk melestarikan "proses perubahan alamiah" merupakan satu-satunya alternatip yang bisa dilakukan oleh manusia.


Untuk lebih menjelaskan maksud dari menjaga kelangsungan proses perubahan alami secara wajar dalam "proses perancangan dan pembangunan kota", bisa diikuti uraiannya seperti di bawah ini.


Seorang "perancang kota" (City Planner) yang arif, akan selalu berpegang kepada motto - "The City is The People!" ("Kota adalah manusia-manusia penghuninya").


Dengan berpegang pada pendapat itu, maka seorang perancang kota akan mendasari dan memperhitungkan "faktor manusia" (warga kota yang dimaksud) dalam menentukan kebijakan perencanaannya. Jadi tidak hanya memperhitungkan "faktor teknis" semata-mata.
 

Sebagai contoh - "modernisasi" pasar bertingkat, setelah selesai dibangun, banyak kios (terutama tingkat atas) masih kosong dan tidak terpakai, karena pembeli segan menaiki tangga ke atas.


Pelebaran jalan sebagai alternatip untuk memecahkan kemacetan lalu lintas tidak akan berhasil, tanpa mengetahui lebih dulu pola perjalanan sehari-hari dari penduduk kota.


Sebagaimana telah diungkapkan di depan, pelebaran jalan telah banyak menelan korban bangunan lama yang antik dan bersejarah - sedangkan problem kemacetan lalu lintas masih tetap belum teratasi.


Jembatan penyeberangan sudah disediakan, mengapa orang tidak mau memanfaatkannya?
Larangan parkir di pinggir jalan, tanpa menyediakan lokasi parkir, mendorong orang untuk memarkir kendaraan di trotoar.


Rambu-rambu lalu lintas sering kali tidak diindahkan dan banyak dilanggar oelh para pemakai jalan. Apakah ini disebabkan kurangnya rasa disiplin dan tidak ada kesadaran mentaati peraturan lalu lintas di kalangan masyarakat? Atau mungkin karena sistem pengaturan lalu lintasnya yang kurang tepat?


Semua itu mungkin saja.


Yang jelas dari beberapa contoh dikemukakan tadi, terlihat adanya "perbedaan kepentingan" ("conflict of interest") antara warga kota (masyarakat) di satu pihak, dengan para "pengambil keputusan" di lain pihak - dalam hal ini adalah para administrator pengelola kota.


Atau bisa juga dikatakan - tidak terdapat "keselarasan" antara "perilaku", "naluri alami" dan "hajat kepentingan" masyarakat dengan "peraturan-peraturan" dan "fasilitas kota" yang telah dibuat atau disediakan oleh para pengelola kota.


Apa yang disebut "conflict of interest", merupakan problema yang akan selalu dihadap, dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan "perancangan kota" (Marvin L. Manheim. 1979)


Bila kita mesti berpihak dalam "konflik kepentingan" kepentingan siapa yang harus didahulukan? - Berpaling kemabli kepada semboyan "The City is The People", maka kepentingan masyarakat atau manusianyalah yang harus dimenangkan.


Namun bila unsur manusia harus dimenangkan dan mengatasi segala "peraturan" yang ada, lalu bagaimana caranya menjaga ketertiban hidup di dalam kota? Ya, tentu saja harus dengan "aturan-aturan" juga! Tapi "aturan" yang bagaimana?


Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan "lalu lintas" dan "Pembinaan Kota" akan efektif dan mencapai sasaran, sejauh peraturan tadi "selaras" dengan "naluri alami" dan memenuhi "hajat kepentingan" masyarakat. Yang lebih penting lagi, "peraturan-peraturan" tersebut tidak bertentangan dengan hakikat konservasi - yang menjamin kelangsungan proses perubahan alami secara wajar.


Nah, dalam menjaga "kewajaran" dalam membangun Kota Bandung yang sama-sama kita cintai inilah, perlu disarankan kepada para pengelola Kota Bandung agar dapat memetik "kearifan' dari kekeliruan -kekeliruan pembangunan dan perancangan yang pernah dialami oleh kota-kota lainnya.


Pembangunan Kota Bandung tidak perlu "meniru" atau "berpola" kepada "pembangunan" kota lainnya. Sekedar ingin disebut Moderen dan tidak ketinggalan jaman. Karena setiap kota memiliki "karakter", "problem", dan "potensi" yang khas dan memerlukan penanganan khusus dab memadai dengan kota itu masing-masing.


Para pengelola kota, tentunya telah menguasai prinsip elementer "perancangan kota" yaitu mahir menyusun Skala Prioritas Pembangunan dan memilih alternatip yang paling tepat, sesuai dengan tingkat urgensi dan kebutuhan paling mendesak bagi warga kota. Sebagai contoh yang spesifik di Kota Bandung, mana yang harus lebih diutamakan: "membangun patung badak atau membenahi lebih dulu sungai-sungai dangkal agar banjir tidak meluap, sehingga dapatlah dihindarkan jatuhnya korban jiwa dan harta penduduk".


Rupanya sudah sampai pada gilirannya, bahwa Program Konservasi Gedung dan Monumen Bersejarah di Kota Bandung mendapat perhatian dan prioritas utama. Sebelum tangan manusia "progresip revolusioner" merombak - membongkar - memusnahkan "harta budaya kota" yang bersejarah dan tak ternilai harganya - hilang lenyap - ditelan roda pembangunan yang berputar cepat.


Tak apalah warga Kota Bandung sedikit bersikap "konservatip" dalam upaya mempertahankan sekelumit wajah Kota Bandung "tempo doeloe".


Warisan masa lalu apalagi, yang cukup berharga dimiliki oelh Kota Bandung? Gedung, monumen atau obyek bersejarah sisa "peradaban" masa lalu - yang patut "dilindungi" dan "diselamatkan" oelh warga kota sekalian.


"This is The City, and I am one of the Citizen!"(Inilah sebuah kota dan saya adalah salah seorang Warganya!") kata penyair Walt Whitman.


Ucapan itu mengandung makna, bahwa "nasib", hidup - mati sebuah kota ("City") tidak bisa dipisahkan dengan "kehidupan" warga kotanya (Citizens).


Oleh sebab itu, menjadi "hak" dan "kewajiban" setiap "Warga Kota", untuk merasa memilki dan melibatkan diri dalam penataan maupun pembangunan kotanya.


Bagaimana "brengsek" dan "semrawutnya" Kota Bandung, tidak ada pilihan lain bagi "Warga Kota" untuk tinggal bersamanya dan - tetap mencintainya!


Warga-Kotalah sebenarnya ayng paling berhak "mengukir" bentuk wajah kotanya bukan semata-mata memperturutkan "selera" para administrator pengelola kota yang memiliki otoritas.


Dengan demikian "baik-buruk" wajah sebuah kota, pada hakikatnya adalah juga "cermin kehidupan" dari Warga Kotanya.

 
Akan berdiam dirikah para pembaca, khususnya "warga kota" Bandung, bila mendengar kota pemukimannya disebut orang "brengsek" dan "semrawut"?