Tuesday 24 September 2024

Selamat Hari Tani Nasional 2024

 


Dzikra Yuhasyra's eCommerce mengucapkan Selamat Hari Tani Nasional untuk seluruh Insan Pertanian Indonesia.. Sejahteralah Petani, Majulah Pertanian Indonesia!

Beberapa artikel yang bisa dibaca untuk sama-sama memperingati Hari Tani Nasional:

"Hari Tani: program subsidi pupuk perlu dirombak dan digantikan program pertanian ramah lingkungan"

https://dzikraecommerce.my.id/2024/09/01/hari-tani-program-subsidi-pupuk-perlu-dirombak-dan-digantikan-program-pertanian-ramah-lingkungan/

"Pertanian tak berkelanjutan menghambat petani beradaptasi dengan perubahan iklim"

https://dzikraecommerce.my.id/2024/09/24/pertanian-tak-berkelanjutan-menghambat-petani-beradaptasi-dengan-perubahan-iklim/

"Lestari dalam tradisi: menyelami aksi perempuan Kulon Progo merawat alam dan pangan dengan bertani"

https://dzikraecommerce.my.id/2024/09/24/lestari-dalam-tradisi-menyelami-aksi-perempuan-kulon-progo-merawat-alam-dan-pangan-dengan-bertani/

Dan artikel lainnya di Blogs Dzikra Yuhasyra's eCommerce!

Akang, Eceu, Teteh, Bapak, Ibu, teman-teman juga bisa mendapatkan e-Books tentang Pertanian, Bisnis, dan topik terkait di Dzikra Yuhasyra's eCommerce ya. Yuk dikunjungi 😊

https://dzikraecommerce.my.id

Dzikra Yuhasyra's eCommerce: Best Partners to Develop Your Agricultural Skills!

Pertanian tak berkelanjutan menghambat petani beradaptasi dengan perubahan iklim

Ica Wulansari, Paramadina University

Di tengah perubahan iklim yang kian ganas, petani di berbagai negara berjibaku untuk menjaga tanamannya tetap tumbuh dan produktif. Di Afrika Selatan, Kenya, Pakistan, Bangladesh, dan Malaysia, petani menggunakan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan, melakukan diversifikasi tanaman, menggunakan kalender tanam, melakukan konservasi air dan tanah, maupun menggunakan pupuk organik. Sementara itu, di Tanzania, petani juga giat mengembangkan benih lokal yang lebih tahan terhadap kekeringan. Pengembangan ini merupakan inisiatif mereka, guna melengkapi benih-benih rekomendasi pemerintah. Sayangnya, di Indonesia, inisiatif petani untuk beradaptasi belum dilakukan dalam skala yang masif. Upaya petani beradaptasi dengan perubahan iklim secara mandiri masih terbentur oleh sistem pertanian yang tidak berkelanjutan secara lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Beberapa contoh aspek dalam sistem ini adalah ketergantungan terhadap pupuk kimia, ketiadaan asuransi petani, dan seretnya pendampingan negara. Mandeknya inisiatif petani menyebabkan lahan-lahan pertanian kita semakin rawan gagal panen. Jika dibiarkan, kegagalan berulang akan menggerus ketahanan pangan, mengerek inflasi, hingga memarginalkan sektor pertanian Indonesia.

1. Ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida sintetis

Karena praktik-praktik tak berkelanjutan, sistem pertanian Indonesia sangat rapuh di segala sisi. Sebagai contoh, sistem pertanian kita amat menyokong penggunaan pupuk kimia dan pestisida sintetis untuk menguatkan tanaman dari cuaca ekstrem dan hama. Sebagai gambaran, Indonesia adalah negara pemakai pestisida dan insektisida terbesar ketiga di dunia. Pemerintah pun memiliki program subsidi pupuk yang diarahkan ke komoditas pupuk kimia. Padahal, kedua praktik tersebut justru berisiko mencemari air dan tanah. Serangan hama juga berisiko meningkat karena mereka semakin resisten terhadap pestisida dan insektisida. Alhasil, tindakan tersebut menyebabkan maladaptasi—upaya adaptasi iklim yang salah sehingga berbalik merugikan lingkungan. Penelitian saya di Jawa Barat menemukan pupuk dan pestisida semakin berlebihan saat kekeringan melanda. Ini pun terjadi karena persoalan sistem pertanian Indonesia lainnya, yaitu minimnya penyuluhan pertanian. Alih-alih mempromosikan pemakaian pupuk organik, saya menemukan penyuluh pertanian justru berkomplot dengan agen perusahaan pupuk dan pestisida untuk meraup konsumen dalam jumlah besar.

2. Irigasi tidak memadai

Sistem pertanian kita juga tidak didukung oleh sistem irigasi yang memadai. Sekitar 46% infrastruktur irigasi Indonesia rusak. Pengelolaan irigasi juga masih belum fleksibel—dengan aliran air yang konstan. Pengelolaan ini justru tidak efisien dan berisiko melepaskan emisi metana, gas rumah kaca yang lebih kuat menangkap karbon di atmosfer.

3. Minimnya kehadiran negara

Kehadiran negara pun hampir tidak terasa dalam sistem pertanian. Hal ini terbukti dari minimnya akses petani terhadap informasi seputar sistem dan teknologi informasi cuaca dan iklim. Petani juga semakin terjepit lantaran tidak mendapatkan kemudahan akses kredit bertani, akses pasar, dan ketiadaan subsidi pertanian. Tak hanya itu, saat petani gagal panen, mereka tidak mendapatkan perlindungan sosial memadai dari negara. Program asuransi pertanian yang melindungi petani dari gagal panen hanya untuk pembudi daya padi. Ditambah lagi, peserta asuransi pun terus menurun dari tahun ke tahun. Di tengah keterbatasan itu semua, petani akhirnya terdesak. Mereka kemudian memilih jalan pintas dengan menjual lahan pertanian lantaran tidak sanggup melakukan budi daya. Ini terjadi di Bengkulu yang kehilangan 74% persen sawah, ataupun migrasi tenaga kerja ke sektor nonpertanian di Kabupaten Minahasa Utara.

Evaluasi besar-besaran

Pemerintah perlu melakukan evaluasi sistem pertanian Indonesia besar-besaran untuk mengakomodasi upaya-upaya petani beradaptasi dengan perubahan iklim. Evaluasi harus mencakup telaah ketahanan sistem pertanian dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, ketahanan sistem dapat kita amati dalam waktu hitungan pekan maupun bulan, seperti dampak temperatur, curah hujan, pilihan tanaman, dan kegiatan bertani baik on farm (langsung di sawah maupun kebun) maupun off farm (di luar sawah maupun kebun, seperti di pabrik industri agro, fasilitas pengolahan, dan sebagainya). Perbaikan dapat dilakukan dengan membangun sistem penyebaran informasi cuaca dan iklim yang mudah diakses dan dipahami petani setiap waktu. Langkah lainnya adalah mengakomodasi petani untuk mengembangkan benih secara mandiri—agar lebih sesuai dengan kondisi lokal dan tahan iklim. Adapun jangka menengah meliputi skala waktu tahun yang mengamati perubahan metode produksi pertanian, perubahan kepemilikan lahan pertanian, maupun keterlibatan dalam komunitas sosial. Terakhir, jangka panjang meliputi hitungan waktu dalam lingkup tahun hingga dekade. Ini terkait kondisi lahan organik, erosi tanah, degradasi struktur tanah, dan berubahnya pola penghidupan bertani. Penguatan ketahanan sistem pertanian jangka menengah dan panjang tidak bisa dilakukan dalam semalam. Indonesia membutuhkan investasi untuk pengembangan riset dan teknologi. Misalnya, penelitian dan pengembangan lebih banyak benih-benih yang tahan terhadap cuaca ekstrem dan serangan hama. Terakhir, pemerintah juga dapat menggalakkan pertanian organik untuk menyehatkan praktik pertanian kita sekaligus ketahanan dalam jangka panjang.The Conversation  

Ica Wulansari, Lecturer of International Relations, Paramadina University  

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Lestari dalam tradisi: menyelami aksi perempuan Kulon Progo merawat alam dan pangan dengan bertani

Zulfa Sakhiyya, Universitas Negeri Semarang; Agung Ginanjar anjaniputra; Girindra Putri Dewi Saraswati, Universitas Negeri Semarang; Rini Astuti, Australian National University; Sri Sumaryani, dan Zuhrul Anam, Universitas Negeri Semarang

