I want to share an article by Prof Bayu Krisnamurthi Bayu Krisnamurthi entitled
"Kesejahteraan Petani dan APBN 2026" that talked about "Indeks
Kesejahteraan Petani (IKP)" as a new indicator and measurement of
farmers' welfare and prosperity which will be included in R-APBN 2026.
It's such a progress to establish a more advanced tool to measure the prosperity level of our farmers! Let's monitor together the implementation of this indicator and see how it will affect and help our small-holder farmers' prosperity status to be increased!
KOMPAS, JUMAT, 19 DESEMBER 2025
Kesejahteraan Petani dan APBN 2026
Bayu Krisnamurthi
Guru Besar Kebijakan Agribisnis IPB
Pada bulan September 2025, Badan Anggaran DPR dan pemerintah menyepakati tambahan tiga indikator kinerja kesejahteraan rakyat dalam RAPBN 2026.
Pertama, Indeks Kesejahteraan Petani sebagai penyempurnaan dari instrumen nilai tukar petani dan nilai tukar nelayan. Kedua, penciptaan lapangan kerja formal, untuk mengukur proporsi angkatan kerja yang memperoleh pekerjaan berkualitas. Dan ketiga, Gross National Income (GNI) per Kapita, sebagai indikator pendapatan rata-rata warga negara.
Ketika kemudian RAPBN telah disetujui menjadi APBN 2026, ketiga indikator kinerja kesejahteraan itu resmi menjadi pengukur efektivitas pelaksanaan APBN, yang harus dilaporkan pencapaiannya oleh pemerintah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Penambahan ketiga indikator tersebut merupakan hal yang sangat strategis untuk memastikan proses pembangunan dan pemanfaatan anggaran negara benar-benar dapat berdampak positif bagi kesejahteraan rakyat. Apresiasi harus diberikan kepada pemerintah dan DPR atas terobosan penting dalam penetapan kebijakan publik ini.
Penetapan Indeks Kesejahteraan Petani (IKP) sekaligus dapat mengakhiri polemik panjang tentang apakah tepat menilai kesejahteraan petani hanya dengan nilai tukar petani/nilai tukar nelayan (NTP/NTN). Dalam hal ini pemerintah tampaknya tidak bermaksud mengganti NTP/NTN dengan IKP, tetapi justru memadukan keduanya.
IKP akan diukur dan dilaporkan secara berkala dalam rentang waktu yang lebih lama, sementara NTP/NTN tetap akan diukur dan dilaporkan dalam periode yang lebih pendek. Dengan demikian, kita akan memiliki dua indikator bersamaan: IKP dan NTP/NTN.
Komponen IKP
IKP akan diukur oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai suatu indikator komposit multidimensional dengan beberapa parameter dan indikator. BPS merujuk penyusunannya pada banyak referensi dari seluruh dunia. Beberapa rujukan penting antara lain adalah Oxford Poverty and Human Development Initiatives (OPTHDI) yang dikembangkan dalam kolaborasi dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang mengetengahkan tiga dimensi dan 10 indikator kesejahteraan, mulai dari mortalitas anak hingga kondisi bangunan rumah. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengukur Rural Multi-dimentional Poverty Index (RMI-PI) menggunakan lima dimensi dan 18 indikator, termasuk lama sekolah dan risiko terkena dampak krisis iklim.
BPS kemudian merumuskan Indeks Kesejahteraan Petani dalam enam dimensi dan 21 indikator, dengan unit pengamatan keluarga/rumah tangga petani. Keenam dimensi tersebut adalah ketahanan pangan dan gizi keluarga petani, pendidikan, kesehatan, standar hidup layak, pendapatan hidup layak, dan mitigasi risiko.
Adapun ke-21 indikator mencakup apakah keluarga petani berpeluang mengalami kerawanan pangan parah, dan apakah anak dalam keluarga petani ada yang kurang gizi atau stunting. Indikator lain adalah bahwa anggota keluarga petani berhasil menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu, dan bahwa semua anak usia sekolah di keluarga petani memang bersekolah.
