Thursday 2 March 2023

Buku "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe" karya Ir. Haryoto Kunto Tahun 1984


"Bandoeng is het paradijs der aardsche schoonen. Daarom is het goed daar te wonen."

"Bandung adalah sorga permai di atas dunia. Itulah sebabnya, baik untuk bermukim di sana!"

Baru saja membaca ulang Buku "Wajah Bandoeng Tempo Doeloe" karya Ir. Haryoto Kunto, sarjana Planologi ITB, yang diterbitkan pada tahun 1984. Buku ini merupakan hadiah dari Pak Angga Dwiartama saat saya mengerjakan project penulisan dengan bellau.

Buku ini mengulas sejarah Kota Bandung yang tidak lepas dengan pesatnya perkebunan kopi, teh, dan kina di kawasan pegunungan yang mengelilingi Kota Bandung oleh para Orang Belanda di perkebunan Priangan yang lebih terkenal dengan sebutan "Preangerplanters". Para "Toean Tanah" ini melakukan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel yang tentu menyebabkan penderitaan dan duka bagi rakyat pribumi Priangan tapi juga memberikan "hikmah" yang cukup berarti seperti:

(1) Rakyat Priangan menjadi kenal, terbiasa, dan menguasai teknik, tata cara dari sistem pertanian, bagi jenis tanaman perkebunan. Pada umumnya hasil perkebunan lebih banyak mendatangkan keuntungan ketimbang hasil pertanian tanaman pangan.

(2) Selama Tanam Paksa dijalankan, banyak dibangun jalan-jalan "Kontrak" (Onderneming) untuk memudahkan pengangkutan hasil perkebunan ke kota. Jalur jalan perkebunan inilah kemudian, yang banyak membantu membuka "isolasi" daerah pedalaman Jawa Barat.

(3) Untuk menjaga kesuburan tanah, sistem pengairan, dan irigasi mulai dilaksanakan dengan teratur dan lebih intensif. Tentu saja upaya itu tidak terlepas untuk melipatgandakan hasil perkebunan.

(4) Beberapa "Lembaga Penyelidikan" tanaman perkebunan (kopi, teh, kina) didirikan di Wilayah Priangan. 

Beberapa "berkah" dari pelaksanaan Tanam Paksa tersebut merupakan faktor pendorong bagi intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan di Jawa Barat, khususnya di Priangan.

Buku ini juga mengulas asal usul mengenai julukan Kota Bandung sebagai "Kota Kembang" dan "Parijs van Java" dan bagaimana "Vereeniging tot nut van Bandoeng em Omstreken" (Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya), yang menunjukkan bahwa sejak zaman dulu pihak swasta dan keterlibatan masyarakat sangat berpengaruh pada kota.

Saya juga ingin menuliskan Bab 18 Buku ini yang menjadi refleksi penulis nya mengenai "Bandung Antara Harapan dan Kenyataan" pada era tahun 1984 yang saya kira masih relevan hingga saat ini. 

Selamat menyimak!

 

BAB XVIII  
BANDUNG ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN


Ada sebagian warga kota yang nyengir sinis dan agak alergis mendengar ungkapan Bandung "Parijs van Java".


Memang benar, kalau orang mengatakan, bahwa "Parijs van Java" adalah "cerita lama". "syahibul hikayat", "bagaikan langit dan bumi", beda kenyataannya dengan Kota Bandung sekarang.


Kejayaan Bandung "Parijs van Java" telah lama berlalu, sebab gelar sanjungan itu lahir di jaman (maaf!) "tai kotok dilebuan" kata orang Sunda atau "jaman sepur lempung" kata orang Jawa.


Jadi dalam pembangunan Kota Bandung, mustahil bisa dikembalikan lagi ke jaman lampau. "de goede oude tijd" itu. Apalagi kenyataan sekarang menunjukkan, bahwa Kota Bandung yang sering dilanda banjir pada musim hujan, tidak layak lagi disebut "Paris", tapi lebih sesuai disebut "Venezia", Venezia adalah sebuah kota di Italia yang penduduknya hidup di atas air.


Ada lagi "usul" yang "tidak lucu" konon sebutan "Paris" harus disesuaikan dengan lirik "aa" versi baru lagu "Hallo Hallo Bandung", yang bait akhirnya diubah menjadi "Sekarang telah menjadi lautan cai" (bukan lautan Api!), maka Bandungpun jadi "Parit" van Java, alias "Selokan" van Java masya Allah!