Pengetahuan perempuan atas bahan makanan, termasuk cara mendapatkan dan mengolahnya, berkontribusi pada tercukupinya pangan keluarga. Namun, Revolusi Hijau sejak 1960-an yang mendewakan produktivitas pertanian justru mengabaikan peran penting ini, termasuk praktik pertanian oleh perempuan. Alih-alih meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, Revolusi Hijau berdampak negatif secara ekologis, sosial, dan ekonomi. Petani laki-laki mendominasi kepemilikan, pengolahan tanah, dan pengambilan keputusan terkait sawah. Sementara itu, perempuan hanya ditempatkan menjadi pendukung aktivitas pertanian. Kini, di tengah iklim yang berubah, peran perempuan sebenarnya dapat menjadi solusi untuk menjamin ketersediaan pangan. Melalui penerapan pertanian lestari, misalnya, perempuan bisa memastikan anggota keluarga mendapatkan asupan makanan sehat tanpa mencederai alam sebagai sumber penyedianya. Kami bekerja sama dengan Solidaritas Perempuan Kinasih mempelajari aktivitas Karisma, kelompok petani perempuan yang berbasis di Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 2006. Dengan pendekatan feminist participatory action research (FPAR), kami mengidentifikasi langkah petani perempuan dalam melakukan praktik-praktik pertanian lestari sebagai bentuk kritik terhadap sistem pertanian konvensional sekaligus usaha untuk mewujudkan pertanian yang adil. Sejauh ini, kami menemukan petani Karisma menerapkan praktik pertanian lestari melalui penggunaan bibit lokal, pupuk organik, dan sistem pranata mangsa (kalender tanam tradisional masyarakat Jawa). Ketiganya merupakan praktik tradisional yang telah dilakukan secara turun-temurun dan ramah lingkungan. Penerapannya menyesuaikan dengan kondisi alam dan situasi masyarakat sekitar. Implementasi dari ketiga metode tersebut juga turut meningkatkan perekonomian dan relasi sosial para petani perempuan.

1. Benih lokal

Perempuan petani Karisma menggunakan benih lokal untuk semua tanaman yang mereka tanam seperti padi, ketela, pisang, dan kacang. Pemilihan benih lokal sesuai dengan kekhasan komposisi tanah, kelembapan, suhu, dan kekuatannya terhadap hama di setiap daerah. Petani Karisma sempat mencoba menggunakan benih impor yang dijual di toko. Namun, benih tersebut ternyata tidak memiliki hasil maksimal karena tidak bisa beradaptasi dengan perubahan suhu, cuaca dan serangan hama. Ketergantungan pada pupuk kimia juga menyebabkan daya tahan tanaman terhadap hama jadi lemah. Bibit lokal pun digunakan upaya petani Karisma untuk berdaulat tanpa ketergantungan terhadap benih asing. Dalam anggapan mereka, pertanian lestari perlu menonjolkan keunikan benih lokal. Harapannya, benih ini tumbuh lalu memiliki hasil panen yang unik dan karakternya sesuai dengan kondisi lingkungan di Kalibawang. Petani Karisma juga menyaksikan bahwa, secara turun temurun, benih yang berasal dari tanaman yang dipanen sebelumnya menghasilkan panen berkualitas. Sebab, benih tersebut sudah beradaptasi dengan iklim dan cuaca di Kalibawang. Sekalipun begitu, banyak benih lokal yang sudah hilang sejak Revolusi Hijau karena digantikan oleh benih impor. Misalnya, benih padi makmur—yang menjadi unggulan di Kalibawang sebelum Revolusi Hijau—sudah tidak pernah terlihat lagi saat ini. Petani Karisma mengenang padi ini tumbuh tinggi dan berumur panjang. Saking tingginya, orang yang sedang memanen padi di tengah sawah bisa tidak terlihat. Kelompok petani Karisma kemudian mencoba menghidupkan dan menanam bibit lokal kembali. Dalam praktiknya, petani karisma mendistribusikan benih dan bibit dalam kelompok dengan saling berbagi dan bertukar benih dan bibit untuk melestarikan kearifan lokal. Padi menjadi komoditas utama yang dilestarikan oleh petani Karisma. Saat ini terdapat lima jenis benih unggulan lokal yang masih ditemukan dan ditanam oleh para petani, yaitu padi merah, pandan wangi, berong, mentik susu, dan rojolele. Dari ragam benih tersebut, mentik susu dan rojolele adalah bibit yang dianggap paling unggul. Komoditas lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah pisang. Jenis pisang yang dibudidaya jumlahnya juga lebih beragam daripada padi. Beberapa di antaranya adalah pisang ambon, kepok, susu, uli, raja sereh, nangka, dan agung. Petani Karisma juga mengolahnya menjadi produk makanan untuk meningkatkan nilai jualnya, misalnya menjadi salai pisang.

2. Pupuk organik

Pertanian lestari oleh kelompok Karisma bertumpu pada penggunaan pupuk organik. Untuk menyuburkan tanah dan memacu pertumbuhan tanaman, mereka menggunakan pupuk organik padat maupun cair secara getok-tular, alias belajar bersama antarpetani Karisma. Mereka membuat pupuk padat dari kompos, abu dapur, dan kotoran hewan. Pupuk ini baru bisa mereka gunakan setelah difermentasi selama sepekan. Selain itu, petani juga menggunakan bahan-bahan alami seperti gula jawa, buah-buahan, dedaunan, batang tanaman atau pohon dan berbagai jenis bunga untuk menyuburkan tanah. Sementara itu, petani menggunakan pupuk cair berupa ekoenzim. Kelompok Karisma buat enzim organik sendiri dengan tetes tebu, buah-buahan, dan sayuran yang dicampur dan difermentasi selama tiga bulan. Penggunaan ekoenzim dan pupuk organik ini membuat pohon menjadi subur dan dapat berbuah dengan kualitas yang baik. Pupuk ini juga tidak mencemari air, udara, dan tidak mematikan rantai makanan seperti efek pupuk kimia.

3. Pranata mangsa

Masyarakat Jawa dan petani Karisma tak hanya menggunakan Pranata mangsa untuk menentukan waktu tanam yang tepat. Mereka juga memakai kalender tanam tradisional ini untuk melihat cuaca, ketersediaan air, kelembaban tanah, hama, dan jenis tanaman yang cocok. Petani Karisma memiliki tiga musim tanam dalam setahun. Ini terdiri dari dua masa tanam (September-Januari dan Februari-Juni) untuk menanam padi, dan satu masa tanam (Juli-Agustus) untuk menanam palawija maupun sayuran seperti jagung, cabai, sawi, pisang, dan mentimun. Ini sejalan dengan Peraturan Bupati Kulon Progo No. 39 Tahun 2021 tentang Tata Tanam Tahunan Periode 2021-2022. Dalam praktiknya, Kelompok Karisma sering mengistirahatkan ladang mereka pada masa tanam ketiga agar tanah kembali subur dan lestari untuk masa tanam berikutnya.

Merawat Karisma di tengah krisis iklim

Inisiatif berkelanjutan petani Karisma memang berkontribusi terhadap kelestarian pangan lokal dan lingkungan di sekitarnya. Namun, praktik baik ini berisiko terganggu akibat perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, serta ketidakpastian musim hujan dan kemarau. Populasi hama juga menjadi tak terkendali. Situasi tersebut diperparah oleh persoalan pertanian seperti kemiskinan petani akibat gagal panen, harga jual panen yang rendah, dan subdisi pupuk kimia bagi petani. Kebijakan dan program pemerintah sepatutnya dapat memastikan keberlangsungan kehidupan petani, khususnya skala kecil, seperti petani Karisma. Pemerintah perlu memperkuat pengetahuan dan keterampilan petani dalam menghadapi krisis iklim. Selain itu, kita juga perlu program secara sistemik untuk berhenti menggunakan pupuk kimiawi yang menyumbang kenaikan emisi gas rumah kaca sehingga memperparah krisis iklim. Pemerintah juga dapat merumuskan inisiatif untuk mengembalikan varian benih lokal yang beragam, merumuskan kebijakan susbidi petani yang memadai, serta memberikan reward kepada para petani lestari yang konsisten melestarikan Bumi.  