Kemudian juga diperhatikan apakah rumah tangga petani menggunakan bahan bakar yang aman dan bersih untuk memasak, apakah ada sarana sanitasi yang layak di rumah tangga petani, dan apakah ada akses air minum yang aman. Selain itu, apakah ada aliran listrik, apakah rumah petani (lantai, dinding, atap) dari bahan yang layak, dan apakah memiliki aset untuk menunjang kegiatan sehari-hari.
Indikator lain mencakup adanya aset produktif (lahan, ternak, kapal), tidak ada penerimaan upah buruh yang rendah, ikut serta dalam program perlindungan sosial, tidak ada pekerja anak, dan memiliki akses terhadap penyuluhan dan organisasi kelompok tani.
Indikator kesejahteraan petani juga akan melihat apakah petani memiliki akses pada pembiayaan, akses pada penanganan guncangan (shock), berada di wilayah yang terhindar dari risiko bencana iklim, memiliki jaminan kesehatan, akses pada layanan kesehatan, dan telah mendapatkan paket imunisasi lengkap.
Implikasi kebijakan
Penetapan IKP sebagai indikator kinerja APBN 2026 memberikan beberapa implikasi kebijakan. Pertama, dengan adanya IKP, pembangunan pertanian tidak dapat lagi hanya menggunakan pendekatan pembangunan komoditas pertanian (padi, jagung, kedelai, kopi, sawit, dan seterusnya) dengan target peningkatan produksi dan produktivitas saja, tetapi harus lebih komprehensif dengan kesejahteraan petani sebagai fokus pembangunan.
Banyak pertanyaan bisa diajukan. Misalnya, apakah peningkatan produksi komoditas pertanian sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani, atau apakah intensifikasi dalam pertananan dan pengusahaan lahan pertanian meningkatkan kesejahteraan, dan sebagainya. Bahkan, tampaknya Kementerian Pertanian benar-benar tidak dapat lagi hanya akan menjadi ”kementerian komoditas pertanian”, tetapi perlu lebih tampil sebagai ”kementerian(nya) petani”.
Kedua, kesejahteraan petani akan juga menjangkau ”pembangunan untuk petani” di luar sektor pertanian. Indikator-indikator IKP menegaskan perlu adanya strategi dan implementasi pembangunan yang sistematis, yang dapat menjangkau petani dan usaha taninya, petani dan keluarganya, serta petani dan desa atau wilayah permukimannya. Artinya, pembangunan ’untuk kesejahteraan’ petani akan menjadi tugas dan pekerjaan lintas kementerian dan lembaga.
Ketiga, IKP adalah indeks yang kompleks dengan jumlah variabel yang banyak. Hal ini sangat membutuhkan kredibilitas pengukuran yang tinggi. BPS mendapat tugas yang berat namun mulia untuk mengukur berbagai indikator tersebut secara berkala. Mengingat IKP adalah hal yang ditetapkan dalam satu undang-undang bersama APBN, tentu pengukuran IKP akan dilakukan setiap tahun melalui suatu metodologi yang dapat diandalkan.
Keempat, meskipun penetapan IKP sebagai indikator pembangunan sangat patut kita syukuri, IKP belum (atau bukan) metode penilaian relatif yang membandingkan satu kelompok dengan kelompok lain. IKP mungkin bisa mencatat kemiskinan absolut di antara petani, tetapi belum dapat melihat kemiskinan relatif atau kesenjangan yang terjadi.
Dengan beberapa catatan di atas, sekali lagi, kita memberi apresiasi kepada pemerintah dan DPR atas terobosan penting ini. IKP perlu kita kawal, bukan untuk mencari-cari kesalahannya, tetapi justru untuk memastikan ’sedulur tani’ kita, saudara-saudara petani kita, mendapatkan kesejahteraan yang selayaknya mereka peroleh. Lagi pula, kita perlu sadar bahwa no-farmers, no-food, no future.

No comments:
Post a Comment