Biarlah - Sekarang telah menjadi lautan cai, asalkan - Mari Bung Bangun kembali! Ditata kembali - bangunan fisik kotanya, kehidupan masyarakatnya, alam-lingkungan sekitarnya, dan sistem komunikasi dan aktivitas penduduk kotanya.


Dalam kaitannya dengan "penataan kembali" Kota Bandung inilah, suatu "Program Konservasi Bangunan dan Lingkungan Kota" sangat diperlukan.


Apa yang dimaksud dengan "konservasi", bukanlah upaya "proservasi" yang ditujukan untuk menjaga mengawetkan dan mempertahankan bangunan-bangunan lama dan alam lingkungan kota, agar masih tetap utuh bentuk dan wujudnya sebagaimana mula terjadi.


Bilapun di Kota Bandung nanti, ada usaha untuk memugar kembali bangunan - monumen dan obyek bersejarah, hal itu bukanlah upaya untuk mengembalikan sebagai "Parijs van Java" -- bukan itu yang dimaksud.


Jadi apakah yang dimaksud dengan "konservasi" itu? Sementara pihak ada yang mengatakan bahwa "konservasi", ialah pemanfaatan yang arif akan sumber daya alam dan mencegah kerusakan dan kemunduran mutunya (Wildan Yatim -"PR", 7 April 1983).


Sedangkan arti "konservasi" dalam "Proses Perancangan Kota" yang selalu berubah terus menerus dan berkembang secara dinamis adalah upaya untuk menjaga keberlangsungan proses perubahan alami secara wajar.


Dengan begitu, apa yang harus dikonservasi dan dilestarikan adalah - "proses perubahan alamiahnya".


Pendapat ini tentu agak kontraversil dan sedikit melawan arus. Namun bila kita berpijak kepada kenyataan bahwa di alam semesta ini tidak ada satu benda atau makhluk pun yang akan tetap langgeng dan abadi, maka upaya untuk melestarikan "proses perubahan alamiah" merupakan satu-satunya alternatip yang bisa dilakukan oleh manusia.


Untuk lebih menjelaskan maksud dari menjaga kelangsungan proses perubahan alami secara wajar dalam "proses perancangan dan pembangunan kota", bisa diikuti uraiannya seperti di bawah ini.


Seorang "perancang kota" (City Planner) yang arif, akan selalu berpegang kepada motto - "The City is The People!" ("Kota adalah manusia-manusia penghuninya").


Dengan berpegang pada pendapat itu, maka seorang perancang kota akan mendasari dan memperhitungkan "faktor manusia" (warga kota yang dimaksud) dalam menentukan kebijakan perencanaannya. Jadi tidak hanya memperhitungkan "faktor teknis" semata-mata.
 

Sebagai contoh - "modernisasi" pasar bertingkat, setelah selesai dibangun, banyak kios (terutama tingkat atas) masih kosong dan tidak terpakai, karena pembeli segan menaiki tangga ke atas.


Pelebaran jalan sebagai alternatip untuk memecahkan kemacetan lalu lintas tidak akan berhasil, tanpa mengetahui lebih dulu pola perjalanan sehari-hari dari penduduk kota.


Sebagaimana telah diungkapkan di depan, pelebaran jalan telah banyak menelan korban bangunan lama yang antik dan bersejarah - sedangkan problem kemacetan lalu lintas masih tetap belum teratasi.


Jembatan penyeberangan sudah disediakan, mengapa orang tidak mau memanfaatkannya?
Larangan parkir di pinggir jalan, tanpa menyediakan lokasi parkir, mendorong orang untuk memarkir kendaraan di trotoar.


Rambu-rambu lalu lintas sering kali tidak diindahkan dan banyak dilanggar oelh para pemakai jalan. Apakah ini disebabkan kurangnya rasa disiplin dan tidak ada kesadaran mentaati peraturan lalu lintas di kalangan masyarakat? Atau mungkin karena sistem pengaturan lalu lintasnya yang kurang tepat?


Semua itu mungkin saja.


Yang jelas dari beberapa contoh dikemukakan tadi, terlihat adanya "perbedaan kepentingan" ("conflict of interest") antara warga kota (masyarakat) di satu pihak, dengan para "pengambil keputusan" di lain pihak - dalam hal ini adalah para administrator pengelola kota.


Atau bisa juga dikatakan - tidak terdapat "keselarasan" antara "perilaku", "naluri alami" dan "hajat kepentingan" masyarakat dengan "peraturan-peraturan" dan "fasilitas kota" yang telah dibuat atau disediakan oleh para pengelola kota.