Sana Ullaili, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Kinasih berkontribusi dalam penelitian dan penulisan artikel ini.The Conversation Zulfa Sakhiyya, Communication Director of ALMI, and Associate Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang; Agung Ginanjar anjaniputra, Lecturer and researcher at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang; Girindra Putri Dewi Saraswati, Lecturer in English Education, Universitas Negeri Semarang; Rini Astuti, Research Fellow, Australian National University; Sri Sumaryani, Lecturer at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang, dan Zuhrul Anam, Lecturer in English Language and Literature, Universitas Negeri Semarang

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Wednesday 18 September 2024

Etnoagrikultur: Integrasi Praktik Pertanian Berkelanjutan dan Budaya Kearifan Lokal; Studi Kasus Kampung Adat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat

Kampung Adat Cireundeu


Akbar Primasongko, Reza Raihandhany, dan Dzikra Yuhasyra

Pertanian berkelanjutan merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini berfokus pada menjaga keseimbangan antara produktivitas pertanian dan kelestarian lingkungan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi tanah, air, serta keanekaragaman hayati. Seiring dengan perkembangan zaman, praktik pertanian modern seringkali mengabaikan aspek keberlanjutan, sehingga mengakibatkan degradasi ekosistem. Oleh karena itu, upaya untuk mengintegrasikan kembali nilai-nilai berkelanjutan dalam pertanian menjadi semakin penting.

Di sisi lain, kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat adat seringkali mengandung pengetahuan dan praktik yang mendukung prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. Kearifan lokal ini diwariskan secara turun-temurun dan telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Banyak masyarakat memiliki praktik etnoagrikultur yang mengintegrasikan pertanian berkelanjutan dengan budaya lokal. Melalui studi kasus mengenai topik ini, kita dapat melihat bagaimana etnoagrikultur menjadi model yang relevan dalam konteks pertanian modern yang semakin terancam oleh perubahan iklim dan praktik agrikultur yang tidak ramah lingkungan.

Melalui turunan pendekatan multidisiplin ilmu etnobiologi yang memadukan keilmuan sains terapan dan sosial, etnoagrikultur hadir dalam perannya yang lebih mendalam pada ranah pertanian. Jadi, apakah itu etnoagrikultur? Sederhananya, etnoagrikultur terdiri dari dua kata, yakni etno yang berarti budaya dan agrikultur yang berarti pertanian, sehingga dapat dikorelasikan bahwasannya etnoagrikultur merupakan suatu integrasi praktik pertanian yang dipadukan dengan kebudayaan atau kepercayaan. Menurut Karnarajan & Natarajan (2019), etnoagrikultur merupakan suatu akumulasi informasi pengetahuan dan perilaku dalam praktik pertanian tanpa mengganggu sumberdaya alam serta lingkungan. Konsep etnoagrikultur menggabungkan identitas budaya suatu kelompok dengan praktik pertanian (Supiyati, 2016). Masyarakat biasanya menerapkan praktik-praktik etnoagrikultur di lingkungannya untuk meningkatkan kepercayaan sosial dan budaya. Dengan kata lain, etnoagrikultur merupakan suatu manajemen pertanian berbasis budaya maupun kearifan lokal. Selain itu, konsep etnoagrikultur memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah model pengelolaan sumber daya alam lokal secara berkelanjutan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia sebagai salah satu strategi dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional.

Penerapan konsep etnoagrikultur sudah kerap dilakukan oleh sejumlah Masyarakat, khususnya masyarakat adat di Indonesia, salah satunya yang dekat berada sekitar kita, yaitu terdapat di Kampung Adat Cireundeu yang berlokasi di Kota Cimahi, Jawa Barat. Bentuk etnoagrikultur yang dipraktikan oleh komunitas tersebut adalah pemanfaatan singkong (Manihot esculenta) sebagai makanan pokok (Patriasih, Wigna, Widiaty, & Dewi, 2011). Praktik ini sudah dilakukan secara turun-temurun dalam kurun waktu 100 tahun. Singkong tersebut diolah menjadi “rasi” atau beras singkong yang memiliki tekstur dan rasa seperti beras padi. Selain rasi, masyarakat di Kampung Adat Cireundeu juga mengolah singkong menjadi bahan makanan lainnya seperti kue kering, kue basah, keripik, bubur, rujak, dan dendeng (Mu'min, 2020). Hingga saat ini, makanan pokok di Kampung Adat Cireundeu adalah singkong yang diolah menjadi rasi, bukan nasi sebagaimana kebanyakan di wilayah Indonesia lainnya.

Secara etimologi, penamaan Kampung Adat Cireundeu diambil dari suatu spesies tumbuhan reundeu (Staurogyne elongata), dikarenakan dahulu populasi tumbuhan tersebut ditemukan melimpah pada wilayah kampung adat ini. Kampung Adat Cireundeu memiliki slogan dalam Bahasa Sunda "teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat." yang dapat diartikan “tidak mempunyai sawah asalkan mempunyai beras, tidak mempunyai beras asalkan mempunyai nasi, tidak mempunyai nasi asalkan bisa makan, tidak bisa makan asalkan kuat”. Filosofi dari slogan tersebut adalah bersyukur atas apa yang dimiliki, di samping itu disarankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya dengan bijak. Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu mempertahankan dan memegang teguh kearifan lokal tersebut dari para leluhurnya sejak tahun 1920-an (Logayah, Ruhimat, & Mulyadi, 2021). Saat itu, kondisi tanah di Kampung Adat Cireundeu tidak bisa ditanami padi dan berpotensi menyebabkan krisis pangan sehingga para leluhur memutuskan untuk mengganti makanan pokok dengan singkong (Wigna & Khomsan, 2011; Sunaedi & Nuritsa, 2017).

Tumbuhan reundeu (Staurogyne elongata)

Dalam penerapan konsep etnoagrikultur, Kampung Adat Cireundeu membagi peruntukan wilayah spasialnya yang tersusun atas 20 ha sebagai lahan pertanian (leuweung baladahan), 20 ha adalah hutan larangan (leuweung larangan), 20 ha sebagai hutan cadangan (leuweung tutupan), dan 5 ha sisanya merupakan daerah pemukiman dengan luas total sebesar 65 ha (Sunaedi & Nuritsa, 2017; Primasongko, 2021; Tahnia, 2022). Penanaman singkong dilakukan di lahan pertanian (leuweung baladahan) yang pengelolaannya dipegang oleh setiap keluarga. Masyarakat di Kampung Adat Cireundeu menerapkan pengelolaan pertanian yang unik dari wilayah kampung lainnya, yaitu dengan cara melakukan rotasi tanam pada sistem pertanian pada tanaman singkong dan komoditas lainnya. Rotasi tanam diterapkan dengan penentuan kapan waktu suatu petak tertentu di lahan pertanian ditanami singkong. Penerapan rotasi taman ini membuat Kampung Adat Cireundeu memungkinkan dapat melakukan panen singkong lebih dari satu kali setiap tahunnya (Putranto & Taofik, 2014; Primasongko, 2021) dengan implikasi tidak akan terjadinya panen raya (Gulfa & Saraswati, 2015).


Lahan Pertanian (Leuweung Baladahan) di Kampung Adat Cireundeu


Sebaliknya, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menerapkan suatu aturan bahwa tidak diperbolehkan untuk siapapun untuk memasuki hutan larangan (leuweung larangan) apalagi sampai memanfaatkan sumberdaya di dalamnya. Hal ini dilakukan supaya tetap berlangsungnya keseimbangan dalam proses ekosistem sehingga daur air tetap terjaga, mencegah erosi maupun longsor. Pada leuweung baladahan terdiri dari beberapa kebun antara lain kebun singkong (kebon sampeu), kebun talas (kebon taleus), kebun rumput gajah (kebon gajahan), dan kebun bambu (kebon awi). Kebun talas merupakan suatu lahan di mana ditumbuhi oleh tanaman talas. Talas dikonsumsi oleh Masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagai bahan pangan tambahan. Talas tumbuh di area yang tenaungi. Kebun talas juga dapat dijumpai di sekitar kebun bambu. Kebun bambu merupakan kebun dengan luas wilayah terluas yang ada di kawasan ini. Kebun bambu secara tidak langsung berperan sebagai konservasi air, selain batang bambu tersebut diambil untuk berbagai kebutuhan. Selanjutnya, kebun rumput gajah, dimanfaatkan sebagai persediaan bahan pakan bagi hewan-hewan ternak seperti kambing dan sapi. Tumbuhan rumput gajah (Pennisetum purpureum) dapat tumbuh selalu meski dalam kondisi musim kemarau dan dapat dipanen setiap dua minggu sekali. Kebuthan bagi hewan terak dapat dipenuhi sepanjang tahun dengan adanya kebun rumput gajah ini (Tahnia, 2022).