Apa yang disebut "conflict of interest", merupakan problema yang akan selalu dihadap, dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan "perancangan kota" (Marvin L. Manheim. 1979)


Bila kita mesti berpihak dalam "konflik kepentingan" kepentingan siapa yang harus didahulukan? - Berpaling kemabli kepada semboyan "The City is The People", maka kepentingan masyarakat atau manusianyalah yang harus dimenangkan.


Namun bila unsur manusia harus dimenangkan dan mengatasi segala "peraturan" yang ada, lalu bagaimana caranya menjaga ketertiban hidup di dalam kota? Ya, tentu saja harus dengan "aturan-aturan" juga! Tapi "aturan" yang bagaimana?


Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan "lalu lintas" dan "Pembinaan Kota" akan efektif dan mencapai sasaran, sejauh peraturan tadi "selaras" dengan "naluri alami" dan memenuhi "hajat kepentingan" masyarakat. Yang lebih penting lagi, "peraturan-peraturan" tersebut tidak bertentangan dengan hakikat konservasi - yang menjamin kelangsungan proses perubahan alami secara wajar.


Nah, dalam menjaga "kewajaran" dalam membangun Kota Bandung yang sama-sama kita cintai inilah, perlu disarankan kepada para pengelola Kota Bandung agar dapat memetik "kearifan' dari kekeliruan -kekeliruan pembangunan dan perancangan yang pernah dialami oleh kota-kota lainnya.


Pembangunan Kota Bandung tidak perlu "meniru" atau "berpola" kepada "pembangunan" kota lainnya. Sekedar ingin disebut Moderen dan tidak ketinggalan jaman. Karena setiap kota memiliki "karakter", "problem", dan "potensi" yang khas dan memerlukan penanganan khusus dab memadai dengan kota itu masing-masing.


Para pengelola kota, tentunya telah menguasai prinsip elementer "perancangan kota" yaitu mahir menyusun Skala Prioritas Pembangunan dan memilih alternatip yang paling tepat, sesuai dengan tingkat urgensi dan kebutuhan paling mendesak bagi warga kota. Sebagai contoh yang spesifik di Kota Bandung, mana yang harus lebih diutamakan: "membangun patung badak atau membenahi lebih dulu sungai-sungai dangkal agar banjir tidak meluap, sehingga dapatlah dihindarkan jatuhnya korban jiwa dan harta penduduk".


Rupanya sudah sampai pada gilirannya, bahwa Program Konservasi Gedung dan Monumen Bersejarah di Kota Bandung mendapat perhatian dan prioritas utama. Sebelum tangan manusia "progresip revolusioner" merombak - membongkar - memusnahkan "harta budaya kota" yang bersejarah dan tak ternilai harganya - hilang lenyap - ditelan roda pembangunan yang berputar cepat.


Tak apalah warga Kota Bandung sedikit bersikap "konservatip" dalam upaya mempertahankan sekelumit wajah Kota Bandung "tempo doeloe".


Warisan masa lalu apalagi, yang cukup berharga dimiliki oelh Kota Bandung? Gedung, monumen atau obyek bersejarah sisa "peradaban" masa lalu - yang patut "dilindungi" dan "diselamatkan" oelh warga kota sekalian.


"This is The City, and I am one of the Citizen!"(Inilah sebuah kota dan saya adalah salah seorang Warganya!") kata penyair Walt Whitman.


Ucapan itu mengandung makna, bahwa "nasib", hidup - mati sebuah kota ("City") tidak bisa dipisahkan dengan "kehidupan" warga kotanya (Citizens).


Oleh sebab itu, menjadi "hak" dan "kewajiban" setiap "Warga Kota", untuk merasa memilki dan melibatkan diri dalam penataan maupun pembangunan kotanya.


Bagaimana "brengsek" dan "semrawutnya" Kota Bandung, tidak ada pilihan lain bagi "Warga Kota" untuk tinggal bersamanya dan - tetap mencintainya!


Warga-Kotalah sebenarnya ayng paling berhak "mengukir" bentuk wajah kotanya bukan semata-mata memperturutkan "selera" para administrator pengelola kota yang memiliki otoritas.


Dengan demikian "baik-buruk" wajah sebuah kota, pada hakikatnya adalah juga "cermin kehidupan" dari Warga Kotanya.

 
Akan berdiam dirikah para pembaca, khususnya "warga kota" Bandung, bila mendengar kota pemukimannya disebut orang "brengsek" dan "semrawut"?             

No comments:

Post a Comment