Selain singkong sebagai bahan makanan pokok, di Kampung Adat Cireundeu juga ditanami berbagai spesies komoditas tanaman pertanian. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menanam tanaman buah-buahan seperti pisang (Musa sp.), pepaya (Carica papaya), dan nangka (Artocarpus altlis) (Putranto & Taofik, 2014). Adapun komoditas tanaman pangan lainnya yang dibudidaya di wilayah Kampung Adat Cireundeu antara lain kacang tanah (Arachis hypogaea), bawang daun (Allium fistulosum), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga), dan kunyit (Curcuma longa). Tanaman-tanaman tersebut umumnya dimanfaatkan sebagai bahan masakan (Tahnia, 2022; Entri, 2022).

Kembali lagi pada aspek etnoagrikultur, produksi singkong pada lahan Kampung Adat Cireundeu masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok untuk semua anggota komunitas adat yang secara eksklusif mengkonsumsi beras singkong sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan adat (Priyanto & Desmafianti, 2022). Untuk memenuhi kebutuhan singkong tersebut, Masyarakat adat masih menerapkan aturan-aturan adat yang terbentuk melalui perkembangan kearifan lokal di wilayah tersebut. Salah satunya adalah penggunaan singkong lokal jenis “karihil” dan “garnawis” untuk bahan baku utama beras singkong. Singkong jenis ini merupakan singkong dengan karakteristik umbi yang cenderung keras dan pahit, serta memiliki kadar sianida yang lebih tinggi dari singkong lainnya, namun singkong tersebut dapat tumbuh secara subur pada lahan di wilayah Kampung Adat Cireundeu (Purike, 2020). Singkong tersebut diolah menjadi rasi melalui proses yang disebut “nyampeu” agar dapat dikonsumsi secara aman oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Selain itu, beras singkong memiliki rasa dan tekstur yang mendekati beras padi sehingga cocok digunakan sebagai bahan pangan pokok alternatif (Adiputra et al., 2021).

Aspek kearifan lokal lainnya kemudian ditunjukkan melalui manajemen pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Melalui pemberian hak pengelolaan lahan kepada setiap kepala keluarga (KK) melalui pembagian petak lahan, komunitas tersebut dapat melakukan rotasi tanaman singkong dengan menanam singkong pada petak yang berbeda melalui interval waktu tertentu. Metode ini memungkinkan masyakarat adat untuk melakukan panen lebih dari satu kali setiap tahunnya (Adiputra et al., 2021), sehingga stok singkong atau rasi akan tetap terjaga di sepanjang tahunnya. Dengan menerapkan konsep etnoagrikultur tersebut, masyarakat Kampung Adat Cireunden dapat bertahan beberapa dekade hingga saat ini dengan mengandalkan produksi pangan secara lokal. Konsep etnoagrikultur yang diterapkan juga memiliki aspek keberlanjutan karena pengelolaan sumber daya alam oleh komunitas adat tersebut dapat memastikan kebutuhan pangan tetap cukup dalam jangka waktu yang panjang sehingga ketersediaan sumber daya lokal masih tersedia dari generasi pendiri hingga generasi penerus yang ada saat ini (Kotob, 2011).

Sebagaimana adat-istiadat yang masih kental dan dipegang teguh di Kampung Adat Cireundeu, sejumlah kepercayaan dan ritual yang berhubungan dengan sistem serta aspek pertanian masih dilaksanakan. Pada lahan pertanian (leuweung baladahan) khususnya di kebun singkong, apabila ditemukan tumbuhan berduri, maka pertanda tanah jenuh atau tidak subur sehingga diperlukannya penanganan berupa penyuburan tanah atau hanya bahkan didiamkan saja. Tumbuhan tersebut diduga putri malu (Mimosa pudica). Apabila di kemudian waktu sudah muncul tumbuhan merambat, pertanda jika tanah akan kembali subur. Kemudian untuk memasuki wilayah lahan pertanian (leuweung baladahan) kebun singkong, alas kaki berupa sepatu maupun sandal harus dilepas. Menurut masyarakat adat di Kampung Cireundeu, filosofi dari melepas alas kaki tersebut adalah anggapan bahwa tanah adalah “ibu nu teu ngandung” atau “ibu yang tidak mengandung”. Filosofi ini memiliki arti bahwa kita perlu menghormati tanah layaknya kita menghormati ibu kita, dan memiliki makna pendekataan manusia dengan alam (Entri, 2022).

Untuk ritual pertanian, pelaksanaanya dilangsungkan sebelum memanen singkong. Sesajen yang disediakan dalam bentuk rujakan terdiri atas melati (Jasminum sambac), mawar (Rosa hybrida), kelapa (Cocos nucifera), pisang, kopi (Coffea arabica), asam (Tamarindus indica), dan sirih (Piper betle) dibawa ke kebun singkong dan dipersembahkan untuk Pwah Aci Sanghyang Asri atau Kersa Nyai. Sosok ini dipercayai sebagai ruh yang hidup dalam tumbuhan, baik yang dikonsumsi maupun tidak (Tahnia, 2022). Selebihnya, dalam kegiatan acara besar misalnya pada Upacara Adat Tutup Taun Ngemban Taun 1 Sura, hasil panen komoditas singkong harus selalu ditunjukkan dalam setiap rangkaian acara (Widyaputra, Novianti, & Bakti, 2019).

Kampung Adat Cireundeu menerapkan konsep etnoagrikultur yang masih mempertahankan adat-istiadat dan budaya yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh leluhurnya dan menerapkannya dengan pengetahuan dan kearifan lokal. Makanan pokok di kampung adat ini adalah singkong yang diolah sebagai beras dengan istilah rasi. Praktek dari pengetahuan dan kearifan lokal masih dilaksanakan dalam aspek pertanian, mulai dari pengelolaan lahan hingga pelaksanaan kepercayaan maupun ritual. Penerapan kearifan lokal tersebut merupakan salah satu bukti dari resiliensi masyarakat Kampung Adat Cireundeu untuk bertahan hidup menghadapi perubahan-perubahan sejak komunitas tersebut berdiri. Hal ini memastikan masyarakat Kampung Adat Cireundeu dapat bertahan beberapa dekade menghadapi keterbatasan ketersediaan bahan pangan dengan manajemen sumber daya alam lokal secara berkelanjutan.

Sagu bisa jadi jawaban ketahanan pangan, tapi masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara kesulitan memproduksi sagu secara ekonomis

Patta Hindi Asis, Universitas Muhammadiyah Kendari dan Sitti Rahma Ma'mun, Universitas Muhammadiyah Kendari


Jauh sebelum “hegemoni” beras, masyarakat Sulawesi Tenggara – khususnya suku Tolaki – mengenal tanaman sagu sebagai bahan pangan pokok. Sayangnya, politik pangan membuat sagu perlahan-lahan tersisihkan. Sebelum era 1980-an, sagu merupakan makanan utama masyarakat Tolaki – etnis terbesar yang mendiami Sulawesi Tenggara. Di sana, pati sagu diolah menjadi Sinonggi, makanan khas masyarakat Tolaki. Mereka kerap menyantap Sinonggi dengan campuran sayur bening dan ikan kuah kuning atau ayam kampung yang dimasak dengan daun kedondong hutan (tawaloho). Namun, keberhasilan swasembada beras di tahun 1980-an turut mengubah pola konsumsi masyarakat dari sagu menjadi penggila nasi. Sagu sebagai makanan pokok terpinggirkan dan hanya jadi sekedar pelengkap makanan setelah nasi. Secara potensi, jumlah sagu di Sulawesi Tenggara cukup besar untuk di pulau Sulawesi. Sebagai pembanding, data Kementerian Pertanian menunjukkan di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai penghasil sagu di daratan Sulawesi, volume produksi sagu mencapai 3.259 ton dengan luas lahan produksi mencapai 3.849 hektar. Sedangkan Sulawesi Tenggara dengan luas produksi 4.567 hektar, jumlah produksinya hanya mencapai 3.001 ton. Daratan Konawe masih sangat berpotensi menjadi pusat industri sagu. Menurut Kementerian Pertanian, sagu dapat diolah menjadi tepung sagu (termasuk produk makanan olahannya, seperti kue tradisional), dari bahan pembuatan obat di industri farmasi hingga sumber energi alternatif seperti bioetanol. Ampas sagu bahkan bisa diolah menjadi protein sel tunggal untuk pakan ternak. Ini tentunya bisa membantu meningkatkan perekonomian masyarakat di Sulawesi Tenggara. Terdapat potensi besar dari sagu tak hanya untuk menjaga diversifikasi dan ketahanan pangan, namun juga meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, terutama dalam dalam krisis pangan yang melanda dunia sekarang ini.

Sagu kurang mendapat perhatian

Sagu masih ditemui dalam keseharian masyarakat Tolaki. Sayangnya, kurangnya perhatian dan pengetahuan membuat produksi sagu hanya mengikuti dinamika pasar tanpa dikembangkan lebih jauh untuk meraih potensi maksimalnya. Kami melakukan penelitan lapangan dan diskusi kelompok terpumpun (FGD) dengan petani sagu di daratan Konawe (hasilnya dalam proses penulisan). Diskusi menghadirkan dua kelompok tani sagu di waktu dan tempat berbeda di pertengahan tahun 2022. Tiap kelompok berjumlah tidak lebih dari 10 orang yang dipilih secara sengaja. Hasilnya, kami menemukan bahwa pengolahan sagu hanya dilakukan secara subsisten, penggunaan mesin otomatisasi yang tak berjalan dengan baik, serta kurangnya perhatian pemerintah daerah membuat produksi sagu berhenti total. Bergesernya konsumsi masyarakat ke nasi membuat sagu hanya diolah secara alami, yang membatasi peluang ekonomi dan membuat petani memproduksi sagu berdasarkan permintaan pasar saja, umumnya digunakan sekedar pelengkap. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pernah memberikan bantuan dengan mendirikan pabrik percontohan di Desa Labela (Kabupaten Konawe) dan Desa Kosebo (Kabupaten Konawe Selatan) pada akhir 2017. Namun, spesifikasi yang tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mahalnya biaya perawatan membuat pabrik berhenti bekerja. Selain kendala teknis, sagu juga merupakan komoditas termurah dibanding komoditas lainnya. Tinjauan kami menunjukkan bahwa harga sagu hanya berkisar Rp 2.200 per kilogram di tingkat petani dan 5.000 per kilogram di pasaran. Sementara, harga beras di tingkat pasar lokal mencapai Rp 9.000-10.000 per kilogram. Ini menjadi salah satu alasan juga mengapa budidaya sagu tidak ekonomis dan jalan di tempat. Hasil diskusi kami dengan petani menemukan bahwa pemerintah daerah dan kota yang selalu menggaungkan cinta produk lokal dengan istilah sikato (singkatan dari Sinoggi, Kasuami, Kambose, Kabuto) nyatanya tak pernah memberikan perhatian serius terhadap pemberdayaan petani sagu. Keadaan ini yang memaksa petani mengolah sagu hanya sebagai sampingan atau sebagai tanaman ‘penjaga nilai budaya’.

Sagu masih bertahan sebagai tanaman adat

Di tengah dominasi beras, rendahnya harga, sulitnya produksi, dan kurangnya perhatian pemerintah daerah, mengapa masyarakat masih tetap mengolah sagu? Padahal, cara mengolah sagu tidaklah mudah. Dibutuhkan setidaknya 10 tahun agar sagu siap panen. Untuk menghasilkan 250 kilogram olahan sagu dibutuhkan 3-5 hari kerja. Kami mendiskusikan pertanyaan ini dengan masyarakat. Jawaban mereka sederhana, ada keterkaitan antara sagu dan budaya masyarakat sehingga tanaman ini tetap dilestarikan. Tradisi makan sagu terus bertahan di tengah dominasi nasi karena keterikatannya budaya dan sudah menjadi bagian dari cara hidup (way of life) masyarakat Tolaki. Setiap rumah tangga setiap harinya menyiapkan sagu yang disebut dengan tradisi Masoggi atau Sinonggi, sagu yang sudah diolah dan ditutup dengan makan nasi.

Olahan sagu
Sinonggi, makanan lokal masyarakat Tolaki. Dokumentasi penulis, Fourni par l'auteur


Menghidupkan tradisi juga terlihat di acara perkawinan. Jika seorang laki-laki mempersunting gadis Tolaki, mereka wajib membawa anakan sagu dan peralatan dapur lainnya. Sebab, bagi masyarakat Tolaki, sagu merupakan simbol kehidupan dan kesejahteraan. Selain itu, sagu juga telah melengkapi perjalanan kehidupan leluhur mereka. Masyarakat Tolaki memanfaatkan hampir semua bagian dari tanaman sagu, seperti daun sagu yang dirajut menjadi atap, pelepahnya dibuat menjadi pagar, dan ulat sagu dan pucuk sagu menjadi panganan. Ini semua masih bertahan hingga sekarang. Namun, di era krisis pangan dan krisis ekonomi pascapandemi, petani sagu tentu berharap produksi mereka tidak sekadar menjaga tradisi namun juga menghasilkan nilai ekonomi.

Ketahanan pangan dan upaya meningkatkan ekonomi

Diskusi kami menemukan bahwa para peserta memiliki persepsi bahwa Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan tidak tahan pangan akibat ketidaktersediaan pasokan dan variasi pangan. Ini seperti mengkonfirmasi pendapat Profesor Drajat Martianto dari Institut Pertanian Bogor bahwa 50% masyarakat di Indonesia berada dalam kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Pola konsumsi yang berubah dari sagu ke nasi bisa menjadi alasan mengapa masyarakat tidak merasa memiliki ketahanan pangan dan meminggirkan pengolahan sagu. Ahmad Arif, wartawan Kompas dalam bukunya “Sagu Papua untuk Dunia”, menekankan tentang kerentanan pangan bukan karena keterbatasan pangan dan kekurangan bahan baku namun juga terbatasnya pengetahuan mengembangkan dan membudidayakan sagu dengan lebih efektif. Kendala pengembangan sagu yang terbentur dengan ketersediaan infrastruktur. Di dalam kondisi ini, ajakan Menteri Pertanian, untuk makan sagu jika harga beras mahal terdengar ironis mengingat posisi sagu yang sebelumnya merupakan makanan pokok di beberapa wilayah Indonesia, kini tergeser oleh nasi. Kembali ke konsumsi sagu sebagai makanan pokok di masyarakat Tolaki tidak semudah membalikkan tangan. Di tengah masifnya alih fungsi lahan pertanian dan eksploitasi lahan menjadi tambang nikel di Sulawesi Tenggara, agaknya pemerintah daerah perlu menengok kondisi pangan lokal dan memperhatikan sagu yang kian hari semakin memprihatinkan keberlanjutannya. Sudah saatnya pemerintah daerah memikirkan ulang kebijakan politik pangan. Jika saja sagu dikembangkan secara berkelanjutan, bukan tidak mungkin sagu menjadi produk lokal yang dapat diandalkan untuk ketahanan dan kedaulatan pangan, serta meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Kearifan masyarakat di Indonesia tentang ketahanan pangan banyak dijumpai di masyarakat lokal. Tinggal menunggu kebijakan politik pangan yang berpihak pada petani.The Conversation

Patta Hindi Asis, Dosen, Universitas Muhammadiyah Kendari dan Sitti Rahma Ma'mun, Dosen, Universitas Muhammadiyah Kendari

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Usai bergulat dengan pandemi, petani kopi kehilangan produksi akibat perubahan iklim


Ary Widiyanto, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Kopi merupakan salah satu jenis tanaman primadona di Indonesia. Sebagai negara pengekspor terbesar ke-4 di dunia–setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia–biji kopi asal Indonesia menjangkau negara-negara Eropa, negara-negara Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Minum kopi pun menjadi bagian gaya hidup masyarakat Indonesia, ditandai dengan tumbuhnya kafe-kafe baru di berbagai daerah. Bermacam fakta di atas seharusnya berdampak positif pada petani sebagai salah satu aktor utama dalam mata rantai penjualan kopi. Namun, penelitian kami di Jawa Barat nyatanya menunjukkan hasil yang miris. Usai bergulat dengan penurunan permintaan di masa pandemi, para petani langsung disambut dengan dampak perubahan iklim yang kian nyata. Produksi mereka kemudian turun drastis.

Lepas pandemi, diterjang anomali cuaca

Kami melaksanakan wawancara terstruktur dan mendalam dengan 219 responden petani kopi di Jawa Barat pada 2022. Provinsi ini banyak menerapkan kegiatan perhutanan sosial berbasis kopi. Menurut para responden kami, pandemi tidak menghalangi aktivitas petani dalam kegiatan budidaya sampai pemanenan. Namun, pembatasan aktivitas masyarakat membuat permintaan kopi menurun khususnya oleh kafe-kafe sebagai salah satu pembeli kopi mentah dari petani. Dampaknya: harga jual kopi menurun, pun pendapatan petani. Di puncak pandemi pada 2021, misalnya, ceri kopi para petani yang biasanya dihargai hingga Rp 9.500/kg hanya laku di kisaran Rp 5.000/kilogram. Meredanya pandemi pada 2022 tak terlalu mengubah keadaan. Pasalnya, pertanian kopi mulai terimbas perubahan iklim. Studi memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menurunkan produktivitas pertanian di negara berkembang sebesar 10-20% selama 40 tahun ke depan. Menurut kajian tim peneliti BRIN, salah satu dampak perubahan iklim di Indonesia adalah durasi musim hujan lebih panjang. Lamanya bisa mencapai 49 hari di Indonesia bagian selatan. Kondisi cuaca yang tidak menentu, misalnya hujan ekstrem di musim kemarau, menyebabkan sebagian kopi gagal berbunga. Imbasnya, kopi gagal berbuah sehingga angka produksi menurun drastis. Meskipun secara nasional jumlah produksi kopi meningkat, para petani yang kami wawancarai di Jawa Barat (seperti di Kabupaten Garut, Bandung, dan Ciamis) menyatakan bahwa produksi mereka menurun antara 20%-80%. Pertumbuhan produksi nasional didominasi oleh produksi kopi dari Sumatra. Daerah tersebut bisa jadi memiliki perbedaan iklim mikro dengan petani di Jawa Barat. Penurunan produksi sebenarnya membuat suplai menipis di pasar sehingga mengerek naik harga produk kopi. Sayangnya, banyak petani yang tidak menikmati kenaikan harga. Anjloknya hasil panen karena perubahan iklim sulit diperbaiki karena akses mereka ke pupuk masih terbatas. Pada saat pandemi, pupuk tersedia dengan harga normal. Namun, pupuk tidak terjangkau karena pendapatan petani menurun sehingga belanja lebih difokuskan untuk konsumsi rumah tangga. Sebaliknya, pascapandemi pupuk menjadi susah diperoleh. Kalaupun ada, harganya lebih mahal. Pupuk yang paling banyak dibutuhkan oleh petani kopi berjenis urea dan NPK. Ada beberapa masalah yang jadi biang keladi. Dunia memang tengah mengalami krisis pupuk akibat Perang Rusia-Ukraina. Sebab, Rusia merupakan penyuplai 30% fosfor dan kalium yang menjadi bahan baku NPK. Wawancara kami juga menemukan masalah distribusi pupuk subsidi yang diduga tidak tepat sasaran. Ini terlihat dari bagaimana petani yang berhak menerima pupuk dengan harga subsidi harus membayar dengan harga normal karena pupuk subsidi tidak tersedia. Sementara, suplai justru tersedia bagi kelompok tani lain di daerah yang sama yang tak membeli pupuk.


Pekerjaan rumah untuk pemerintah

Permasalahan budi daya yang dihadapi petani selama dan pascapandemi, ditambah dengan dampak perubahan iklim, membuat petani kopi kelimpungan. Studi pun mengamini petani swadaya di negara berkembang kerap kesulitan mengatasi dampak perubahan iklim karena mereka tidak memiliki sumber daya untuk mencari pemasukan tambahan demi menjamin kesejahteraan keluarga mereka. Oleh karena itu, perlu campur tangan pemerintah mengatasi berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Pemerintah, misalnya, perlu memperkuat pengawasan untuk memastikan distribusi pupuk yang tepat sasaran. Titik-titik kerawanan penyimpangan perlu diberantas. Perlu ada sanksi tegas terhadap penyalahgunaan penyaluran pupuk bersubsidi. Di sisi lain, kelembagaan petani juga perlu penguatan. Berdasarkan wawancara, saat ini posisi tawar petani dalam penentuan harga jual kopi sangat rendah. Pembeli, yang mayoritas adalah pedagang besar, memiliki kuasa yang besar dalam menentukan harga. Lantaran margin yang kecil, petani hanya sedikit merasakan manfaat kenaikan harga kopi. Sebaliknya, adanya penurunan harga akan langsung menghantam perekonomian mereka karena minimnya modal usaha untuk memupuki tanaman. Oleh sebab itu, perlu dibentuk lembaga yang berfungsi menstabilkan harga kopi di tingkat petani, misalnya dengan menampung produk pada saat panen raya. Meski demikian, upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan instabilitas harga jual dan harga sarana produksi pertanian tidak selamanya dapat bergantung pada pemerintah. Petani harus didorong untuk meningkatkan nilai tambah produk kopi mereka dengan pengolahan lanjutan. Pengolahan produk memberikan dua keuntungan sekaligus. Pertama, meningkatkan harga jual dan margin keuntungan yang lebih besar. Kedua, adanya penyerapan tenaga kerja selama proses pengolahan kopi meliputi proses pengupasan, pengeringan, pembuatan bubuk kopi, bahkan penjual produk kopi siap saji. Pemerintah dan swasta dapat membantu penyediaan mesin pengolah kopi dengan skema hibah atau pinjaman berbunga rendah. Perlu bantuan lembaga keuangan resmi pemerintah selama proses ini. Soalnya, petani cenderung langsung menjual kopi setelah panen untuk mendapatkan uang tunai. Perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan. Bukan tidak mungkin hal yang sama bisa menimpa petani-petani kopi lain di Indonesia. Yang dapat kita lakukan adalah beradaptasi dan meredam dampaknya, serta meningkatkan ketangguhan petani kecil kita.

Penulis berterimakasih kepada Dr. Sanudin dan Eva Fauziyah, M.Sc. (peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN) yang telah berkontribusi terhadap tulisan ini.The Conversation

Ary Widiyanto, Peneliti Ahli Madya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
 

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Apa untung-rugi jika sawit ditetapkan menjadi tanaman hutan?

FB Anggoro/Antara

Hero Marhaento, Universitas Gadjah Mada

Wacana sejumlah pihak untuk menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman hutan semakin riuh. Hal ini ditandai dengan rampungnya naskah akademik yang disusun sejumlah akademikus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Naskah tersebut, yang mencuat ke publik pekan lalu, menghasilkan rekomendasi peralihan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan. Berdasarkan dokumen naskah akademik yang saya terima, peralihan status sawit dari tanaman perkebunan menjadi tanaman hutan dianggap menjadi solusi pemulihan hutan yang terdegradasi. Dokumen juga diharapkan menjadi basis ilmiah untuk menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan. Alasan tersebut sangat disayangkan. Sebab, masih ada cara-cara lain untuk memulihkan hutan yang lebih bermanfaat bagi ekosistem dan para petani sawit. Alih-alih bermanfaat, peralihan status ini justru berisiko menimbulkan lebih banyak kerugian bagi Indonesia.

Peralihan status untuk siapa?

Hingga saat ini, Indonesia masih berjuang untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Pada 2019, lembaga nirlaba yang berfokus pada pelestarian lingkungan, Yayasan Kehati, mengemukakan ada 3,4 juta hektare (ha) kebun sawit dalam kawasan hutan. Dari angka tersebut, hanya sekitar 700 ribu ha yang dikelola oleh petani skala kecil (smallholders). Sisanya diduga dikuasai oleh korporasi maupun pelaku usaha individu dengan kapasitas finansial yang besar. Pembukaan perkebunan juga diduga tak melalui jalur legal, seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) ataupun skema lainnya. Selain di kawasan hutan, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 menyebutkan, kawasan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit juga tumpang tindih dengan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam maupun hutan tanaman industri. Luasnya masing-masing 349 ribu ha dan 534 ribu ha. Kalimantan Timur dan Utara menjadi provinsi dengan tumpang tindih sawit dengan sektor usaha kehutanan terluas. Hal ini juga belum dihitung dengan kebun sawit yang ‘tiba-tiba muncul’ di konsesi perusahaan sektor kehutanan karena ada sebagian kawasannya yang ditelantarkan. Nah, jika pemerintah mengesahkan peralihan status sawit menjadi tanaman hutan, maka keberadaan sawit di konsesi perusahaan tersebut kemungkinan bakal menjadi legal. Hal tersebut diprediksi menciptakan peluang bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan sektor kehutanan. Sebagian konsesi sektor kehutanan yang belum dirambah juga berkesempatan untuk ditanami sawit baru. Hal ini berisiko melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Studi bahkan menyebutkan jumlah emisi yang terlepas akibat penanaman sawit baru, khususnya di lahan gambut, bisa mencapai dua kali lipat dibanding kebun sawit lama. Bukan hanya itu, dalam segi perekonomian, upaya perluasan kebun sawit korporasi juga berpotensi mematikan petani kecil. Sebab, harga akan rawan anjlok apabila terjadi kelebihan pasokan (oversupply) tandan buah segar/TBS sawit. Hal ini membuat petani kecil semakin rentan. Bagi petani kecil, usulan ini sama sekali tidak memberikan keuntungan. Sebab, persoalan bagi sebagian besar petani sawit skala kecil adalah aspek legalitas – yang sudah ada skema jalan keluarnya melalui Perhutanan Sosial. Dengan memasukkan sawit sebagai tanaman hutan atau tidak, jika aspek legalitas lahan tidak diperhatikan, maka petani tetap akan kesulitan menjual hasil kebunnya kepada pabrik-pabrik besar yang mensyaratkan pembelian tandan sawit dari perkebunan yang legal.

Mengganggu upaya perbaikan tata kelola

Pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk perbaikan tata kelola sawit. Misalnya, kebijakan moratorium penerbitan izin sawit baru yang berlaku sejak 2018 hingga September 2021. Tahun lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan. Aturan tersebut mengatur penyelesaian tumpang tindih sawit sebagai kawasan hutan. Petani sawit dapat melegalkan perkebunannya dengan cara mengajukan skema perhutanan sosial kepada pemerintah. Perhutanan sosial adalah pemberian hak pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari negara kepada masyarakat (desa, masyarakat adat, ataupun kelompok tani). Setelah memperoleh hak pengelolaan tersebut, petani diwajibkan menerapkan strategi jangka benah. Skema ini mensyaratkan pemulihan ekosistem hutan yang terlanjur ditanami sawit harus ditanami tanaman lainnya dengan cara wanatani (agroforestry) selama waktu tertentu. Pohon yang ditanam juga harus memenuhi beragam kriteria seperti berakar dalam untuk mengembalikan fungsi hidrologis (tata air) suatu kawasan, serta fungsi dan struktur ekosistem hutan. Aspek lainnya adalah, pohon mesti berumur panjang, mudah dibudidayakan, dan bernilai ekonomi tinggi. Faktor asal pohon yang berasal dari jenis endemik setempat juga harus masuk dalam pertimbangan. Beberapa pohon yang memenuhi kriteria tersebut misalnya: jengkol, cempedak, petai, durian, ataupun meranti. Didukung sejumlah bukti ilmiah, strategi jangka benah dapat menjaga kelangsungan budi daya kelapa sawit sekaligus memulihkan fungsi kawasan hutan yang terdegradasi akibat perkebunan monokultur (sejenis). Sebaliknya, jika usulan sawit menjadi tanaman hutan disetujui, maka pemilik kebun sawit yang tumpang tindih berisiko terbebas dari kewajibannya memulihkan kondisi hutan. Akibatnya degradasi lingkungan akibat perkebunan sawit monokultur terus berlangsung tanpa pertanggungjawaban yang sepadan. Kerusakan juga bisa terus meluas. Dampak lainnya adalah, aturan perbaikan yang sudah diinisiasi pemerintah untuk menengahi persoalan kesejahteraan petani sawit dan lingkungan berisiko jalan di tempat.

Perlu mengutamakan kepentingan lingkungan

Sawit memiliki banyak nilai tambah yang bermanfaat bukan hanya bagi petani, tapi juga masyarakat sebagai pengguna. Kontribusi komoditas ini terhadap penerimaan negara, langsung maupun tak langsung, juga tidak bisa dianggap sebelah mata. Namun, hal itu bukan menjadi alasan untuk menafikan persoalan tata kelola perkebunan sawit yang berdampak pada kelangsungan lingkungan. Butuh langkah yang harmonis dari pemerintah, petani sawit, dan perusahaan untuk menyelaraskan aktivitas perkebunan kelapa sawit dengan kelestarian ekosistem. Patut diingat bahwa Indonesia juga termasuk sebagai negara yang berkomitmen menekan angka deforestasi pada 2030 mendatang. Tentunya, segala upaya termasuk melalui penerbitan kebijakan terkait sawit, harus sejalan dengan komitmen tersebut. Persetujuan sawit menjadi tanaman hutan akan membuat dunia internasional mempertanyakan komitmen Indonesia untuk menjaga ekosistem dan mengembalikan kekayaan biodiversitas. Karena itu, perlu ada keputusan yang berbasis temuan-temuan ilmiah serta dialog dengan berbagai pemangku kepentingan.The Conversation

Hero Marhaento
, Forest Resources Conservation Researcher, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Produksi beras juga bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, syaratnya riset iklim harus diperbanyak

Feny selly/Antara

Andrianto Ansari, Universitas Gadjah Mada

Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan curah hujan yang berdampak pada kekeringan di suatu wilayah, dan banjir di wilayah lainnya, serta peningkatan suhu yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kondisi tersebut berisiko mempengaruhi produksi sekaligus kualitas beras – makanan pokok yang dikonsumsi 90% masyarakat Indonesia. Pasalnya, padi merupakan tanaman yang sensitif terhadap perubahan suhu dan pasokan air. Padi membutuhkan debit air sebesar 450-700 milimeter (mm) selama musim tanamnya atau sekitar 1,9 - 2,25 mm/hari. Jika padi kekurangan air, terutama selama tahap tanam dan reproduksi, maka pertumbuhannya akan memburuk. Serangan hama penyakit tanaman juga berisiko lebih intens. Pertumbuhan tanaman padi pun rentan terhadap perubahan suhu. Kondisi ideal untuk tanaman padi berkisar 25 - 28 °C dan tidak lebih dari 35 °C. Jika suhu melebihi angka itu, maka kualitas maupun kuantitas produksi beras dari padi akan terganggu. Studi yang saya lakukan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap produksi beras di Wonogiri, salah satu sentra pangan Jawa Tengah. Hasilnya, pada 2050, temperatur di kawasan tersebut akan naik 1.3 - 2.0 °C. Pada waktu yang sama, kenaikan suhu akan mengubah pola hujan secara spasial (wilayah) dan temporal (waktu). Akibatnya, produksi beras kawasan tersebut akan berkurang sekitar 2,56 - 11,77 persen pada 2050 . Penelitian yang saya lakukan menjadi asesmen pertama ihwal dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman di lokasi tertentu. Kita perlu lebih banyak membuat pemodelan iklim dan tanaman di masa depan berbasis suatu lokasi, terutama lumbung pangan nasional. Pemodelan diperlukan karena efek iklim regional bisa saja berbeda satu sama lain.

Pentingnya membuat model iklim dan tanaman berbasis daerah

Model iklim akan memprediksi iklim di masa depan. Sedangkan model tanaman mensimulasikan pertumbuhan dan hasil tanaman berbasis data iklim masa depan serta data lainnya seperti data sifat tanah, praktik pengelolaan, dan karakteristik agronomi. Dalam hal ini, penggunaan model iklim sebagai input pada model tanaman dilakukan melalui beberapa skenario yang disusun para ilmuwan dari Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change, atau IPCC), yakni Representative Concentration Pathway (RCP) 2.6 (risiko rendah), RCP 4.5 (risiko menengah), RCP 6.0 (risiko cukup berat), dan RCP 8.5 (risiko amat berat). Skenario tersebut akan menghasilkan data iklim yang berbeda-beda baik suhu maksimum, suhu minimum, curah hujan, intensitas matahari serta konsentrasi karbon dioksida. Perbedaan data iklim tersebut berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi beras karena padi memiliki respons yang berbeda terhadap suhu, ketersediaan air, ataupun intensitas sinar matahari. Pemodelan akan menjadi bekal bagi petani untuk menyusun langkah - langkah antisipasi dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi beras di sawahnya.

Strategi berbasis pemodelan

Pemodelan iklim dan tanaman berbasis lokasi dapat dimanfaatkan petani secara langsung. Misalnya, berbasis data tersebut, petani dapat mengubah tanggal tanam yang akan membantu mencegah banjir di musim hujan dan potensi kekurangan air di musim kemarau. Strategi ini bertujuan untuk mencegah gagal panen yang mempengaruhi produksi beras. Strategi pindah tanam (transplanting) – teknik memindahkan suatu tanaman ke tempat lain – juga dapat diberlakukan untuk menyiasati efek iklim regional yang bervariasi. Selain itu, penerapan praktik pengelolaan pupuk yang tepat, seperti meningkatkan frekuensi dan dosis aplikasi pupuk, jumlah pupuk yang diterapkan setiap aplikasinya, dan penggunaan bagan warna (alat bantu pemupukan berdasarkan warna daun padi), menjadi faktor penting dalam meningkatkan produksi padi. Misalnya, penggunaan pupuk nitrogen (N) yang tidak dapat menyeimbangkan kadar fosfor (P) dan kalium (K) akan berdampak negatif terhadap hasil padi, kualitas tanah, dan lingkungan sekitarnya. Risiko lainnya adalah rubuhnya tanaman, persaingan gulma, dan serangan hama. Petani juga mesti menerapkan manajemen terpadu nutrisi tanaman (IPNM) agar meningkatkan efisiensi nutrisi secara bijaksana untuk meningkatkan kesuburan dan kelestarian tanah. Contohnya adalah penggunaan nutrisi pupuk dari sumber organik yang tersedia di lahan pertanian. Hal lainnya yang patut diterapkan adalah pengembangan asuransi tanaman. Ini penting untuk melindungi ekonomi petani dari risiko ketidakpastian terkait iklim. Bagi pemerintah, pemodelan iklim dan tanaman dapat diprioritaskan di kawasan lumbung pangan nasional. Strategi-strategi adaptasi yang tepat berbasis data iklim juga mesti disosialisasikan secara masif kepada kelompok tani. Hal lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperbaiki pengelolaan irigasi, mengembangkan area pertanian baru, dan mengembangkan varietas tanaman tahan panas.The Conversation

Andrianto Ansari
, Lecturer, Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Logika sektoral dan pasar menjadi masalah utama dalam pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia

Kiagus M. Iqbal, Sajogyo Institute dan Moh Ali Rahangiar, Sajogyo Institute

Reforma Agraria di Indonesia selalu mendatangkan konflik. Sejak pertama kali dicetuskan semasa pemerintahan Soekarno hingga saat ini, cita-cita Reforma Agraria untuk merombak struktur penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia kepada warga negara yang berhak, khususnya kepada petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani masih jauh dari harapan. Upaya baru setelah Reformasi pun masih menyisakan masalah. Catatan Sajogyo Institute yang meneliti masalah agraria di Indonesia menunjukkan struktur penguasaan tanah di Indonesia masih tidak adil hingga tahun 2013. Hampir 90% petani tunakisma (petani tanpa tanah), gurem, dan kecil hanya menguasai 45,71% lahan dengan rata-rata luas lahan 0,45 hektar per orang. Idealnya luas pemilikan tanah di Jawa Tengah, Yogyakarta, beberapa daerah di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, sebaiknya berkisar antara 0,5 hingga 1 hektar per orang. Sementara, 12.04% petani golongan lebih mampu menguasai tanah rata-rata 3,87 hektar per orang. Konflik agraria pun masih sering terjadi. Lembaga swadaya masyarakat Konsorium Pembaruan Agraria mencatat telah terjadi 2.047 konflik agraria dalam kurun 2015-2019, naik dari 1.308 konflik pada periode lima tahun sebelumnya (2010-2014). Masalah-masalah dalam implementasi kebijakan Reforma Agraria bermuara dari masih dominannya kuasa negara atas tanah yang mendorong kepemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaan lewat kebijakan-kebijakan sektoral yang menghambat distribusi kepemilikan tanah yang adil.

Logika sektoral yang kuat

Asas domein dan kebijakan sektoral adalah dua masalah utama dari upaya Reforma Agraria sejak masa Soekarno hingga pasca reformasi. Lewat asas domein, negara bisa mengklaim sebidang tanah apabila satu pihak tidak memiliki bukti-bukti kepemilikan secara hukum. Asas ini berlaku sejak disahkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet dan aturan pelaksanaannya Agrarische Besluit) pada 1870 di masa kolonial Belanda. Pemerintahan Soekarno sempat berusaha melakukan menafsirkan ulang asas domein untuk membagikan tanah kepada para petani penggarap, petani gurem, dan buruh tani. Namun, rezim Orde Baru di bawah Soeharto kembali menggunakan kuasa negara atas tanah untuk mendukung kepemilikan lahan oleh perusahaan pertambangan dan perkebunan. Sejak saat itu, kebijakan agraria mengutamakan sektor-sektor tertentu untuk dapat menguasai tanah secara cepat dan besar-besaran. Kebijakan agraria pun dibuat selaras dengan aturan pengembangan sektor tertentu seperti Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri, UU Pertambangan, UU Sumber Daya Air dan lain-lain. Kebijakan Reforma Agraria pada era Reformasi pun masih mengutamakan sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Di sektor perkebunan, tercatat tanah yang dikuasai korporasi mencapai 15 juta hektar; sedangkan di sektor pertambangan, korporasi memegang kuasa lahan seluas 13,75 juta hektar. Logika sektoral ini mengakibatkan ketimpangan alokasi lahan antara pihak korporasi dan masyarakat tercatat cukup tinggi pada 2019. Untuk kawasan hutan, hingga tahun 2018, pemerintah telah memberikan izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Penguasaan Hutan (HPH), dan Izin Pinjam Pakai untuk Usaha Pertambangan seluas 40,46 juta hektar kepada korporasi. Ini berbanding terbalik dengan luasan alokasi tanah untuk masyarakat yang hanya berjumlah 1,46 juta hektar.

Tanah untuk swasta

Pendekatan sektoral di atas menunjukkan bahwa kebijakan Reforma Agraria di Indonesia masih mengutamakan kepentingan swasta. Ini bisa dilihat lewat program sertifikasi tanah pemerintah. Melalui program ini, pemerintah membagikan 4,5 juta sertifikat tanah sebagai tanda kepemilikan. Tapi kebijakan ini memiliki beberapa masalah. Pertama, legalisasi aset tidak menciptakan hak baru untuk rakyat, justru sebaliknya memperkuat konsentrasi penguasaan lahan oleh korporasi dan petani kaya. Hal ini terjadi karena tanah terbuka untuk berpindah tangan, dan karena tidak adanya aturan tegas yang melarang penjualan dan pengalihan pemilikan lahan kepada pihak lain. Sebuah penelitian pada 2019, misalnya, menemukan adanya transfer tanah di desa penelitian Pasawahan, Ciamis, Jawa Barat, melalui mekanisme jual beli, gadai, maupun waris. Akibatnya, hanya sekitar setengah penggarap di sana yang masih memiliki tanah. Kedua, tidak adanya aturan tegas tentang pembatasan luas lahan untuk memastikan semua orang memiliki akses kepemilikan tanah yang adil. Indonesia sebenarnya telah memiliki UU Pembatasan Lahan Pertanian yang dikeluarkan pada masa Soekarno. Aturan ini mengatur luas lahan pertanian minimal dan maksimal yang bisa dimiliki petani dan keluarganya, tergantung jenis tanah dan kepadatan penduduk. UU tersebut masih berlaku, namun tidak berjalan efektif. Lemah dan kurangnya mekanisme pengawasan membuat peraturan pembatasan luas maksimum tanah tidak efektif. Akibatnya program sertifikasi tanah hanya mendorong penguasaan tanah berskala besar di tangan segelintir orang yang berkuasa saja. Lagi-lagi, kebijakan agraria pemerintah hanya mendukung kepentingan pasar dan penguasaan tanah di tangan pemodal. Keempat, data tentang kepemilikan tanah yang masih belum transparan. Saat ini, publik sulit mengakses data tentang Hak Guna Usaha (HGU). HGU adalah hak khusus untuk mengelola tanah negara yang diberikan pada perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Pemerintah menutup akses data ini meskipun putusan Mahkamah Agung pada 2017 menyebutkan bahwa data dan informasi HGU adalah bagian dari informasi publik sehingga aksesnya harus terbuka untuk umum.

Yang harus dilakukan

Pelaksanaan Reforma Agraria bisa berhasil jika menyentuh beberapa hal. Pertama, memperkuat kedudukan dan hak masyarakat adat terhadap tanah adatnya. Untuk itu, pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan UU Masyarakat Adat, dan memperkuat posisi masyarakat hukum adat sesuai putusan Mahkamah Konstitusi bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Kedua, sertifikasi tanah wajib memperhatikan fungsi sosial tanah untuk mata pencaharian berkelanjutan masyarakat, kesatuan ekologi, hingga pelestarian dan pengembangan budaya. Hal tersebut bisa diatur dalam regulasi pembatasan luas tanah dan pembatasan alih fungsi lahan (khususnya tanah pertanian dan sumber air). Program pemberian sertifikat juga perlu diprioritaskan bagi petani gurem dan buruh tani. Terakhir, pemerintah harus membuka informasi HGU untuk kepentingan Reforma Agraria. Baik Mahkamah Agung maupun gerakan masyarakat sipil perlu mendorong pemerintah untuk membuka informasi HGU sesuai dengan keputusan hukum yang telah dikeluarkan. Lewat data yang transparan, pemerintah bisa memberi jalan awal untuk mengakhiri konflik agraria yang berkepanjangan dan berlarut.

Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.The Conversation

Kiagus M. Iqbal, , Sajogyo Institute dan Moh Ali Rahangiar, Peneliti, Sajogyo Institute
 

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.